Posted by : Welly Tuesday, February 28, 2012

Limonu adalah putra kedua Raja Naha dan cucu Raja Ilato dari Kerajaan Gorontalo. Ketika ia masih dalam kandungan ibunya, ayah dan kakaknya yang bernama Paha atau Pahu tewas saat berperang melawan Hemuto. Saat dewasa, Limonu pun mengetahui bahwa orang yang telah menghabisi nyawa ayah dan kakaknya adalah Hemuto yang merupakan guru silatnya sendiri. Akankah Limonu menuntut balas kepada gurunya sendiri atas kematian ayahnya? Ikuti kisahnya dalam cerita Limonu Yang Perkasa berikut ini!

Alkisah, di daerah Gorontalo, ada seorang pemuda tampan dan gagah perkasa bernama Limonu. Ayahnya telah tewas dalam sebuah peperangan saat ia masih dalam kandungan ibunya yang bernama Ohihiya. Oleh karena itu, sejak kecil ia dirawat dan didik oleh ibunya seorang diri. Ketika beranjak dewasa, Limonu dimasukkan ke dalam perkumpulan silat yang ada di daerah itu. Dari situlah Limonu dapat menguasai dasar-dasar ilmu silat.

Suatu hari, terdengar kabar bahwa para tokoh-tokoh atau pendekar silat dari daerah utara akan mengadakan pertemuan di Benteng Otanaha. Dalam pertemuan itu, seorang pendekar silat terkenal bernama Hemuto akan menjajal ilmu silatnya yang tinggi sekaligus mengadakan upacara pengukuhan bagi para pendekar silat yang sudah tamat. Mendengar kabar itu, Limonu bermaksud menghadiri pertemuan tersebut untuk berguru kepada Hemuto. Niat itu pun ia sampaikan kepada ibunya.

Ibu Limonu tertegun sejenak. Mendengar nama Hemuto, ia menjadi teringat kepada suami dan putranya Paha yang telah tiada. Perasaan trauma karena peristiwa yang menimpa kedua orang yang sangat dicintainya puluhan tahun silam itu begitu sulit ia hilangkan. Karena perasaan itu, ia tidak rela jika putra kesayangannya menjadi murid Pak Hemuto. Namun di sisi lain, ia tidak ingin peristiwa itu diketahui oleh Limonu. Oleh karena itu, ia berupaya memberikan alasan lain agar Limonu tidak menghadiri pertemuan tersebut.

“Limoto, anakku! Bukankah pertemuan itu hanya dihadiri oleh para pesilat yang sudah terpilih? Sebaiknya urungkan saja niatmu itu. Kamu harus lebih banyak berlatih dan memantangkan dulu ilmu silatmu. Setelah itu, kamu baru boleh mengikuti upacara pengukuhan di perkumpulan Pak Hemuto,” ujar Permaisuri Ohihiya kepada putranya.

Meskipun ibunya telah berusaha mencegahnya, Limonu tetap bersikeras ingin menghadiri pertemuan tersebut dan berkeinginan menjadi murid Pak Hemuto. Tekad keras Limonu itu tak terbendung lagi sehingga permaisuri Ohihiya harus merelakan keinginan putranya.

Keesokan hari, saat hari mulai gelap, para tokoh silat mulai memadati tempat pertemuan di Benteng Otanaha. Sementara itu, Limonu yang baru datang pada saat pertemuan akan dimulai langsung masuk ke ruang pertemuan untuk mencari duduk di sebelah saudara seperguruannya. Setelah duduk, ia mengamati satu per satu para tokoh silat dan para tamu undangan. Begitu bertemu pandang dengan Hemuto, ia tunduk memberi hormat. Pak Hemuto pun membalasnya dengan senyum lalu menghampiri Limonu.
“Hai, anak muda! Siapa kamu dan berasal dari mana?” tanya Pak Hemuto.
“Saya Limonu Pak, penduduk di sekitar benteng ini,” jawab Limonu tersenyum sambil memberi hormat.
“O ya, Limonu, kalau boleh saya tahu, apa maksudmu datang ke acara ini tanpa diundang?” Pak Hemuto kembali bertanya.

Mendengar pertanyaan itu, Limonu pun mengutarakan maksud kehadirannya pada acara itu bahwa dirinya ingin berguru kepada Pak Hemuto.

emuto hanya diam sambil memandangi Limonu dengan penuh perhatian. Rupanya, ia mengagumi perawakan dan keberanian pemuda itu beradu pandang dengan dirinya. Selama ini, ia jarang menemukan pemuda yang seberani itu. Oleh karena itu, Hemuto tertarik untuk mengangkatnya menjadi murid demi memperkuat pasukan berani mati yang akan dibentuknya. Akhirnya, pada kesempatan yang lain, Pak Hemuto menyatakan kesediaannya untuk menerima Limonu menjadi muridnya dengan harapan pemuda pemberani itu akan menjadi penerus kepemimpinannya.

Alangkah senangnya hati Limonu karena keinginannya dipenuhi oleh Pak Hemuto. Sejak itulah, Limonu menjadi murid Pak Hemuto. Ia sangat tekun berlatih dan cepat menguasai semua ilmu yang diajarkan kepadanya sehingga kian hari kemampuan ilmu silatnya dapat menyamai ilmu gurunya. Hemuto pun semakin kagum pada keberanian dan kegigihan Limonu. Tidak mengherankan jika Limonu dianggap sebagai murid kesayangan Hemuto.

Suatu sore, ketika Limonu sedang asyik membersihkan keris peninggalan sang ayah di pekarangan rumah, tiba-tiba ibunya datang menghampirinya.
“Limonu, anakku! Ada sesuatu yang Ibu ingin ceritakan kepadamu,” sapa ibunya.

“Ada apa, Bu? Sepertinya penting sekali,” kata Limonu seraya menghentikan kegiatannya.
“Sebaiknya, kamu simpan dulu keris itu. Setelah itu, barulah Ibu akan bercerita,” ujar ibunya.
“Baik, Bu,” jawab Limonu seraya memasukkan keris itu ke dalam sarungnya dan memasukkannya ke dalam kotak kayu jati yang berukir lalu segera menyimpannya di kamar.
Sekembali kembali dari kamar, Limonu duduk di samping ibunya.

“Ada ada gerangan, Bu? Ceritakanlah, Limonu siap mendengarnya,” kata Limonu penasaran.
“Limonu, anakku. Kini kamu sudah dewasa. Sudah saatnya Ibu membuka rahasia ini kepadamu. Ibu sudah tidak kuat lagi memikul beban yang berat ini,” ungkapnya.
“Rahasia apa, Bu?” tanya Limonu semakin penasaran.

Permaisuri Ohihiya pun menceritakan semua perihal ayah Limonu mulai dari kedudukannya sebagai penguasa di negeri itu hingga keinginannya menjadi raja di dua wilayah daratan yaitu Daratan Barat dan Daratan Utara.

“Saat kamu masih dalam kandungan Ibu, ayahmu adalah penguasa negeri ini. Suatu ketika, ayahmu ingin menguasai daerah Daratan Utara yang berada di bawah kekuasaan Hemuto. Ibu sudah menasehatinya, namun ayahmu tidak mau mengurungkan niatnya sehingga terjadilah peperangan antara pasukan Daratan Barat dan Daratan Utara. Dalam pertempuran itu, ayahmu gugur dan menyusul kemudian kakakmu Paha yang pada saat itu sebagai pimpinan Pasukan Berani Mati,” jelas ibu Limonu.
“Lalu, siapa pembunuh ayah dan kakak Paha, Bu?” tanya Limonu penasaran.

Permaisuri Ohihiya hanya menghela nafas panjang. Baginya sungguh berat untuk memberitahukan hal itu kepada putra kesayangannya.
“Katakanlah, Bu! Siapa pembunuh ayah dan kaka Paha sebenarnya? Limonu siap menuntut balas atas kematian mereka” desak Limonu.
Akhirnya, Permaisuri Ohohiya pun memberitahukan bahwa orang yang telah membunuh ayah dan kakak Limonu adalah Pak Hemuto yang pada saat itu sebagai pemimpin pasukan Daratan Utara.
“Apa Ibu? Pak Hemuto?” Limonu terkejut, “Ah, tidak mungkin, Bu. Tidak mungkin guru Hemuto yang melakukannya. Ia begitu baik dan telah menurunkan ilmu silatnya kepadaku.”
“Tapi, begitulah kenyataannya, anakku” kata ibunya.

Limonu benar-benar tidak percaya terhadap peristiwa yang telah menimpa keluarganya. Di hatinya bertarung antara kewajiban membalas kematian ayah dan kakaknya dan kewajiban berbakti kepada gurunya. Bagi Limonu, kenyataan itu merupakan sebuah pilihan hidup yang sangat sulit untuk ditetapkan. Setelah lama merenung, akhirnya ia memutuskan untuk tetap menuntut balas walaupun harus berhadapan dengan gurunya sendiri.

Limonu seorang pemuda yang cerdik dan bijaksana. Ia akan menuntut balas atas kematian ayahnya dengan caranya sendiri tanpa harus durhaka terhadap gurunya. Ia hanya ingin hidup damai bersama dengan penduduk di sekitarnya dan sekaligus membela orang-orang yang lemah. Dengan dalih inilah, Limonu kemudian membentuk pasukan berani mati dan melatihnya jurus-jurus silat tingkat tinggi.

Setelah membangun sebuah pasukan yang kuat, Limonu mengadakan pertemuan dengan para tokoh dan guru silat, termasuk gurunya Hemuto, untuk memperkenalkan pasukannya. Pada pertemuan itu, ia bermaksud menanyakan langsung perihal kematian ayahnya kepada Pak Hemuto. Ketika gilirannya melaporkan mengenai keberadaan pasukannya, pada saat pula Limonu mengajukan suatu pertanyaan yang harus dijawab sendiri oleh Pak Hemuto.

“Guru, seandainya seorang ayah gugur dalam pertempuran merebut kekuasaan, apakah seorang anak boleh meneruskan pertarungan itu demi membalas kematian ayahnya?” tanya Limonu.
Hemuto tersentak kaget. Kini, ia menyadari bahwa ternyata Limonu adalah putra Raja Naha yang hendak menutut balas atas kematian ayahnya. Karena tidak ingin dipermalukan oleh muridnya di hadapan orang banyak, Hemuto menjawab, “Kalau aku katakan... ya, apa rencanamu?”

Akhirnya, Limonu menantang gurunya untuk melaksanakan pertarungan itu. Tapi, sebelum pertarungan itu dimulai, ia mengajukan dua pilihan kepada gurunya, yaitu pertama mengadakan pertarungan tersebut dengan syarat pemenangnya berhak menguasai dua daratan tersebut. Pilihan yang kedua adalah Pak Hemuto harus menyerahkan wilayah kekuasaannya kepada Limonu tanpa harus berperang. Penyerahan kekuasaan itu dianggap oleh Limonu sebagai penebus kematian ayah dan kakaknya.

Akhirnya, Pak Hemuto memilih syarat yang pertama karena ia tidak ingin kalah tanpa berperang sehingga harga dirinya tidak jatuh di hadapan orang banyak. Maka dalam sekejap, tempat pertemuan itu berubah menjadi arena peperangan antara pasukan Limonu dan Hemuto. Dalam pertempuran itu, Hemuto dan pasukannya terdesak dan melarikan diri. Namun, peperangan tersebut tidak berakhir sampai di situ. Suatu ketika, Hemuto dan pasukannya kembali menyerang dan mengepung Benteng Otanaha tempat pertahanan Limonu dan pasukannya. Namun, dengan siasat cerdiknya, Limonu dan pasukannya menggulingkan bebatuan besar dari puncak bukit disertai lemparan batu kepada pasukan Hemuto. Peristiwa pelemparan batu tersebut dalam bahasa Gorontalo disebut “mo dembenga botu”, karena pada saat pasukan Limonu melemparkan batu mereka berseru “Dembenga.... Dembenga timongoliyo...!” atau “Lempar...! Lempari mereka...!”

Pada peristiwa tersebut banyak pasukan Hemuto yang tewas dan sebagian yang lain lari tunggang-langgang karena dikejar sambil dilempari batu oleh pasukan Limonu sampai ke utara. Menurut cerita, tempat peristiwa pelemparan batu tersebut manjadi nama desa yang sampai saat ini dikenal dengan Desa Dembe I. Sementara itu, tempat berakhirnya pelemparan batu yang dilakukan oleh pasukan Limonu di daerah utara disebut dengan Desa Dembe II.

Leave a Reply

Terima Kasih atas Komentar anda

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Regina Theyser - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -