Archive for 2011

Para Peminpin Dunia dan Anak-anak

Mantan Presiden USA - Bush

Presiden Venezuela - Hugo Chaves

Mantan PM Inggris - Tony Blair

Presiden USA Barack Obama

Presiden Prancis Sarkozy

PM Russia - Alexander Putin

PM Inggris David Cameron

Presiden Russia Dmitri Medvedev

Legenda Buaya Ajaib sungai Tami

Dahulu, di Kampung Sawjatami yang terletak di tepi Sungai Tami, Jayapura, Papua, hiduplah seorang laki-laki bernama Towjatuwa. Ia tinggal bersama istrinya di sebuah honai (rumah adat orang Papua). Saat itu, sang istri sedang hamil tua, waktu kelahirannya tinggal menunggu beberapa hari lagi.

Pada hari yang telah diperkirakan, sang istri pun telah memperlihatkan tanda-tanda akan melahirkan. Ia tiba-tiba menggigil tanpa sebab yang jelas, sebagai tanda awal kelahiran, dan mulai mengalami pendarahan. Namun, sudah berjam-jam darah terus keluar, sang bayi di dalam rahimnya tak kunjung keluar. Towjatuwa menjadi panik dan bingung mesti berbuat apa. Maka, pergilah ia ke rumah seorang dukun di kampung itu.

“Nek, tolong istri saya,” pinta Towjatuwa, “Ia akan melahirkan.”

“Baiklah, kau pulanglah dulu, aku segera menyusulmu,” kata nenek sang dukun bayi itu.
Towjatuwa pun bergegas kembali ke rumahnya. Sementara itu, sang dukun menyiapkan alat persalinannya, lalu kemudian berangkat ke rumah Towjatuwa. Setiba di sana, ia mendapati istri Towjatuwa menjerit-jerit kesakitan.

“Nek, tolong aku. Perutku sakit sekali,” rintih istri Towjatuwa.

“Tenang, Cucuku,” kata sang dukun.

Nenek dukun itu pun segera memeriksa kondisi istri Towjatuwa. Towjatuwa terlihat semakin resah, ia sangat takut jika terjadi apa-apa pada istrinya.

“Bagaimana keadaannya, Nek? Kenapa istriku belum juga melahirkan?” tanya Towjatuwa.
“Maaf, Towjatuwa. Sepertinya istrimu mendapat masalah. Bayi di dalam kandungan istrimu terlalu besar sehingga susah untuk keluar,” kata dukun itu.

“Lalu, bagaimana cara menolongnya, Nek?” tanya Towjatuwa.

“Aku membutuhkan rumput air dari Sungai Tami,” jawab nenek dukun.
Towjatuwa segera berlari menuju Sungai Tami. Setiba di sana, ia pun langsung mencari rumput air yang dimaksud oleh nenek dukun. Ia sudah mencari ke sana ke mari, namun rumput air itu belum juga ditemukannya. Ketika ia hendak melanjutkan pencarian, tiba-tiba terdengar suara mengerang dari arah belakangnya.

“Hai, suara apa itu!” serunya dengan kaget.

Begitu Towjatuwa menoleh ke belakang, tampaklah seekor buaya besar di belakangnya. Anehnya, punggung buaya itu ditumbuhi bulu-bulu burung kasuari. Buaya itu tampak sangat menyeramkan. Towjatuwa yang ketakutan hendak melarikan diri sebelum dirinya dimangsa oleh buaya itu. Namun, ketika ia mau meninggalkan tempat itu, tiba-tiba langkahnya terhenti oleh sebuah suara teguran.

“Tunggu dulu, Towjatuwa!” seru suara itu.

Towjatuwa pun menghentikan langkahnya dan kemudian menoleh ke arah buaya itu.
“Apakah kamu yang memanggilku?” tanya Towjatuwa heran.

“Benar, Towjatuwa. Akulah yang memanggilmu,” jawab buaya itu, “Namaku Watuwe, penguasa di Sungai Tami ini.”

Alangkah terkejutnya Towjatuwa mendengar jawaban dari buaya itu. Ia seolah-olah tidak percaya bahwa ternyata buaya itu dapat berbicara seperti manusia. Buaya itu tiba-tiba mengerang kesakitan. Ternyata, ekor buaya itu terjepit batu besar. Towjatuwa yang iba melihat penderitaan buaya itu segera menolong dengan memindahkan batu besar yang menjepit ekor Watuwe.

Setelah itu, Towjatuwa berniat pergi untuk melanjutkan pencarian rumput air. Namun, Watuwe kembali menghentikan langkahnya.

“Sebentar, Towjatuwa! Kalau aku boleh tahu, apa yang sedang kamu cari di tempat ini?” tanya Watuwe.

“Aku sedang mencari rumput air untuk membantu kelahiran istriku. Tapi, aku belum menemukannya,” jawab Towjatuwa.

“Jangan khawatir, Towjatuwa,” ujar Watuwe, “Karena engkau telah menolongku, maka aku pun akan menolongmu. Tunggu aku di rumahmu nanti malam.”

“Terima kasih sebelumnya, Watuwe,” ucap Towjatuwa dengan perasaan senang.

Hari sudah sore. Towjatuwa pun bergegas pulang ke rumahnya. Malam harinya, buaya Watuwe datang ke rumah Towjatuwa. Istri Towjatuwa masih tampak kesakitan di atas pembaringan. Perlahan-lahan, buaya yang sakti itu mendekat untuk mengobatinya. Alhasil, dengan kekuatan ajaibnya, istri Towjatuwa pun melahirkan seorang anak laki-laki dengan selamat. Bayi itu diberi nama Narrowra.

“Terima kasih, Watuwe,” ucap Towjatuwa dan istrinya.

“Sama-sama, Towjatuwa. Aku pun berterima kasih karena engkau telah menolongku,” kata Watuwe seraya berpamitan.

Sebelum meninggalkan rumah itu, Watuwe mengatakan sesuatu kepada Towjatuwa tentang anaknya.

“Ketahuilah, Towjatuwa. Kelak anak kalian akan tumbuh menjadi pemburu yang handal,” ungkap Watuwe, “Namun, aku berpesan kepada kalian, tolong jangan pernah membunuh dan memakanku. Jika suatu saat aku mati, ambillah kantung air seniku, lalu bawalah kantung itu ke Gunung Sankria. Di sana, manusia langit telah menanti kalian dan akan memberi petunjuk mengenai apa yang harus kalian lakukan.”

Towjatuwa dan istrinya amat berterima kasih kepada Watuwe karena telah menolong kelahiran anak mereka.

“Istriku, walaupun Watuwe berwujud binatang, ia sangat baik dan penyayang. Entah apa yang dapat kita perbuat untuk membalas budi baiknya kepada kita,” kata Towjatuwa kepada istrinya.
“Satu-satu cara yang bisa kita lakukan untuk membalas kebaikannya adalah mengingat dan melaksanakan semua pesannya,” ujar sang istri.

“Kamu, benar istriku,” kata Towjatuwa.
Sejak itulah, Towjatuwa dan keturunannya selalu melindungi buaya ajaib itu serta buaya-buaya lainnya yang berada di Sungai Tami.

Legenda Gunung Kelud

Gunung Kelud merupakan sebuah gunung api yang terletak di Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Indonesia. Meskipun telah puluhan kali meletus dan memakan relatif banyak korban jiwa sejak abad ke-15 sampai abad ke-20, gunung api ini menjadi salah satu obyek wisata menarik di daerah itu karena keindahan panorama alamnya. Gunung yang memiliki ketinggian 1.730 meter di atas permukaan laut ini semakin menarik minat para pengunjung karena setiap tanggal 23 Suro (penanggalan Jawa) masyarakat setempat menggelar acara arung sesaji. Pagelaran acara tersebut merupakan simbol Condro Sengkolo atau sebagai penolak bala dari bencana akibat pengkhianatan cinta yang dilakukan oleh putri Kerajaan Majapahit terhadap seorang pemuda bernama Lembu Sura. Bagaimana penghianatan cinta itu terjadi? Ikuti kisahnya dalam cerita Legenda Gunung Kelud berikut ini.

Alkisah, di daerah Jawa Timur, ada seorang raja bernama Raja Brawijaya yang bertahta di Kerajaan Majapahit. Ia mempunyai seorang putri yang cantik jelita bernama Dyah Ayu Pusparani. Sang Putri memiliki keindahan tubuh yang sangat memesona, kulitnya lembut bagai sutra, dan wajahnya elok berseri bagaikan bulan purnama. Sudah banyak pengeran datang melamar, namun Prabu Brawijaya belum menerima satu pun lamaran agar tidak terjadi kecemburuan di antara pelamar yang lain. Di sisi lain, penguasa Majapahit itu juga tidak ingin menolak secara langsung karena takut mereka akan menyerang kerajaannya.

Setelah berpikir keras, Prabu Brawijaya menemukan sebuah cara, yaitu ia akan mengadakan sayembara bahwa barang siapa yang berhasil merentang busur sakti Kyai Garudayeksa dan mengangkat gong Kyai Sekardelima maka dialah yang berhak mempersunting putrinya. Ia memerintahkan para pengawalnya untuk menyampaikan pengumuman tersebut kepada seluruh rakyatnya, termasuk kepada para raja dan pangeran dari kerajaan-kerajaan di sekitarnya.

Pada saat yang telah ditentukan, para peserta dari berbagai negeri telah berkumpul di alun-alun (lapangan, halaman) istana Kerajaan. Prabu Brawijaya pun tampak duduk di atas singgasananya dan didampingi oleh permaisuri dan putrinya. Setelah busur Kyai Garudyeksa dan gong Kyai Sekadelima disiapkan, Prabu Brawijaya segera memukul gong pertanda acara dimulai. Satu persatu peserta sayembara mengeluarkan seluruh kesaktiannya untuk merentang busur dan mengangkat gong tersebut, namun tak seorang pun yang berhasil. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang mendapat musibah. Ada yang patah tangannya karena memaksakan diri merentang busur sakti itu, dan ada pula yang patah pinggangnya ketika mengangkat gong besar dan berat itu.

Ketika Prabu Brawijaya akang memukul gong untuk menutup sayembara itu, tiba-tiba datanglah seorang pemuda berkepala lembu hendak mengandu keberuntungan.
“Ampun, Gusti Prabu! Apakah hamba diperkenankan mengikuti sayembara ini?” pinta pemuda itu.
“Hai, pemuda aneh! Siapa namamu?” tanya Prabu Brawijaya.
“Nama saya Lembu Sura,” jawab pemuda itu.

Prabu Brawijaya beranggapan bahwa pemuda itu tidak akan mampu merentang busur sakti dan mengangkat gong besar itu. Ia pun mengizinkannya mengikuti sayembara itu sebagai peserta terakhir.
“Baiklah! Kamu boleh mengikuti sayembara ini,” ujar Prabu Brawijaya.

Lembu Sura pun menyanggupi persyaratan itu. Dengan kesaktiannya, ia segera merentang busur Kyai Garudayaksa dengan mudah. Keberhasilan Lembu Sura itu diiringi oleh tepuk tangan para penonton yang sangat meriah. Sementara itu, Putri Dyah Ayu Pusparani terlihat cemas, karena ia tidak ingin bersuamikan manusia berkepala lembu.

Ketika Lembu Sura menghampiri gong Sekardelima, semua yang hadir tampak tegang, terutama sang Putri. Ia sangat berharap agar Lembu Sura gagal melewat ujian kedua itu. Tanpa diduganya, pemuda berkepala lembu itu ternyata mampu mengangkat gong Sekardelima dengan mudah. Tepuk tangan penonton pun kembali bergema, sedangkan Putri Dyah Ayu Purpasari hanya terdiam. Hatinya sangat sedih dan dan kecewa.
“Aku tidak mau bersuami orang yang berkepala lembu,” seru sang Putri seraya berlari masuk ke dalam istana.

Mendengar ucapan putrinya itu, Prabu Brawijaya langsung terkulai karena telah mengecewakan putrinya. Namun sebagai seorang raja, ia harus menepati janjinya untuk menjaga martabatnya. Dengan demikian, Putri Dyah Ayu Pusparani harus menerima Lembu Sura sebagai suaminya.
`Hadirin sekalian! Sesuai dengan janjiku, maka Lembu Sura yang telah memenangkan sayembara ini akan kunikahkan dengan putriku!” seru Prabu Brawijaya.

Seluruh pesarta sayembara pun berlomba-lomba memberikan ucapan selamat kepada Lembu Sura. Sementara itu, di dalam istana, Putri Dyah Ayu Pusparani menangis tersedu-sedu meratapi nasibnya. Berhari-hari ia mengurung diri di dalam kamar. Ia tidak mau makan dan minum. Melihat tuannya sedang sedih, seorang Inang pengasuh berusaha membujuk dan menasehatinya.
“Ampun, Tuan Putri! Jika Tuan Putri tidak mau menikah dengan Lembu Sura, sebaiknya Tuan Putri segera mencari jalan keluar sebelum hari pernikahan itu tiba,” ujar Inang pengasuh.

Mendengar nasehat itu, sang Putri langsung terperanjat dari tempat tidurnya.
“Benar juga katamu, Mak Inang! Kita harus mencari akal agar pernikahanku dengan orang yang berkepala lembu itu dibatalkan. Tapi, apa yang harus kita lakukan? Apakah Mak Inang mempunyai usul?” tanya sang Putri bingung.

Inang pengasuh hanya terdiam. Sejenak, suasana menjadi hening. Setelah berpikir keras, akhirnya Inang pengasuh menemukan sebuah jalan keluar.
“Ampun, Tuan Putri! Bagaimana kalau Tuan Putri meminta satu syarat yang lebih berat lagi kepada Lembu Sura?” usul Inang pengasuh.
“Apakah syarat itu, Mak Inang?” tanya sang Putri penasaran.
“Mintalah kepada Lembu Sura agar Tuan Putri dibuatkan sebuah sumur di puncak Gunung Kelud untuk tempat mandi kalian berdua setelah acara pernikahan selesai. Tapi, sumur itu harus selesai dalam waktu semalam,” usul Mak Inang.

Putri Dyah Ayu Pusparani pun menerima usulan Inang pengasuh dan segera menyampaikannya kepada Lembu Sura. Tanpa berpikir panjang, Lembu Sura menyanggupi persyaratan itu. Pada sore harinya, berangkatlah ia ke Gunung Kelud bersama keluarga istana, termasuk sang Putri.

Setibanya di Gunung Kelud, Lembu Sura mulai menggali tanah dengan menggunakan sepasang tanduknya. Dalam waktu tidak berapa lama, ia telah menggali tanah cukup dalam. Ketika malam semakin larut, galian sumur itu semakin dalam. Lembu Sura sudah tidak tampak lagi dari bibir sumur. Melihat hal itu, Putri Dyah Ayu Pusparani semakin panik. Ia pun mendesak ayahandanya agar menggagalkan usaha Lembu Sura membuat sumur.
“Ayah! Apa yang harus kita lakukan? Putri tidak mau menikah dengan Lembu Sura,” keluh sang Putri dengan bingung.

Prabu Brawijaya pun tidak ingin mengecewakan putri kesayangannya untuk yang kedua kalinya. Setelah berpikir keras, akhirnya ia menemukan sebuah cara untuk menghabisi nyawa Lembu Sura.
“Pengawal! Timbun sumur itu dengan tanah dan bebatuan besar!” seru Prabu Brawijaya.

Tak seorang pun pengawal yang berani membantah. Mereka segera melaksanakan perintah rajanya. Lembu Sura yang berada di dalam sumur berteriak-teriak meminta tolong.
“Tolooong...! Tolooong...! Jangan timbun aku dalam sumur ini!” demikian teriakan Lemu Sura.

Para pengawal tidak menghiraukan teriakan Lembu Suara. Mereka terus menimbun sumur itu dengan tanah dan bebatuan. Dalam waktu sekejap, Lembu Sura sudah terkubur di dalam sumur. Meski demikian, suaranya masih terdengar dari dalam sumur. Lembu Sura melontarkan sumpah kepada Prabu Brawijaya dan seluruh rakyat Kediri karena sakit hati.
“Yoh, Kediri mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping kaping yaiku Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, Tulungagung bakal dadi Kedung".
(Wahai orang-orang Kediri, suatu saat akan mendapatkan balasanku yang sangat besar. Kediri bakal jadi sungai, Blitar akan jadi daratan, dan Tulungagung menjadi daerah perairan dalam).

Dalam sumpahnya, Lembu Sura berjanji bahwa setiap dua windu sekali dia akan merusak seluruh wilayah kerajaan Prabu Brawijaya. Mendengar ancaman itu, Prabu Brawijaya dan seluruh rakyatnya menjadi ketakutan. Berbagai usaha pun dilakukan untuk menangkal sumpah Lembu Sura tersebut. Ia memerintahkan para pengawalnya agar membangun sebuah tanggul pengaman yang kokoh (kini telah berubah menjadi gunung bernama Gunung Pegat) dan menyelenggarakan selamatan yang disebut dengan larung sesaji. Meski demikian, sumpah Lembu Sura tetap juga terjadi. Setiap kali Gunung Kelud meletus, masyarakat setempat menganggap hal itu merupakan amukan Lembu Sura sebagai pembalasan dendam atas tindakan Prabu Brawijaya dan Putrinya.

Demikian kisah Legenda Gunung Kelud dari daerah Kediri, Jawa Timur. Hingga saat ini, masyarakat Kediri, khususnya masyarakat Desa Sugih Waras, secara rutin (yaitu setiap tanggal 23 Syura) menyelenggarakan acara selamatan larung sesaji di sekitar kawah Gunung Kelud. Setidaknya ada dua pelajaran yang dapat dipetik dari carita di atas yaitu pertama bahwa hendaknya kita jangan suka meremehkan kemampuan seseorang dengan hanya melihat bentuk fisiknya karena siapa mengira di balik semua itu tersimpan kekuatan yang luar biasa.

Hotel Es di Belanda



Seorang pelayan membersihkan ruangan dari Lumen Ice- hotel di Zwolle, Belanda, Dec.15 2011. Hotel yang baru-dibuka adalah hotel es pertama di Belanda yang memiliki tiga kamar, dan suhu di dalam terus dikurangi empat derajat Celcius. Ini akan menerima tamu hanya untuk dua bulan, biaya per orang per malam 99,50 Euro

Photo Air yang Indah dan fantastis





Cory White, fotografer yang berumur 63 ini berasal dari Kanada. Dia telah 3 tahun menggunakan kamera yang berlensa mikro 100 mm untuk menangkap momen-momen indah.
Payung mungil yang berjumbai, Spider Man, alien, jamur kecil ... kesemuanya ini sebenarnya adalah air yang merencis.

Asal Usul orang Basap Rumpun suku Dayak - Kaltim

Orang Basap adalah salah satu rumpun suku Dayak di Kalimantan Timur yang tinggal di wilayah Bontang dan Sangkulirang. Menurut cerita, Orang Basap merupakan keturunan orang-orang Cina yang kawin dengan suku Dayak Punan. Meskipun Orang Basap pada umumnya tidak berkulit kuning, tetapi mata mereka tetap sipit seperti orang Cina. Bagaimana perkawinan campuran antara dua suku yang berbeda ini bisa terjadi? Simak kisahnya dalam cerita Asal Usul Orang Basap berikut ini.

Dahulu, di Tepian Batu atau Kutai Lama, Kalimantan Timur, berdiri sebuah kerajaan bernama Kerajaan Kutai Kartanegara. Kerajaan itu didirikan oleh Maharaja Aji Batara Agung Dewa Sakti yang memerintah dari tahun 1300-1325 Masehi. Konon, sang Maharaja gemar bermain sabung ayam. Ia mempunyai seekor ayam jantan yang sakti bernama Ujung Perak Kemudi Besi. Ayam itu selalu menang dalam setiap pertarungan. Namanya pun sudah terkenal hingga ke luar negeri karena ayam jago itu telah mengalahkan ayam jago milik raja-raja dari Jawa, Brunei, dan lainnya.

Kabar tentang kesaktian Ujung Perak Kemudi Besi tersebar hingga ke Negeri Cina. Mendengar kabar tersebut, Pangeran Cina pun bermaksud untuk menjajal kesaktian ayam jago milik sang Maharaja itu. Dengan diiringi ratusan awak kapal dan pasukan, pangeran itu bertolak menuju Kutai dengan menggunakan sebuah kapal besar. Sang Pangeran juga membawa 15 ekor ayam jago miliknya yang paling unggul.

Dalam perjalanan menuju Kutai, rombongan Pangeran Cina mampir mengunjungi beberapa negeri seperti Campa, Brunei, Sumatra, dan Jawa. Di setiap negeri yang disinggahinya, sang Pangeran selalu menyempatkan diri mengadu salah satu ayam jagonya, dan ayam itu selalu menang.

“Ayam jagoku pasti akan mampu mengalahkan ayam jago milik Raja Kutai,” sang Pangeran Cina percaya diri.

Beberapa hari kemudian, rombongan Pangeran Cina akhirnya tiba di Kutai. Sang Pangeran pun langsung menghadap Maharaja Aji Batara Agung Dewa Sakti dan mengutarakan maksud kedatangannya.

“Hamba datang dari negeri Cina. Hamba menghadap ke mari untuk mengadu ayam jago hamba dengan ayam jago milik Baginda yang terkenal sakti itu,” kata Pangeran Cina.

“Wah, Pangeran jauh-jauh dari Cina hanya untuk mengadu ayam?” tanya Maharaja Kutai dengan santai.

“Benar, Baginda. Hamba membawa 15 ayam jago hamba untuk diadu dengan ayam jago Baginda,” jawab sang Pangeran.

Maharaja Kutai Kartanegara terdiam sejenak sambil mengelus-elus jenggotnya. Semula ia ragu karena Pangeran Cina itu membawa 15 ayam jago. Tentu saja ayam jagonya akan kewalahan menghadapi semua ayam jago tersebut. Namun karena yakin dengan kesaktian Ujung Perak Kemudi Besi, ia pun menerima tantangan Pangeran Cina itu.

“Baiklah, Pangeran. Aku terima tantanganmu. Lalu, bagaimana dengan aturan dan taruhannya?” tanya Maharaja Kutai.

“Maaf, Baginda. Ayam jago hamba akan diadu dengan ayam jago Baginda setiap hari. Taruhan setiap ekor ayam hamba adalah 100 bungkal emas sebesar lutut dan sebutir berlian sebesar telur merpati,” jawab Pangeran Cina.

“Baiklah, aku setuju dengan tawaran itu. Pertarungan ini akan kita mulai besok,” ujar Maharaja Kutai Kartanegara.

Maharaja Kutai Kartanegara segera memerintahkan para prajuritnya untuk menyiapkan gelanggang sabung ayam di depan istana. Keesokan harinya, banyak rakyat Kutai dan yang datang untuk menyaksikan jalannya pertarungan itu. Para prajurit istana pun tidak mau ketinggalan ingin menonton acara yang bakal berlangsung seru itu. Maharaja Kutai sudah terlihat duduk di singgasananya dengan didampingi oleh permaisuri tercinta. Sementara itu, di sisi lain gelanggang, Pangeran Cina dengan para pengawalnya juga sudah bersiap-siap.
Setelah semua persiapan selesai, gong pun dibunyikan pertanda dimulainya pertandingan. Kedua belah pihak segera melepaskan ayam jago masing-masing ke arena. Kedua ayam jago itu pun berkokok bersahut-sahutan seraya mengambil ancang-ancang untuk saling menyerang. Suasana penonton yang semula riuh rendah tiba-tiba menjadi hening.

Sesaat kemudian, kedua ayam jago itu mulai bertarung. Ayam jago Pangeran Cina mulai menyerang dengan beringas. Namun, dengan gesit, ayam jago Maharaja Kutai berkelit menghindari serangan. Ayam jago Pangeran Cina terus menyerang bertubi-tubi. Ujung Perak Kemudi Besi milik Maharaja Kutai pun selalu bisa menghindar. Lama-kelamaan, ayam jago Pangeran Cina kehabisan tenaga. Kesempatan itu tidak disiakan-siakan oleh ayam jago Maharaja Kutai. Dengan sekali serang, ayam jago Pangeran Cina pun tewas terkena taji. Sorak-sorai penonton pun kembali bergumuruh.

“Hidup Ujung Perak Kemudi Besi! Hidup Maharaja Kutai!” demikian teriakan penonton memberi semangat.

Ayam jago Pangeran Cina yang pertama telah tewas. Pertarungan akan dilanjutkan pada esok harinya di mana Ujung Perak Besi akan menghadapi ayam jago yang kedua milik Pangeran Cina. Pertarungan pada hari kedua itu juga dimenangkan oleh ayam jago Raja Kutai. Demikian seterusnya hingga hari ke-14. Ayam jago milik Pangeran Cina pun tinggal satu yang tersisa. Selain itu, sang Pangeran juga telah kehabisan taruhan. Kini, Maharaja Kutai yang berbalik menantang pangeran dari Cina itu.

“Bagaimana Pangeran, apakah pertarungan ini akan kita lanjutkan?” tanya Maharaja Kutai.
“Iya, Baginda. Hamba akan mempertaruhkan kapal hamba dan seluruh isinya. Tapi, hamba minta Baginda juga mau mempertaruhkan kerajaan Baginda beserta isinya,” pinta Pangeran Cina.

Mendengar permintaan itu, Raja Kutai terhenyak. Rakyat pun ikut tercengang dan cemas. Maharaja Kutai masih diam. Pikirannya diselimuti perasaan bimbang. Baginya, taruhan itu terlalu besar. Tapi, jika tidak menerima tawaran itu, ia akan merasa malu. Di tengah-tengah kebimbangannya, tiba-tiba Ujung Perak Kemudi Besi berkokok dengan suara nyaring sambil mengepak-epakan kedua sayapnya. Hal itu seolah-olah memberi isyarat kepada tuannya agar menerima tawaran itu. Raja Kutai pun memahami keinginan ayam jagoannya.

“Baiklah, Pangeran. Aku terima tawaranmu,” jawab Raja Kutai dengan penuh keyakinan, “Tapi, ingat! Pangeran jangan mengingkari janji. Jika salah satu dari kita mengingkari janji, ia akan mendapat hukuman dari Sang Hyang Dewata.”

Pangeran Cina menyetujui perjanjian itu. Akhirnya, pertarungan itu pun dimulai. Ayam jago kedua belah pihak segera dilepaskan ke arena. Pertarungan kali ini semakin sengit karena ayam jago yang akan dihadapi Ujung Perak Kemudi Besi merupakan ayam paling tangguh milik Pangeran Cina. Seluruh penduduk Kutai pun semakin cemas.

Saat pertarungan dimulai, kedua ayam jago tersebut silih berganti menyerang. Pertarungan itu sudah berlangsung beberapa waktu, namun belum dapat dipastikan jago mana yang akan menang. Kesaktian keduanya masih tampak seimbang. Begitu matahari mulai tenggelam, ayam jago Pangeran Cina sudah kelelahan. Sebaliknya, ayam si Ujung Perak justru semakin tangkas. Sepakannya semakin kuat dan patukannya pun bertambah kuat. Tidak berapa kemudian, ayam jago Pangeran Cina pun tewas. Melihat hal itu, seluruh rakyat Kutai bersorak gembira meryakan kemenangan Ujung Perak Kemudi Besi.

Maharaja Kutai segera memerintahkan para prajuritnya untuk mengambil semua layar dan dayung yang ada di kapal agar Pangeran Cina dan pasukannya tidak melarikan diri. Namun, Maharaja Kutai masih berbelas kasihan

“Khusus malam ini, aku izinkan Pangeran dan seluruh prajurit Pangeran tidur di kapal itu,” ujar Raja Kutai.

“Terima kasih, Baginda,” jawab Pangeran Cina.

Pangeran Cina dan rombongannya pun kembali kapal yang sudah menjadi milik Raja Kutai. Ketika hari sudah larut, lampu-lampu di kapal itu dimatikan. Pangeran Cina dan anak buahnya bukannya beristirahat, melainkan mengadakan rapat secara diam-diam. Rupanya, mereka sedang merencanakan sisat untuk bisa melarikan diri.

“Bagaimana caranya kita melarikan diri, Pangeran? Bukankah layar dan dayung kita sudah dirampas oleh Raja Kutai?” tanya salah seorang prajurit dengan bingung.
Sejenak, Pangeran Cina terdiam. Ia pun kebingunan mencari jalan keluar. Di tengah kebimbangan itu, tiba-tiba juru masak angkat bicara.

“Maaf, Pangeran. Bolehkah hamba usul?” pinta juru masak itu.
“Apakah itu? Cepat katakan!” desak sang Pangeran.

“Bukankah kita masih mempunyai layar yang sudah robek di gudang? Bagaimana kalau layar itu kita jahit saja?” usul juru masak.

Sang Pangeran pun langsung menerima usulan itu. Ia kemudian memerintahkan para prajuritnya untuk menjahit layar itu di sebuah bukit. Ia juga memerintahkan prajuritnya untuk membuat sejumlah dayung di bukit tersebut. Keesokan harinya, mereka pun selesai menjahit bagian layar yang robek. Konon, bukit itu kemudian dinamakan Gunung jahitan Layar. Demikian pula dayung yang mereka buat juga sudah selesai.

Pada malam harinya, Pangeran Cina pun bertolak meninggalkan pelabuhan Kutai dengan kapal itu. Prajurit Maharaja Kutai yang mengetahui hal itu segera melapor.

“Ampun, Baginda. Pangeran Cina mengkhianati kita. Ia bersama pasukannya membawa dengan kapal,” lapor salah seorang prajurit, “Kita harus segera mengejarnya sebelum mereka pergi jauh.”

“Kalian tidak perlu mengejarnya. Pangeran itu telah mengingkari janjinya. Lihat saja nanti, mereka akan mendapat musibah di tengah laut,” ujar Maharaja Kutai.
Usai berkata demikian, Raja Kutai Kartanegara kemudian berucap sumpah.
“Keringlah laut yang mengelilingi wangkang! Biarlah seumur rombongan Pangeran Cina berada di tempat itu!”

Sementara itu, rombongan Pangeran Cina telah memasuki Teluk Sankulirang. Tanpa diduga, tiba-tiba angin puting beliung datang mendekat ke arah kapal yang mereka tumpangi. Air laut yang ada di sekitarnya pun tersedot ke atas. Pangeran Cina dan prajuritnya pun mulai panik. Mereka segera menurungkan jangkar agar tidak ikut tersedot oleh pusaran angin puting beliung. Hingga saat ini, tempat anak buah Pangeran Cina menurungkan jangkar itu diberi nama Kampung Jangkar.

Angin puting beliung terus menyedot air laut hingga laut menjadi kering. Rombongan Pangeran Cina pun segera turun dari kapal. Selang beberapa saat kemudian, kapal itu tiba-tiba berubah menjadi batu.

Menurut cerita, Pangeran Cina dan prajuritnya tinggal di sekitar tempat itu. Mereka kemudian berbaur dengan penduduk setempat, yakni orang-orang suku Dayak Punan hingga terjadi perkawinan. Keturunan orang-orang Cina dan suku Dayak Punan itu kemudian dikenal sebagai Orang Basap.

Awan buatan



Awan elektronik warna warni mengambang di latar belakang warna hitam. Ini mirip gambar angkasa luar yang diambil satelit. Padahal gambar fantastis itu karya seorang fotografer Inggeris. Ia menciptakannya dengan tehnik misterius dengan air dan bahan pewarna. Seniman berumur 43 tahun dari London Inggeris itu mengatakan, ia mendapat inspirasi ketiga ia menambah susu sapi ke dalam kopi.

- Copyright © Regina Theyser - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -