Wilayah kerajaan ini sekarang menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah. berikut ceritanya :
Kerajaan Mori adalah salah satu kerajaan di Sulawesi Tengah yang berkembang pada sekitar abad ke-16 Masehi. Wilayah kerajaan ini sekarang masuk ke dalam wilayah Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah. Kapan dan siapa pendiri kerajaan ini? Berikut kisahnya dalam cerita Asal Mula Berdirinya Kerjaaan Mori!
Dahulu, Tanah Mori dihuni oleh beragam suku. Setiap suku memiliki mokole (organisasi pemerintahan) yang dipimpin oleh seorang kepala suku yang bergelar Mokolempalili. Sebagian dari mokole tersebut ada yang memiliki wilayah yang luas dan pengaruhnya terhadap mokole yang lain pun lebih besar. Suku-suku besar tersebut di antaranya adalah Suku Moleta, Petasia, Lembo, Murungkuni, Tovatu, dan Musimbatu. Meskipun demikian, mokole suku yang lebih kecil tidak mau tunduk kepada mokole yang lebih besar sehingga sering terjadi peperangan di antara mereka. Akibatnya, banyak korban jiwa yang berjatuhan dan kehidupan masyarakat pun tidak tenang.
Melihat kondisi yang memprihatinkan tersebut, para Mokolempalili dari mokole besar mengadakan musyarawah untuk mencari seorang raja yang dapat mempersatukan mereka.
“Jika keadaannya terus begini, warga tidak akan pernah hidup tenang. Kita harus mencari jalan keluar,” ujar salah satu Mokolempalili.
“Saya setuju. Tapi, apa yang harus kita lakukan?” tanya Mokolempalili yang kedua.
“Sebaiknya permasalahan ini kita sampaikan kepada Ratu Palopo. Barangkali dia dapat membantu,” ujar Mokolempalili yang ketiga.
Akhirnya, para Mokolempalili bersepakat untuk menghadap Ratu Palopo, yakni raja yang memerintah di Kerajaan Luwuk, Sulawesi Selatan. Ditunjuklah dua Mokolempalili sebagai utusan untuk bertemu Ratu Palopo. Kedua Mokolempalili itu bernama Tande Rumba-Rumba dan Rarahake.
Setiba di Negeri Palopo, mereka pun langsung menghadap Ratu Palopo.
“Ampun, Baginda Ratu. Maksud kedatangan hamba ke mari adalah untuk meminta bantuan,” lapor Tande Rumba-Rumba.
“Apa yang bisa aku bantu untuk kalian?” tanya sang Ratu.
Utusan Mokolempalili dari Tanah Mori itu pun menceritakan bahwa negeri mereka memerlukan seorang raja yang mampu mempersatukan seluruh mokole yang kerap berselisih.
“Baiklah, kalian boleh membawa saudaraku, Sungkawang, Sungkawawo, dan Pileweti ke Tanah Mori. Sekiranya berkenan, angkatlah mereka menjadi raja di negeri kalian,” ujar Ratu Palopo.
“Terima kasih, Baginda. Kami berharap semoga salah seorang dari saudara Baginda dapat mempersatukan para mokole sehingga perdamaian akan terwujud di Tanah Mori,” sahut Rarahake dengan perasaan gembira.
Ratu Palopo pun meminta ketiga saudaranya untuk berangkat bersama-sama kedua utusan Mokolempalili itu ke Tanah Mori. Ketika mereka sedang dalam perjalanan melewati siran tanah atau tanah perbatasan antara Negeri Palopo dan Tanah Mori, tepatnya Desa Meiki, tiba-tiba mereka mendengar suara burung.
“Meiki-meiko… meiko-meiki…!!!”
“Hai, tahukah kalian arti kicauan burung itu?” tanya Tande Rumba-Rumba.
“Iya, kami tahu. Kicauan burung itu menyebut nama tempat ini,” jawab Rarahaka.
Demikian pula, ketiga saudara Ratu Palopo. Mereka juga mengartikan bahwa tanah itu bernama Meiki dan baik untuk ditempati oleh Mokolempilili. Akhirnya, rombongan itu bersepakat menunjuk Sungkawang untuk menjadi karua (gelar sebagai Mokolempalili) di daerah yang kini dikenal dengan nama Desa Meiki itu.
Sementara itu, Sungkawawo dan Pilewiti kembali meneruskan perjalanan bersama Tande Rumba-Rumba dan Rarahake. Setiba di Tanah Mata Wundala, kedua Mokolempilili tersebut kemudian bersepakat menunjuk Sungkawawo menjadi Raja Mori yang berkedudukan di daerah itu.
Sejak itulah, Sangkawawo menjadi raja pertama di Kerajaan Mori. Ia memimpin kerajaan itu dengan arif dan bijaksana. Ia kemudian mengatur pembagian wilayah pemeritahan tiap-tiap mokole yang dikepalai oleh seorang Cara Kolempalili. Cara Kolempalili ini bertugas untuk mengatur penyelesaian upeti atau pajak yang akan disetorkan kepada Raja Mori setiap tahunnya.
Di bawah kepemimpinan Sangkawawo, rakyat Mori yang terdiri dari berbagai suku tersebut senantiasa hidup aman dan sejahtera. Untuk meningkatkan keamanan, ia melantik seorang Mokolempalili yang bergelar Bonto, yaitu bertugas sebagai penghubung antara raja dengan para Mokolempalili di Tanah Mori.
Demikian, Sangkawawo memimpin Kerajaan Mori hingga akhir hayatnya. Kedudukan sebagai raja kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Marunduh. Konon, Raja Marunduh memimpin Kerajaan Mori hingga penjajah Belanda masuk ke daerah Poso hingga wilayah Tanah Mori.
Sementara itu Pilewiti, saudara Sangkawawo, kembali melanjutkan perjalanan seorang diri. Setelah berhari-hari menempuh perjalan yang cukup jauh, ia pun berhenti di suatu tempat karena merasa sangat lelah.
“Yaku tojomo (saya sudah lelah),” gumamnya.
Rupanya, Pilewiti sudah tidak kuat lagi melanjutkan perjalanan. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk menetap dan menjadi raja di daerah itu. Daerah itu kemudian ia namakan Tanah Tojo, yaitu diambil dari kata tojomo. Tanah Tojo yang berada di pesisir timur Kabupaten Poso itu kini telah menjadi salah satu nama kecamatan, yakni Kecamatan Tojo.