Archive for September 2013

Cerita tentang Uder Mancing

Kalimantan Tengah adalah salah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Kalimantan. Ibukotanya adalah Kota Palangka Raya. Luas: prov Kalteng  153.564 km² berikut salah satu Cerita asal Kalimantan tengah mengenai Uder mancing Ikuti kisah nya :

Uder Mancing adalah seorang laki-laki pemalas yang tinggal di sebuah kampung di daerah Kalimantan Tengah. Kerjanya hanya tidur dan memancing. Pada suatu hari, ketika hendak pergi memancing ke daerah udik (hulu sungai), tiba-tiba ia diserang dan ditawan oleh kawanan kera. Mengapa Uder Mancing diserang dan ditawan kawanan kera itu? Lalu, bagaimanakah nasib Uder Mancing selanjutnya? Temukan jawabannya dalam cerita Uder Mancing berikut ini!

Alkisah, di sebuah kampung di daerah Kalimantan Tengah, hiduplah seorang laki-laki bernama Uder. Ia tinggal bersama istrinya di sebuah gubuk yang berada di tepi sungai. Uder seorang suami pemalas. Semua pekerjaan dianggapnya berat. Hanya tidur dan memancing yang menjadi kesenangannya. Jika tidak pergi memancing, ia hanya tidur di rumah sampai berjam-jam. Bahkan ia terkadang tidur dari pagi hingga sore. Ia baru bangun pada saat perutnya lapar, dan kembali tidur setelah perutnya kenyang.   

Begitu pula halnya jika memancing, si Uder terkadang berhari-hari tidak pulang ke rumahnya. Ia sangat bangga jika pulang ke rumah membawa ikan walau hanya satu ekor atau hanya ikan kecil sekalipun. Oleh karena itu, orang-orang kampung memanggilnya Uder Mancing.

Demikian yang dilakukan Uder Mancing setiap hari. Istrinya sudah jemu menasehatinya. Bahkan mertuanya pun pernah menasehatinya, namun perilakunya tetap tidak mau berubah. Oleh karenanya, apa pun yang dilakukan Uder, mertua dan istrinya tidak mau tahu lagi. Jika pergi ke ladang, istrinya berangkat sendiri dan membiarkan Uder tidur di rumah.

Pada suatu pagi, Uder baru saja bangun tidur karena kelaparan. Setelah masuk ke dapur, ia tidak menemukan makanan sedikit pun. Ia pun segera mencari istrinya. Saat membuka pintu belakang gubuknya, ia melihat istrinya sedang membersihkan ayam yang baru saja disembelihnya. Tiba-tiba ia merampas usus ayam itu dari tangan istrinya.

“Bang, untuk apa usus ayam itu?” tanya istrinya heran.
“Untuk umpan pancing,” jawab Uder seraya memotong kecil-kecil usus itu.
Setelah menyantap ayam masakan istrinya, Uder Mancing segera mengambil kail dan umpannya untuk pergi memancing ke udik (hulu sungai). Dengan penuh semangat, ia mendayung perahunya menuju ke sebuah teluk besar yang di dalamnya terdapat banyak ikan.
“Hari ini aku akan memperoleh ikan yang banyak,” gumam Udik Mancing sambil mendayung perahunya.
Di tengah perjalanan, ia berpapasan dengan orang sekampungnya yang baru pulang dari ladangnya.

“Hendak ke mana, Der?” tanya orang itu.
“Hendak ke udik untuk memancing,” jawab Uder.
“Umpannya apa, Der?” orang kembali bertanya.
“Usus ayam,” jawab Uder.
Tidak berapa jauh kemudian, Uder berpapasan lagi dengan orang kampung yang baru saja pulang dari memancing. Orang itu pun bertanya kepada Uder dengan pertanyaan yang sama seperti pertanyaan orang kampung yang tadi. Si Uder pun menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang sama, walaupun dengan perasaan jengkel.

Setelah orang itu berlalu, Uder kembali mendayung perahunya ke arah pinggir sungai agar tidak berpapasan lagi dengan orang lain. Ia sudah jemu ditanya dengan pertanyaan yang sama. Ia pun menyusuri pinggir sungai menuju udik. Namun, saat lewat di bawah sebatang pohon rindang yang menjorok ke sungai, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara kawanan kera dari atas pohon itu.
‘Hendak ke mana, Der?” tanya seekor kera.
Mendengar pertanyaan itu, Uder semakin jengkel dan marah. Dengan suara nyaring ia menjawab;
“Memancing!”
“Umpannya apa, Der?” tanya kera lainnya dengan pelan.
“Ususmu itu!” jawab Uder semakin marah.

Jawaban Uder membuat kawanan kera itu tersinggung dan marah. Tanpa diduga, kawanan kera yang berjumlah puluhan itu melompat ke atas perahunya. Ada yang mengigit tangan dan kakinya, mencakar wajahnya, bahkan ada yang melepas bajunya. Uder pun tergeletak tidak sadarkan diri di atas perahunya. Kemudian kawanan kera itu beramai-ramai mengangkat tubuh Uder naik ke daratan dan mengikatnya di bawah sebuah pohon tidak jauh dari tempat tinggal mereka.

Menjelang sore, Uder tersadar dari pingsannya. Saat membuka matanya, ia melihat puluhan kera sedang duduk mengelilinginya. Hari pun mulai gelap. Kawanan kera itu tetap membiarkan Uder terikat di pohon tanpa baju. Hampir semalaman Uder tidak bisa tidur digigiti nyamuk
Keesokan harinya, kawanan kera itu kembali berkumpul di sekitar Uder.
“Mimpi apa samalam, Der?” tanya seekor kera.

“Bagaimana bisa mimpi, di sini banyak nyamuk,” ucap Uder dengan ketus.
Hingga siang hari, Uder tetap terikat di pohon. Tubuhnya mulai menggigil karena kelaparan dan kehausan. Ia pun merintih dan menangis. Beberapa ekor kera kecil mendekatinya. Tetapi, bukannya memberi makanan atau minuman, melainkan mengejeknya. Uder pun semakin kesal dan berteriak meminta makanan dan minuman. Tidak berapa lama kemudian, kera besar yang menjadi  pemimpin datang membawakan makanan dan minuman untuknya. Uder pun kembali segar dan bertenaga.

Malam harinya, kawanan kera itu memindahkan Uder ke halaman rumah mereka. Keesokan harinya, mereka menanyakan lagi mimpi Uder semalam. Namun, Uder tetap tidak bisa bermimpi karena banyak nyamuk. Pada malam berikutnya, mereka memindahkan Uder ke dalam rumah agar tidak digigit nyamuk. Namun Uder tetap saja digigit nyamuk. Akhirnya, kawanan kera itu memutuskan untuk membuatkan Uder kelambu dari dedaunan. Malam harinya, Uder dapat tidur dengan nyenyak sekali, karena sudah tiga hari tiga malam tidak tidur.

Keesokan harinya, kawanan kera itu kembali bertanya kepada Uder tentang mimpinya semalam.
“Tadi malam aku bermimpi melihat sebatang pohon rambutan yang banyak buahnya,” jelas Uder.
“Di mana letak pohon rambutan itu, Der?” tanya pemimpin kera itu.
“Di hulu sungai,” jawab Uder dengan penuh keyakinan.
Kawanan kera bersorak gembira mendengar cerita Uder. Akhirnya, siang itu juga mereka meminta Uder untuk mengantarnya ke tempat yang ada dalam mimpi Uder. Uder bersedia mengantar mereka asalkan tali pengikatnya dilepaskan.
“Baiklah, Uder! Kami akan melepaskan tali pengikiatmu, asalkan kamu berjanji tidak akan melarikan diri,” kata pemimpin kera itu.

“Saya berjanji tidak akan melarikan diri,” ucap Uder.
Berangkatlah mereka menuju hulu sungai. Kawanan kera berjalan di depan, sedangkan Uder mengikutinya dari belakang. Saat lengah dari pengawasan kera itu, Uder mengambil dua buah batu kerikil dan damar lalu memasukkannya ke saku celananya. Tidak berapa lama kemudian, sampailah mereka di hulu sungai. Rupanya pohon rambutan yang ada dalam mimpi Uder benar-benar nyata.

Tanpa menunggu perintah dari pemimpin mereka, para kawanan kera itu berlomba-lomba memanjat pohon rambutan itu. Pemimpin kera yang tergiur dengan buah rambutan yang sudah matang tersebut, tidak mau ketinggalan. Ia pun menyusul kawanan kera lainnya memanjat pohon itu.

Ketika seluruh kawanan kera tersebut sedang asyik memakan buah rambutan, Uder tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia segera mengumpulkan ranting-ranting kayu kering yang berserakan di sekitarnya dan menumpuknya di bawah pohon rambutan itu. Dengan cepat, ia mengeluarkan kedua batu kerikil dan damar dari saku celananya. Kedua batu kerikil itu ia gesekkan hingga mengeluarkan percikan api. Setelah damar itu menyala, ia menyelipkannya ke dalam tumpukan ranting kayu kering. Sebentar kemudian, api besar pun menyala dan membakar kawanan kera itu. Tidak satu pun kera yang selamat.

Uder Mancing pun bersorak gembira. Ia merasa puas, karena dirinya dapat mengelabui kawanan kera itu. Setelah itu, Uder lansung kembali ke tempat perahunya ditambatkan oleh kawanan kera itu. Sesampainya di tempat itu, ia melihat seekor kera betina yang sedang hamil besar. Kera betina itu pun merengek-rengek memohon kepada Uder Mancing agar tidak membunuhnya. Uder Mancing pun membiarkannya hidup. Konon, kera betina itulah yang menjadi nenek moyang dari kera yang ada di daerah tersebut.

Setelah itu, Uder Mancing langsung pulang ke gubuknya. Alangkah terkejut istrinya saat melihat suaminya pulang. Ia mengira suaminya telah meninggal dunia, karena sudah lima hari ia tidak pulang. Uder Mancing pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya. Sejak itu, Uder Mancing mulai berubah menjadi orang yang rajin. Setiap hari ia bersama istrinya sibuk menggarap ladangnya yang cukup luas. Ia pergi memancing jika pekerjaannya di ladang telah selesai. Akhirnya, lama kelamaan Uder Mancing dan istrinya menjadi orang kaya di kampungnya.

Cerita Sangi sang pemburu

Kalimantan Tengah (Kalteng) adalah salah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Kalimantan. Ibukotanya adalah Kota Palangka Raya. Luas: Prov Kalteng adalah  153.564 km²

Kalimantan merupakan pulau terbesar di Indonesia yang memiliki kekayaan alam berupa emas yang sangat melimpah. Logam berwarna kuning mengkilau itu banyak terdapat di dasar Sungai Kahayan. Di atas Sungai Kahayan yang panjangnya 600 kilometer tersebut, tampak sebuah pemandangan yang sangat menarik. Dari kejauhan kesan yang muncul adalah sebuah pemukiman terapung di tengah sungai. Kesan pemukiman terapung itu semakin kuat dengan adanya asap hitam yang mengepul tinggi ke angkasa. Setelah dilihat dari dekat, ternyata pemukiman itu adalah ribuan lanting (rakit kayu) tambang emas yang berbentuk rumah terapung berjejer hampir menutup semua alur sungai. Lanting-lanting tersebut berisi peralatan tambang berupa mesin yang setiap hari bekerja melakukan kegiatan penambangan, menyedot lumpur dan pasir dari dasar Sungai Kahayan untuk mencari emas.

Masyarakat di sekitar Sungai Kahayan meyakini bahwa keberadaan emas yang melimpah tersebut merupakan peninggalan leluhur mereka. Menurut cerita yang beredar, pada zaman dahulu kala, di daerah itu telah hidup seorang pemuda gagah yang bernama Sangi. Sehari-hari ia bekerja sebagai pemburu. Suatu hari, ketika ia sedang berburu di hutan, ia bertemu dengan seekor naga yang bisa menjelma menjadi pemuda tampan. Konon, siapapun yang bertemu dengan naga itu, maka ia juga akan menjadi naga jadi-jadian dan selalu awet muda. Inilah yang dialami Sangi, setelah bertemu dengan pemuda tampan itu, ia kemudian menjelma menjadi naga jadi-jadian dan selalu awet muda. Akan tetapi, Sangi harus mematuhi larangan yang diberikan oleh sang Pemuda yaitu tidak boleh menceritakan kejadian itu kepada orang lain. Suatu ketika, Sangi melanggar larangan itu, akibatnya ia pun berubah menjadi naga. Pada saat sebelum menceburkan dirinya ke dalam Sungai Kahayan, Sangi sempat membuang harta pusakanya berupa perhiasan dan kepingan-kepingan emas ke dalam Sungai Kahayan. Cerita ini berkembang di kalangan suku-bangsa Dayak Ngaju di Kabupaten Gunung Emas, Kalimantan Tengah, yang dikenal dengan cerita Sangi Sang Pemburu.

+++

Pada zaman dahulu kala, di Kalimantan Tengah, hiduplah seorang pemburu tangguh bernama Sangi. Ia sangat ahli dalam menyumpit binatang buruan. Sumpitnya selalu mengenai sasaran. Setiap kali berburu, ia selalu berhasil membawa pulang banyak daging binatang buruan.

Sangi tinggal di daerah aliran Sungai Mahoroi, anak Sungai Kahayan. Ia tinggal bersama keluarga dan kerabatnya. Mereka hidup dari bercocok tanam di ladang dan berburu. Ladang mereka masih sering berpindah-pindah. Selain itu, mereka juga mencari bahan pangan dari tumbuh-tumbuhan yang terdapat di hutan-hutan pedalaman.

Pada suatu hari, seperti biasa Sangi pergi berburu. Namun hari itu, ia sangat kesal. Dari pagi hingga sore, tidak seekor binatang buruan pun yang diperolehnya. Karena hari mulai senja, ia berniat pulang.

Dalam perjalanan pulang, Sangi melihat air tepi sungai sangat keruh. ”Sepertinya baru saja seekor babi hutan lewat di tepi sungai itu,” kata Sangi dalam hati. Karena penasaran, Sangi kemudian memeriksa bekas jejak kaki babi di tanah. Ternyata dugaan Sangi benar. Ia melihat bekas jejak kaki babi hutan di tanah menuju ke arah sungai. Dengan penuh harap, Sangi mengikuti arah jejak binatang itu. Tidak seberapa jauh dari sungai, ia menemukan babi hutan yang dicarinya. Namun sayang, sebagian dari tubuh babi hutan itu telah berada di mulut seekor naga. Pemandangan itu sangat mengerikan dan menakutkan Sangi. Ia tidak bisa berteriak. Dengan pelan-pelan, ia beranjak dari tempatnya berdiri lalu bersembunyi di tempat yang tidak jauh dari naga itu.

Dari balik tempatnya bersembunyi, Sangi menyaksikan naga itu berusaha menelan seluruh tubuh babi hutan. Meskipun naga itu telah mencobanya berulang-ulang, namun usahanya selalu gagal. Karena kesal, akhirnya naga itu pun menyerah. Dengan murka ia palingkan wajahnya ke arah Sangi yang sejak tadi memerhatikannya.

Mengetahui hal tersebut, Sangi sangat ketakutan. Badannya gemetaran. ”Waduh gawat! Naga itu ternyata mengetahui keberadaan saya di sini. Jangan-jangan...naga itu hendak memangsa saya,” gumam Sangi dengan cemasnya. Baru saja ucapan itu lepas dari mulut Sangi, dalam sekejap mata bayangan naga itu menghilang dan menjelma menjadi seorang pemuda tampan. Sangi sangat heran. Ketakutannya berubah menjadi ketakjuban.

Tiba-tiba, pemuda tampan itu menghampiri Sangi dan memegang lengannya. “Hei, anak muda! Telan babi hutan itu! Kamu tidak seharusnya mengintip naga yang sedang menelan mangsanya!” bentak pemuda tampan itu. ”Saa…saa…ya…tidak bisa,” kata Sangi ketakutan. ”Bagaimana mungkin saya dapat menelan babi hutan sebesar itu?” tambahnya. “Turuti perintahku! Jangan membantah!” seru pemuda tampan itu tak mau dibantah.

Mendengar bentakan itu, Sangi tidak bisa menolak apa yang diperintahkan pemuda tampan itu. Sangi kemudian mendekati babi yang tergeletak di tanah tak jauh darinya. Sungguh ajaib, dengan mudah Sangi menelan babi hutan itu, seolah-olah ia seekor naga besar. Sangi pun terheran-heran pada dirinya sendiri. ”Kenapa hal ini bisa terjadi? Ini benar-benar tidak masuk akal,” kata Sangi dalam hati. “Karena kamu telah mengintip naga yang tengah memakan mangsanya, maka sejak itu pula kamu telah menjadi naga jadi-jadian. Kamu tidak dapat menolak apa yang sudah terjadi,” ujar pemuda tampan itu menjelaskan.

”Apa? Aku tidak mau jadi seekor naga jadi-jadian. Aku mau jadi manusia biasa!” seru Sangi tidak terima. ”Tuan, jadikan aku menusia biasa saja!” serunya memohon. Mendengar permohonan Sangi, pemuda tampan itu tertawa terbahak-bahak, ”Haa...haa...haa..., kamu tak perlu cemas anak muda. Selama kamu dapat merahasiakan kejadian ini, kamu dapat terus menjadi manusia,” jelas si pemuda tampan. Bernakah itu tuan?” tanya Sangi tak percaya. Karena masih dihantui rasa penasaran, Sangi kemudian bertanya lagi kepada pemuda tampan itu, ”Apa keistimewaan menjadi seekor naga jadi-jadian itu?” sambil tersenyum, pemuda tampan itu menjawab, ”Sebenarnya kamu orang yang sangat beruntung. Dengan demikian, kamu akan terus awet muda. Banyak orang ingin awet muda, akan tetapi tidak bisa. Sedangkan kamu, dengan mudah mendapatkannya”. Sangi sangat senang mendengar jawaban itu, ”Wah, menyenangkan sekali kalau begitu, Saya bisa hidup selama beratus-ratus tahun.” Lalu, Sangi bertanya kembali, ”Apa larangannya?” Pemuda tampan itu menjawab, ”Kamu tidak boleh menceritakan hal ini kepada siapa pun. Jika kamu melanggarnya, wujudmu akan menjelma menjadi seekor naga. Kamu paham?” tanya pemuda tampan itu. ”Wah...mudah sekali larangannya tuan. Kalau begitu saya bersedia untuk mematuhi larangan itu,” jawab Sangi dengan mantap. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba pemuda tampan di hadapannya itu menghilang entah ke mana. Sangi pun bergegas pulang ke rumahnya.

Sejak itu, Sangi terus menjaga agar rahasianya agar tidak diketahui orang lain, termasuk kerabat dan keluarga terdekatnya. Dengan begitu, ia tetap awet muda sampai usia 150 tahun. Hal ini membuat para kerabat, anak cucu, dan cicitnya ingin mengetahui rahasianya hingga tetap awet muda. Mereka juga ingin seperti Sangi. Panjang umur, sehat, dan awet muda.

Setiap hari, mereka terus bertanya kepada Sangi mengenai rahasianya. Karena didesak terus-menerus, akhirnya Sangi membeberkan rahasia yang telah lama ditutupinya. Dengan demikian, Sangi telah melanggar larangan yang dikiranya mudah itu. Akibatnya, tubuhnya mulai berganti rupa menjadi seekor naga. Kedua kulit kakinya pelan-pelan berganti menjadi sisik tebal, dan akhirnya berubah menjadi seekor naga yang besar dan panjang. Menyadari hal itu, Sangi kemudian menyalahkan seluruh keturunannya yang terus mendesaknya hingga ia membeberkan rahasianya. Hal inilah yang membuat Sangi sangat marah dan geram. ”Kalian memang jahat! Kalian semua akan mati!” seru Sangi dengan geram.

Setelah itu, Sangi lari ke sana ke mari dengan marah. Seluruh badannya terasa panas Akhirnya, tubuhnya menjelma menjadi seekor naga. Sebelum menceburkan diri ke dalam sungai, ia sempat mengambil harta pusaka yang lama disimpannya dalam sebuah guci Cina. Guci itu berisi perhiasan dan kepingan-kepingan emas. Sangi terus berlari ke sungai. Setibanya di Sungai Kahayan, ia segera menyebarkan perhiasan dan kepingan-kepingan emas itu sambil berseru, ”Siapa saja yang berani mendulang emas di daerah aliran sungai ini, maka ia akan mati. Emas-emas itu akan menjadi tumbal kematiannya!”

Setelah itu, Sangi yang telah menjelma menjadi seekor naga, menceburkan diri ke dalam hulu sungai. Sejak itu, ia menjadi penjaga Sungai Kahayan. Anak Sungai Kahayan itu kemudian disebut pula sebagai Sungai Sangi. Anak keturunan Sangi yang mempertanyakan rahasianya banyak yang meninggal setelah itu.

*  *  *

Suku Dayak Ot Danum dan Ngaju di Kalimantan Tengah mempercayai bahwa peristiwa dalam cerita di atas benar-benar pernah terjadi. Menurut beberapa orang yang sering berlayar dengan biduk atau perahu motor, mereka pernah melihat seekor ular raksasa. Kepalanya berukuran sebesar drum minyak tanah. Di musim kemarau, biasanya mereka melihat ular raksasa itu sedang melingkar di atas bongkahan batu-batu Sungai Kahayan pada saat bulan purnama. Ular raksasa atau naga itu adalah jelmaan Sangi. Sesuai dengan sumpahnya sebelum menceburkan diri ke dalam Sungai Kahayan, bahwa siapa pun yang mendulang emas di sungai akan mati, maka ia sering muncul di musim kemarau, karena pada musim itu penduduk di sekitarnya berramai-ramai melakukan penambangan emas di daerah itu.

Hingga kini, seiring dengan surutnya air Sungai Kahayan pada saat musim kemarau, bermunculan ribuan penambang emas di permukaan sungai. Lanting (rakit kayu) tambang emas tumbuh berjejeran di sepanjang alur sungai. Rakit-rakit tersebut dilengkapi dengan mesin sedot penambangan emas. Setiap mesin sedot dijalankan empat hingga lima orang. Mereka tidak hanya menyedot pasir di tepi sungai, akan tetapi juga di tengah-tengah sungai. Akibatnya, sejumlah tebing di pinggiran sungai menjadi longsor, sehingga menyebabkan sungai menjadi dangkal. Selain itu, pohon-pohon yang ada di tepian sungai bertumbangan dan kemudian hanyut terbawa arus sungai, sehingga menyebabkan lalu lintas sungai terganggu. Bahkan, pohon kayu yang hanyut tersebut sering kali menghantam perahu yang melaju dengan kecepatan tinggi.

Kegiatan penambangan emas tersebut pada umumnya dilakukan secara tidak resmi alias tidak memiliki izin dari pemerintah. Namun, pemerintah setempat tidak bisa berbuat banyak karena mereka menyadari bahwa keberadaan penambang emas tersebut tidak lepas dari kebutuhan masyarakat mencari nafkah. Pemerintah setempat hanya berharap agar seluruh penambang emas yang ada di Sungai Kahayan tersebut mengantongi Surat Izin Pertambangan Rakyat Daerah (SIPRD) dari pemerintah setempat.

Cerita di atas termasuk dalam cerita teladan yang mengandung nilai-nilai moral. Adapun nilai moral yang terkandung di dalamnya adalah setiap orang harus menepati janjinya. Jika janji itu diingkari, maka akan mencelakakan dirinya sendiri. Hal ini tercermin pada sifat Sangi yang telah mengingkari janjinya untuk tidak menceritakan peristiwa yang pernah ia alami bersama pemuda itu. Akibatnya, ia kemudian menjelma menjadi seekor naga

- Copyright © Regina Theyser - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -