Archive for October 2011

Gedung Pohon



Di Milan Italia tengah dibangun dua gedung pencakar langit, yang berbeda dengan yang sudah-sudah ialah kedua gedung itu akan dibangun menjadi "hutan di langit". Penghuninya bagaikan berada di taman hutan. Kedua gedung itu masing-masing 111 menter dan 79 meter, seluruhnya ditanam 730 batang pohon dan 5.300 batang semak dan 11 ribu buah tanaman vegetasi, dan luas penanamannya sekitar hutan satu hektar.

Piramid terbalik


Menurut situs Daily Mail Inggris, sebuah perusahaan konstruksi Meksiko telah merancang sebuah bangunan berbentuk piramid terbalik 300 meter menyuruk ke dalam tanah, dan hendak dijadikan "landmark" baru di Kota Meksiko.

Pada bangunan yang terletak di alun-alun pusat Kota Meksiko ini, apartemen, toko dan museum masing-masing menempati 10 lantai, dan 35 lantai selebihnya digunakan untuk kantor.

Supaya bangunan raksasa di bawah tanah ini juga bisa mendapatkan pencahayaan matahari, maka di tengah alun-alun dibangun sebuah lantai kaca seluas 240 meter persegi agar sinar matahari bisa menembus lantai kaca itu dan ruang vertikal di tengah bangunan piramid terbalik itu menerangi setiap lantai.

Menurut insinyur perusahaan konstruksi itu Soarez, Kota Meksiko membutuhkan infrastruktur baru, gedung perkantoran, toko dan perumahan, namun di atas tanah sudah tidak ada ruang luas yang bisa digunakan. Pemerintah juga melarang pembongkaran bangunan bersejarah, dan membatasi ketinggian bangunan baru agar tidak lebih dari 8 lantai. Dengan membangun gedung berbentuk piramid terbalik di bawah tanah itu, bangunan-bangunan yang ada di alun-alun tidak perlu dibongkar, dan pagelaran konser, pameran, parade militer dan lain-lain di alun-alun setiap tahun juga tidak terganggu. Sementara itu, gaya bangunan berbentuk piramid terbalik juga mencerminkan akar bangsa Meksiko.

Legenda Burung Punai - Kalimantan selatan

Ada beberapa versi mengenai cerita asal-mula Burung Punai. Setiap versi memiliki alur cerita yang berbeda-beda. Versi cerita rakyat tentang asal-mula Burung Punai di Kalimantan Selatan berbeda dengan cerita rakyat di Pelalawan, Riau. Cerita rakyat yang berkembang di kalangan masyarakat di Kalimantan Selatan – seperti tergambar pada cerita yang lalu dalam portal ini - mengisahkan tentang seorang pemuda yang bernama Datu Pulut, menikah dengan seorang bidadari dari Kahyangan. Namun, karena si Pemuda melanggar larangan yang pernah mereka sepakati bersama sebelum menikah, sang Bidadari pun berubah menjadi Burung Punai.

Sementara cerita rakyat tentang asal-mula Burung Punai yang berkembang di kalangan masyarakat Pelalawan, Riau, Indonesia, memiliki alur cerita yang berbeda. Dalam cerita tersebut dikisahkan seorang anak laki-laki yang bernama si Bujang, yang durhaka terhadap kedua orang tuanya. Oleh karena kedurhakannya tersebut, Bujang dikutuk menjadi seekor Burung Punai. Apa yang menyebabkan si Bujang durhaka terhadap kedua orang tuanya? Bagaimana ceritanya hingga ia berubah menjadi seekor Burung Punai? Ingin tahu jawabannya, ikuti kisahnya dalam cerita Si Bujang: Asal Mula Burung Punai berikut ini.

Alkisah, pada zaman dahulu kala, di daerah Pelalawan, Riau, hiduplah sepasang suami istri dengan seorang anak laki-lakinya yang bernama Bujang. Hidup mereka sangat miskin. Meskipun hidup miskin, keduanya sangat sayang terhadap anak semata wayangnya. Mereka berharap dan selalu berdoa kepada Tuhan agar anak tunggalnya itu kelak menjadi anak yang shaleh, berbudi luhur, berilmu pengetahuan dan berguna bagi masyarakat.

Untuk mencapai tujuan yang mulia itu, orang tuanya telah bertekad bekerja keras mencari rezeki yang halal sebagai modal untuk mendidik si Bujang. Setiap hari sang Ayah pergi ke ladang dan mencari ikan di sungai. Hasilnya ia jual ke desa-desa tetangga. Meskipun harus berjalan berhari-hari dengan membawa beban berat, sang Ayah tidak pernah mengeluh atau merasa lelah demi kebahagiaan anaknya. Uang hasil penjualannya tersebut, ia tabung sedikit demi sedikit. Ia sendiri hidup sangat hemat. Makan dan berpakaian seperlunya saja. Ia selalu berdoa kepada Tuhan agar senantiasa diberikan kesehatan untuk bisa mendapatkan lebih banyak rezeki demi masa depan Bujang.

Hari berganti hari. Minggu berganti Minggu. Bulan berganti Bulan. Si Bujang tumbuh menjadi anak yang sehat, lincah dan cerdas. Kedua orang tuanya amat bangga dan bahagia melihat anak tumpuan harapan mereka itu.

Setelah cukup besar, Bujang pun diserahkan ke sebuah surau di kampung itu untuk belajar mengaji. Sejak itu ia sangat rajin pergi mengaji. Setiap hari ia pergi ke surau bersama teman-temannya. Jika kampungnya dilanda banjir, Bujang diantar oleh ayahnya dengan sebuah perahu kecil. Waktu pulang ia dijemput oleh emaknya.

Ada suatu kebiasaan di Pelalawan, apabila air surut dan tanah sudah kering, semua anak-anak bermain gasing. Sebenarnya, banyak orang tua yang jengkel jika musim bergasing itu tiba. Mereka jengkel melihat anak-anak mereka yang asyik bermain gasing yang lupa segalanya. Bahkan, anak-anak mereka terkadang lupa pulang untuk makan siang.

Suatu waktu, musim bergasing itu tiba. Bujang dan teman-temannya asyik bermain gasing dari pagi hingga petang hari. Orang tuanya mulai gelisah. Sudah beberapa hari si Bujang tidak pergi mengaji. Guru mengajinya sudah berkali-kali ke rumah orang tuanya menanyakan keadaannya. Hati kedua orang tuanya semakin kesal melihat perangai anak tunggal yang diharapkannya itu.

Suatu hari, di saat hari sudah petang, si Bujang baru pulang dari bermain gasing. Kedua orang tuanya sudah menunggunya di depan pintu. Melihat si Bujang datang, emaknya menyambutnya dengan pertanyaan-pertanyaan, “Jang, sudah berapa lama kamu tidak pergi mengaji ke surau? Kamu selalu asyik bermain gasing sehingga lupa segala-galanya. Apa kamu tidak jemu-jemu bermain gasing, Jang? Kamu mau emak memberimu makan gasing?” Mendengar omelan emaknya, si Bujang hanya diam dan menunduk.

Usai ibunya mengomelin si Bujang, kini giliran ayahnya. “Jang, ayah tengok kamu asyik bermain gasing saja. Sampai-sampai kamu lupa makan-minum, apalagi mengaji. Sejak bermain gasing, kamu sudah tidak pernah lagi membantu emakmu. Apa kamu bisa kenyang makan gasing?” ujar sang ayah.

Si Bujang tidak bisa berkata apa-apa. Ia tidak berani membantah kata-kata ayahnya, karena ia memang merasa bersalah. Namun, omelan kedua orang tuanya itu tidak membekas dalam hatinya. Semua kata-kata orang tuanya hanya masuk melalui telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Ketika ayahnya pergi ke ladang, ia pergi lagi bermain gasing. Begitulah setiap hari yang dilakukannya. Pendeknya, Bujang sudah lupa segalanya. Orang Pelalawan mengatakan, “kalau anak sudah kena hantu gasing, ia tidak dapat bekerja apa pun.”

Sudah beberapa hari si Bujang tidak pulang. Ayahnya sudah tidak mau lagi mencarinya. Ia sudah tidak perduli lagi dengan kelakuan anaknya. Pada suatu malam, sang Ayah berkata kepada istrinya, “Barangkali inilah resikonya terlalu memanjakan anak. Lihatlah si Bujang anak kita, semakin dimanja semakin menjadi-jadi. Oleh karena itu, mulai sekarang kita biarkan saja, tidak usah kita hiraukan.” Mendengar ujaran suaminya, sang Istri pun mengangguk-angguk. Ia merasa bersalah, karena terlalu memanjakan si Bujang.

Demikianlah, semakin hari si Bujang semakin nakal. Ia sudah lupa segalanya. Ia semakin jarang pulang ke rumah dan tidak pernah lagi mengaji ke surau. Hati orang tuanya semakin sedih. Anak semata wayang, tumpuan harapan mereka, sudah tidak dapat diharapkan lagi. Sirnalah semua harapan kedua orang tuanya. Mereka benar-benar kecewa terhadap perilaku si Bujang. Semakin hari, hati mereka pun semakin kesal dan jengkel. Mereka tidak pernah lagi memasak nasi untuk si Bujang sebelum mereka ke ladang.

Pada suatu hari sebelum pergi ke ladang, ibunya memasak gasing, dan tali gasingnya ia gulai untuk si Bujang. Melihat kedua orang tuanya sudah berangkat ke ladang, si Bujang pulang ke rumahnya. Oleh karena sudah kelaparan, ia segera membuka periuk, dilihatnya sebuah gasing. Lalu ia membuka belanga, dilihatnya gulai tali gasing. Oleh karena merasa kecewa, menangislah si Bujang sambil bernyanyi:

Sing… Tali gasing
alit gasing dan buah keras
sampai hati ibu!
ditanaknya saya gasing
digulainya tali gasing
menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya
makan buah kayu ara.

Putri Pandan Berduri

Pulau Bintan merupakan pulau yang terbesar di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Di Pulau ini terdapat Kota Tanjung Pinang, ibu kota Provinsi Kepulauan Riau. Pulau ini dihuni oleh berbagai macam suku-bangsa seperti Melayu, Tionghoa, Minang, Batak, Jawa dan lain-lain. Dahulu, di Pulau Bintan juga pernah berdiam sekelompok suku-bangsa yang terkenal dengan nama Suku Sampan atau Suku Laut. Terkait dengan hal ini, ada sebuah cerita rakyat yang masih hidup dan berkembang di kalangan masyarakat Kepulauan Riau, khususnya masyarakat Bintan. Cerita ini berkisah tentang Batin Lagoi, pemimpin Suku Laut atau Suku Sampan di Pulau Bintan, yang menemukan seorang bayi perempuan di semak-semak pandan di tepi laut. Batin Lagoi kemudian mengangkat bayi itu sebagai anak dan diberinya nama Putri Pandan Berduri.

Batin Lagoi mengasuh Putri Pandan Berduri seperti layaknya seorang putri raja. Setiap hari Batin Lagoi mengajarinya budi pekerti luhur, sehingga ia tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan berbudi bahasa lembut. Kecantikan dan keelokan budi Putri Pandan Berduri mengundang decak kagum para pemuda kampung di Bintan. Namun, tak seorang pun yang berani meminangnya, karena Batin Lagoi menginginkan putrinya menjadi istri seorang anak raja atau megat.[1] Akankah tercapai cita-cita Batin Lagoi tersebut? Lalu, anak raja atau anak megat dari manakah yang akan beruntung menjadi suami Putri Pandan Berduri? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisah selengkapnya dalam cerita Putri Pandan Berduri berikut ini.

Alkisah, pada zaman dahulu kala, di Pulau Bintan berdiam sekumpulan orang Sampan atau orang Suku Laut. Mereka dipimpin oleh seorang Batin yang gagah perkasa. Batin Lagoi namanya. Untuk masuk ke kawasan Batin Lagoi itu, harus melalui sebuah betung[2] yang ditumbuhi semak belukar yang rimbun.

Pada suatu hari, Batin Lagoi menyusuri pantai. Tengah berjalan santai, tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara tangisan bayi dari arah semak-semak pandan. Dengan perasaan takut, ia menerobos semak pandan itu dengan hati-hati. Tak berapa lama, didapatinya seorang bayi perempuan tergeletak beralaskan daun di antara semak pandan itu. “Anak siapa gerangan? Mengapa berada di sini? Orang tuanya ke mana?” Batin Lagoi bertanya dalam hati.

Setelah menengok ke sekelilingnya, Batin Lagoi tidak melihat tanda-tanda ada orang di sekitarnya. Karena ia tidak mempunyai anak, timbullah keinginan untuk mengangkat bayi itu sebagai anak. Dengan hati-hati, diambilnya bayi itu dan dibawanya pulang. Bayi itu kemudian ia beri nama Putri Pandan Berduri. Ia memelihara Putri Pandan Berduri dengan penuh kasih-sayang seperti memelihara seorang putri raja. Setiap hari Batin Lagoi juga memberinya pelajaran budi pekerti yang luhur.

Waktu terus berjalan. Putri Pandan Berduri tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Tutur bahasa dan sopan-santunnya mencerminkan sifat seorang putri raja. Kecantikan dan keelokan perangai Putri Pandan Berduri mengundang decak kagum para pemuda di Pulau Bintan. Namun, tak seorang pun pemuda yang berani meminangnya, karena Batin Lagoi menginginkan putrinya menjadi istri seorang anak raja atau anak megat.

Sementara itu, di Pulau Galang, tersebutlah seorang Megat yang mempunyai dua orang anak laki-laki. Anak yang tua bernama Julela dan yang muda bernama Jenang Perkasa. Sejak mereka kecil, Megat itu mendidik kedua anaknya agar saling membantu dan saling menghormati.

Setelah keduanya beranjak dewasa, Megat menginginkan Julela sebagai batin di Galang. Hal ini kemudian membuat Julela menjadi sombong. Ia sudah tidak peduli dengan adiknya, sehingga hubungan mereka menjadi tidak harmonis lagi. Mereka pun menjalani hidup masing-masing secara terpisah.

Dari hari ke hari kesombongan Julela semakin menjadi-jadi. Ia sering mencaci dan memusuhi adiknya tanpa sebab. Pada suatu hari, Julela berkata kepada adiknya, “Hei, Jenang bodoh!” Kelak aku menjadi batin di kampung ini, maka kamu harus mematuhi segala perintahku. Jika tidak, kamu akan aku usir dari kampung ini.”

Jenang Perkasa sangat sedih mendengar ucapan abangnya itu. Ia merasa tidak lagi dianggap sebagai saudara. Hal ini menyebabkan Jenang Perkasa merasa semakin terasing dari keluarga. Oleh karena itu, timbullah keinginannya untuk meninggalkan Pulau Galang.

Keesokan harinya, secara diam-diam, Jenang Perkasa berlayar tak tentu arah. Setelah berhari-hari mengarungi lautan luas, sampailah ia di Pulau Bintan. Di sana, ia tidak mengaku sebagai anak seorang megat. Ia selalu bertutur kata lembut kepada setiap orang yang diajaknya berbicara. Sikap dan perilaku Jenang Perkasa itu telah menarik perhatian Batin Lagoi.

Pada suatu hari, Batin Lagoi mengadakan perjamuan makan bersama orang-orang Suku Sampan lainnya. Tak ketinggalan pula Jenang Perkasa diundang dalam perjamuan itu. Jenang Perkasa pun pergi memenuhi undangan itu. Saat jamuan makan akan dimulai, ia memilih tempat yang agak jauh dari kawan-kawannya, agar air cuci tangannya tidak jatuh di hidangan yang ia makan. Tanpa disadarinya, ternyata sejak ia datang sepasang mata telah memerhatikan perilakunya, yang tak lain adalah Batin Lagoi. Tingkah laku dan budi pekerti Jenang Perkasa itu sungguh mengesankan hati Batin Lagoi.

Usai perjamuan, Batin Lagoi menghampiri Jenang Perkasa. “Wahai, Jenang Perkasa! Aku sangat terkesan dan kagum dengan keelokan budi pekertimu. Bersediakah engkau aku nikahkan dengan putriku, Pandan Berduri?” tanya Batin Lagoi. “Dengan segala kerendahan hati, saya bersedia menerima putri tuan sebagai istri saya,” jawab Jenang Perkasa dengan sopannya.

Rupanya, Batin Lagoi sudah lupa dengan cita-citanya untuk menikahkan putrinya dengan anak raja atau megat. Meskipun sebenarnya Jenang Perkasa adalah anak seorang megat, tetapi Batin Lagoi tidak mengetahui tentang hal itu. Ia sungguh-sungguh tertarik dengan perangai Jenang Perkasa yang baik itu.

Seminggu kemudian, Jenang Perkasa pun dinikahkan dengan Putri Pandan Berduri. Pernikahan mereka dilangsungkan sangat meriah. Aneka minuman dan makanan dihidangkan. Tari-tarian juga dipergelarkan menghibur para pengantin dan para undangan. Jenang Perkasa dan Putri Pandan Berduri pun hidup bahagia.

Tak berapa lama kemudian, Batin Lagoi mengangkat Jenang Perkasa sebagai Batin di Bintan untuk menggantikan dirinya. Jenang Perkasa memimpin rakyat Bintan dengan bijaksana sesuai dengan adat yang berlaku di Bintan.

Kepemimpinan Jenang Perkasa yang bijaksana itu terdengar oleh masyarakat Galang. Hingga suatu hari, datanglah sekumpulan orang dari Galang ke Pulau Bintan. “Wahai, Jenang Perkasa! Kami sudah mengetahui tentang kepemimpinanmu di Pulau Bintan ini. Maksud kedatangan kami ke sini untuk mengajak engkau kembali ke Galang mengggantikan abang Engkau yang sombong itu sebagai Batin,” kata salah seorang dari mereka. Namun, Jenang Perkasa menolaknya. Ia lebih memilih menjadi Batin di Pulau Batin. Sekumpulan orang dari Galang itu pun kembali dengan tangan hampa.

Sementara Jenang Perkasa hidup berbahagia bersama Putri Pandan Berduri. Mereka mempunyai tiga orang putra, yang sulung dinamakan Batin Mantang, yang tengah Batin Mapoi, dan yang bungsu Batin Kelong.

Jenang Perkasa mendidik ketiga anaknya dengan baik, agar mereka tidak menjadi orang yang sombong. Ia berharap kelak mereka akan menjadi pemimpin suku yang bertanggung jawab. Maka pada ketiga anaknya diadatkannya dengan adat suku Laut, dan dinamakan dengan adat Kesukuan.

Setelah beranjak dewasa, ketiga anaknya tersebut memimpin suku mereka masing-masing. Batin Mantang membawa berhijrah ke bagian utara Pulau Bintan, Batin Mapoi dengan sukunya ke barat, dan Kelong dengan sukunya ke timu Pulau Bintan. Ketiga suku tersebut kemudian menjadi suku terbesar dan termasyhur di daerah Bintan. Jika mereka mengalami kesulitan, mereka kembali kepada yang pertama, yaitu kepada adat Kesukuan.

Tak lama kemudian, Jenang Perkasa meninggal dunia, disusul Putri Pandan Berduri. Walaupun keduanya telah tiada, tetapi anak-cucu mereka banyak sekali, sehingga adat Kesukuan terus berlanjut. Hingga kini, Jenang Perkasa dan Putri Pandan Berduri tetap dikenang karena dari merekalah lahir persukuan di Teluk Bintan. Suku Laut atau Suku Sampan ini masih banyak ditemukan berdiam di perairan Pulau Bintan.

* * *

Cerita rakyat di atas termasuk ke dalam cerita-cerita teladan yang mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Adapun nilai-nilai moral yang dapat diambil pelajaran dalam cerita di atas adalah keutamaan perangai yang baik dan pantangan bersikap sombong. Sifat berperangai baik tercermin pada sikap dan perilaku Putri Pandan Berduri dan Jenang Perkasa. Mereka selalu bertutur kata yang lembut, sopan dan santun, sehingga mereka banyak disenangi orang. Sikap dan perilaku mereka tersebut patut untuk dijadikan sebagai suri teladan dalam kehidupan sehari-hari.

Sementara sifat sombong tercermin pada sifat Julela yang selalu merendahkan adiknya, Jenang Perkasa. Kesombongannya pun semakin menjadi setelah diangkat menjadi Batin Galang. Oleh karena sifatnya tersebut, ia dijauhi oleh masyarakat. Bahkan adiknya sendiri pergi meninggalkannya. Besarnya akibat buruk yang ditimbulkan oleh sifat sombong, sehingga sifat ini sangat dipantangkan dalam kehidupan orang Melayu. Bagi mereka, orang yang sombong dan angkuh akan terkucilkan dalam masyarakat. Banyak petuah amanah yang menyebutkan tentang akibat buruk dari sifat sombong dan angkuh ini, di antaranya:

kalau suka membesarkan diri,
saudara menjauh, sahabat pun lari

kalau suka berlaku angkuh,
orang benci, sahabat menjauh

Asal Usul Nama pulau Irian-Papua

Asal Mula Nama Irian, Irian atau Irian Jaya pada zaman Orba kemudian berganti Nama menjadi Papua pada zaman Gusdur, adalah salah satu Propinsi di Indonesia bagian Timur dengan Ibu Kota Jayapura, saat ini di pulau Papua terjadi pemekaran menjadi 2 Wilayah Propinsi yaitu Propinsi Papua dan Papua Barat. beginilah ceritanya :

Dahulu kala, di Kampung Sopen, Biak Barat tinggal sebuah keluarga yang memiliki beberapa anak laki-laki. Salah satu anak tersebut bernama Mananamakrdi. Ia sangat dibenci oleh saudara-saudaranya karena seluruh tubuhnya dipenuhi kudis, sehingga siapa pun tak tahan dengan baunya. Maka, saudara-saudaranya selalu meminta Mananamakrdi tidur di luar rumah. Jika Manana­­­­makrdi melawan, tak segan-segan saudara-saudaranya akan menendangnya keluar hingga ia merasa kesakitan.

Suatu hari, saudara-saudaranya sudah tak tahan dengan bau kudis itu. Maka, Mananamakrdi diusir dari rumah. Dengan langkah gontai, Mananamakrdi berjalan ke arah timur. Sesampai di pantai, diambilnya satu perahu yang tertambat. Diarunginya laut luas hingga ia menemukan sebuah darat­an yang tak lain adalah Pulau Miokbudi di Biak Timur.

Ia membuat gubuk kecil di dalam hutan. Setiap hari ia pergi memangkur sagu untuk mencukupi kebutuhan makannya. Selain itu, ia juga membuat tuak dari bunga kelapa. Kebetulan di hutan itu terdapat beberapa pohon kelapa yang dapat disadapnya. Setiap sore, ia memanjat kelapa, kemudian memotong manggarnya. Di bawah potongan itu diletakkan ruas bambu yang diikat. Hari berikutnya, ia tinggal mengambil air nira itu kemudian dibuat tuak. Suatu siang, ia amat terkejut, nira di dalam tabungnya telah habis tak bersisa. Mananamakrdi sangat kesal. Malam itu ia duduk di pelepah daun kelapa untuk menangkap pencurinya. Hingga larut malam pencuri itu belum datang. Menjelang pagi, dari atas langit terlihat sebuah makhluk memancar sangat terang mendekati pohon kelapa tempat Mananamakrdi bersembunyi. Makhluk itu kemudian meminum seluruh nira. Saat ia hendak lari, Mananamakrdi berhasil menangkapnya. Makhluk itu meronta-ronta.

“Siapa kamu?” tanya Mananamakrdi.

“Aku Sampan, si bintang pagi yang menjelang siang. Tolong lepaskan aku, matahari hampir menyingsing,” katanya memohon.

“Sembuhkan dulu kudisku, dan beri aku seorang istri cantik,” pinta Mananamakrdi.

“Sabarlah, di pantai dekat hutan ini tumbuh pohon bitanggur. Jika gadis yang kamu inginkan sedang mandi di pantai, panjatlah pohon bitanggur itu, kemudian lemparkan satu buahnya ke tengah laut. Kelak gadis itu akan menjadi istrimu,” kata Sampan. Mananamakrdi kemudian me­lepaskan Sampan.

Sejak itu setiap sore Mananamakrdi duduk di bawah pohon bitanggur memperhatikan gadis-gadis yang mandi. Suatu sore, dilihatnya seorang gadis cantik mandi seorang diri. Gadis itu tak lain adalah Insoraki, putri kepala suku dari Kampung Meokbundi. Segera dipanjatnya pohon bitanggur. Kulitnya terasa sakit bergesekan dengan pohon bitanggur yang kasar itu. Diambilnya satu buah bitanggur, dan dilemparnya ke laut.

Bitanggur itu terbawa riak air dan mengenai tubuh Insoraki hingga ia merasa terganggu. Dilemparnya buah itu ke tengah laut. Namun, buah itu kembali terbawa air dan mengenai Insoraki. Kejadian itu berlangsung berulang-ulang hingga Insoraki merasa jengkel. Ia kemudian pulang.

Beberapa hari kemudian, Insoraki hamil. Kejadian aneh di pantai ia ceritakan kepada orangtuanya. Tentu saja orangtuanya tak percaya. Beberapa bulan kemudian, Insoraki melahirkan seorang bayi laki-laki. Saat lahir, bayi itu tak menangis, namun tertawa-tawa. Beberapa waktu kemudian, diadakan pesta pemberian nama. Anak itu diberi nama Konori. Mananamakrdi hadir dalam pesta itu. Saat pesta tarian berlangsung, tiba-tiba Konori berlari dan menggelendot di kaki Mananamakrdi. “Ayaaah ...,” teriaknya. Orang-orang terkejut. Pesta tarian kemudian terhenti.

Akhirnya, Isoraki dan Mananamakrdi dinikahkan. Namun, kepala suku dan penduduk kampung merasa jijik dengan Mananamakrdi. Mereka pun meninggalkan kampung dengan membawa semua ternak dan tanamannya. Jadilah kampung itu sepi. Hanya Mananamakrdi, Insoraki, dan Konori yang tinggal. Suatu hari, Mananamakrdi mengumpulkan kayu kering, kemudian membakarnya. Insoraki dan Konori heran. Belum hilang rasa heran itu, tiba-tiba Mananamakrdi melompat ke dalam api. Spontan, Insoraki dan Konori menjerit. Namun ajaib, tak lama kemudian Mananamakrdi keluar dari api itu dengan tubuh yang bersih tanpa kudis. Wajahnya sangat tampan. Anak dan istrinya pun gembira. Mananamakrdi kemudian menyebut dirinya Masren Koreri yang berarti pria yang suci. Beberapa lama kemudian, Mananamakrdi mengheningkan cipta, maka terbentuklah sebuah perahu layar. Ia kemudian mengajak istri dan anaknya berlayar sampai di Mandori, dekat Manokwari.

Pagi-pagi buta, anaknya bermain pasir di pantai. Dilihatnya tanah berbukit-bukit yang amat luas. Semakin lama, kabut tersibak oleh sinar pagi. Tampak pegunungan yang amat cantik. Tak lama ke­­mudian matahari bersinar terang, udara menjadi panas, dan kabut pun lenyap.

“Ayah ... Irian. Iriaaan,” teriak Konori. Dalam bahasa Biak, irian berarti panas.

“Hai, Anakku, jangan memekik begitu. Ini tanah nenek moyangmu,” kata Mananamakrdi.

“Iya, Ayah. Maksud Konori, panas matahari telah menghapus kabut pagi, pemandangan di sini indah sekali,” kata Konori.

Konon, sejak saat itu wilayah tersebut disebut dengan nama Irian. Air laut yang membiru, pasirnya yang bersih, bukit-bukit yang menghijau, dan burung cendrawasih yang anggun dan molek membuat Irian begitu indah.

Kasih sayang sesama Binatang










Cinta adalah sebuah kasih sayang, perasaan kasih sayang ternyata bukan hanya dialami oleh Manusia namun juga hewan atau binatang buas sekalipun dapat memberikan kasih sayang kepada pasangannya maupun anaknya seperti yang tampak pada gambar diatas.

Legendra Asal-Usul Raja Kesultanan Jambi

Jambi adalah salah satu nama provinsi di Indonesia yang terletak di Pulau Sumatera. Provinsi yang beribukota Jambi ini merupakan bekas wilayah Kesultanan Islam Melayu Jambi (1500-1901 M). Konon, jauh sebelum adanya wilayah kesultanan ini, di negeri Jambi telah berdiri lima buah desa, namun belum memiliki seorang pemimpin atau raja. Untuk itu, para sesepuh dari kelima desa tersebut bersepakat untuk mencari seorang raja yang dapat memimpin dan mempersatukan kelima desa tersebut. Setelah bermusyawarah, mereka bersepakat bahwa siapa pun dapat menjadi pemimpin, tapi dengan syarat harus lulus ujian. Ujian apakah yang harus ditempuh untuk menjadi pemimpin kelima desa tersebut? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Usul Raja Negeri Jambi berikut ini.

Pada zaman dahulu, wilayah Negeri Jambi terdiri dari lima buah desa dan belum memiliki seorang raja. Desa tersebut adalah Tujuh Koto, Sembilan Koto, Petajin, Muaro Sebo, dan Batin Duo Belas. Dari kelima desa tersebut, Desa Batin Duo Belaslah yang paling berpengaruh.

Semakin hari penduduk kelima desa tersebut semakin ramai dan kebutuhan hidup mereka pun semakin berkembang. Melihat perkembangan itu, maka muncullah suatu pemikiran di antara mereka bahwa hidup harus lebih teratur, harus ada seorang raja yang mampu memimpin dan mempersatukan mereka. Untuk itu, para sesepuh dari setiap desa berkumpul di Desa Batin Duo Belas yang terletak di kaki Bukit Siguntang (sekarang Dusun Mukomuko) untuk bermusyawarah.

”Sebelum kita memilih seorang raja di antara kita, bagaimana kalau terlebih dahulu kita tentukan kriteria raja yang akan kita pilih. Menurut kalian, apa kriteria raja yang baik itu?” tanya sesepuh dari Desa Batin Duo Belas membuka pembicaraan dalam pertemuan tersebut.

”Menurut saya, seorang raja harus memiliki kelebihan di antara kita,” jawab sesepuh dari Desa Tujuh Koto.

”Ya, Benar! Seorang raja harus lebih kuat, baik lahir maupun batin,” tambah sesepuh dari Desa Petajin.

”Saya sepakat dengan pendapat itu. Kita harus memilih raja yang disegani dan dihormati,” sahut sesepuh dari Desa Muaro Sebo.

”Apakah kalian semua setuju dengan pendapat tersebut?” tanya sesepuh dari Desa Batin Duo Belas.

”Setuju!” jawab peserta rapat serentak.

Akhirnya, mereka bersepakat tentang kriteria raja yang akan mereka pilih, yakni harus memiliki kelebihan di antara mereka.

”Tapi, bagaimana kita dapat mengetahui kelebihan masing-masing di antara kita?” tanya sesepuh dari Desa Sembilan Koto.

”Kalau begitu, setiap calon pemimpin harus kita uji kemampuannya,” jawab sesepuh Desa Batin Duo Belas.

”Bagaimana caranya?” tanya sesepuh Desa Petajin penasaran.

”Setiap calon harus melalui empat ujian, yaitu dibakar, direndam di dalam air mendidih selama tujuh jam, dijadikan peluru meriam dan ditembakkan, dan digiling dengan kilang besi. Siapa pun yang berhasil melalui ujian tersebut, maka dialah yang berhak menjadi raja. Apakah kalian setuju?” tanya sesepuh Desa Batin Duo Belas.

Semua peserta rapat setuju dan siap untuk mencari seorang calon raja. Mereka bersepakat untuk melaksanakan ujian tersebut dalam tiga hari kemudian di Desa Batin Duo Belas. Dengan penuh semangat, seluruh sesepuh kembali ke desa masing-masing untuk menunjuk salah seorang warganya untuk mewakili desa mereka dalam ujian tersebut. Tentunya masing-masing desa berharap memenangkan ujian tersebut. Oleh karena itu, mereka akan memilih warga yang dianggap paling sakti di antara mereka.

Waktu pelaksanaan ujian pun tiba. Semua warga dari kelima desa telah berkumpul di Desa Batin Duo Belas untuk menyaksikan lomba adu kesaktian yang mendebarkan itu. Setiap desa telah mempersiapkan wakilnya masing-masing. Sebelum perlombaan dimulai, peserta yang akan tampil pertama dan seterusnya diundi terlebih dahulu.

Setelah diundi, rupanya undian pertama jatuh kepada utusan dari Desa Sembilan Koto. Wakil desa itu pun masuk ke tengah gelanggang untuk diuji. Ia pun dibakar dengan api yang menyala-nyala, tapi tubuhnya tidak hangus dan tidak kepanasan. Ujian kedua, ia direndam di dalam air mendidih, namun tubuhnya tidak melepuh sedikit pun. Ujian ketiga, ia dimasukkan ke dalam mulut meriam lalu disulut dengan api dan ditembakkan. Ia pun terpental dan jatuh beberapa depa. Ia segera bangun dan langsung berdiri tegak seperti tidak terjadi apa-apa. Seluruh penonton kagum menyaksikan kehebatan wakil dari Desa Sembilan Koto itu.

Ketika memasuki ujian terakhir, tiba-tiba suasana menjadi hening. Seluruh penonton menjadi tegang, karena ujian yang terakhir ini adalah ujian yang paling berat. Jika kesaktian wakil dari Desa Sembilan Koto itu kurang ampuh, maka seluruh tulangnya akan hancur dan remuk. Ternyata benar, belum sempat penggilingan itu menggiling seluruh tubuhnya, orang itu sudah meraung kesakitan, karena tulang-tulangnya hancur dan remuk. Penggilingan pun segera dihentikan. Wakil dari Desa Sembilan Koto itu dinyatakan tidak lulus ujian dan gagal menjadi raja Jambi.

Ujian berikutnya jatuh kepada wakil dari Desa Tujuh Koto.

”Wakil dari Desa Tujuh Koto dipersilahkan untuk memasuki gelanggang,” kata salah seorang panitia mempersilahkan.

Setelah beberapa saat menunggu, wakil dari Desa Tujuh Koto belum juga maju.

”Mana wakil dari Desa Tujuh Koto? Ayo, maju!” seru salah seorang panitia.

“Kalau tidak berani, lebih baik mundur saja!” tambahnya.

Merasa dilecehkan oleh panitia, calon dari Desa Tujuh Koto pun segera maju.

“Siapa takut? Kami dari Desa Tujuh Koto dak kenal kato undur, dak kenal kato menyerah!” seru wakil Desa Tujuh Koto itu dengan nada menantang.

Calon raja dari Desa Tujuh Koto pun diuji. Ia berhasil melalui ujian pertama hingga ujian ketiga. Namun, ia gagal pada ujian keempat. Akhirnya, ia pun gagal menjadi raja Jambi.

Ujian berikutnya dihadapi oleh wakil dari Desa Batin Duo Belas, kemudian diikuti oleh Desa Petajin dan Muaro Sebo. Namun, wakil dari ketiga desa tersebut semuanya gagal melalui ujian keempat, yakni digiling dengan kilang besi. Oleh karena semua wakil dari kelima desa tersebut gagal melalui ujian, maka mereka pun kembali mengadakan musyawarah.

“Bagaimana kalau kita mencari calon raja Jambi dari negeri lain?” usul sesepuh dari Desa Batin Duo Belas.

Usulan tersebut diterima oleh peserta rapat lainnya. Selanjutnya mereka mengutus dua wakil dari setiap desa untuk pergi mencari calon raja. Keesokan harinya, rombongan itu berangkat meninggalkan Negeri Jambi menuju ke negeri-negeri di sekitarnya. Di setiap negeri yang disinggahi, mereka menanyakan siapa yang bersedia menjadi raja Jambi dan tidak lupa pula mereka menyebutkan persyaratannya, yaitu harus mengikuti keempat ujian tersebut.

Sudah berpuluh-puluh negeri mereka singgahi, namun belum menemukan seorang pun yang bersedia menjadi raja Jambi, karena tidak sanggup menjalani keempat ujian tersebut. Rombongan itu pun kembali mengadakan musyawarah.

”Kita kembali saja ke Negeri Jambi. Mustahil ada orang yang mampu memenuhi syarat itu untuk menjadi raja Jambi,” keluh wakil Desa Petijan.

”Sabar, Saudara! Kita jangan cepat putus asa. Kita memang belum menemukan calon raja Jambi di beberapa negeri yang dekat ini. Tetapi, saya yakin bahwa di negeri jauh sana kita akan menemukan orang yang kita cari,” kata wakil Desa Muaro Sebo.

”Apa maksudmu?” tanya wakil Desa Petijan penasaran.

”Kita harus mengarungi samudera yang luas itu,” jawab wakil Desa Muaro Sebo dengan tenang.

”Kami setuju!” sahut wakil dari Desa Batin Duo Belas, Tujuh Koto, dan Sembilan Koto.

”Kalau begitu, kami juga setuju,” kata wakil Desa Petijan.

Akhirnya, rombongan itu bertekat untuk mengarungi samudera di ujung Pulau Sumatra. Setelah mempersiapkan segala keperluan, berangkatlah rombongan itu dengan menggunakan dendang (perahu besar). Setelah berhari-hari diombang-ambing oleh gelombang laut di tengah samudera yang luas itu, mereka pun tiba di Negeri Keling (India). Mereka berkeliling di Negeri Keling yang luas itu untuk mencari orang yang bersedia menjadi Raja Negeri Jambi dengan ujian yang telah mereka tentukan. Semua orang yang mereka temui belum ada yang sanggup menjalani ujian berat itu.

Pada suatu hari, mereka mendengar kabar bahwa di sebuah kampung di Negeri Keling, ada seseorang yang terkenal memiliki kesaktian yang tinggi. Akhirnya, mereka pun menemui orang sakti itu.

”Permisi, Tuan! Kami adalah utusan dari Negeri Jambi. Negeri kami sedang mencari seorang raja yang akan memimpin negeri kami, tapi dengan syarat harus lulus ujian. Apakah Tuan bersedia?” tanya salah seorang dari rombongan itu sambil menceritakan ujian yang harus dijalani calon raja itu.

”Saya sanggup menjalani ujian itu,” jawab orang itu.

Rombongan itu segera membawa calon raja itu pulang ke Negeri Jambi. Setelah menempuh perjalanan selama berminggu-minggu, tibalah mereka di Negeri Jambi. Orang sakti itu disambut gembira oleh rakyat Jambi. Mereka berharap bahwa calon yang datang dari seberang lautan itu benar-benar orang yang sakti, sehingga lulus dalam ujian itu dan menjadi raja mereka.

Keesokan harinya, orang sakti itu pun diuji. Seperti halnya calon-calon raja sebelumnya, orang sakti itu pertama-tama dibakar dengan api yang menyala-nyala. Orang Keling itu benar-benar sakti, tubuhnya tidak hangus, bahkan tidak satu pun bulu romanya yang terbakar. Setelah diuji dengan ujian kedua dan ketiga, orang itu tetap tidak apa-apa. Terakhir, orang itu akan menghadapi ujian yang paling berat, yang tidak sanggup dilalui oleh calon-calon raja sebelumnya, yaitu digiling dengan kilang besi yang besar. Pada saat ujian terakhir itu akan dimulai, suasana menjadi hening. Penduduk yang menyaksikan menahan napas. Dalam hati mereka ada yang menduga bahwa seluruh tubuh orang itu akan hancur dan remuk.

Ini adalah saat-saat yang mendebarkan. Ujian terakhir itu pun dimulai. Pertama-tama, kedua ujung jari-jari kaki orang Keling itu dimasukkan ke dalam kilang besi. Kilang mulai diputar dan sedikit demi sedikit tubuh orang Keling itu bergerak maju tertarik kilang besi yang berputar. Semua penduduk yang menyaksikannya menutup mata. Mereka tidak sanggup melihat tubuh orang Keling itu remuk. Namun apa yang terjadi? Mereka yang sedang menutup mata tidak mendengarkan suara jeritan sedikit pun. Tetapi justru suara ledakan dahsyatlah yang mereka dengarkan. Mereka sangat terkejut saat membuka mata, kilang besi yang besar itu hancur berkeping-keping, sedangkan orang Keling itu tetap tidak apa-apa, bahkan ia tersenyum sambil bertepuk tangan. Penduduk yang semula tegang ikut bergembira, karena berhasil menemukan raja yang akan memimpin mereka.

Seluruh penduduk dari Desa Tujuh Koto, Sembilan Koto, Muaro Sebo, Petajin, dan Batin Duo Belas segera mempersiapkan segala keperluan untuk membangun sebuah istana yang bagus. Selain itu, mereka juga mempersiapkan bahan makanan untuk mengadakan pesta besar-besaran untuk meresmikan penobatan Raja Negeri Jambi. Beberapa bulan kemudian, berkat kerja keras seluruh warga, berdirilah sebuah istana yang indah dan orang Keling itu pun dinobatkan menjadi raja Jambi.

Demikian cerita Asal Usul Raja Negeri Jambi dari daerah Jambi, Indonesia. Cerita di atas termasuk ke dalam cerita legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Sedikitnya ada dua pesan moral yang dapat diambil, yaitu sifat suka bermusyawarah dan pentingnya keberadaan seorang pemimpin dalam kehidupan masyarakat.

Pertama, sifat suka bermusyawarah. Sifat ini tercermin pada perilaku warga dari kelima desa dalam cerita di atas. Setiap menghadapi persoalan, mereka senantiasa bermusyawarah. Dalam ungkapan Melayu dikatakan:

apa tanda Melayu bertuah,
sebarang kerja bermusyawarah.

Kedua, pentingnya keberadaan seorang pemimpin. Dalam cerita di atas, masyarakat menyadari bahwa keberadaan seorang pemimpin dalam kehidupan sehari-hari sangatlah penting. Untuk itu, mereka pun berusaha mencari seorang raja yang diharapkan mampu membimbing, melindungi, menjaga, dan menuntun mereka agar kehidupan mereka aman, damai dan sejahtera. Dikatakan dalam petuah amanah orang tua-tua Melayu:

bertuah ayam ada induknya
bertuah serai ada rumpunnya
bertuah rumah ada tuannya
bertuah kampung ada penghulunya
bertuah negeri ada rajanya
bertuah iman ada jemaahnya

Kostum lucu pada Perayaan Hallowen










Kostum lucu pada perayaan Hallowen

Halloween atau Hallowe’en adalah tradisi perayaan malam tanggal 31 Oktober, dan terutama dirayakan di Amerika Serikat. Tradisi ini berasal dari Irlandia, dan dibawa oleh orang Irlandia yang beremigrasi ke Amerika Utara. Halloween dirayakan anak-anak dengan memakai kostum seram, dan berkeliling dari pintu ke pintu rumah tetangga meminta permen atau cokelat sambil berkata "Trick or treat!" Ucapan tersebut adalah semacam "ancaman" yang berarti "Beri kami (permen) atau kami jahili." Di zaman sekarang, anak-anak biasanya tidak lagi menjahili rumah orang yang tidak memberi apa-apa. Sebagian anak-anak masih menjahili rumah orang yang pelit dengan cara menghiasi pohon di depan rumah mereka dengan tisu toilet atau menulisi jendela dengan sabun.

Griya Rumah Unik










Rumah adalah bangunan yang dijadikan tempat tinggal selama jangka waktu tertentu. Rumah bisa menjadi tempat tinggal manusia maupun hewan, namun tempat tinggal yang khusus bagi hewan biasa disebut sangkar, sarang, atau kandang. Dalam arti khusus, rumah mengacu pada konsep-konsep sosial-kemasyarakatan yang terjalin di dalam bangunan tempat tinggal, seperti keluarga, tempat bertumbuh, makan, tidur, beraktivitas, dll.

Cerita Rakyat Toli-Toli Kampung Payol


Kampung Payol atau yang kini dikenal Kampung Sipayol adalah sebuah kampung yang terletak di Kabupaten Toli-Toli, Sulawesi Tengah, Indonesia. Menurut masyarakat setempat, kampung ini memiliki legenda yang cukup menarik. Dulu, kampung ini tidak mempunyai nama. Namun tersebab oleh sebuah peristiwa, kampung ini kemudian diberi nama Kampung Payol. Peristiwa apakah yang terjadi di daerah tersebut sehingga dinamakan Kampung Payol? Ikuti kisahnya dalam cerita Legenda Ikan Payol berikut ini!

Alkisah, di daerah pesisir Kabupetan Toli-Toli, Sulawesi Tengah, terdapat sebuah kampung yang bernama Kampung Dondo. Di antara penduduk kampung itu ada sebuah keluarga kecil yang terdiri dari sepasang suami istri bersama seorang anak mereka. Sang suami bernama Pak Daesala, sang istri bernama Daesumandi, sedangkan sang anak bernama Daemaji.

Suatu hari, keluarga kecil itu pergi ke sebuah pulau karang bernama Pulau Napo yang terletak di tengah laut. Mereka pergi ke pulau itu untuk mencari kina dengan menggunakan perahu. Setiba di pulau itu, Pak Daesala meninggalkan perahunya di bibir pantai tanpa ditambatkan. Saat mereka masuk ke pulau itu, tiba-tiba air laut pasang sehingga perahunya hanyut terbawa gelombang laut.
Ketika hari mulai senja, mereka bermaksud pulang ke perkampungan. Alangkah terkejutnya mereka ketika melihat perahu mereka sudah tidak ada lagi di pantai.

“Ayah, ke mana perahu kita?” tanya Daemaji kepada ayahnya dengan kaget.
Pak Daesala tidak menjawab. Ia hanya tertegun memandangi gelombang laut yang terhempas di bibir pantai. Ia sangat menyesal karena tidak menambatkan perahunya sebelum masuk ke dalam pulau itu.

“Maafkan Ayah, nak! Ayah lupa menambatkan perahu kita sehingga terbawa gelombang air laut pasang,” jawab Pak Daesala dengan penuh penyesalan.

“Lalu, bagaimana caranya kita pulang Yah?” tanya istrinya bingung.
“Entahlah, Bu! Ayah juga tidak tahu harus berbuat apa,” jawab Pak Daesala.
Keluarga kecil itu akhirnya terdampar di pulau itu. Agar tidak terendam air laut yang semakin naik, mereka mengumpulkan batu dan kemudian menyusunnya sampai tinggi. Setelah itu, mereka berdoa agar Tuhan Yang Mahakuasa segera menolong mereka. Doa mereka pun terkabulkan. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba seekor ikan yang disebut ikan payol mendekati mereka.

“Wahai, ikan payol! Jika kamu hendak menolong kami, merapatlah ke tumpukan batu ini!” pinta Pak Daesala.

Ika payol itu pun meliuk-liukkan ekor pertanda bersedia menolong mereka. Ia kemudian merapatkan tubuhnya pada tumpukan batu itu. Begitu ia merapat, Pak Daesala bersama istri dan anaknya segera naik ke atas punggungnya. Namun, ikan payol itu tidak mengantar mereka pulang ke perkampungan, melainkan membawa mereka mengarungi laut selama tujuh hari malam. Ajaibnya, ketiga orang tersebut tidak pernah merasa haus dan lapar.

Pada hari berikutnya, ikan payol itu berhenti di suatu tempat dan menurunkan mereka. Tanpa mereka duga, ternyata ikan payol itu bisa berbicara layaknya manusia.

“Cukup sampai di sini saya mengantarkan kalian. Pergilah ke hulu dan tinggallah di sana!” ujar ikan payol.

Sebelum pergi meninggalkan ketiga orang tersebut, ikan payol berpesan agar mereka memberi nama tempat itu dengan nama ‘Payol’. Sementara itu, Pak Daesala dan keluarganya semakin bingung harus berbuat apa karena tempat itu sangat sepi seperti tak berpenghuni. Mereka pun mulai merasa lapar.

“Ayah, aku lapar,” kata Daemaji.
Setelah melihat ke sekeliling, Pak Daesala tidak menemukan sesuatu yang dapat dimakan. Oleh karena itu, ia pun mengajak istri dan anaknya untuk beristirahat sejenak. Ia akan mencari makanan setelah beristirahat. Baru saja merebahkan tubuh di bawah sebuah pohon yang rindang, tiba-tiba mereka mencium bau asap. Pak Daesala pun segera terperanjat dari tempat istirahatnya.

“Hai, apakah kalian mencium bau asap?” tanya Pak Daesala kepada istri dan anaknya.
“Benar, Yah. Aku pun mencium bau asap itu,” sahut istrinya.

“Ada asap berarti ada api. Ada api berarti ada orang yang menyalakannya,” pikir sang Ayah, “Tidak salah lagi, tempat ini pasti ada penghuninya. Ayo kita cari sumber asap itu!”

Ketiga orang itu segera mencari sumber asap tersebut. Baru beberapa langkah berjalan, mereka pun menemukan sebuah perapian yang baru saja dinyalakan. Semakin yakinlah mereka bahwa ada orang selain mereka di sekitar tempat itu. Setelah melihat ke selilingnya, tak seorang manusia yang mereka lihat.

Ketika Pak Daesala hendak mengambil satu batang kayu api yang masih membara untuk dibawa ke tempat mereka beristirahat, tiba-tiba terdengar suara orang sedang batuk-batuk. Rupanya, suara batuk itu berasal dari tengah-tengah sebuah kebun jagung yang berada di tidak jauh dari perapian itu. Tak berapa lama kemudian, seorang kakek tiba-tiba muncul dari balik rimbunan pohon jagung. Orang itu ternyata orang Taijo, penduduk pertama di tempat itu.

“Hai, kalian siapa dan kenapa bisa berada di tempat ini?” tanya orang Taijo itu.
Pak Daesala pun memperkenalkan diri dan keluarganya. Kemudian menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga mereka bisa sampai di tempat itu. Ia menyampaikan pesan dari si ikan payol agar tempat itu diberi nama Kampung Payol. Orang Taijo itu pun setuju. Sejak itulah, tempat itu bernama Kampung Payol.

Selanjutnya, orang Taijo itu memperkenalkan diri bahwa ia tinggal di kampung itu dengan ditemani oleh istrinya.

“Hanya kami berdua yang tinggal di tempat ini. Tinggallah bersama kami di sini!” ajak orang Taijo itu

Keluarga Pak Daesala pun setuju karena mereka juga tidak dapat kembali ke tempat asal mereka. Mereka juga diberi kebun yang terletak di kaki sebuah gunung sehingga dapat hidup tanpa kekurangan makanan. Setelah beberapa tinggal di kampung itu, istri Pak Daesala mulai merasa jenuh karena suasananya sangat sepi. Tidak seperti di tempat asalnya di Kampung Dondo, ia dapat bergaul bersama para tetangga-tetangganya.

“Yah, sudah lama kita berada di kampung ini dengan hidup berkecukupan. Tapi, apalah artinya semua ini kalau kita selalu kesepian begini?” keluh istri Pak Daesala, “Berusahalah mencari jalan keluar agar kita dapat terlepas dari suasana sepi seperti ini!”

Mendengar permintaan istrinya, Pak Daesala segera pergi ke sebuah gunung yang tertinggi di daerah itu. Setiba di puncak gunung, ia memanjat pohon yang paling tinggi lalu melihat ke sekelilingnya. Dari atas pohon itulah ia melihat sebuah perkampungan yang terletak di sebelah barat. Setelah diamati, maka yakinlah ia bahwa kampung itu adalah kampung asalnya, Kampung Dondo.

“Wah, itu pasti Kampung Dondo,” gumamnya.
Setelah itu, Pak Daesala segera turun dari pohon itu lalu pergi menemui istri dan anaknya. Ia kemudian mengajak mereka untuk meninggalkan tempat itu menuju ke kampung asal mereka. Sebelum berangkat, mereka terlebih dahulu berpamitan kepada orang Taijo.

“Maaf, Pak. Izinkanlah kami untuk pulang ke kampung asal kami! Suatu saat, kami akan kembali ke kampung ini untuk menetap,” kata Pak Daesala kepada orang Taijo itu.

Sebelum pergi meninggalkan kampung itu, Pak Daesala mengajukan sebuah permintaan kepada orang Taijo bahwa ia akan mengajak beberapa keluarga dan tetangganya untuk tinggal di Kampung Payol.

“Dengan senang hati. Saya pun berharap demikian agar Kampung Payol ini menjadi ramai. Lagi pula masih banyak tanah kosong yang dapat dijadikan lahan perkebunan dan untuk tempat tinggal,’ ujar orang Taijo.

Alangkah senang hati keluarga Pak Daesala mendengar permintaan mereka diterima oleh orang Taijo itu. Setelah berpamitan, berangkatlah mereka menuju ke Kampung Dondo. Setiba di sana, mereka pun bisa bertemu kembali dengan keluarga dan para tetangga mereka. Pak Daesala

kemudian menceritakan semua pengalaman yang baru saja mereka alami kepada seluruh warga. Selanjutnya, ia mengajak tujuh belas rumah tangga yang terdiri dari keluarga dan tetangganya untuk pindah ke Kampung Payol. Mereka pun akhirnya menetap dan berkebun di kampung itu.
Hingga saat ini, keturunan Pak Daesala tidak diperkenankan makan ikan payol. Bahkan, mereka tidak diperbolehkan menyentuh ikan yang pernah menolong Pak Daesala itu. Sementara itu, nama Kampung Payol diubah oleh penjajah Belanda menjadi Kampung Sipayol.

Penemuan Korek Api

Pada tahun 1800-an, baja, batu geretan, dan sabuk /kawulmsih digunakan untuk membuat api. Korek api pertama yang yang telah memakai fosfor dibuat pada tahun 1830-an. Korek api tersebut disimpan dan diamankan pada sebuah kotak spesial agar tidak terbakar karena korek api dapat terbakar pada permukaan apapun.

Pada 1844, Profesor Gustaf Erik Pasch mengganti fosfor kuning yang beracun dengan fosfor merah yang tidak beracun. Dia juga memisahkan ramuan bahan kimia untuk ujung korek api dan meletakkan fosfor pada permukaan untuk digesek pada kotak luarnya. Korek api yang aman telah tercipta. Ini adalah sebuah hasil penemuan yang berarti dan penting, yang membuat Swedia terkenal di dunia. Sayang sekali, produksinya sungguh sulit dan mahal.

Pada tahun 1864, insinyur yang lebih tua 28 tahun, Alexander Lagerman mendesign korek api mesin otomatis yang pertama. Pada waktu itu, produksi yang menggunakan tangan atau secara manual berganti menjadi produksi massa, korek api yang aman dari korek api JONKOPING (swedia) diekspor keseluruh dunia dan menjadi terkenal di dunia.

Pada 1868, perusahaan korek api Vulcan AB ditemukan di Tidaholm, swedia. Sekarang, perusahaan Tidaholm, dimiliki oleh Swedish Macth, yang dianggap jalur produksinya memiliki teknologi paling yang paling berkembang dalam korek api di dunia. Pemikiran tentang Lingkungan adalah bagian yang sangat penting dalam proses menghasilkan produksi dan bahan kimia sudah diganti, kotak korek api sudah terbuat dari kertas yang didaur ulang.

Korek api adalah sebuah alat untuk menyalakan api secara terkendali. Korek api dijual bebas di toko-toko dalam bentuk paket sekotak korek api. Sebatang korek api terdiri dari batang kayu yang salah satu ujungnya ditutupi dengan suatu bahan yang umumnya fosfor yang akan

menghasilkan nyala api karena gesekan ketika digesekkan terhadap satu permukaan khusus. Walaupun ada tipe korek api yang dapat dinyalakan pada sembarang permukaan kasar. Korek api yang menggunakan cairan seperti naphtha atau butana disebut korek api gas.

Bangsa Tiongkok sejak 577 telah mengembangkan korek api sederhana yang terbuat dari batang kayu yang mengadung belerang. Korek api modern pertama ditemukan tahun 1805 oleh K. Chancel, asisten Profesor L. J. Thénard di Paris. Kepala korek api merupakan campuran potasium klorat, belerang, gula dan karet. Korek api ini dinyalakan dengan menyelupkannya ke dalam botol asbes yang berisi asam sulfat. Korek api ini tergolong mahal pada saat itu dan penggunaannya berbahaya sehingga tidak mendapatkan popularitas.

Korek api yang dinyalakan dengan digesek pertama kali ditemukan oleh kimiawan Inggris John Walker tahun 1827. Penemuan tersebut diawali oleh Robert Boyle tahun 1680-an dengan campuran fosfor dan belerang, tetapi usahanya pada waktu itu belum mencapai hasil yang memuaskan. Walker menemukan campuran antimon (III) sulfida, potasium klorat, natural gum, dan pati dapat dinyalakan dengan menggesekkannya pada permukaan kasar.

- Copyright © Regina Theyser - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -