Posted by : Welly
Thursday, October 10, 2013
Kalimantan Tengah (Kalteng) adalah salah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Kalimantan. Ibukotanya adalah Kota Palangka Raya. Luas Kalteng adalah : 153.564 km². berikut cerita dari rakyat Kalteng mengenai dua remaja yang bernama Ambun dan Rimbun ikuti kisahnya :
Ambun dan Rimbun adalah dua remaja laki-laki kakak-beradik. Mereka tinggal bersama ibunya di sebuah kampung di daerah Kalimantan Tengah. Sejak ayahnya meninggal, kehidupan mereka menjadi miskin. Meski demikian, kedua kakak beradik itu tetap saling menyayangi. Kemana pun pergi, mereka selalu bersama-sama. Pada suatu hari, Ambun dan Rimbun pergi merantau ke sebuah negeri untuk mengubah nasib keluarga mereka. Dalam perantauan, Ambun berhasil menjadi menantu raja di negeri itu. Apa yang terjadi sehingga Ambun dapat menikah dengan putri raja? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Ambun dan Rimbun berikut ini.
Konon, pada zaman dahulu kala, di sebuah kampung di daerah Kalimantan Tengah, hiduplah seorang janda bersama dua orang anak laki-lakinya yang sudah remaja. Anak pertamanya bernama Ambun, sedangkan anak keduanya bernama Rimbun. Banyak orang di kampung itu mengira mereka saudara kembar, karena wajah dan perawakan keduanya mirip sekali. Namun sebenarnya mereka bukanlah saudara kembar, karena umur keduanya selisih satu tahun.
Ambun dan Rimbun adalah anak yang rajin dan hormat kepada orang tua. Setiap hari mereka membantu ibunya mencari kayu bakar ke hutan dan menjualnya ke pasar.
Pada suatu sore, Rimbun melihat abangnya termenung seorang diri di beranda rumah mereka.
“Bang! Apa yang sedang Abang pikirkan?” tanya Rimbun.
“Abang sedang memikirkan nasib keluarga kita. Kalau setiap hari hanya mencari kayu bakar, kehidupan kita tidak akan pernah membaik,” keluh Ambun.
“Lalu, apa rencana Abang?” tanya Rimbun.
“Abang akan pergi merantau untuk mengubah nasib keluarga kita. Banyak orang di kampung ini kehidupannya menjadi lebih baik sepulangnya dari merantau,” jelas Ambun.
“Wah, kalau begitu, Adik akan ikut Abang,” kata Rimbun.
“Jangan, Dik! Kamu di sini saja menemani ibu. Kalau Adik ikut, kasihan ibu ditinggal sendiri,” cegah Ambun.
“Tidak, Bang! Adik harus ikut Abang,” tegas Rimbun bersikukuh ingin pergi merantau bersama Abangnya.
“Baiklah, kalau begitu,” kata Rimbun mengizinkan adiknya ikut serta.
Malam harinya, kedua kakak-beradik itu menyampaikan niat mereka kepada sang Ibu. Mendengar hal itu, sang Ibu hanya terdiam. Ia bingung bagaimana menyikapi keinginan kedua putranya. Menurutnya, apa yang dikatakan kedua putranya itu memang benar, bahwa merantau dapat memperbaiki kehidupan keluarga mereka, tetapi di satu sisi, umur mereka masih sangat muda.
“Bagaimana, Bu? Apakah ibu mengizinkan kami pergi?” Ambun kembali bertanya.
“Sebenarnya Ibu merasa berat mengizinkan kalian pergi. Ibu khawatir terhadap keselamatan kalian berdua di rantau. Kalian masih terlalu muda untuk merantau,” jawab sang Ibu dengan berat hati.
“Iya, Bu! Tapi, kami berdua bisa jaga diri dan saling menjaga,” sahut Rimbun.
“Baiklah, kalau memang kalian bersikukuh akan pergi, Ibu mengizinkan. Tapi Ibu berpesan, kalian harus menghormati orang lain dan jangan berpisah. Kalaupun harus berpisah, hendaknya kalian saling mengabari,” ujar sang Ibu.
“Terima kasih, Bu!” ucap keduanya serentak dengan perasaan gembira.
Ambun dan Rimbun segera menyiapkan segala keperluan mereka, termasuk celana dan baju mereka yang terbuat dari kulit kayu. Sementara sang Ibu sibuk menyiapkan makanan untuk bekal mereka di jalan. Ia memasak empat belas buah ketupat dan empat belas butir telur ayam untuk mereka berdua. Masing-masing mendapat tujuh buah ketupat dan tujuh biji telur ayam. Setelah itu, ia mengambil beberapa butir beras dan mencelupkannya ke dalam air, lalu mengoleskannya di ubun-ubun mereka seraya berdoa:
“Semoga Ranying Hatalla Langit (semoga Tuhan melidungi kalian berdua).”
Saat tengah malam, perempuan paruh baya itu membuka sebuah peti besi kecil berisi dua bilah dohong (keris pusaka) yang bentuk dan ukurannya sama. Yang satu berlilitkan kain merah dan yang satunya lagi berlilitkan kain kuning. Yang berlilitkan kain merah diserahkan kepada Ambun, sedangkan yang berlilitkan kain kuning diberikan kepada Rimbun.
“Senjata pusaka ini adalah peninggalan almarhum ayah kalian. Tapi, ingat! Senjata ini hanya boleh kalian gunakan jika dalam keadaan mendesak,” pesan sang Ibu seraya mencium kening kedua putra tercintanya.
“Baik, Bu! Kami akan selalu mengingat pesan Ibu,” kata Ambun dan Rimbun serentak.
Keesokan harinya, Ambun dan Rimbun bersiap-siap untuk berangkat dan berpamitan kepada sang Ibu tercinta. Suasana haru pun menyelimuti hati sang Ibu dan kedua putranya itu. Air mata sang Ibu tidak dapat dibendung lagi. Demikian pula kedua orang kakak-beradik itu. Mereka tidak kuat menahan rasa haru.
“Berangkatlah, Nak! Nanti kalian kemalaman di jalan. Jika sudah berhasil, cepatlah kembali menemani Ibu di sini!” pesan sang Ibu.
“Baik, Bu! Kami akan segera kembali jika sudah berhasil,” jawab keduanya serentak.
Usai mencium tangan sang Ibu, keduanya pun pergi meninggalkan kampung halaman mereka. Sang Ibu berdiri di depan pintu sambil melambaikan tangan mengiringi kepergian kedua putranya. Setelah keduanya menghilang di tikungan jalan kampung, barulah ia masuk ke dalam rumah.
Ambun dan Rimbun berjalan mendaki gunung, menuruni lembah, dan menyeberangi sungai. Mereka berjalan mengikuti arah matahari terbenam. Saat malam tiba, mereka berhenti untuk beristirahat. Ketupat dan telur pemberian sang Ibu mereka makan sedikit-sedikit. Ketika matahari mulai menampakkan wajahnya di ufuk timur, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Tidak terasa, sudah berhari-hari mereka berjalan.
Ketika memasuki hari ketujuh, Rimbun mendadak jatuh sakit, karena kelelahan berjalan jauh. Melihat kondisi adiknya itu, Ambun menjadi panik. Ia pun mencoba mengobati adiknya dengan memberinya minuman dari berbagai macam air akar-akaran. Namun, tidak satu pun yang mampu menyembuhkannya. Tidak terasa air matanya pun bercucuran membasahi pipinya. Ia sangat menyesal dan merasa bersalah
karena telah mengizinkan adiknya ikut serta. Beberapa saat kemudian, Rimbun akhirnya meninggal dunia.
“Rimbun... Adikku! Jangan tinggalkan Abang...!” teriak Ambun memecah kesunyian di tengah hutan.
Namun apa hendak diperbuat, adik tercintanya benar-benar telah menghembuskan nafas terakhirnya. Dengan diselimuti perasaan sedih, Ambun segera menggali lubang untuk kuburan adiknya. Setelah menguburkan jazad adiknya, Ambun mencabut dohong adiknya. Mata dohong itu ditancapkan di bagian kepala, sedangkan warangkanya ditancapkan di bagian kaki kuburan itu. Sementara kain berwarna kuning pembungkus dohong itu diikatkan pada nisannya.
Setelah itu, Ambun melanjutkan perjalanan dengan menyusuri hutan lebat. Saat hari menjelang siang, perutnya terasa lapar. Ia pun membuka bungkusan makanannya di bawah sebuah pohon besar dan tinggi. Setelah bungkusan itu terbuka, barulah ia menyadari ternyata bekalnya sudah habis. Hatinya pun mulai cemas. Ia lalu memanjat pohon besar dan tinggi tempatnya berteduh itu. Sesampainya di atas, ia melihat kepulan asap tidak jauh dari tempatnya berada.
“Wah, pasti ada orang di sana,” pikirnya dengan perasaan gembira.
Tanpa berpikir panjang, ia segera turun dari atas pohon lalu berjalan menuju ke arah kepulan asap. Setelah beberapa lama berjalan, terlihatlah sebuah rumah di tengah hutan. Saat menghampiri rumah itu, ia melihat seorang nenek sedang mengumpulkan kayu bakar di samping rumahnya. Agar nenek itu tidak terkejut, ia pun mendehem.
“Hemm, sedang apa, Nek?” tanya Ambun.
“Mengumpulkan kayu bakar,” jawab nenek itu.
“Siapa engkau ini anak muda? Kenapa bisa sampai ke tempat ini?” nenek itu balik bertanya.
“Saya Ambun, Nek,” jawab Ambun, lalu ia menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga sampai di tempat itu.
“Nenek berduka cita atas meninggalnya adikmu,” kata nenek itu dengan perasaan haru.
Oleh karena merasa kasihan, perempuan tua itu mengizinkan Ambun untuk tinggal bersamanya. Setiap hari Ambun membantunya untuk mencari kayu bakar. Si Nenek pun sangat menyayangi Ambun seperti cucunya sendiri.
Pada suatu hari, sambil mengumpulkan kayu bakar, nenek itu bercerita kepada Ambun bahwa sebenarnya ia adalah bagian dari keluarga Kerajaan Sang Sambaratih. Ia diusir karena pernikahannya dengan almarhum suaminya yang berasal dari rakyat biasa. Meskipun dikucilkan dari istana, nenek malang itu masih mendapat perhatian dari sebagian keluarga istana. Hampir setiap minggu ada pengawal istana yang mengantarkan makanan untuknya.
Suatu hari, datanglah dua orang utusan dari istana Sang Sambaratih membawa makanan untuk si Nenek. Sebelum kembali ke istana, kedua utusan tersebut memberitahukan kepadanya bahwa raja akan mengadakan sayembara memetik bunga melati. Barangsiapa yang dapat melompat dari halaman rumah istana sampai ke atap istana untuk mengambil bunga melati, dan menyerahkannya kepada putri raja, maka dia akan dijadikan menantu raja. Akan tetapi jika gagal, maka dia akan mendapat hukuman gantung.
Si Ambun yang mendengar kabar itu, hampir semalaman tidak dapat memejamkam matanya. Ia ingin sekali mengikuti sayembara itu. Keesokan harinya, Ambun menemui si Nenek.
“Nek, bolehkah Ambun mengikuti sayembara itu?” tanya Ambun.
“Oh jangan, Cucuku! Kamu akan dihukum gantung jika gagal memetik bunga melati itu,” cegah si Nenek.
“Nenek tidak usah khawatir. Ambun pasti dapat mengatasinya,” kata si Ambun seraya memperlihatkan senjata dohongnya.
“Benda apa ini, Cucuku?” tanya si Nenek penasaran.
“Senjata pusaka peninggalan ayahku, Nek. Senjata ini dapat menolong jika diperlukan,” jelas Ambun.
Si Nenek pun yakin dan percaya dengan kata-kata Ambun, dan mengizinkannya untuk mengikuti sayembara tersebut. Keesokan harinya, Ambun sudah bersiap-siap berangkat menuju istana untuk mengikuti sayembara tersebut.
“Maaf, Nek! Ambun ada satu permintaan,” kata Ambun.
“Apakah itu, Cucuku?” tanya si Nenek penasaran.
“Bersediakah Nenek menyaksikan sayembara itu. Jika seandainya Ambun gagal, Nenek dapat menyaksikan Ambun menjalani hukuman gantung, dan saat itu adalah pertemuan terkahir kita,” bujuk Ambun.
Oleh karena sayang kepada Ambun, nenek itu pun memenuhi keinginan Ambun. Maka berangkatlah mereka berdua menuju istana. Selama dalam perjalanan, si Nenek senantiasa diselimuti perasaan cemas. Sementara si Ambun meminta kepada si Nenek untuk mendoakannya agar dapat meraih kemenangan.
Setibanya di halaman istana, penonton sudah penuh sesak dan para peserta sudah bersiap-siap mengikuti sayembara. Peserta sayembara tersebut terdiri dari delapan orang, yaitu tujuh pangeran dari kerajaan bawahan Kerajaan Sang Sambaratih, dan si Ambun sendiri. Satu per satu pangeran tersebut mengeluarkan kesaktiannya, namun tak seorang pun yang berhasil melompat ke atap istana dan memetik bunga melati. Kini giliran Ambun yang akan memperlihatkan kesaktiannya. Ketika Ambun memasuki arena, para penonton bertepuk tangan disertai dengan suara ejekan. Mereka meragukan kemampuan Ambun. Jangankan Ambun yang hanya orang kampung, para pangeran saja tidak satu pun yang berhasil melalui ujian itu. Namun dengan penuh percaya diri, Ambun tetap tenang dan berkonsentrasi penuh. Saat mengambil ancang-ancang, dengan suara nyaring Ambun berteriak memanggil ayahnya sambil mencabut dohong pusaka yang terselip dipinggangnya.
Dengan secepat kilat, Ambun melejit ke atas atap memetik bunga melati itu dan menyerahkannya kepada tuan putri yang duduk di samping raja. Seketika itu pula suara tepuk tangan dan teriakan penonton bergemuruh bagaikan membelah bumi. Suara teriakan penonton bukan lagi suara ejekan, melainkan suara kekaguman melihat kesaktian Ambun. Raja yang menyaksikan peristiwa itu langsung berdiri sambil bertepuk tangan dengan penuh kekaguman.
Sementara ketujuh pangeran tersebut merasa tidak puas. Mereka pun menyatakan perang kepada raja Sang Sambaratih. Namun atas bantuan Ambun dengan senjata dohongnya, ketujuh pangeran tersebut dapat dikalahkan. Akhirnya, Ambun dinikahkan dengan putri raja. Pesta pernikahannya dilangsungkan dengan meriah selama tujuh hari tujuh malam.
Seminggu setelah pernikahan mereka, raja Sang Sambaratih menyerahkan kekuasaannya kepada Ambun, karena sudah tua. Sejak dinobatkan menjadi raja, Ambun berusaha mencari ibunya. Pada suatu hari, Ambun bersama beberapa orang pengawalnya menyusuri jalan yang pernah dilaluinya ketika ia berangkat merantau. Setelah tujuh hari tujuh malam berjalan, ia pun menemukan ibunya. Alangkah bahagianya sang Ibu saat melihat anaknya kembali dan berhasil menjadi raja. Namun, di satu sisi, sang Ibu tetap bersedih karena kehilangan Rimbun anak bungsunya.
Oleh karena tidak ingin melihat ibunya bersedih, Ambun bersama ibu dan para pengawalnya pergi mencari kuburan Rimbun. Setelah menemukan kuburan Rimbun, Ambun segera memerintahkan sebagian pengawalnya untuk menggali kuburan itu, dan memerintahkan sebagian yang lain untuk mencari Danum Kaharingan Belom (air kehidupan) di Bukit Kamiting.
Menjelang sore, pengawal yang diutus ke Bukit Kamiting telah kembali dengan membawa Danun Kaharingan Belom. Ambun segera meneteskan air kehidupan itu ke tulang-tulang adiknya yang sudah terpisah-pisah. Tidak lama kemudian, tulang-tulang itu menyusun diri. Daging dan kulitnya pun kembali seperti semula. Akhirnya Rimbun hidup lagi. Keluarga Ambun kini telah berkumpul kembali.
Setelah itu, Ambun mengajak keluarganya hidup bersama di istana Kerajaan Sang Sambaratih dengan penuh kebahagiaan.
Ambun dan Rimbun adalah dua remaja laki-laki kakak-beradik. Mereka tinggal bersama ibunya di sebuah kampung di daerah Kalimantan Tengah. Sejak ayahnya meninggal, kehidupan mereka menjadi miskin. Meski demikian, kedua kakak beradik itu tetap saling menyayangi. Kemana pun pergi, mereka selalu bersama-sama. Pada suatu hari, Ambun dan Rimbun pergi merantau ke sebuah negeri untuk mengubah nasib keluarga mereka. Dalam perantauan, Ambun berhasil menjadi menantu raja di negeri itu. Apa yang terjadi sehingga Ambun dapat menikah dengan putri raja? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Ambun dan Rimbun berikut ini.
Konon, pada zaman dahulu kala, di sebuah kampung di daerah Kalimantan Tengah, hiduplah seorang janda bersama dua orang anak laki-lakinya yang sudah remaja. Anak pertamanya bernama Ambun, sedangkan anak keduanya bernama Rimbun. Banyak orang di kampung itu mengira mereka saudara kembar, karena wajah dan perawakan keduanya mirip sekali. Namun sebenarnya mereka bukanlah saudara kembar, karena umur keduanya selisih satu tahun.
Ambun dan Rimbun adalah anak yang rajin dan hormat kepada orang tua. Setiap hari mereka membantu ibunya mencari kayu bakar ke hutan dan menjualnya ke pasar.
Pada suatu sore, Rimbun melihat abangnya termenung seorang diri di beranda rumah mereka.
“Bang! Apa yang sedang Abang pikirkan?” tanya Rimbun.
“Abang sedang memikirkan nasib keluarga kita. Kalau setiap hari hanya mencari kayu bakar, kehidupan kita tidak akan pernah membaik,” keluh Ambun.
“Lalu, apa rencana Abang?” tanya Rimbun.
“Abang akan pergi merantau untuk mengubah nasib keluarga kita. Banyak orang di kampung ini kehidupannya menjadi lebih baik sepulangnya dari merantau,” jelas Ambun.
“Wah, kalau begitu, Adik akan ikut Abang,” kata Rimbun.
“Jangan, Dik! Kamu di sini saja menemani ibu. Kalau Adik ikut, kasihan ibu ditinggal sendiri,” cegah Ambun.
“Tidak, Bang! Adik harus ikut Abang,” tegas Rimbun bersikukuh ingin pergi merantau bersama Abangnya.
“Baiklah, kalau begitu,” kata Rimbun mengizinkan adiknya ikut serta.
Malam harinya, kedua kakak-beradik itu menyampaikan niat mereka kepada sang Ibu. Mendengar hal itu, sang Ibu hanya terdiam. Ia bingung bagaimana menyikapi keinginan kedua putranya. Menurutnya, apa yang dikatakan kedua putranya itu memang benar, bahwa merantau dapat memperbaiki kehidupan keluarga mereka, tetapi di satu sisi, umur mereka masih sangat muda.
“Bagaimana, Bu? Apakah ibu mengizinkan kami pergi?” Ambun kembali bertanya.
“Sebenarnya Ibu merasa berat mengizinkan kalian pergi. Ibu khawatir terhadap keselamatan kalian berdua di rantau. Kalian masih terlalu muda untuk merantau,” jawab sang Ibu dengan berat hati.
“Iya, Bu! Tapi, kami berdua bisa jaga diri dan saling menjaga,” sahut Rimbun.
“Baiklah, kalau memang kalian bersikukuh akan pergi, Ibu mengizinkan. Tapi Ibu berpesan, kalian harus menghormati orang lain dan jangan berpisah. Kalaupun harus berpisah, hendaknya kalian saling mengabari,” ujar sang Ibu.
“Terima kasih, Bu!” ucap keduanya serentak dengan perasaan gembira.
Ambun dan Rimbun segera menyiapkan segala keperluan mereka, termasuk celana dan baju mereka yang terbuat dari kulit kayu. Sementara sang Ibu sibuk menyiapkan makanan untuk bekal mereka di jalan. Ia memasak empat belas buah ketupat dan empat belas butir telur ayam untuk mereka berdua. Masing-masing mendapat tujuh buah ketupat dan tujuh biji telur ayam. Setelah itu, ia mengambil beberapa butir beras dan mencelupkannya ke dalam air, lalu mengoleskannya di ubun-ubun mereka seraya berdoa:
“Semoga Ranying Hatalla Langit (semoga Tuhan melidungi kalian berdua).”
Saat tengah malam, perempuan paruh baya itu membuka sebuah peti besi kecil berisi dua bilah dohong (keris pusaka) yang bentuk dan ukurannya sama. Yang satu berlilitkan kain merah dan yang satunya lagi berlilitkan kain kuning. Yang berlilitkan kain merah diserahkan kepada Ambun, sedangkan yang berlilitkan kain kuning diberikan kepada Rimbun.
“Senjata pusaka ini adalah peninggalan almarhum ayah kalian. Tapi, ingat! Senjata ini hanya boleh kalian gunakan jika dalam keadaan mendesak,” pesan sang Ibu seraya mencium kening kedua putra tercintanya.
“Baik, Bu! Kami akan selalu mengingat pesan Ibu,” kata Ambun dan Rimbun serentak.
Keesokan harinya, Ambun dan Rimbun bersiap-siap untuk berangkat dan berpamitan kepada sang Ibu tercinta. Suasana haru pun menyelimuti hati sang Ibu dan kedua putranya itu. Air mata sang Ibu tidak dapat dibendung lagi. Demikian pula kedua orang kakak-beradik itu. Mereka tidak kuat menahan rasa haru.
“Berangkatlah, Nak! Nanti kalian kemalaman di jalan. Jika sudah berhasil, cepatlah kembali menemani Ibu di sini!” pesan sang Ibu.
“Baik, Bu! Kami akan segera kembali jika sudah berhasil,” jawab keduanya serentak.
Usai mencium tangan sang Ibu, keduanya pun pergi meninggalkan kampung halaman mereka. Sang Ibu berdiri di depan pintu sambil melambaikan tangan mengiringi kepergian kedua putranya. Setelah keduanya menghilang di tikungan jalan kampung, barulah ia masuk ke dalam rumah.
Ambun dan Rimbun berjalan mendaki gunung, menuruni lembah, dan menyeberangi sungai. Mereka berjalan mengikuti arah matahari terbenam. Saat malam tiba, mereka berhenti untuk beristirahat. Ketupat dan telur pemberian sang Ibu mereka makan sedikit-sedikit. Ketika matahari mulai menampakkan wajahnya di ufuk timur, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Tidak terasa, sudah berhari-hari mereka berjalan.
Ketika memasuki hari ketujuh, Rimbun mendadak jatuh sakit, karena kelelahan berjalan jauh. Melihat kondisi adiknya itu, Ambun menjadi panik. Ia pun mencoba mengobati adiknya dengan memberinya minuman dari berbagai macam air akar-akaran. Namun, tidak satu pun yang mampu menyembuhkannya. Tidak terasa air matanya pun bercucuran membasahi pipinya. Ia sangat menyesal dan merasa bersalah
karena telah mengizinkan adiknya ikut serta. Beberapa saat kemudian, Rimbun akhirnya meninggal dunia.
“Rimbun... Adikku! Jangan tinggalkan Abang...!” teriak Ambun memecah kesunyian di tengah hutan.
Namun apa hendak diperbuat, adik tercintanya benar-benar telah menghembuskan nafas terakhirnya. Dengan diselimuti perasaan sedih, Ambun segera menggali lubang untuk kuburan adiknya. Setelah menguburkan jazad adiknya, Ambun mencabut dohong adiknya. Mata dohong itu ditancapkan di bagian kepala, sedangkan warangkanya ditancapkan di bagian kaki kuburan itu. Sementara kain berwarna kuning pembungkus dohong itu diikatkan pada nisannya.
Setelah itu, Ambun melanjutkan perjalanan dengan menyusuri hutan lebat. Saat hari menjelang siang, perutnya terasa lapar. Ia pun membuka bungkusan makanannya di bawah sebuah pohon besar dan tinggi. Setelah bungkusan itu terbuka, barulah ia menyadari ternyata bekalnya sudah habis. Hatinya pun mulai cemas. Ia lalu memanjat pohon besar dan tinggi tempatnya berteduh itu. Sesampainya di atas, ia melihat kepulan asap tidak jauh dari tempatnya berada.
“Wah, pasti ada orang di sana,” pikirnya dengan perasaan gembira.
Tanpa berpikir panjang, ia segera turun dari atas pohon lalu berjalan menuju ke arah kepulan asap. Setelah beberapa lama berjalan, terlihatlah sebuah rumah di tengah hutan. Saat menghampiri rumah itu, ia melihat seorang nenek sedang mengumpulkan kayu bakar di samping rumahnya. Agar nenek itu tidak terkejut, ia pun mendehem.
“Hemm, sedang apa, Nek?” tanya Ambun.
“Mengumpulkan kayu bakar,” jawab nenek itu.
“Siapa engkau ini anak muda? Kenapa bisa sampai ke tempat ini?” nenek itu balik bertanya.
“Saya Ambun, Nek,” jawab Ambun, lalu ia menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga sampai di tempat itu.
“Nenek berduka cita atas meninggalnya adikmu,” kata nenek itu dengan perasaan haru.
Oleh karena merasa kasihan, perempuan tua itu mengizinkan Ambun untuk tinggal bersamanya. Setiap hari Ambun membantunya untuk mencari kayu bakar. Si Nenek pun sangat menyayangi Ambun seperti cucunya sendiri.
Pada suatu hari, sambil mengumpulkan kayu bakar, nenek itu bercerita kepada Ambun bahwa sebenarnya ia adalah bagian dari keluarga Kerajaan Sang Sambaratih. Ia diusir karena pernikahannya dengan almarhum suaminya yang berasal dari rakyat biasa. Meskipun dikucilkan dari istana, nenek malang itu masih mendapat perhatian dari sebagian keluarga istana. Hampir setiap minggu ada pengawal istana yang mengantarkan makanan untuknya.
Suatu hari, datanglah dua orang utusan dari istana Sang Sambaratih membawa makanan untuk si Nenek. Sebelum kembali ke istana, kedua utusan tersebut memberitahukan kepadanya bahwa raja akan mengadakan sayembara memetik bunga melati. Barangsiapa yang dapat melompat dari halaman rumah istana sampai ke atap istana untuk mengambil bunga melati, dan menyerahkannya kepada putri raja, maka dia akan dijadikan menantu raja. Akan tetapi jika gagal, maka dia akan mendapat hukuman gantung.
Si Ambun yang mendengar kabar itu, hampir semalaman tidak dapat memejamkam matanya. Ia ingin sekali mengikuti sayembara itu. Keesokan harinya, Ambun menemui si Nenek.
“Nek, bolehkah Ambun mengikuti sayembara itu?” tanya Ambun.
“Oh jangan, Cucuku! Kamu akan dihukum gantung jika gagal memetik bunga melati itu,” cegah si Nenek.
“Nenek tidak usah khawatir. Ambun pasti dapat mengatasinya,” kata si Ambun seraya memperlihatkan senjata dohongnya.
“Benda apa ini, Cucuku?” tanya si Nenek penasaran.
“Senjata pusaka peninggalan ayahku, Nek. Senjata ini dapat menolong jika diperlukan,” jelas Ambun.
Si Nenek pun yakin dan percaya dengan kata-kata Ambun, dan mengizinkannya untuk mengikuti sayembara tersebut. Keesokan harinya, Ambun sudah bersiap-siap berangkat menuju istana untuk mengikuti sayembara tersebut.
“Maaf, Nek! Ambun ada satu permintaan,” kata Ambun.
“Apakah itu, Cucuku?” tanya si Nenek penasaran.
“Bersediakah Nenek menyaksikan sayembara itu. Jika seandainya Ambun gagal, Nenek dapat menyaksikan Ambun menjalani hukuman gantung, dan saat itu adalah pertemuan terkahir kita,” bujuk Ambun.
Oleh karena sayang kepada Ambun, nenek itu pun memenuhi keinginan Ambun. Maka berangkatlah mereka berdua menuju istana. Selama dalam perjalanan, si Nenek senantiasa diselimuti perasaan cemas. Sementara si Ambun meminta kepada si Nenek untuk mendoakannya agar dapat meraih kemenangan.
Setibanya di halaman istana, penonton sudah penuh sesak dan para peserta sudah bersiap-siap mengikuti sayembara. Peserta sayembara tersebut terdiri dari delapan orang, yaitu tujuh pangeran dari kerajaan bawahan Kerajaan Sang Sambaratih, dan si Ambun sendiri. Satu per satu pangeran tersebut mengeluarkan kesaktiannya, namun tak seorang pun yang berhasil melompat ke atap istana dan memetik bunga melati. Kini giliran Ambun yang akan memperlihatkan kesaktiannya. Ketika Ambun memasuki arena, para penonton bertepuk tangan disertai dengan suara ejekan. Mereka meragukan kemampuan Ambun. Jangankan Ambun yang hanya orang kampung, para pangeran saja tidak satu pun yang berhasil melalui ujian itu. Namun dengan penuh percaya diri, Ambun tetap tenang dan berkonsentrasi penuh. Saat mengambil ancang-ancang, dengan suara nyaring Ambun berteriak memanggil ayahnya sambil mencabut dohong pusaka yang terselip dipinggangnya.
Dengan secepat kilat, Ambun melejit ke atas atap memetik bunga melati itu dan menyerahkannya kepada tuan putri yang duduk di samping raja. Seketika itu pula suara tepuk tangan dan teriakan penonton bergemuruh bagaikan membelah bumi. Suara teriakan penonton bukan lagi suara ejekan, melainkan suara kekaguman melihat kesaktian Ambun. Raja yang menyaksikan peristiwa itu langsung berdiri sambil bertepuk tangan dengan penuh kekaguman.
Sementara ketujuh pangeran tersebut merasa tidak puas. Mereka pun menyatakan perang kepada raja Sang Sambaratih. Namun atas bantuan Ambun dengan senjata dohongnya, ketujuh pangeran tersebut dapat dikalahkan. Akhirnya, Ambun dinikahkan dengan putri raja. Pesta pernikahannya dilangsungkan dengan meriah selama tujuh hari tujuh malam.
Seminggu setelah pernikahan mereka, raja Sang Sambaratih menyerahkan kekuasaannya kepada Ambun, karena sudah tua. Sejak dinobatkan menjadi raja, Ambun berusaha mencari ibunya. Pada suatu hari, Ambun bersama beberapa orang pengawalnya menyusuri jalan yang pernah dilaluinya ketika ia berangkat merantau. Setelah tujuh hari tujuh malam berjalan, ia pun menemukan ibunya. Alangkah bahagianya sang Ibu saat melihat anaknya kembali dan berhasil menjadi raja. Namun, di satu sisi, sang Ibu tetap bersedih karena kehilangan Rimbun anak bungsunya.
Oleh karena tidak ingin melihat ibunya bersedih, Ambun bersama ibu dan para pengawalnya pergi mencari kuburan Rimbun. Setelah menemukan kuburan Rimbun, Ambun segera memerintahkan sebagian pengawalnya untuk menggali kuburan itu, dan memerintahkan sebagian yang lain untuk mencari Danum Kaharingan Belom (air kehidupan) di Bukit Kamiting.
Menjelang sore, pengawal yang diutus ke Bukit Kamiting telah kembali dengan membawa Danun Kaharingan Belom. Ambun segera meneteskan air kehidupan itu ke tulang-tulang adiknya yang sudah terpisah-pisah. Tidak lama kemudian, tulang-tulang itu menyusun diri. Daging dan kulitnya pun kembali seperti semula. Akhirnya Rimbun hidup lagi. Keluarga Ambun kini telah berkumpul kembali.
Setelah itu, Ambun mengajak keluarganya hidup bersama di istana Kerajaan Sang Sambaratih dengan penuh kebahagiaan.