Posted by : Welly Tuesday, January 10, 2012

Pada zaman dahulu kala, ada seorang pemuka agama Islam dari Negeri Palembang, Sumatra Selatan yang bernama Hasan Tanduk Alam atau lebih dikenal dengan Tanduk Alam. Suatu ketika, ia mengembara ke Negeri Banggai untuk berdagang dan menyebarkan agama Islam. Namun sebelum tiba di Negeri Banggai, ia singgah dan menetap di Tanah Sea-Sea.

Ketika pertama kali tinggal di Tanah Sea-Sea, Tanduk Alam bekerja sebagai tukang emas dan membuat berbagai macam perhiasan. Mula-mula ia menjual hasil kerajinannya ke desa-desa sambil mengajarkan agama Islam kepada penduduk, sehingga ia tidak hanya dikenal sebagai tukang emas, tetapi juga sebagai ulama. Makin lama, Tanduk Alam pun tidak hanya dikenal di kalangan penduduk, tetapi juga di kalangan istana Negeri Banggai. Negeri tersebut dipimpin oleh Raja Adi Cokro dan dibantu oleh empat orang basalo atau pembantu raja.

Pada suatu hari, kalangan istana dan seluruh rakyat Negeri Banggai gempar, karena putri Raja Adi Cokro tiba-tiba hilang. Sang Raja pun segera memerintahkan kepada seluruh bala tentara dan rakyat untuk mencari putrinya. Namun, setelah mencari ke seluruh penjuru Negeri Banggai, mereka tidak menemukan sang Putri. Mereka hanya mendengar kabar bahwa putri Raja diculik dan disembunyikan oleh orang-orang Tobelo di Pulau Sagu atas perintah Raja Ternate yang ingin menguasai Kerajaan Banggai.

Mendengar kabar itu, Raja Adi Cokro segera memanggil keempat basalonya untuk mengadakan perundingan.

“Wahai, para Basalo! Tentu kalian sudah mendengar berita tentang keberadaan putriku. Untuk itu, aku perintahkan kalian ke Pulau Sagu untuk membebaskannya!” perintah Raja Adi Cokro

Keempat basalo tersebut segera berangkat ke Pulau Sagu bersama sejumlah prajurit istana. Sesampainya di sana, mereka segera menyerang orang-orang Tobelo. Namun mereka gagal membebaskan, karena jumlah pasukan orang-orang Tobelo yang ada di Pulau Sagu jauh lebih besar. Keempat basalo dan sejumlah prajurit istana yang masih tersisa kembali ke Negeri Banggai untuk menghadap Raja Adi Cokro.


“Ampun beribu ampun, Baginda! Kami gagal membawa pulang Tuan Putri. Jumlah pasukan musuh di Pulau Sagu terlalu banyak. Kami tidak mampu melawan mereka,” lapor seorang basalo.

Mendengar laporan itu, Raja Adi Cokro hanya terdiam. Ia sangat mencemaskan nasib putrinya yang ditawan di Pulau Sagu. Beberapa saat kemudian, ia bangkit dari singgasananya, lalu berjalan mondar-mandir sambil memikirkan cara untuk membebaskan putrinya. Suasana di ruang itu pun menjadi hening. Di tengah keheningan tersebut, salah seorang basalo dari Tano Bonunungan angkat  bicara.

“Ampun, Baginda! Hamba punya usul, bagaimana kalau permasalahan ini kita bicarakan dengan Tanduk Alam. Barangkali dia bisa membantu kita untuk membebaskan sang Putri,” sahut basalo dari Tano Bonunungan itu.
“Hmmm..., benar juga katamu. Kalau begitu, panggil Tanduk Alam untuk segera menghadap kepadaku!” perintah sang Raja.

“Baik, Baginda! Perintah Baginda hamba laksanakan,” ucap keempat basalo tersebut serentak.
Keempat basalo tersebut segera berangkat ke Tanah Sea-Sea untuk memanggil Tanduk Alam. Beberapa lama kemudian, Tanduk Alam pun datang menghadap Raja dengan mengenakan pakaian kebesarannya.

“Ampun, Baginda! Ada apa gerangan Baginda memanggil hamba menghadap?” tanya Tanduk Alam.
“Wahai, Tanduk Alam! Tentu kamu sudah mengetahui bahwa putri kesayanganku diculik dan disembunyikan oleh orang-orang Tobelo di Pulau Sagu,” kata Raja Adi Cokro.

“Ampun, Baginda! Hamba hanya mendengar kabar tersebut. Tapi benarkah putri Baginda disembunyikan di Pulau Sagu?” Tanduk Alam kembali bertanya.

“Benar, Tanduk Alam! Aku telah memerintahkan para pasukanku ke Pulau Sagu, namun mereka gagal membawa pulang putriku. Bersediakah kamu membantu prajuritku pergi ke pulau itu untuk membebaskan putriku?” pinta Raja Adi Cokro.

“Baik, Baginda! Tapi hamba mempunyai satu permintaan,” jawab Tanduk Alam.
“Apakah itu, Tanduk Alam?” tanya Raja Adi Cokro.

“Hamba bersedia membantu membebaskan putri Tuanku, tapi hamba tidak perlu didampingi oleh pasukan dengan jumlah besar untuk menghindari jatuhnya banyak korban,” jawab Tanduk Alam.
“Baiklah, jika itu yang kamu inginkan. Kamu hanya akan didampingi oleh keempat basaloku,” kata Raja Adi Cokro.


Keesokan harinya, Tanduk Alam bersama keempat basalo tersebut berangkat ke Pulau Sagu dengan menggunakan perahu layar. Dalam perjalanan menuju Pulau Sagu, mereka pun mengatur siasat.
“Wahai, Basalo! Sesampainya di Pulau Sagu, kita segera mencari tempat disembunyikannya sang Putri. Tapi, ingat! Kalian harus tetap tenang,” ujar Tanduk Alam.

“Tapi, bagaimana caranya masuk ke tempat itu, Tuan? Palau Sagu telah dikuasai oleh orang-orang Tobelo. Tempat disembunyikan sang Putri pasti dijaga ketat,” sahut seorang basalo.

“Kalau begitu, biar aku saja yang masuk ke pulau itu mencari tempat di mana tuan Putri disembunyikan. Kalian tunggu saja di perahu!” ujar Tanduk Alam.

“Apakah tidak berbahaya jika Tuan sendiri yang masuk ke sana?” tanya seorang basalo yang lain.
“Kalian tenang saja! Insya Allah aku bisa mengatasi semuanya,” jawab Tanduk Alam dengan penuh keyakinan.

Pada saat tengah malam, mereka pun sampai di Pulau Sagu. Tanduk Alam pun segera naik ke pulau itu. Saat menginjakkan kaki di Pulau Sagu, Tanduk Alam segera duduk bersila sambil berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba ia menghilang. Betapa terkejutnya keempat basalo tersebut menyaksikan peristiwa itu dari atas perahu layar. Mereka takjub melihat kesaktian yang dimiliki oleh Tanduk Alam.

Sementara keempat basalo tersebut menunggu di perahu layar sambil berjaga-jaga dari serangan musuh, Tanduk Alam telah menyelinap masuk ke tempat disembunyikannya putri Raja tanpa sepengetahuan orang-orang Tobelo yang sedang berjaga-jaga. Sesampainya di tempat itu, ia melihat sang Putri dikurung di dalam sebuah ruangan. Sementara orang-orang Tobelo yang bertugas menjaga ruangan itu sedang tertidur lelap. Tanduk Alam pun segera membuka pintu ruangan itu secara perlahan-lahan, lalu mendekati sang Putri yang juga sedang tertidur dan segera membangunkannya. Alangkah terkejutnya sang Putri saat ia terbangun dan melihat seorang pemuda berjubah di dekatnya.

“Tenang, Tuan Putri! Aku diutus oleh Ayahandamu untuk membebaskanmu dari tempat ini,” kata Tanduk Alam dengan suara pelan.

“Benarkah itu, Tuan?” tanya sang Putri.

“Benar, Tuan Putri! Aku kemari bersama keempat basalo Ayahandamu. Mereka sedang menunggu di perahu,” jawab Tanduk Alam.

“Ayo, Tuan Putri! Kita pergi dari tempat ini,” ajak Tanduk Alam.

“Bagaimana caranya, Tuan? Bukankah tempat ini dijaga oleh orang-orang Tobelo?” tanya sang Putri bingung.

“Duduklah dan pejamkan matamu, Tuan Putri! Kita akan keluar dari sini tanpa sepengetahuan orang-orang Tobelo itu,” ujar Tanduk Alam.

Sang Putri pun menuruti perkataan Tanduk Alam. Saat sang Putri memejamkan matanya, Tanduk Alam memegang kedua tangan sang Putri sambil membaca doa. Sesaat kemudian, keduanya pun menghilang dari ruangan itu. Tidak berapa lama kemudian, tiba-tiba mereka berada di atas perahu. Betapa terkejutnya keempat basalo tersebut saat melihat Tanduk Alam dan sang Putri tiba-tiba muncul di samping mereka.
“Ayo, Basalo! Lepaskan tali tambatan dan bentangkan layar dan kita segera meninggalkan tempat ini!” seru Tanduk Alam.

Keempat basalo itu segera melaksanakan perintah Tanduk Alam. Keesokan harinya, saat matahari mulai terbit di ufuk timur, mereka tiba di Negeri Banggai dan segera membawa sang Putri ke istana. Kedatangan mereka pun disambut meriah oleh keluarga istana dan seluruh rakyat Negeri Banggai. Raja Adi Cokro sangat kagum atas keberhasilan Tanduk Alam membawa pulang putri kesayangannya. Raja Adi Cokro pun mengakui dan memuji kemampuan dan kesaktian Tanduk Alam.

“Terima kasih, Tanduk Alam! Hadiah apa yang kamu inginkan dariku?” tanya Raja Adi Cokro.
“Sekiranya Baginda tidak keberatan, hamba minta sebidang tanah kosong dan rawa-rawa untuk hamba tanami durian dan sagu,” jawab Tanduk Alam.
“Permintaanmu akan aku kabulkan, Tanduk Alam!” jawab Raja Adi Cokro.
“Terima kasih, Baginda Raja! Semoga hasilnya di kemudian hari tidak hanya bermanfaat bagi hamba, tetapi juga untuk kesejahteraan rakyat negeri ini,” ucap Tanduk Alam.

Raja Adi Cokro pun semakin kagum terhadap kemuliaan hati Tanduk Alam. Ia pun segera memerintahkan para pengawal istana untuk membuka lahan perkebunan dan membersihkan rawa-rawa. Setelah semuanya selesai, Tanduk Alam pun memulai menanam durian di lahan perkebunan dan sagu di rawa-rawa.

Beberapa tahun kemudian, Tanduk Alam memperolah hasil yang melimpah ruah. Hidupnya pun semakin sejahtera. Melihat keberhasilannya itu, Tanduk Alam senantiasa mengajak penduduk di sekitarnya untuk membuka lahan dan menanam durian dan sagu. Penduduk sekitar pun berbondong-bondong mengikuti jejak Tanduk Alam. Alhasil, hidup mereka pun ikut sejahtera.

Sejak itu, Tanduk Alam semakin disukai oleh masyarakat Banggai. Dengan demikian, ia dapat menyiarkan agama Islam di daerah Banggai dengan mudah. Apalagi setelah ia menikah dengan putri basalo Tano Bonunungan, ia semakin mudah melaksanakan tugasnya. Dalam waktu singkat, pemeluk agama Islam di Negeri Banggai, khususnya di Tanah Sea-Sea dan Tano Bonunungan semakin bertambah.

Begitulah penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Tanduk Alam di Negeri Banggai sampai ia meninggal dunia. Untuk menghargai jasa-jasa Tanduk Alam terhadap Negeri Banggai, masyarakat setempat mengubur jazadnya di belakang istana Kerajaan Banggai.

Leave a Reply

Terima Kasih atas Komentar anda

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Regina Theyser - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -