Posted by : Welly Tuesday, April 17, 2012

Di daerah Mentok, Bangka Barat, hiduplah seorang laki-laki bernama Abang Daud. Kerjanya setiap hari hanya membuat kekacauan di mana-mana, seperti mencuri dan merampas barang milik orang lain.

Pada suatu hari, Abang Daud menunggu warga yang membawa hasil kebunnya untuk di jual ke pasar. Setelah beberapa saat menunggu, tampaklah dari kejauhan seorang laki-laki setengah baya sedang memikul keranjang berisi sayur-sayuran dan buah-buahan.

“Hmmm... ini dia yang kutunggu-tunggu! Aku akan mengambil barang-barang si tua bangka itu dari belakang. Pasti dia tidak akan tahu!” gumam Abang Daud.

Setelah beberapa jauh orang tua itu melewati tempat persembunyiannya, secara diam-diam Abang Daud membuntutinya sambil berjingkat-jingkat. Ia hendak mengambil buah-buahan yang ada di keranjang belakang orang tua itu. Namun tanpa disadarinya, ternyata orang tua itu adalah seorang pendekar silat yang berilmu tinggi, bernama Long Guan yang terkenal dengan panggilan Apek Long Guan. Banyak orang yang datang berguru kepadanya.

Menyadari ada orang yang mengikutinya, Apek Long Guan langsung membentak:
“Hai, jangan main-main!”

Alangkah terkejutnya Abang Daud mendengar bentakan itu, apalagi ketika orang tua itu menoleh kepadanya. Ternyata orang tua itu adalah Pek Long Guan, guru silat yang cukup disegani di Mentok.
“Oh, maaf Pek Long! Bagaimana Pek Long dapat mengetahui kalau saya ada di belakang Pek Long? Apakah Pek Long mempunyai ilmu batin?” tanya Abang Daud.

“Tidak... Tidak...! Aku tidak mempunyai ilmu apa-apa. Aku hanya menebak-nebak saja, dan kebetulan tebakanku benar,” jawab Pek Long Guan sambil terus berlalu tanpa menghiraukan Abang Daud.
Namun, Abang Daud terus membuntutinya.

“Tidak usah berbohong Pek Long! Pek Long pasti mempunyai ilmu batin. Saya mohon ajarkanlah kepada saya Pek Long!” pinta Abang Daud.

Setelah beberapa kali Abang Daud memohon barulah Pek Long Guan mengaku bahwa dia memang mempunyai ilmu batin. Ia pun bersedia mengajarkan ilmunya, asalkan Abang Daud mau memenuhi satu syarat.

“Baiklah, Abang Daud! Aku bersedia mengajarimu asalkan kamu mau merubah perilakumu yang suka membuat kekacauan di desa ini,” ujar Pek Long Guan.

“Baiklah, Pek Long! Aku berjanji tidak akan membuat kekacauan lagi,” kata Abang Daud berjanji.
“Kalau begitu, datanglah besok ke rumah!” kata Pek Long seraya melanjutkan perjalanan menuju ke pasar.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Abang Daud pergi ke rumah Pek Long Guan. Saat ia memasuki pekarangan rumah Pek Long Guan, tampaklah sejumlah murid-murid Pek Long Guan sedang berlatih ilmu silat dan batin.

“Wah, ternyata Pek Long mempunyai banyak murid. Kenapa tidak dari dulu aku berguru kepada Pek Long?” gumamnya dengan perasaan menyesal.

Melihat kedatangan Abang Daud, Pek Long Guan segera menyuruhnya duduk untuk diberikan pengarahan. Setelah itu, Abang Daud pun ikut berlatih bersama murid-murid Pek Long Guan lainnya. Sejak itu, ia menjadi murid Pek Long Guan. Ia termasuk murid yang cerdas dan dapat memahami dan menguasai jurus-jurus yang diajarkan kepadanya dengan sempurna. Tak heran, jika Pek Long Guan sangat menyayanginya dan rela memberikan semua ilmu yang dimilikinya.

Setelah menguasai semua ilmu yang diberikan oleh Pek Long Guan, Abang Daud berpamitan kepada gurunya hendak merantau ke tanah Tanah Melayu (Palembang, Sumatra Selatan) untuk memperbaiki hidupnya.

“Terima kasih, Guru! Ilmu yang guru berikan akan saya gunakan untuk kebaikan,” ucap Abang Daud.
“Aku pun berharap demikian, Muridku,” kata Pek Long Guan seraya berpesan kepada Abang Daud dengan untaian pantun dan syair seperti berikut ini:

wahai ananda hamba bermanat,
simak olehmu petuah amanah
peganglah dengan hati yang bulat
semoga Tuhan memberimu berkah
maka seperti kata orang tua-tua:


sebelum melangkah pegang petuah
sebelum berjalan amanah dipadan
untuk bekal anak berjalan
manfaatkan ilmu pada yang terpuji
menjaga  diri membela negeri


manfaatkan ilmu pada yang patut,
supaya tak sia-sia anak menuntut
ilmu jangan dipermain-mainkan
pantang sekali dilagak-lagakkan
ilmu jangan disia-siakan,


amalkan olehmu pada kebajikan
berbuat baik engkau kekalkan
tolong menolong engkau utamakan
tiru olehmu ilmu padi,
semakin merunduk semakin berisi


Setelah berjanji untuk melaksanakan semua nasehat gurunya, Abang Daud pun berlayar ke Tanah Melayu dengan menumpang kapal milik Haji Ali dari Mentok. Selama di perjalanan, Haji Ali pun senantiasa memberinya nasehat.

“Wahai, Abang Daud! Sesampainya di Tanah Melayu, kamu harus pandai-pandai menjaga mulut, karena adat penduduk di sana berbeda dengan adat kita di kampung,” pesan Haji Ali.
“Apakah itu, Pak Haji?” tanya Abang Daud penasaran.

“Jika kamu mendengar ayam berkokok tiga kali berturut-turut bukan pada waktunya, jangan kamu jawab! Jika kamu menjawabnya, berarti kamu telah melawan adat Tanah Melayu. Sebagai hukumannya, kamu harus bertarung melawan Panglima Tanah Melayu,” ujar Haji Ali.
“Oh, begitu!” kata Abang Daud sambil tersenyum.

Setelah berhari-hari berlayar mengarungi lautan luas, tibalah mereka di Tanah Melayu bersamaan waktu magrib. Saat mereka menginjakkan kaki di pelabuhan, terdengarlah suara ayam jantan berkokok tiga kali berturut-turut. Tanpa disadarinya, Abang Daud menjawab kokokan ayam tersebut.
“Kokkokokkooo...!!!” demikian suara Abang Daud.

Rupanya, jawaban kokokan ayam Abang Daud terdengar oleh mata-mata Raja Palembang yang sedang berjaga-jaga di Pelabuhan. Mata-mata itu pun segera melaporkan hal itu kepada Raja.
“Ampun, Baginda! Hamba mendengar suara ayam jantan yang baru saja berlabuh di pelabuhan,” lapor mata-mata itu.

“Pengawal! Carilah ayam jantan dari negeri seberang itu yang telah berani menantang adat Tanah Melayu!” perintah sang Raja.

Mendengar perintah tersebut, beberapa pengawal istana segera menuju ke pelabuhan untuk mencari ayam jantan itu, dan membawanya ke istana untuk dihadapkan kepada Raja. Tak berapa lama kemudian, para pengawal itu pun kembali bersama Abang Daud.

“Hai, orang asing! Siapa kamu ini, berani-beraninya menentang adat negeri ini?” tanya Raja Palembang dengan nada membentak.

“Ampun, Baginda! Hamba seorang perantau dari Mentok. Orang-orang memanggilku Abang Daud. Mohon ampun jika hamba telah melanggar adat negeri ini!” Abang Daud memohon kepada Raja Palembang sambil memberi hormat.

“Asal kamu tahu saja, Abang Daud! Siapa pun yang melanggar adat negeri ini, maka ia harus menerima hukuman, yaitu bertarung melawan Panglima Tanah Melayu,” ujar Raja Palembang.
“Ampun, Baginda! Hamba bersedia menerima hukuman ini. Tapi, berilah hamba waktu tiga hari untuk memulihkan tenaga terlebih dahulu. Hamba sangat kelelahan setelah berhari-hari berlayar terombang-ambing di tengah laut,” pinta Abang Daud.

Setelah berunding dengan panglimanya, sang Raja pun memenuhi permintaan Abang Daud. Sambil menunggu hari pertarungan itu tiba, Abang Daud tinggal di rumah Haji Ali. Agar Abang Daud tidak melarikan diri kembali ke negerinya di Mentok, Raja Palembang mengutus beberapa orang pengawalnya untuk berjaga-jaga di sekitar rumah Haji Ali.

Pada malam harinya, usai makan malam, juragan kapal itu berbincang-bincang dengan Abang Daud.
“Hai, Abang Daud! Aku sudah berkali-kali menasehatimu, tapi kamu tetap saja melanggar adat negeri ini. Akhirnya, kamu terima sendiri akibatnya,” ujar Haji Ali.

“Tidak usah khawatir, Pak Haji! Semoga saja saya bisa mengatasi masalah ini sendiri. Saya mohon maaf jika telah merepotkan Pak Haji,” kata Abang Daud dengan tenangnya.

Pada hari yang telah ditentukan, Abang Daud datang menghadap sang Raja untuk menepati janjinya. Tak ketinggalan pula Haji Ali bersama warga Mentok lainnya ikut serta ke istana Kerajaan Palembang untuk menyaksikan pertarungan tersebut. Sebagai sesama orang Mentok, mereka senantiasa memberikan semangat dan dukungan kepada Abang Daud agar selamat dari kematian.

Saat rombongan Abang Daud memasuki halaman istana, tampak seluruh keluarga istana dan para pengawal Raja telah memadati sekitar arena pertarungan yang telah disiapkan. Sesekali terdengar suara ejekan dari para penonton yang meremehkan kemampuan Abang Daud.

“Ah, orang itu kemari hanya untuk mengantarkan nyawa. Dia pasti akan mati terkapar di atas arena melawan Panglima Tanah Melayu,” ucap seorang pengawal.

Sementara itu, saat melihat kedatangan Abang Daud, Raja Palembang segera memerintahkan hulubalangnya untuk menyediakan berbagai jenis senjata dan menyuruh Abang Daud memilih senjata yang dikehendakinya. Namun, Abang Daud menolak tawaran itu.

“Ampun, Baginda! Hamba tidak terbiasa menggunakan senjata dalam bertarung, kecuali taji ayam ini,” kata Abang Daud sambil menunjukkan taji ayamnya.

“Baiklah, kalau itu pilahanmu. Pertarungan akan segera dimulai. Apakah kamu sudah siap, wahai Abang Daud?” tanya Raja Palembang meyakinkan Abang Daud.

“Hamba siap, Baginda!” jawab Abang Daud seraya berjalan menuju ke arena yang telah disediakan di halaman istana.

Ketika kedua petarung itu berada di atas arena, Raja Haji bersama rombongannya dari Mentok semakin cemas akan menyaksikan pertarungan itu. Lain halnya dengan seluruh masyarakat Tanah Melayu, mereka bersorak gembira sambil terus merendahkan Abang Daud. Mereka yakin bahwa panglima merekalah yang akan memenangkan pertarungan itu.

“Hai, Abang Daud! Berdoalah sebelum nyawamu melayang!” celetuk salah seorang penonton dari Tanah Melayu.

“Iya, Abang Daud! Berpesanlah kepada orang-orang Mentok sebelum kamu mati sia-sia di tangan Panglima kami!” tambah seorang penonton lainnya dari Tanah Melayu.

Abang Daud hanya tersenyum mendengar ejekan-ejekan yang dilontarkan kepadanya. Beberapa saat kemudian, pertarungan pun dimulai. Panglima Tanah Melayu mengawali pertarungan itu dengan terlebih dahulu menyerang, sedangkan Abang Daud hanya menangkis dan menghindar dari serangan-serangan yang datang secara bertubi-tubi. Berkali-kali Panglima Tanah Melayu melancarkan serangan, berkali-kali pula Abang Daud dapat berkelit dan menghindarinya. Ketika melihat Panglima Tanah Melayu mulai kelelahan, Abang Daud berbalik menyerang. Hanya dengan beberapa jurus saja, Abang Daud berhasil menusukkan taji ayamnya tepat pada lambung kiri Panglima Tanah Melayu. Seketika itu pula, Panglima kebanggaan Tanah Melayu itu jatuh terkapar tak sadarkan diri.

Seluruh masyarakat Tanah Melayu yang menyaksikan pertarungan itu terkejut, terutama Raja Palembang. Sang Raja benar-benar tidak pernah mengira sebelumnya bahwa Abang Daud adalah pendekar yang sangat tangguh dan sakti. Sedangkan masyarakat Mentok yang semula hanya terdiam diselimuti perasaan cemas, tiba-tiba berteriak kegirangan menyaksikan kemenangan pendekar yang berasal dari tanah kelahiran mereka. Sebagai Raja yang arif dan bijaksana, Raja Palembang pun mengangkat Abang Daud menjadi Panglima Tanah Melayu dengan gelar Panglima Angin.

Sejak itu, Panglima Tanah Melayu dari Mentok tersebut tinggal di istana Kerajaan Palembang dengan kehidupan serba mewah. Namanya pun semakin terkenal hingga ke berbagai negeri. Ia sangat disegani oleh masyarakat Tanah Melayu. Rupanya, pangkat, jabatan, dan ketenaran itu membuatnya lupa diri, penyakitnya mulai kambuh lagi. Ia selalu membuat kekecauan di mana-mana. Raja Palembang pun tidak bisa berbuat apa-apa.

Pada suatu ketika, Abang Daud yang bergelar Panglima Angin itu kembali ke kampung halamannya. Di kampungnya, perilaku Panglima Angin semakin menjadi-jadi, sehingga masyarakat Mentok menjadi resah. Mendengar berita tersebut, Tumenggung Mentok pun segera memerintahkan warga untuk menangkapnya. Namun, tak satu pun warga yang mampu mengalahkan kesaktiannya.
“Apa yang harus kita lakukan Tumenggung?” tanya seorang warga dengan risau dalam sebuah pertemuan desa.

“Hmmm... aku kira satu-satunya orang yang dapat menangkap Abang Daud adalah gurunya sendiri. Apakah kalian mengetahui siapa guru Abang Daud?” Tumenggung Mentok balik bertanya kepada warga.
“Hai, bukankah dia dulu pernah berguru pada Pek Long Guan?” sahut seorang warga.
“Benar, Tumenggung! Dia adalah teman seperguruan saya dulu,” tambah seorang warga lainnya.
Akhirnya, beberapa warga segera memanggil Pek Long Guan. Tak berapa lama, guru Abang Daud itu pun datang ke pertemuan desa tersebut.

“Maaf, para hadirin! Sebenarnya saya ragu untuk bisa menangkap Abang Daud, karena saya telah memberikan seluruh ilmuku kepadanya,” ungkap Pek Long Guan.

Setelah didesak oleh para warga, Pek Long Guan pun bersedia membantu dan segera mencari akal untuk dapat mengalahkan kesaktian muridnya itu. Saat itu pula, ia tiba-tiba teringat dengan satu kelemahan Abang Daud. Dulu, Abang Daud pernah bercerita kepadanya bahwa dia tidak bisa berenang. Oleh karena itu, ia akan membujuknya untuk menemaninya mengambil air di sungai. Pada saat itulah, ia akan mendorong Abang Daud masuk ke dalam sungai.

Keesokan harinya, Pek Long Guan pergi menemui Abang Daud. Namun, sebelum mengajak ke sungai, ia berusaha membujuk dan menasehati kembali murid kesayangannya itu.

wahai ananda dengarlah amanah,
kalau hidup peganglah wakil
kalau mati peganglah manat
pegang petuah dengan amanah
pegang tunjuk dengan ajarnya
wahai anak dengarlah amanah,
ingat-ingat engkau berjalan
jangan dengar bujukan setan
hawa nafsu jangan turutkan
pertolongan Allah engku mohonkan
hati hati engkau berjalan
petuah amanah jangan lupakan
tunjuk ajar jangan abaikan
ilmu di dada peganglah teguh 


Mendapat nasehat dari gurunya, Abang Daud bukannya berterima kasih, tetapi justru memaki-maki gurunya.
“Hentikan semua omong kosongmu itu Pak Tua! Aku sudah muak dengan semua nasehatmu!” bentak Abang Daud.

“Baiklah, Muridku! Tidak apa-apa jika kamu memang tidak mau mendengar nasehatku lagi. Tapi, aku ada satu permintaan terakhir darimu. Bersediakah kamu membantuku mengambil air di sungai? Persediaan air untuk memasak dan mandi di rumahku sudah habis,” pinta Pek Long Guan.

Rupanya, Abang Daud mengetahui tipu muslihat Pek Long Guan. Ia pun mencari cara untuk membunuh gurunya itu.

“Aku bersedia membantumu, Pak Tua! Tapi, kamu harus berjalan di depanku,” kata Abang Daud.
Akhirnya, mereka pun berangkat bersama ke sungai. Pek Long Guan berjalan di depan, sendangkan Abang Daud mengikutinya dari belakang. Sesampainya di tepi sungai, Pek Long sedikit lengah. Abang Daud pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia pun menendang bokong orang tua itu hingga terpental dan berguling-guling di tanah. Karena memiliki kesaktian tinggi, Pek Long Guan belum mati. Ia pun berusaha bangkit sambil menahan rasa sakit.

”Dasar murid durhaka! Sampai hatinya kau berbuat begitu kepada gurumu ini,” kata Pek Long Guan dengan perasaan kesal.

Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Apek Long Guan berusaha melakukan perlawanan. Ia mengeluarkan seluruh kemampuan silatnya. Pada saat Abang Daud lengah, ia melayangkan sebuah tendangan keras dan tepat mengenai tengkuk muridnya itu. Abang Daud pun terpental masuk ke dalam sungai dan tenggelam. Akhirnya, murid durhaka itu pun menemui ajalnya.

Leave a Reply

Terima Kasih atas Komentar anda

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Regina Theyser - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -