Archive for January 2013

Legenda tentang "Gunung batu bangkai"

Peta Prov Kalsel
Loksado adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, Indonesia. Di daerah ini terdapat sebuah gunung yang memiliki nama yang cukup unik, yaitu Gunung Batu Bangkai. Masyarakat setempat menamakannya demikian, karena di gunung tersebut ada sebuah batu yang mirip dengan bangkai manusia. Konon, kehadiran batu bangkai tersebut berasal dari sebuah cerita legenda yang sampai saat ini masih berkembang di kalangan masyarakat Banjar Hulu di Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Cerita legenda ini mengisahkan tentang seorang anak laki-laki bernama Andung Kuswara yang durhaka kepada umanya. Karena kedurhakaannya, Tuhan menghukum si Andung menjadi batu.   

Konon pada zaman dahulu, di suatu tempat di Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, hiduplah seorang janda tua bersama seorang anak laki-lakinya yang bernama Andung Kuswara. Ia seorang anak yang baik dan pintar mengobati orang sakit. Ilmu pengobatan yang ia miliki diperoleh dari abahnya yang sudah lama meninggal. Andung dan umanya hidup rukun dan saling menyayangi. Setiap hari mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Andung mencari kayu bakar atau bambu ke hutan untuk membuat lanting untuk dijual, sedangkan umanya mencari buah-buahan dan daun-daunan muda untuk sayur.

Suatu hari, Andung pergi ke hutan seorang diri. Karena keasyikan bekerja, tak terasa waktu telah beranjak senja, maka ia pun bergegas pulang. Di tengah perjalanan, ia mendengar jeritan seseorang meminta tolong. Andung segera berlari menuju arah suara itu. Ternyata, didapatinya seorang kakek yang kakinya terjepit pohon. Andung segera menolong dan mengobati lukanya. “Terima kasih banyak, anakku!” kata orang tua itu. Dia kemudian mengambil sesuatu dari lehernya. “Hanya benda ini yang dapat kai berikan sebagai tanda terima kasih. Mudah-mudahan kalung ini membawa keberun­tungan bagimu,” ucap kakek itu seraya mengulurkan sebuah kalung kepada Andung. Setelah mengobati kakek itu, Andung bergegas pulang ke rumahnya.

Sesampai di rumah, Andung menceritakan kejadian tadi kepada umanya. Usai bercerita, Andung menyerahkan kalung pemberian kakek itu sambil berkata, “Uma, tolong simpan kalung ini baik-baik”. Umanya menerima dan memerhatikan benda itu dengan saksama. “Sepertinya ini bukan kalung sembarangan, Nak. Lihatlah, sungguh indah!” kata Uma Andung dengan takjub. Setelah itu, Uma Andung menyimpan kalung tersebut di bawah tempat tidurnya.

Kehidupan terus berjalan. Pada suatu hari, Andung terlihat termenung seorang diri. “Ya Tuhan, apakah kehidupanku akan seperti ini selamanya? Aku ingin hari depanku lebih baik daripada hari ini. Tapi…bagaimana caranya?” kata Andung dalam hati. Sejenak ia berpikir mencari jalan keluar. Tiba-tiba, terlintas dalam pikiran Andung untuk pergi merantau. “Hmm…lebih baik aku merantau saja. Dengan begitu aku dapat mengamalkan ilmu pengobatan yang telah aku peroleh dari abah dulu. Siapa tahu dengan merantau akan mengubah hidupku,” gumam Andung dengan semangat. Namun, apa yang ada dalam pikirannya tidak langsung ia utarakan kepada umanya. Rasa ragu masih menyelimuti hati dan pikirannya. Jika ia pergi merantau, tinggallah umanya sendiri. Tetapi, jika ia hanya mencari kayu bakar dan bambu setiap hari, lalu kapan kehidupannya bisa berubah. Pikiran-pikiran itulah yang ada dalam benaknya.

Hari berganti hari. Minggu berganti minggu. Andung benar-benar sudah tidak tahan lagi hidup miskin. Keraguannya untuk meninggalkan umanya pun lenyap. Dorongan hati Andung untuk merantau sudah tak terbendung lagi. Suatu hari, ia pun mengutarakan maksud hatinya kepada umanya. “Uma, Andung ingin mengubah nasib kita. Andung memutuskan untuk merantau ke negeri seberang. Oleh karena itu, Andung mohon izin dan doa restu, Uma,” kata Andung dengan hati-hati memohon pengertian umanya. “Anakku, sebenarnya Uma sudah bersyukur dengan keadaan kita saat ini. Tetapi, jika keinginan hatimu sudah tak terbendung lagi, dengan berat hati Uma akan melepas kepergianmu,” sahut Uma Andung memberikan izin.

Setelah mendapat restu dari umanya, Andung segera berkemas dengan bekal seadanya. Andung membawa masing-masing sehelai kain, baju dan celana. Memang hanya itu yang ia miliki. Ketika Andung hendak meninggalkan gubuk reotnya, Uma berpesan kepadanya. “Andung ..., ingatlah Uma! Ingat kampung halaman dan tanah leluhur kita. Jangan pernah melupakan Tuhan Yang Mahakuasa. Walau berat, Uma tak bisa melarangmu pergi. Jika takdir menghendaki, kita tentu akan berkumpul kembali,” kata sang Uma dengan sedihnya.

Mendengar nasihat umanya, Andung tak kuasa menahan air matanya. “Andung, bawalah kalungmu ini. Siapa tahu kelak kamu memerlukannya,” ujar Uma Andung melanjutkan. Setelah menerima kalung itu, Andung kemudian berpamitan kepada umanya. Andung mencium tangan umanya, lalu umanya membalasnya dengan pelukan erat. Sesaat, suasana haru pun meliputi hati keduanya. Ketika Uma memeluk Andung, beberapa tetes air mata menyucur dari kelopak matanya, jatuh di atas pundak Andung. “Maafkan Andung, Uma! Andung berjanji akan segera kembali jika sudah berhasil,” kata Andung memberi harapan kepada umanya. “Iya Nak. Cepatlah kembali kalau sudah berhasil! Hanya kamulah satu-satunya milik Uma di dunia ini,” jawab Uma penuh harapan. Beberapa saat kemudian, Uma berucap kepada Andung. “Segeralah berangkat Andung, agar kamu tak kemalaman di tengah hutan.”

Andung mencium tangan umanya untuk terakhir kalinya, lalu pamit. Andung berangkat diiringi lambaian tangan Uma yang sangat dikasihinya. “Selamat jalan, anakku. Jangan lupa cepat kembali,” teriak Uma dengan suara serak. “Tentu, Uma!” sahut Andung sambil berjalan menoleh ke arah umanya. “Jaga diri baik-baik, Uma! Selamat tinggal! Uma baru beranjak dari tempatnya setelah Andung yang sangat disayanginya hilang di balik pepohonan hutan. Sejak itu, tinggallah Uma Andung sendirian di tengah hutan belantara.

Berbulan-bulan sudah Andung meninggalkan umanya. Andung terus berjalan. Banyak kampung dan negeri telah dilewati. Berbagai pengalaman didapat. Ia juga telah mengobati setiap orang yang memerlukan bantuannya.

Suatu siang yang terik, tibalah Andung di Kerajaan Basiang yang tampak sunyi. Saat menyusuri jalan desa, Andung bertemu dengan seorang petani yang kulitnya penuh dengan koreng dan bisul. Andung kemudian mengobati petani itu. Dari orang tersebut Andung mengetahui jika Negeri Basiang sedang tertimpa malapetaka berupa wabah penyakit kulit. Karena berhutang budi kepada Andung, orang itu mengajak Andung tinggal di rumahnya. Setiap hari, penduduk yang terjangkit penyakit berdatangan ke rumah orang tua itu untuk berobat kepada Andung. Seluruh penduduk yang telah diobati oleh Andung sembuh dari penyakitnya. Berita perihal kepandaian Andung dalam mengobati pun menyebar ke seluruh negeri.

Suatu hari, berita kepandaian Andung mengobati penyakit tersebut akhirnya sampai ke telinga Raja Basiang. Sang Raja pun mengutus hulubalang menjemput Andung untuk mengobati putrinya. Beberapa lama kemudian, hulubalang tersebut sudah kembali ke istana bersama Andung. Andung yang miskin dan kampungan itu sangat takjub melihat keindahan bangunan istana. Ia berjalan sambil mengamati setiap sudut istana yang dihiasi ratna mutu manikan. Tak disadari, ternyata sang Raja sudah ada di hadapannya. Andung pun segera memberi salam dan hormat kepadanya. “Salam sejahtera, Tuanku,” sapa Andung kepada Baginda.

Sang Raja menyambut Andung dengan penuh harapan. Dia kemudian menyampaikan maksudnya kepada Andung. “Hai anak muda! Ketahuilah, putriku sudah dua minggu tergolek tak berdaya. Semua tabib di negeri ini sudah saya kerahkan untuk mengobatinya, namun tak seorang pun yang mampu menyembuhkannya. Apakah kamu bersedia menyembuhkan putriku?” tanya sang Raja. “Hamba hanya seorang pengembara miskin. Pengetahuan obat-obatan yang hamba miliki pun sedikit. Jika nantinya hamba gagal menyembuhkan Tuan Putri, hamba mohon ampun Paduka,” kata Andung merendah.

Andung pun dipersilakan masuk ke kamar Putri. Putri tergolek kaku di atas pembaringannya. Wajahnya pucat pasi dan bibirnya tertutup rapat. Walupun pucat pasi,  wajah sang Putri tetap memancarkan sinar kecantikannya. “Aduhai, cantik sangat sang Putri,” ucap Andung menaruh hati kepada sang Putri. Sesaat kemudian, Andung pun mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk membangunkan sang Putri. Namun, sang Putri tetap tak bergerak. Andung mulai panik. Tiba-tiba, hati Andung tergerak untuk mengambil kalung pemberian kakek yang ditolongnya dulu. Andung meminta kepada pegawai istana agar disiapkan air dalam mangkuk. Setelah air tersedia, lalu Andung segera merendam kalungnya beberapa saat. Kemudian air rendaman diambil dan dibacakan doa, lalu ia percikkan beberapa kali ke mulut sang Putri. Tak berapa kemudian, sang Putri pun terbangun. Matanya yang kuyu perlahan-lahan terbuka. Wajahnya segar kembali. Akhirnya, Putri dapat bangkit dan duduk di pembaringan.

Semua penghuni istana turut bergembira dan merayakan kesembuhan sang Putri. Paduka Raja sangat berterima kasih atas kesembuhan putri satu-satunya yang sangat ia cintai Atas jasanya tersebut, Andung kemudian dinikahkan dengan sang Putri. Pesta perkawinan dilaksanakan tujuh hari tujuh malam. Semua rakyat bersuka ria merayakannya. Putri tampak berbahagia menerima Andung sebagai suaminya. Demikian pula Andung yang sejak pandangan pertama sudah jatuh cinta pada sang Putri. Mereka berdua melalui hari-hari dengan hidup bahagia. 

Minggu dan bulan terus berganti. Istri Andung pun hamil. Dalam kondisi hamil muda sang Putri mengidam buah kasturi yang hanya tumbuh di Pulau Kalimantan. Karena cintanya kepada sang Putri begitu besar, Andung pun mengajak beberapa hulubalang dan prajurit untuk ikut bersamanya mencari buah kasturi ke Pulau Kalimantan.

Setibanya di Pulau Kalimantan, Andung berangkat ke daerah Loksado untuk mencari sebatang pohon kasturi yang dikabarkan sedang berbuah di sana. Alangkah terkejutnya Andung, karena pohon kasturi itu berada tepat di depan rumahnya dulu.  Andung segera mengajak hulubalang dan para prajuritnya kembali. Rupanya ia tidak mau bertemu dengan umanya.

Mendengar keributan di luar rumahnya, seorang nenek tua renta berjalan terseok-seok menuju ke arah rombongan tersebut. “Andung..., Andung Anakku...!” suara nenek tua yang serak memanggil Andung. Dengan terbungkuk-bungkuk nenek itu mengejar rombongan Andung.

Andung menoleh. Ia tersentak kaget melihat sang Uma yang dulu ditinggalkannya sudah tua renta. Karena malu mengakui sebagai umanya, Andung membentak, “Hai nenek tua! Aku adalah raja keturunan bangsawan. Aku tidak kenal dengan nenek renta dan dekil sepertimu! ujar Andung kemudian memalingkan muka dan pergi.

Hancur luluh hati sang Uma dibentak dan dicaci maki oleh putra kandungnya sendiri. Nenek tua yang malang itu pun berdoa, “Ya, Tuhan Yang Mahakuasa, tunjukkanlah kekuasaan dan keadilan-Mu,” tua renta itu berucap pelan dengan bibir bergetar. Belum kering air liur tua renta itu berdoa, halilintar sambar-menyambar membelah bumi. Kilat sambung-menyambung. Langit mendadak gelap gulita. Badai bertiup menghempas keras. Tak lama kemudian, hujan lebat tumpah dari langit. Andung berteriak dengan keras, “Maafkan aku, Uma...!” Tapi siksa Tuhan tak dapat dicabut lagi. Tiba-tiba Andung berubah menjadi batu berbentuk bangkai manusia.

Sejak itu, penduduk di sekitarnnya menamai gunung tempat peristiwa itu terjadi dengan sebutan Gunung Batu Bangkai, karena batu yang mirip bangkai manusia itu berada di atas gunung. Gunung Batu Bangkai ini dapat dijumpai di Kecamatan Loksado, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.

Lanting : rakit kecil.                             
Uma : ibu                                        
Kai : kakek
Abah : ayah


Cerita "Dewi Luing Indung Bunga"

Yang diarsir warna Hijau adalah Prov Kalsel
Kalimantan merupakan pulau terbesar di Indonesia, yang terdiri dari hamparan hutan belantara. Hamparan hutan tersebut mengandung berbagai macam kekayaan alam, baik flora maupun fauna. Di sana, hidup berbagai jenis hewan dan tumbuhan secara bebas. Hamparan hutan tersebut merupakan bagian penting bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya, karena mereka sangat tergantung pada hutan tersebut. Oleh karena itu, mereka harus menjaga dan memeliharanya dengan baik agar ketergantungan terhadap hutan tersebut tetap terus berlangsung. Caranya adalah dengan tidak menebang hutan secara semena-mena. Setelah penebangan hutan dilakukan, hendaknya hutan tersebut segera ditanami kembali, agar bekas penebangan itu tidak menyisakan lahan kering yang akan mengakibatkan terjadinya bencana.

Konon, di daerah sekitar Hulu Sungai Selatan (sekarang menjadi nama kabupaten), tepatnya di Kampung Datar, Kecamatan Telaga Langsat, Kalimantan Selatan (Kalsel), pernah berdiri beberapa perkampungan. Penduduk kampung tersebut suka bertindak semena-mena. Mereka sering menebang hutan yang ada di sekitarnya tanpa menanaminya kembali. Akibatnya, beberapa tahun kemudian alam di sekitarnya menjadi rusak dan akhirnya mereka ditimpa bencana kekeringan. Hutan yang awalnya terhampar subur di sepanjang tepi sungai, berubah menjadi meranggas. Hewan-hewan penghuni hutan itu mati kehausan. Di mana-mana terjadi kelaparan, karena pertanian mereka gagal panen. Penyakit pun semakin merajalela. Bahkan banyak penduduk yang meninggal. Kehidupan di negeri di tepian Hulu Sungai Selatan itu sangat memilukan. Dapatkah bencana tersebut berakhir? Bagaimana cara mereka mengatasi bencana tersebut? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam Dewi Luing Indung Bunga berikut ini.   


Alkisah pada zaman dahulu di daerah Kalimantan Selatan pernah berdiri beberapa perkampungan yang saling berdekatan. Para penduduknya sering menebang hutan tanpa menanaminya kembali hingga alam menjadi rusak. Mereka juga sering bertengkar, saling menyakiti, suka merampas hak milik orang lain, dan gemar berfoya-foya.

Beberapa tahun kemudian daerah itu ditimpa bencana kekeringan. Sudah enam bulan hujan tidak turun. Di mana-mana debu beterbangan dan tanah mulai pecah-pecah. Hutan yang dulu subur menghijau, kini pepohonan berubah menjadi meranggas. Hewan penghuni hutan banyak yang mati kehausan. Demikian pula ternak penduduk. Mata air yang ada di kaki bukit mulai mengering dan hanya mengeluarkan tetesan air. Padahal mata air itu merupakan satu-satunya sumber air yang mengairi tanah pertanian mereka. Akibatnya, mereka gagal panen.

Penduduk yang tinggal di tepi sungai pun mulai gelisah. Air bersih semakin sulit didapatkan. Persediaan makanan pun semakin menipis. Di mana-mana terjadi kelaparan. Penyakit juga merajalela. Pemandangan yang terlihat di dusun-dusun sangat menyedihkan. Anak-anak menangis kelaparan, sementara orang tua duduk tak mampu bekerja karena lapar. Setiap hari terdengar berita kematian. Kehidupan penduduk di tepian sungai tersebut sangat memilukan.

Salah satu kampung yang paling parah tertimpa musi­bah adalah Kampung Datar. Kampung Datar terletak tepat di antara pegunungan yang tanahnya mendatar. Kampung ini dipimpin oleh Datu Beritu Taun yang arif, bijaksana, dan bertanggungjawab. Karena sifat baiknya, Datu Beritu Taun diangkat menjadi pimpinan dari datu-datu yang ada di kawasan tersebut.

Datu Beritu Taun mempunyai dua orang anak, satu laki-laki dan satu perempuan. Anak laki-lakinya bernama Antun Kumara Sukma, sedangkan anak perempuanya bernama Dewi Luing Indung Bunga. Antun adalah pemuda yang gagah berani, berbudi baik, dan santun. Dewi Luing Indung Bunga berparas cantik dan halus budi pekertinya. Keduanya adalah anak yang patut dibanggakan. Datu Beritu Taun dan isterinya, Diang Serunai, sangat mencintai kedua anak mereka.

Suatu hari, Datu Beritu Taun mengumpulkan seluruh datu untuk bermusyawarah. “Saudara-saudaraku, kita berkumpul untuk mencari jalan keluar dari masalah kita bersama,“ Datu Beritu Taun membuka percakapan. “Maaf Datu Beritu! Sepertinya masalah yang kita hadapi ini dapat diatasi jika kita membuka perkampungan baru,” usul salah seorang datu. “Maaf Datu! Kalau menurut saya, bagaimana kalau kita menggali sumber-sumber air saja?” usul seorang datu lainnya. Datu Beritu dan beberapa datu lainnya yang hadir di majelis itu sepakat dengan pendapat yang kedua. Akhirnya mereka memutuskan akan menggali sumber-sumber air.

Keesokan harinya, Datu Beritu Taun mengumpulkan seluruh penduduk dari berbagai dusun untuk menggali sumber air yang kering dan mencari sumber air baru. Penduduk terbagi ke dalam beberapa kelompok. Ada yang sibuk menggali sumber air yang sudah ada sebelumnya. Adapula yang sibuk membuat sumber air yang baru. Berhari-hari mereka bekerja keras, namun mata air itu tetap kering. Akhirnya penduduk putus asa dan berhenti menggali.

Para tetua kampung kemudian mengajak para penduduk untuk berdoa meminta hujan. Masyarakat telah bertaubat dan menyerahkan nasib mereka sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Setiap hari dan setiap malam mereka terus berdoa, namun hujan belum juga turun. Mereka pun mulai berputus asa. Di saat penduduk berputus asa, Datu Beritu Taun terus berdoa. Setiap malam ia selalu duduk di kamarnya dan berdoa memohon kesejahteraan bagi rakyatnya. Hingga larut malam datu terus berdoa tanpa kenal lelah.

Suatu malam, karena kelelahan, Datu Beritu tertidur ketika tengah berdoa. Dalam tidurnya ia bermimpi bahwa negerinya akan makmur kembali jika ada salah satu gadis suci yang rela berkorban untuk negerinya. Selesai bermimpi, datu langsung terjaga dan berdoa kembali, “Ya, Tuhan. Terima kasih atas petunjuk-Mu.”

Keesokan harinya, Datu Beritu mengumpulkan warganya untuk memberitahukan perihal mimpinya. Setelah mendengar penuturan Datu Beritu Taun, satu persatu warga kembali ke rumahnya. Para orang tua bermusyawarah dengan anak gadisnya mengenai mimpi Datu Beritu Taun. Namun, tak seorang gadis pun bersedia mengorbankan dirinya untuk negeri. Demikian pula sebaliknya, para orangtua pun tidak rela anak gadisnya mengorbankan diri.

Sudah berminggu-minggu pengumuman itu dikumandangkan, namun tak seorang gadis pun bersedia untuk dikorbankan. Datu Beritu menjadi resah, tetapi tidak putus asa. Setiap hari ia terus berdoa siang dan malam. Bahkan sampai lupa memperhatikan kesehatan dirinya. Ia tidak mau makan. Akhirnya, badan datu menjadi kurus dan lemah. “Maaf, sekarang Abah makan dulu, nanti Abah sakit,” bujuk Dewi Luing sambil menyuguhkan makanan kepada Abahnya. Namun, datu tidak menghiraukan tawaran Dewi Luing. Ia tetap terus berdoa dan berharap semoga ada gadis yang rela berkorban demi negerinya.

Dewi Luing Indung Bunga dan Antun Kumara Sukma merasa sedih melihat abahnya. Mereka dapat merasakan beban dan tanggung jawab abahnya sebagai pemimpin. Dewi Luing mulai memikirkan nasib abahnya. “Kaka, Dewi merasa sedih dan prihatin melihat keadaan Abah. Apa yang harus kita lakukan untuk meringankan beban Abah?” tanya Dewi Luing kepada kakanya. “Adingku, kita hanya dapat turut berdoa, semoga ada gadis yang akan merelakan dirinya untuk negeri ini, sehingga bencana ini segera berakhir,” jawab Antun yang juga tidak dapat berbuat apa-apa.

Pada suatu malam, Dewi Luing tak dapat memejamkan matanya. Pikirannya menerawang memikirkan nasib abahnya dan penderitaan penduduk. Hatinya yang halus tidak tega melihat hal itu berlarut-larut. “Ya Tuhan, jika memang harus ada gadis yang merelakan dirinya demi kesejahteraan penduduk, hamba rela,” bisik hati kecil Dewi. Demi keselamatan penduduk di negerinya, ia bertekad untuk mengorbankan dirinya.

Keesokan paginya, Dewi Luing Indung Bunga berniat menyampaikan maksudnya kepada keluarganya. Ketika Abah, Uma, dan Kakanya telah berkumpul, ia pun mengutarakan keinginannya. “Abah, Ibu, dan Kaka. Setelah semalaman berpikir, Dewi berketetapan hati akan mengorbankan diri demi kesejahteraan kita bersama,” ucap Dewi mantap.

Mendengar penuturan Dewi, ketiganya sangat terkejut dan bersedih hati. “Benarkah yang kamu katakan itu, anakku?” tanya Abahnya memastikan. “Benar Abah. Dewi sudah bertekad bulat untuk berkorban demi negeri ini,” jawab Dewi menegaskan kepada abahnya. Meskipun sedih akan kehilangan salah satu anggota keluarganya, namun Abah, Uma dan Kakanya tidak bisa berbuat apa-apa. Keputusan Dewi Luing tidak dapat diubah lagi.

Pada hari yang telah ditentukan, berkumpullah seluruh penduduk dari beberapa negeri untuk mengikuti upacara pengorbanan Dewi Luing Indung Bunga. Dengan mantap Dewi Luing berjalan ke tengah arena dan mengucapkan salam perpisahan, “Wahai seluruh penduduk negeri, Dewi ikhlas dengan kematian ini, demi kesejahteraan negeri ini. Semoga kalian hidup damai dan makmur. Jika Dewi mempunyai kesalahan, Dewi mohon dimaafkan.” Setelah itu, Dewi kemudian duduk dan berdoa dengan khusyuk diiringi doa para datu.

Selesai berdoa, tiba-tiba Dewi terjatuh dan meninggal dunia. Bersamaan dengan itu hujan turun dengan deras. Kemarau panjang pun berakhir. Kehidupan bersemi kembali. Kini, Kampung Datar menjadi kawasan subur dan makmur. Kam­pung Datar ini terletak di Kecamatan Telaga Langsat, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.

Nilai moral yang terkandung dalam cerita di atas adalah rasa tanggung jawab dan kerelaan berkorban demi orang banyak. Nilai rasa tanggung jawab tercermin pada sifat Datu Beritu Taun yang rela terus berdoa siang dan malam untuk kesejahteraan rakyatnya, meskipun ia harus menahan lapar yang mengakibatkan ia menjadi kurus. Kemudian, nilai kerelaan berkorban dapat tercermin pada sifat Dewi Luing Indung Bunga yang rela mengorbankan nyawanya demi kemakmuran penduduk di Kampung Datar, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.

Adapun hikmah yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa hutan sangatlah penting bagi kelangsungan hidup manusia. Oleh karena itu, kita patut untuk selalu menjaganya agar keseimbangan alam juga selalu terjaga. Jika keseimbangan ini berjalan dengan baik, maka kehidupan manusia juga akan terhindar dari bencana. Jika terjadi bencana alam berarti terjadi ketidakseimbangan atau lebih tepatnya kerusakan eksosistem. Kerusakan ekosistem tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah penebangan hutan secara liar. Apa yang telah dialami oleh Datu Beritu Taun dan rakyatnya pada zaman dahulu, kini juga telah dirasakan oleh masyarakat Kalimantan. Namun, bukan bencana kekeringan yang menimpa mereka, akan tetapi hampir setiap tahun banjir menenggelamkan pemukiman mereka. Hal ini juga disebabkan oleh adanya penebangan hutan secara liar oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, tanpa menanaminya kembali.

Oleh karena itu, perlulah kita sadari bahwa memanfaatkan potensi alam dan melestarikannya adalah sebuah keniscayaan bagi manusia, agar kelangsungan hidupnya terus berjalan dan keseimbangan alam pun tetap terjaga. Ini menunjukkan adanya hubungan timbal-balik antara keduanya. Di satu sisi manusia memiliki hak dan kewajiban terhadap alam yaitu memanfaatkan alam sebaik mungkin, sedangan di sisi lain alam membutuhkan keseimbangan ekosistem sehingga dapat melayani keperluan manusia. Hal ini digambarkan dalam sebuah slogan “living in harmony with nature artinya hidup harmoni bersama alam.
Abah     : Ayah
Kaka     : Kakak
Uma     : Ibu
Ading    : Adik

"Hampang datu"

Rumah adat Bubungan tinggi
Kalimantan Selatan adalah salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Kalimantan. Ibu kotanya adalah Banjarmasin. secara geografis, Kalimantan Selatan berada di bagian tenggara pulau Kalimantan, memiliki kawasan dataran rendah di bagian barat dan pantai timur, serta dataran tinggi yang dibentuk oleh Pegunungan Meratus di tengah.
Masyarakat kalimantan selatan terdiri dari berbagai etnis ada etnis dayak, banjar, bugis dan lain-lain, demikian juga dengan cerita rekyatnya yang beraneka ragam salah satunya adalah legenda tentang "Hampang datu"

Berbagai macam cara dilakukan oleh manusia untuk mewujudkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa atas segala berkah dan rahmat yang dilimpahkan-Nya. Salah satunya adalah melakukan upacara bersih desa. Upacara ini merupakan upacara yang lazim dilaksanakan di berbagai desa di Jawa. Di kalangan masyarakat Jawa, bersih desa atau bersih dusun dikenal dengan istilah rasulan atau bersih deso, yaitu sebuah tradisi turun-temurun yang masih berlaku dalam masyarakat petani di desa-desa di Jawa, seperti di Desa Getas, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Mengenai kapan mulainya dan siapa yang memulai tradisi ini, sulit ditemukan sumbernya. Namun, tradisi ini masih berlangsung sampai sekarang yang sudah merupakan acara rutin setiap tahun sekali dengan agenda pokoknya tasyakuran, yaitu ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa atas limpahan rahmat-Nya kepada seluruh warga masyarakat.

Ungkapan rasa syukur tersebut diwujudkan dalam berbagai cara. Namun secara umum, rasulan atau bersih deso identik dengan menyediakan makanan lebih baik dari hari-hari biasanya, karena pada hari itu akan banyak sanak saudara, handai taulan dan kerabat yang datang ke rumah, sehingga mereka merasa malu jika tidak menghidangkan makanan yang lezat kepada tamu-tamu mereka. Selain menyediakan makanan dan minuman di rumah masing-masing, seluruh warga juga membuat satu porsi makanan lengkap dengan lauk-pauk yang telah dikemas dalam berbagai bentuk hiasan, kemudian dibawa dan dikumpulkan di balai desa. Makanan tersebut baru boleh dimakan secara beramai-ramai, setelah dibacakan doa oleh tokoh agama setempat. Bagi orang Jawa, rasulan termasuk juga hari besar selain hari raya Lebaran (Idul Fitri dan Idul Adha). Bagi anak-anak rasulan merupakan hari yang ditunggu-tunggu, karena akan dibelikan pakaian baru.

Upacara bersih desa seperti di atas, tidak hanya terdapat di Jawa. Di daerah Kalimantan Selatan, Indonesia, tepatnya di Desa Padang Batung, juga terdapat upacara bersih desa yang dikenal dengan istilah upacara manyanggar banua. Tujuan dilaksanaknnya upacara ini seperti halnya di Jawa yaitu sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa, karena panen mereka telah berhasil. Selain itu, mereka juga memohon agar senantiasa selamat dan terhindar dari malapetaka. Ungkapan rasa syukur tersebut, juga diwujudkan dengan menyediakan beraneka ragam makanan yang lezat pada setiap keluarga di desa itu. Namun, sebelum perayaan dimulai, seluruh desa dibersihkan dari rumput dan tanaman yang mengganggu. Jalan desa dirawat dengan baik. Selokan yang mampet dibetulkan, agar air tidak menggenang. Semuanya dikerjakan secara bergotong-royong. Seluruh warga masyarakat turut serta dalam kegiatan tersebut. Selain di pekarangan rumah, mereka juga membersihkan seluruh bagian-bagian di dalam rumah. Mulai dari langit-langit rumah, bagian dapur, kamar tidur, kamar depan hingga kolong rumah. Semua peralatan memasak mereka cuci di perigi (telaga). Demikianlah, seluruh kampung terlihat bersih dan rapi. Adapun puncak acara manyanggar banua adalah upacara adat selamatan dengan beraneka ragam hidangan makanan dan minuman yang lezat.

Namun, suatu ketika di  saat memasuki hari perayaan upacara selamatan, seluruh warga masyarakat di Desa Padang Batung dikagetkan dengan sebuah peristiwa yang sangat aneh. Menjelang subuh hari, seluruh makanan yang telah disiapkan oleh seluruh warga di rumah masing-masing habis dimakan oleh sesosok makhluk gaib yang tak seorang pun warga yang mengetahui asal dan jenisnya. Oleh karena itu, seluruh warga berkumpul untuk bermusyawarah tentang bagaimana cara mengetahui jejak dan jenis makhluk itu. Peristiwa ini terjadi dalam sebuah cerita rakyat yang terkenal di kalangan masyarakat Kalimantan Selatan. Lalu, bagaimana dengan kisah selanjutnya? Berhasilkah mereka mengetahui makhluk gaib itu? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Hampang Datu berikut ini.

Konon, pada zaman dahulu kala, tersebutlah sebuah desa di wilayah Kalimantan Selatan, yang bernama Desa Padang Batung. Mata pencaharian penduduknya adalah bertani. Hasil pertanian yang mereka peroleh cukup melimpah. Untuk mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan tersebut, maka setahun sekali yaitu setiap selesai panen mereka selalu mengadakan kenduri besar sebagai bagian dari upacara manyanggar banua (bersih desa). Pada hakekatnya, puncak acara dalam upacara itu adalah upacara adat selamatan atau kendurian. Setiap keluarga di desa itu menyiapkan beraneka ragam makanan dan minuman untuk mereka makan bersama-sama.

Pada suatu ketika, di salah satu rumah warga terjadi peristiwa yang aneh. Menjelang subuh, sejumlah ikan dan kue yang sudah dimasak hilang dari tempat penyimpanannya. Sambal yang tersisa bagai diacak-acak berhamburan di ruang dapur. Dua panci besar daging rusa yang sudah dipersiapkan juga tidak tersisa sedikit pun. Seluruh anggota keluarga dalam rumah itu dibangunkan. Setelah ditanya, tidak ada satu pun anggota keluarga yang menyentuh makanan itu sebelumnya.

Menjelang pagi, di rumah tetanggannya terdengar suara ribut-ribut. Ternyata, mereka juga mengalami peristiwa yang serupa. Penduduk desa pun geger. Selama bertahun-tahun mereka melakukan upacara manyanggar banua itu, inilah kali pertama mereka mengalami peristiwa seperti itu. Pada awalnya, setiap warga saling mencurigai antara satu dengan yang lainnya. Namun, pada akhirnya kecurigaan mereka menjadi tidak beralasan, karena mereka mengalami peristiwa yang sama. Untuk itu, Kepala Desa dan para sesepuh desa mengumpulkan seluruh warganya untuk mengadakan musyawarah di Balai Desa.

“Saya tidak yakin jika yang melakukan hal itu adalah warga di desa ini,” sahut seorang warga dalam pertemuan itu.

“Benar apa yang kamu katakan itu. Kelihatannya, semua warga desa kita ini baik-baik. Saya juga tidak pernah mendapat laporan bahwa warga kita berseteru dengan warga desa tetangga,” tambah Kepala Desa. 
“Lalu, siapa orang yang berani mengganggu ketenteraman desa kita?” tanya salah seorang warga yang bertubuh kekar sambil tangannya menepuk-nepuk kumpang parang bungkul yang menggantung di pinggangnya. “Sebut saja siapa dan di mana rumahnya! Akan kutunjukkan padanya bahwa di desa ini ada warga yang siap mengadu raga untuk mempertahankan kehormatan desanya,” ujar laki-laki kekar itu dengan mata terbakar.

“Ini sebuah tantangan! Aku juga terpanggil untuk membela kehormatan desa kita,” seorang warga yang berdiri paling belakang turut membuka suara.

Suasana dalam pertemuan itu semakin memanas. Beberapa warga mulai emosi. Dalam suasana demikian, tiba-tiba terdengar suara yang tidak terlalu nyaring, tetapi cukup jelas didengar oleh semua yang hadir. “Sudahlah!” seru seorang sesepuh yang sangat disegani di desa itu. Semua mata terpusat kepadanya. Suasana pun kembali dingin.

“Andai saja perbuatan kurang ajar ini dikerjakan oleh satu orang, tentu ia sangat digjaya. Bayangkan! Lebih dari empat puluh rumah ia acak-acak dan ia kentuti. Tidak ada satu pun dari kita yang bangun, apalagi memergokinya,” ujar orang tua itu dengan tenang.

Pernyataan orang tua itu, kembali membakar emosi salah seorang warga, “Aku tidak perduli dengan kedigjayaannya, hatta berkumis kawat sekalipun, bila belum berhadapan denganku, tidak akan kuterima perlakuan ini.”

“Jadi, maksud Dangsanak kita akan menyerang dia?” tanya si Laki-laki kekar. “Jika begitu, akan kuundang semua laki-laki berkemampuan untuk... ,” kata laki-laki itu belum selesai bicara. “Untuk menyerang? Siapa yang akan kalian serang?” potong si Orang Tua. Sorot matanya yang tajam menebar ke semua yang hadir. Hadirin pun terdiam, termasuk si Laki-laki kekar. Kemudian Orang Tua itu melanjutkan, “Kita belum mengenali siapa sebenarnya orang yang telah menebarkan permusuhan dengan kita. Curiga boleh-boleh saja. Sebaiknya mulai malam ini kita berjaga-jaga di pusat desa,” orang tua itu mengusulkan.

Semua warga menerima usulan itu, termasuk Kepala Desa. Sementara upacara manyanggar banua ditunda hingga esok hari. Menjelang malam, seluruh pemuda desa mendirikan pos jaga di sudut-sudut desa untuk menghadang si pengacau. Ibu-ibu sibuk memasak apa adanya di dapur. Malam pun semakin larut. Setelah semua makanan matang, mereka pun beristirahat.

Menjelang subuh, tiba-tiba para ibu berhamburan keluar rumah. Mereka kembali mengalami peristiwa yang sama seperti subuh sebelumnya. Warga desa kembali geger. Seluruh warga berkumpul di depan rumah Kepala Desa. Mereka yang berjaga di pos mengaku tidak melihat makhluk yang mencurigakan masuk ke desa mereka.

“Wahai, wargaku! Upacara manyanggar banua kita undur lagi sampai desa kita kembali aman,” ujar Kepala Desa kepada warganya.

“Aku setuju,” sahut sesepuh desa. “Namun yang lebih penting dari itu adalah menemukan siapa orang atau makhluk apa yang telah mempecundangi desa kita,” tambahnya. “Bila demikian, penjagaan kita perketat lagi” sambung Kepala Desa.

“Maaf, Pak Kepala Desa. Apakah saya boleh usul!” sahut seorang ibu rumah tangga. “Ya, silahkan!” jawab Kepada Desa. “Begini, Pak. Bagaimana kalau kita menjebak Pencuri itu. Saya beranggapan bahwa maling yang telah mencuri sesajen kita bukanlah manusia biasa. Dia adalah sejenis makhluk gaib yang hidup di lingkungan kita. Dia merasa terabaikan, sehingga tidak mengherankan jika dia membuat ulah seperti ini,” jelas ibu itu.

“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” tanya Kepala Desa tidak sabar. “Di masing-masing rumah, barangkali masih ada daging kelapa yang tersisa,” kata ibu itu.

“Tentu...!” jawab ibu-ibu lainnya yang hadir di tempat itu. “Tapi, buat apa?” tanya seorang ibu penasaran. “Daging kelapa yang sudah diparut, masukkan ke dalam bakul rumpung yang di bagian bawahnya diberi lubang. Ikat bagian atasnya, kemudian letakkan di tengah ruang dapur sebagaimana layaknya kita menyimpan sesajen. Kemudian tinggalkan seperti sesajen! Setelah itu kita istarahat saja,” jelas ibu rumah tangga itu.

Mendengar penjelasan itu, seluruh warga mengangguk-angguk sebagai tanda setuju. Malam harinya, mereka melaksanakan rencana tersebut sesuai dengan penjelasan si Ibu. Setelah itu mereka tidur nyenyak. Keesokan harinya, di pagi yang dingin semua warga bergegas ke dapur. Benar kata ibu itu, bakul yang berisi parutan kelapa sudah tidak ada lagi. Setiap rumah mengalami hal sama. Mereka hanya menemukan ceceran parutan kelapa yang membentuk garis mengikuti arah si pencuri melalui pintu belakang. Hal itu memudahkan warga untuk melacak jejak ke mana si pencuri itu pergi. Mereka terus mengikuti garis parutan kelapa yang membentang ke arah persembunyian si pencuri. Banyak warga yang tidak sabar ingin melampiaskan kemarahan mereka. Parang dan tombak tergenggam erat di tangan mereka.

Setelah beberapa jauh mengikuti alur garis itu, sampailah mereka pada mulut sebuah gua di ujung desa. Warga pun yakin bahwa pencuri itu bersembunyi dalam gua itu. Keyakinan tersebut dikuatkan oleh ceceran parutan kelapa yang mulai terputus-putus di mulut gua. Parang dan tombak semakin erat di genggaman mereka, siap untuk digunakan jika sewaktu-waktu diperlukan. Beberapa warga sudah beranjak masuk ke dalam mulut gua. Namun, mereka kembali keluar, karena di dalam gua gelap sekali. Sebagian warga disuruh kembali untuk mencari obor. Sebagian yang lain tetap bersiaga di mulut gua, kalau-kalau tiba-tiba ada serangan dari dalam gua.

“Sudahlah! Kita hentikan saja perburuan ini untuk menghindari jatuhnya korban,” ujar sesepuh desa. “Mungkin si pencuri sesajen kita adalah makhluk gaib yang disebut-sebut sebagai datu-datu penjaga lingkungan kita. Barangkali kita lalai menjaga lingkungan,” tambahnya. “Lalu, apa yang akan kita lakukan?” tanya Kepala Desa.

“Agar datu yang menghuni gua ini tidak mengganggu kita lagi, saya minta Dangsanak untuk membuat hampang, yaitu menutup gua ini dengan menancapkan batang haur, kemudian menutup gua dengan rapat-rapat,” jelas sesepuh desa. Seluruh warga setuju dengan usulan itu. Setelah itu, mereka segera meramu batang haur, kemudian ditancapkan membentuk sebuah hampang untuk menutupi mulut gua. Batu-batu besar digelindingkan ke mulut gua, kemudian ditimbun dengan tanah. Maka terkuburlah makhluk gaib itu di dalam gua.

Desa Padang Batung pun kembali aman, damai dan sentosa. Sejak itu, makhluk itu tidak pernah lagi datang mengusik ketenangan warga. Untuk mengenang peristiwa yang menakutkan yang pernah berlangsung, oleh masyarakat setempat, tempat tersebut diberi nama Hampang Datu.

Kamus kecil:
Dangsanak : saudara
Digjaya : sakti
Geger : ribut
Hatta berkumis kawat : seandainya berkumis kawat
Haur, aur : sejenis bambu
Kumpang parang tungkul : jenis sarung
Maling : pencuri
Manyanggar banua : upacara bersih desa
Sesepuh : tetua

- Copyright © Regina Theyser - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -