Posted by : Welly
Friday, April 27, 2012
Membalong yang dulu dikenal dengan Belantu adalah nama sebuah kecamatan di Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung (Babel), Indonesia. Konon, di daerah ini pernah hidup sepasang suami-istri yang bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Pada suatu hari, sang suami baru selesai menangkap ikan di tepi laut. Namun, dalam perjalanan pulang ke rumahnya, ia menemukan sebatang bambu yang sangat aneh. Bambu itu dapat bergerak sendiri dan selalu menghalang-halangi jalannya. Bagaimana bambu itu dapat bergerak sendiri? Lalu, apa yang akan dilakukan Pak Inda terhadap bambu itu? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Putri Pinang Gading berikut ini.
Di sebuah Kubok[1] yang bernama Kelekak Nangak yang terdapat di Kecamatan Membalong, hiduplah sepasang suami-istri yang miskin dan tidak mempunyai anak. Sang Suami bernama Pak Inda, sedangkan sang Istri bernama Bu Tumina. Mereka tinggal di sebuah rumah kecil yang beratap nangak[2] dan berlantai kayu gelegar berlapik tuntong.[3] Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka menanam padi di ladang dan menangkap ikan dengan cara memasang sero[4] di tepi laut. Ketika air surut, ikan-ikan akan terperangkap dalam sero itu.
Pada suatu hari, musim panen padi bertepatan dengan waktu air laut surut. Pak Inda betare (berpamitan) kepada istrinya untuk melihat sero yang dipasang di tepi laut.
“Dik! Hari ini Abang akan pergi memeriksa sero di tepi laut. Bagaimana kalau Adik sendiri saja yang berangkat ke ladang memanen padi?” tanya sang Suami.
“Baik, Bang! Kebetulan juga hari ini kita tidak mempunyai lauk untuk makan siang,” jawab sang Istri.
Dengan membawa ambong,[5] berangkatlah Pak Inda ke laut. Ketika akan mendekati seronya, tiba-tiba ia tersandung sepotong bambu. Ia pun mengambil bambu itu dan melemparkannya ke laut, agar hanyut terbawa oleh air laut yang sedang surut. Namun, ketika akan menangkap ikan di seronya, ia tersandung lagi dengan sepotong bambu.
“Kenapa banyak sekali bambu yang hanyut di tempat ini?” gumam Pak Inda sambil mengamati bambu itu.
“Aneh! Sepertinya bambu ini yang sudah aku lemparkan tadi,” gumam Pak Inda heran.
Oleh karena sudah tidak sabar ingin melihat seronya, Pak Inda segera membuang kembali bambu itu agak jauh ke tengah laut agar tidak menghalanginya lagi. Setelah itu, ia pun menangkap ikan di dalam seronya. Pak Inda sangat gembira, karena mendapatkan banyak ikan. Sebagian ikan tersebut ia masukkan ke dalam ambongnya, dan sebagian pula diikat dengan tali rotan, karena ambongnya tidak dapat menampung semua ikan tersebut. Setelah itu, ia pun bergegas pulang ke rumahnya.
Namun, pada saat akan meninggalkan pantai, tiba-tiba ia kembali tersandung pada sepotong bambu. Ia pun mengambil bambu itu lalu mengamatinya secara seksama.
“Wah, tidak salah lagi, ini bambu yang aku buang ke laut tadi. Tapi, kenapa bambu ini bisa sampai ke sini, padahal air laut sedang surut?” tanya Pak Inda dalam hati.
“Benar-benar aneh! Bambu ini dapat melawan arus air laut. Ini bukanlah bambu sembarangan,” tambahnya sambil mengamati bambu itu.
Setelah beberapa saat berpikir, Pak Inda mengambil bambu itu dan menggunakannya sebagai pemikul ikan. Sesampainya di rumah, Pak Inda menceritakan peristiwa yang dialami kepada istrinya. Oleh istrinya, bambu itu digunakan sebagai penindih jemuran padi agar tidak diterbangkan angin.
Pada suatu hari, saat sedang duduk bersantai di rumah, Pak Inda dan istrinya dikejutkan oleh suara letusan yang sangat keras. Keduanya pun segera menuju ke sumber suara letusan itu. Rupanya, sumber letusan itu berasal dari sepotong bambu yang digunakan oleh sang Istri menindih jemuran padi yang berada di depan rumah mereka. Alangkah terkejutnya mereka saat melihat seorang bayi perempuan disertai dengan pancaran cahaya yang menyilaukan keluar dari bambu itu.
“Bang, lihat itu! Ada seorang bayi perempuan yang tergeletak di tanah,” seru sang Istri.
“Bayi itu menangis! Cepat tolong dia, Dik!” seru Pak Inda kepada istrinya.
Tanpa berpikir panjang, Bu Tumina segera mengambil dan memandikan bayi itu. Setelah bersih, ia menggendong bayi itu sambil bernyanyi:
Anakku sayang, anak kandungku.
Anak kandung sibiran tulang,
Obah jerih... pelerai demam.
Bu Tumina terus bernyanyi hingga si bayi tidak menangis lagi dan tertidur. Kedua suami-istri itu sangat senang, karena telah mendapatkan seorang anak yang sudah lama mereka dambakan. Mereka pun merawat dan membesarkan bayi itu dengan penuh kasih sayang seperti anak kandung mereka sendiri. Mereka memberinya nama Putri Pinang Gading.
Waktu berjalan begitu cepat, Putri Pinang Gading sudah berumur lima belas tahun tahun. Setiap hari ia pergi berburu binatang di hutan yang ada di sekitar rumahnya. Banyak sudah binatang buruan yang pernah dipanahnya, karena memang sejak kecil ia sangat suka bermain panahan dan sering dilatih oleh ayahnya cara memanah yang baik. Semenjak kehadiran Putri Pinang Gading, rezeki Pak Inda selalu bertambah, sehingga kehidupan mereka pun semakin sejahtera.
Pada suatu hari, terdengar kabar bahwa di Kampung Kelekak Remban terjadi bencana yang ditimbulkan oleh serangan burung yang besar. Oleh masyarakat Kelekak Remban, burung itu disebut Burung Gerude yang tinggal di sebelah timur daerah Ranau. Burung Gerude itu sangat ganas dan buas. Ia mengobrak-abrik permukiman penduduk Kelekak Remban, dan bahkan telah menelan seorang warga. Seluruh penduduk Kelekak Remban jadi panik. Untuk berlindung dari serangan Burung Gerude, para warga membuat remban.[6] Tidak seorang pun warga yang berani keluar rumah.
Peristiwa yang mengerikan itu terdengar oleh Putri Pinang Gading yang kini sudah berusia 21 tahun. Ia bertekad hendak pergi ke Kampung Kelekak Remban untuk menolong warga yang sedang dilanda ketakutan.
“Ayah, Ibu! Izinkanlah Putri pergi untuk mengusir binatang buas itu!” pinta Putri Pinang Gading.
“Apakah kamu sanggup mengalahkan burung besar itu, Nak?” tanya Pak Inda khawatir terhadap putrinya.
“Ayah tidak perlu khawatir. Putri akan membinasakan burung itu dengan panahku yang beracun ini,” jawab Putri Pinang Gading dengan penuh keyakinan.
“Baiklah, kalau begitu! Tapi, kamu harus lebih berhati-hati, Nak! Kami takut kehilanganmu,” ujar Pak Inda.
“Benar, Nak! Kamu adalah putri kami satu-satunya,” sahut Bu Tumina.
“Baik, Ayah, Ibu! Putri akan jaga diri,” kata Putri Pinang Gading seraya berpamitan kepada ayah dan ibunya.
Setelah menyiapkan beberapa anak panah yang sudah dibubuhi racun, Putri Pinang Gading berangkat menuju Kampung Kelekak Remban. Sesampainya di sana, kampung itu tampak sepi. Semua warga sedang bersembunyi di dalam rumah mereka. Putri Pinang Gading juga tidak melihat Burung Gerude itu.
“Ke mana Burung Gerude itu? Aku sudah tidak sabar lagi ingin membinasakannya,” gumam Putri Pinang Gading yang sudah siap dengan anak panah di tangannya.
Baru saja selesai bergumam, tiba-tiba ia mendengar suara burung yang sangat keras. Suara itu tidak lain adalah suara Burung Gerude. Burung itu terbang ke sana ke mari di atas rumah-rumah penduduk sedang mencari mangsa. Sesekali ia mengobrak-abrik rumah penduduk. Namun, burung itu tidak menyadari jika Putri Pinang Gading sedang memperhatikan gelagaknya dari balik sebuah pohon besar.
Putri Pinang Gading yang sudah siap dengan anak panah di tangannya tinggal menunggu saat yang tepat untuk meluncurkan anak panahnya. Pada saat Burung Gerude itu lengah, dengan cepat ia melepaskan anak panahnya. Anak panah itu meluncur ke arah Burung Gerude itu dan tepat mengenai dadanya. Burung Gerude itu pun jatuh ke bumi dan tewas seketika.
Para warga yang menyaksikan peristiwa itu melalui cela-cela rumah, keluar dari rumah mereka dan segera mengerumuni Burung Gerude yang sudah mati itu. Mereka sangat kagum melihat keberanian Putri Pinang Gading. Akhirnya, kampung itu terbebas dari ancaman bahaya serangan Burung Gerude. Untuk merayakan keberhasilan itu, para warga mengadakan pesta besar-besaran dengan mengundang Putri Pinang Gading.
Konon, tempat jatuhnya Burung Geruda itu berubah menjadi tujuh buah anak sungai. Sementera anak panah Putri Pinang Gading yang mengenai dada Burung Gerude itu tumbuh menjadi serumpun bambu. Suatu hari, ada seorang nelayan memotong bambu itu untuk dijadikan joran[7]pancing. Pada saat memotong sebatang pohon bambu itu, tiba-tiba tangan nelayan itu tersayat dan langsung meninggal karena bambu itu masih beracun. Oleh masyarakat setempat, bambu itu disebut dengan bulo berantu (bambu beracun). Kemudian kampung itu mereka beri nama Belantu, dari kata buloantu. Namun, dalam perkembangannya, nama Belantu berubah menjadi Membalong yang kini menjadi nama kecamatan di Pulau Belitung.
Di sebuah Kubok[1] yang bernama Kelekak Nangak yang terdapat di Kecamatan Membalong, hiduplah sepasang suami-istri yang miskin dan tidak mempunyai anak. Sang Suami bernama Pak Inda, sedangkan sang Istri bernama Bu Tumina. Mereka tinggal di sebuah rumah kecil yang beratap nangak[2] dan berlantai kayu gelegar berlapik tuntong.[3] Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka menanam padi di ladang dan menangkap ikan dengan cara memasang sero[4] di tepi laut. Ketika air surut, ikan-ikan akan terperangkap dalam sero itu.
Pada suatu hari, musim panen padi bertepatan dengan waktu air laut surut. Pak Inda betare (berpamitan) kepada istrinya untuk melihat sero yang dipasang di tepi laut.
“Dik! Hari ini Abang akan pergi memeriksa sero di tepi laut. Bagaimana kalau Adik sendiri saja yang berangkat ke ladang memanen padi?” tanya sang Suami.
“Baik, Bang! Kebetulan juga hari ini kita tidak mempunyai lauk untuk makan siang,” jawab sang Istri.
Dengan membawa ambong,[5] berangkatlah Pak Inda ke laut. Ketika akan mendekati seronya, tiba-tiba ia tersandung sepotong bambu. Ia pun mengambil bambu itu dan melemparkannya ke laut, agar hanyut terbawa oleh air laut yang sedang surut. Namun, ketika akan menangkap ikan di seronya, ia tersandung lagi dengan sepotong bambu.
“Kenapa banyak sekali bambu yang hanyut di tempat ini?” gumam Pak Inda sambil mengamati bambu itu.
“Aneh! Sepertinya bambu ini yang sudah aku lemparkan tadi,” gumam Pak Inda heran.
Oleh karena sudah tidak sabar ingin melihat seronya, Pak Inda segera membuang kembali bambu itu agak jauh ke tengah laut agar tidak menghalanginya lagi. Setelah itu, ia pun menangkap ikan di dalam seronya. Pak Inda sangat gembira, karena mendapatkan banyak ikan. Sebagian ikan tersebut ia masukkan ke dalam ambongnya, dan sebagian pula diikat dengan tali rotan, karena ambongnya tidak dapat menampung semua ikan tersebut. Setelah itu, ia pun bergegas pulang ke rumahnya.
Namun, pada saat akan meninggalkan pantai, tiba-tiba ia kembali tersandung pada sepotong bambu. Ia pun mengambil bambu itu lalu mengamatinya secara seksama.
“Wah, tidak salah lagi, ini bambu yang aku buang ke laut tadi. Tapi, kenapa bambu ini bisa sampai ke sini, padahal air laut sedang surut?” tanya Pak Inda dalam hati.
“Benar-benar aneh! Bambu ini dapat melawan arus air laut. Ini bukanlah bambu sembarangan,” tambahnya sambil mengamati bambu itu.
Setelah beberapa saat berpikir, Pak Inda mengambil bambu itu dan menggunakannya sebagai pemikul ikan. Sesampainya di rumah, Pak Inda menceritakan peristiwa yang dialami kepada istrinya. Oleh istrinya, bambu itu digunakan sebagai penindih jemuran padi agar tidak diterbangkan angin.
Pada suatu hari, saat sedang duduk bersantai di rumah, Pak Inda dan istrinya dikejutkan oleh suara letusan yang sangat keras. Keduanya pun segera menuju ke sumber suara letusan itu. Rupanya, sumber letusan itu berasal dari sepotong bambu yang digunakan oleh sang Istri menindih jemuran padi yang berada di depan rumah mereka. Alangkah terkejutnya mereka saat melihat seorang bayi perempuan disertai dengan pancaran cahaya yang menyilaukan keluar dari bambu itu.
“Bang, lihat itu! Ada seorang bayi perempuan yang tergeletak di tanah,” seru sang Istri.
“Bayi itu menangis! Cepat tolong dia, Dik!” seru Pak Inda kepada istrinya.
Tanpa berpikir panjang, Bu Tumina segera mengambil dan memandikan bayi itu. Setelah bersih, ia menggendong bayi itu sambil bernyanyi:
Anakku sayang, anak kandungku.
Anak kandung sibiran tulang,
Obah jerih... pelerai demam.
Bu Tumina terus bernyanyi hingga si bayi tidak menangis lagi dan tertidur. Kedua suami-istri itu sangat senang, karena telah mendapatkan seorang anak yang sudah lama mereka dambakan. Mereka pun merawat dan membesarkan bayi itu dengan penuh kasih sayang seperti anak kandung mereka sendiri. Mereka memberinya nama Putri Pinang Gading.
Waktu berjalan begitu cepat, Putri Pinang Gading sudah berumur lima belas tahun tahun. Setiap hari ia pergi berburu binatang di hutan yang ada di sekitar rumahnya. Banyak sudah binatang buruan yang pernah dipanahnya, karena memang sejak kecil ia sangat suka bermain panahan dan sering dilatih oleh ayahnya cara memanah yang baik. Semenjak kehadiran Putri Pinang Gading, rezeki Pak Inda selalu bertambah, sehingga kehidupan mereka pun semakin sejahtera.
Pada suatu hari, terdengar kabar bahwa di Kampung Kelekak Remban terjadi bencana yang ditimbulkan oleh serangan burung yang besar. Oleh masyarakat Kelekak Remban, burung itu disebut Burung Gerude yang tinggal di sebelah timur daerah Ranau. Burung Gerude itu sangat ganas dan buas. Ia mengobrak-abrik permukiman penduduk Kelekak Remban, dan bahkan telah menelan seorang warga. Seluruh penduduk Kelekak Remban jadi panik. Untuk berlindung dari serangan Burung Gerude, para warga membuat remban.[6] Tidak seorang pun warga yang berani keluar rumah.
Peristiwa yang mengerikan itu terdengar oleh Putri Pinang Gading yang kini sudah berusia 21 tahun. Ia bertekad hendak pergi ke Kampung Kelekak Remban untuk menolong warga yang sedang dilanda ketakutan.
“Ayah, Ibu! Izinkanlah Putri pergi untuk mengusir binatang buas itu!” pinta Putri Pinang Gading.
“Apakah kamu sanggup mengalahkan burung besar itu, Nak?” tanya Pak Inda khawatir terhadap putrinya.
“Ayah tidak perlu khawatir. Putri akan membinasakan burung itu dengan panahku yang beracun ini,” jawab Putri Pinang Gading dengan penuh keyakinan.
“Baiklah, kalau begitu! Tapi, kamu harus lebih berhati-hati, Nak! Kami takut kehilanganmu,” ujar Pak Inda.
“Benar, Nak! Kamu adalah putri kami satu-satunya,” sahut Bu Tumina.
“Baik, Ayah, Ibu! Putri akan jaga diri,” kata Putri Pinang Gading seraya berpamitan kepada ayah dan ibunya.
Setelah menyiapkan beberapa anak panah yang sudah dibubuhi racun, Putri Pinang Gading berangkat menuju Kampung Kelekak Remban. Sesampainya di sana, kampung itu tampak sepi. Semua warga sedang bersembunyi di dalam rumah mereka. Putri Pinang Gading juga tidak melihat Burung Gerude itu.
“Ke mana Burung Gerude itu? Aku sudah tidak sabar lagi ingin membinasakannya,” gumam Putri Pinang Gading yang sudah siap dengan anak panah di tangannya.
Baru saja selesai bergumam, tiba-tiba ia mendengar suara burung yang sangat keras. Suara itu tidak lain adalah suara Burung Gerude. Burung itu terbang ke sana ke mari di atas rumah-rumah penduduk sedang mencari mangsa. Sesekali ia mengobrak-abrik rumah penduduk. Namun, burung itu tidak menyadari jika Putri Pinang Gading sedang memperhatikan gelagaknya dari balik sebuah pohon besar.
Putri Pinang Gading yang sudah siap dengan anak panah di tangannya tinggal menunggu saat yang tepat untuk meluncurkan anak panahnya. Pada saat Burung Gerude itu lengah, dengan cepat ia melepaskan anak panahnya. Anak panah itu meluncur ke arah Burung Gerude itu dan tepat mengenai dadanya. Burung Gerude itu pun jatuh ke bumi dan tewas seketika.
Para warga yang menyaksikan peristiwa itu melalui cela-cela rumah, keluar dari rumah mereka dan segera mengerumuni Burung Gerude yang sudah mati itu. Mereka sangat kagum melihat keberanian Putri Pinang Gading. Akhirnya, kampung itu terbebas dari ancaman bahaya serangan Burung Gerude. Untuk merayakan keberhasilan itu, para warga mengadakan pesta besar-besaran dengan mengundang Putri Pinang Gading.
Konon, tempat jatuhnya Burung Geruda itu berubah menjadi tujuh buah anak sungai. Sementera anak panah Putri Pinang Gading yang mengenai dada Burung Gerude itu tumbuh menjadi serumpun bambu. Suatu hari, ada seorang nelayan memotong bambu itu untuk dijadikan joran[7]pancing. Pada saat memotong sebatang pohon bambu itu, tiba-tiba tangan nelayan itu tersayat dan langsung meninggal karena bambu itu masih beracun. Oleh masyarakat setempat, bambu itu disebut dengan bulo berantu (bambu beracun). Kemudian kampung itu mereka beri nama Belantu, dari kata buloantu. Namun, dalam perkembangannya, nama Belantu berubah menjadi Membalong yang kini menjadi nama kecamatan di Pulau Belitung.