Posted by : Welly
Tuesday, December 11, 2012
Sekilas cerita tentang legenda asal mula nama sungai Kawat yang berasal dari cerita masyarakat Kalbar. sebelum membaca tentang cerita diatas mari kita ketahui dulu sekilas tentang kalimantan barat.
Kalimantan Barat adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di Pulau Kalimantan dan beribukotakan Pontianak., Luas wilayah Provinsi Kalimantan Barat adalah 146.807 km² (7,53% luas Indonesia). Merupakan provinsi terluas keempat setelah Papua, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah.
Daerah Kalimantan Barat termasuk salah satu daerah yang dapat dijuluki provinsi "Seribu Sungai". Julukan ini selaras dengan kondisi geografis yang mempunyai ratusan sungai besar dan kecil yang diantaranya dapat dan sering dilayari. Beberapa sungai besar sampai saat ini masih merupakan urat nadi dan jalur utama untuk angkutan daerah pedalaman, walaupun prasarana jalan darat telah dapat menjangkau sebagian besar kecamatan.
Saat Kota Sintang di kalimantan barat masih sepi penduduk, di daerah itu hidup sebuah keluarga miskin. Keluarga itu terdiri dari sepasang suami istri dan seorang anak. Mereka tinggal di sebuah rumah panggung yang sudah tua dan lapuk di tepi sungai. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, setiap hari sang ayah mencari ikan di sepanjang aliran sungai. Jika beruntung, ia terkadang memperoleh ikan yang cukup dimakan beberapa hari bersama keluarganya. Namun jika sedang sial, ia terkadang pulang tanpa membawa seekor ikan pun.
Suatu hari, persediaan makanan di rumah keluarga itu telah habis. Maka, pagi-pagi sekali sang ayah pergi ke sungai untuk mencari ikan dengan menggunakan perahu. Tak lupa ia membawa dua buah pancing dengan harapan bahwa jika pancingnya putus ia masih mempunyai pancing yang lain. Dengan penuh harapan, nelayan itu mendayung perahunya menyusuri aliran sungai menuju ke arah hulu. Setiba di sebuah lubuk yang dalam, ia pun mulai mengulur salah satu pancingnya yang telah diberi umpan ke dalam air.
“Semoga hari ini aku bisa memperoleh ikan yang banyak,” gumamnya sambil menunggu pancingnya ditarik ikan.
Setelah beberapa waktu nelayan itu menunggu, belum seekor ikan pun yang menyentuh umpannya. Melihat keadaan itu, ia sesekali mengangkat pancingnya untuk memeriksa apakah umpannya masih ada dan ternyata masih tetap utuh. Karena bertekad keras ingin membawa pulang ikan untuk keluarganya di rumah, nelayan itu tidak mau putus asa. Ia tetap bersemangat menunggu pancingnya ditarik ikan. Hingga hari menjelang siang, nelayan itu belum juga memperoleh seekor ikan pun. Berkali-kali ia berpindah tempat untuk mencari lubuk yang lebih dalam, namun hasilnya tetap nihil.
“Ah, barangkali ikan di sekitar lubuk ini sudah berkurang,” gumamnya, “Sebaiknya aku mencari lubuk yang lebih dalam lagi saja.”
Dengan penuh semangat, nelayan itu mengayuh perahunya menuju ke hulu sungai hingga menemukan sebuah teluk kecil. Tempat itu cukup bagus karena terdapat banyak bebatuan berlumut dan di sekitarnya banyak pepohonan rindang yang menjorok ke sungai.
“Wah, tempat ini pasti banyak ikannya,” gumamnya.
Setelah mengganti umpannya yang lebih baru, nelayan itu segera melemparkan pancingnya ke dalam air yang dalam. Ia dengan penuh harapan terus menunggu pancingnya di atas perahu sambil bersiul-siul dan sesekali menarik tali pancingnya. Namun hingga hari menjelang sore, tak seekor ikan pun yang menarik pancingnya.
“Aduuuhhh, sial benar hari ini. Sudah berkali-kali aku berpindah tempat, tapi belum juga memperoleh seekor ikan pun,” keluh nelayan itu, “Wah, nanti keluargaku akan makan apa?”
Nelayan itu mulai bingung. Ia masih ingin berusaha memperoleh ikan untuk keluarganya, sementara hari sudah semakin sore. Di tengah-tengah kebingungan itu, tiba-tiba ia merasa pancingnya ditarik-tarik. Ia pun langsung tersentak kaget dan berusaha menarik pancingnya. Namun semakin kuat ia menariknya, pancing itu justru terseret hingga ke tengah sungai. Maka ia dengan cepat mengulur tali pancingnya. Kali ini ia tidak mau kehilangan satu-satunya ikan yang terkena pancingnya. Ia terus mengulur tali pancingnya hingga tak terasa tali pancing itu habis terulur. Karena ikan itu terus menariknya, sang nelayan pun mendayung perahunya mengikuti tarikan itu hingga ke tengah sungai yang paling dalam.
Hari sudah semakin gelap, namun nelayan itu belum juga dapat menarik pancingnya. Untung pada saat itu rembulan malam memancarkan cahayanya sehingga ia masih dapat melihat arah tarikan ikan itu. Begitu tarikan itu mulai lemah, nelayan itu dengan cepat menyentakkan pancingnya ke atas. Betapa kecewanya ia karena harapannya ikan besar yang tersangkut di ujung tali pancingnya namun ternyata hanya seutas tali kawat. Dengan perasaan kecewa, nelayan itu melemparkan kembali ujung tali pancingnya ke dalam air.
“Aku benar-benar sial hari ini,” guman nelayan itu dengan nada kecewa.
Akhirnya, nelayan itu memutuskan untuk menghentikan pemancingannya. Ia pun menggulung tali pancingnya untuk bergegas kembali ke rumah walaupun dengan tangan hampa. Alangkah terkejutnya ia setelah menggulung tali pancingnya sampai ke ujung. Ia melihat tali kawat yang masih tersangkut di ujung tali pancing itu memancarkan cahaya berwarna kuning keemasan diterpa sinar rembulan.
“Hai, apakah aku tidak salah lihat? Bukankah ini kawat emas?” gumamnya dengan terkejut.
Mulanya nelayan itu tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Namun, setelah diamati secara seksama, ternyata dugaannya benar bahwa tali kawat itu terbuat dari emas. Wajahnya yang tadi cemberut tiba-tiba berubah menjadi berseri-seri karena gembira.
“Aku akan kaya... aku akan kaya raya...!” teriak nelayan itu kegirangan.
Dengan penuh semangat, ia segera menarik kawat emas itu naik ke perahunya. Meskipun ia sudah mendapat beberapa meter, ia tetap terus menarik kawat emas itu. Sementara itu, kawat emas yang ditariknya itu seperti tidak ada habisnya. Semakin dia tarik, kawat emas itu tetap saja ada sambungannya.
“Panjang sekali kawat emas ini,” gumamnya dengan heran, “Waaah... Aku akan menjadi orang terkaya di negeri ini.”
Hati nelayan itu benar-benar telah teracuni oleh sifat serakah. Padahal, jika seandainya ia mengambil beberapa meter saja dari kawat emas itu, hidupnya sudah jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Namun, sifat serakah yang terus menjalar di hatinya membuat nelayan itu tidak merasa puas dengan apa yang telah didapatkan. Ia terus menerus menarik kawat emas itu hingga perahunya penuh dengan gulungan kawat emas. Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara dari dalam air yang menegurnya.
“Sudah... Potong saja kawat emasnya di situ!” demikian suara teguran itu.
Nelayan itu tidak menghiraukan suara teguran tersebut. Ia tetap asyik menarik kawat emas itu naik ke perahunya. Beberapa saat kemudian, suara misterius kembali menegurnya.
“Hentikan...! Hentikan...! Kamu akan celaka,” ujar suara itu.
Berkali-kali suara itu menasehatinya, namun nelayan yang serakah itu masih saja tidak menghiraukannya. Tanpa diduga, perahu yang ditumpanginya tiba-tiba oleng karena tidak kuat lagi menahan beban berat gulungan kawat emas itu. Pada saat itulah ia baru menyadari keserakahannya. Ia pun berhenti menarik kawat emas itu dan berusaha untuk menyelamatkan diri. Namun, usaha itu sudah terlambat. Air sudah masuk ke dalam perahunya hingga penuh. Akhirnya, ia pun tenggelam ke dasar sungai bersama perahu dan kawat emasnya. Nelayan yang serakah itu pun menemui ajalnya. Sejak peristiwa itu, masyarakat setempat menyebut sungai tempat tenggelamnya nelayan itu dengan nama Sungai Kawat. Hingga saat ini, Sungai Kawat yang merupakan salah satu anak atau cabang dari Sungai Kapuas ini masih dapat kita saksikan di daerah Kota Sintang, Kalimantan Barat.
Kalimantan Barat adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di Pulau Kalimantan dan beribukotakan Pontianak., Luas wilayah Provinsi Kalimantan Barat adalah 146.807 km² (7,53% luas Indonesia). Merupakan provinsi terluas keempat setelah Papua, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah.
Daerah Kalimantan Barat termasuk salah satu daerah yang dapat dijuluki provinsi "Seribu Sungai". Julukan ini selaras dengan kondisi geografis yang mempunyai ratusan sungai besar dan kecil yang diantaranya dapat dan sering dilayari. Beberapa sungai besar sampai saat ini masih merupakan urat nadi dan jalur utama untuk angkutan daerah pedalaman, walaupun prasarana jalan darat telah dapat menjangkau sebagian besar kecamatan.
Saat Kota Sintang di kalimantan barat masih sepi penduduk, di daerah itu hidup sebuah keluarga miskin. Keluarga itu terdiri dari sepasang suami istri dan seorang anak. Mereka tinggal di sebuah rumah panggung yang sudah tua dan lapuk di tepi sungai. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, setiap hari sang ayah mencari ikan di sepanjang aliran sungai. Jika beruntung, ia terkadang memperoleh ikan yang cukup dimakan beberapa hari bersama keluarganya. Namun jika sedang sial, ia terkadang pulang tanpa membawa seekor ikan pun.
Suatu hari, persediaan makanan di rumah keluarga itu telah habis. Maka, pagi-pagi sekali sang ayah pergi ke sungai untuk mencari ikan dengan menggunakan perahu. Tak lupa ia membawa dua buah pancing dengan harapan bahwa jika pancingnya putus ia masih mempunyai pancing yang lain. Dengan penuh harapan, nelayan itu mendayung perahunya menyusuri aliran sungai menuju ke arah hulu. Setiba di sebuah lubuk yang dalam, ia pun mulai mengulur salah satu pancingnya yang telah diberi umpan ke dalam air.
“Semoga hari ini aku bisa memperoleh ikan yang banyak,” gumamnya sambil menunggu pancingnya ditarik ikan.
Setelah beberapa waktu nelayan itu menunggu, belum seekor ikan pun yang menyentuh umpannya. Melihat keadaan itu, ia sesekali mengangkat pancingnya untuk memeriksa apakah umpannya masih ada dan ternyata masih tetap utuh. Karena bertekad keras ingin membawa pulang ikan untuk keluarganya di rumah, nelayan itu tidak mau putus asa. Ia tetap bersemangat menunggu pancingnya ditarik ikan. Hingga hari menjelang siang, nelayan itu belum juga memperoleh seekor ikan pun. Berkali-kali ia berpindah tempat untuk mencari lubuk yang lebih dalam, namun hasilnya tetap nihil.
“Ah, barangkali ikan di sekitar lubuk ini sudah berkurang,” gumamnya, “Sebaiknya aku mencari lubuk yang lebih dalam lagi saja.”
Dengan penuh semangat, nelayan itu mengayuh perahunya menuju ke hulu sungai hingga menemukan sebuah teluk kecil. Tempat itu cukup bagus karena terdapat banyak bebatuan berlumut dan di sekitarnya banyak pepohonan rindang yang menjorok ke sungai.
“Wah, tempat ini pasti banyak ikannya,” gumamnya.
Setelah mengganti umpannya yang lebih baru, nelayan itu segera melemparkan pancingnya ke dalam air yang dalam. Ia dengan penuh harapan terus menunggu pancingnya di atas perahu sambil bersiul-siul dan sesekali menarik tali pancingnya. Namun hingga hari menjelang sore, tak seekor ikan pun yang menarik pancingnya.
“Aduuuhhh, sial benar hari ini. Sudah berkali-kali aku berpindah tempat, tapi belum juga memperoleh seekor ikan pun,” keluh nelayan itu, “Wah, nanti keluargaku akan makan apa?”
Nelayan itu mulai bingung. Ia masih ingin berusaha memperoleh ikan untuk keluarganya, sementara hari sudah semakin sore. Di tengah-tengah kebingungan itu, tiba-tiba ia merasa pancingnya ditarik-tarik. Ia pun langsung tersentak kaget dan berusaha menarik pancingnya. Namun semakin kuat ia menariknya, pancing itu justru terseret hingga ke tengah sungai. Maka ia dengan cepat mengulur tali pancingnya. Kali ini ia tidak mau kehilangan satu-satunya ikan yang terkena pancingnya. Ia terus mengulur tali pancingnya hingga tak terasa tali pancing itu habis terulur. Karena ikan itu terus menariknya, sang nelayan pun mendayung perahunya mengikuti tarikan itu hingga ke tengah sungai yang paling dalam.
Hari sudah semakin gelap, namun nelayan itu belum juga dapat menarik pancingnya. Untung pada saat itu rembulan malam memancarkan cahayanya sehingga ia masih dapat melihat arah tarikan ikan itu. Begitu tarikan itu mulai lemah, nelayan itu dengan cepat menyentakkan pancingnya ke atas. Betapa kecewanya ia karena harapannya ikan besar yang tersangkut di ujung tali pancingnya namun ternyata hanya seutas tali kawat. Dengan perasaan kecewa, nelayan itu melemparkan kembali ujung tali pancingnya ke dalam air.
“Aku benar-benar sial hari ini,” guman nelayan itu dengan nada kecewa.
Akhirnya, nelayan itu memutuskan untuk menghentikan pemancingannya. Ia pun menggulung tali pancingnya untuk bergegas kembali ke rumah walaupun dengan tangan hampa. Alangkah terkejutnya ia setelah menggulung tali pancingnya sampai ke ujung. Ia melihat tali kawat yang masih tersangkut di ujung tali pancing itu memancarkan cahaya berwarna kuning keemasan diterpa sinar rembulan.
“Hai, apakah aku tidak salah lihat? Bukankah ini kawat emas?” gumamnya dengan terkejut.
Mulanya nelayan itu tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Namun, setelah diamati secara seksama, ternyata dugaannya benar bahwa tali kawat itu terbuat dari emas. Wajahnya yang tadi cemberut tiba-tiba berubah menjadi berseri-seri karena gembira.
“Aku akan kaya... aku akan kaya raya...!” teriak nelayan itu kegirangan.
Dengan penuh semangat, ia segera menarik kawat emas itu naik ke perahunya. Meskipun ia sudah mendapat beberapa meter, ia tetap terus menarik kawat emas itu. Sementara itu, kawat emas yang ditariknya itu seperti tidak ada habisnya. Semakin dia tarik, kawat emas itu tetap saja ada sambungannya.
“Panjang sekali kawat emas ini,” gumamnya dengan heran, “Waaah... Aku akan menjadi orang terkaya di negeri ini.”
Hati nelayan itu benar-benar telah teracuni oleh sifat serakah. Padahal, jika seandainya ia mengambil beberapa meter saja dari kawat emas itu, hidupnya sudah jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Namun, sifat serakah yang terus menjalar di hatinya membuat nelayan itu tidak merasa puas dengan apa yang telah didapatkan. Ia terus menerus menarik kawat emas itu hingga perahunya penuh dengan gulungan kawat emas. Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara dari dalam air yang menegurnya.
“Sudah... Potong saja kawat emasnya di situ!” demikian suara teguran itu.
Nelayan itu tidak menghiraukan suara teguran tersebut. Ia tetap asyik menarik kawat emas itu naik ke perahunya. Beberapa saat kemudian, suara misterius kembali menegurnya.
“Hentikan...! Hentikan...! Kamu akan celaka,” ujar suara itu.
Berkali-kali suara itu menasehatinya, namun nelayan yang serakah itu masih saja tidak menghiraukannya. Tanpa diduga, perahu yang ditumpanginya tiba-tiba oleng karena tidak kuat lagi menahan beban berat gulungan kawat emas itu. Pada saat itulah ia baru menyadari keserakahannya. Ia pun berhenti menarik kawat emas itu dan berusaha untuk menyelamatkan diri. Namun, usaha itu sudah terlambat. Air sudah masuk ke dalam perahunya hingga penuh. Akhirnya, ia pun tenggelam ke dasar sungai bersama perahu dan kawat emasnya. Nelayan yang serakah itu pun menemui ajalnya. Sejak peristiwa itu, masyarakat setempat menyebut sungai tempat tenggelamnya nelayan itu dengan nama Sungai Kawat. Hingga saat ini, Sungai Kawat yang merupakan salah satu anak atau cabang dari Sungai Kapuas ini masih dapat kita saksikan di daerah Kota Sintang, Kalimantan Barat.