Posted by : Welly
Tuesday, May 1, 2012
Lampung adalah sebuah provinsi paling selatan di Pulau Sumatera, Indonesia. Di sebelah utara berbatasan dengan Bengkulu dan Sumatera Selatan.
Provinsi Lampung dengan ibukota Bandar Lampung, yang merupakan gabungan dari kota kembar Tanjungkarang dan Telukbetung memiliki wilayah yang relatif luas, dan menyimpan potensi kelautan. Pelabuhan utamanya bernama Pelabuhan Panjang dan Pelabuhan Bakauheni serta pelabuhan nelayan seperti Pasar Ikan (Telukbetung), Tarahan, dan Kalianda di Teluk Lampung.
Telu Pak adalah panggilan kepada seorang laki-laki bernama si Buyung. Ia adalah anak orang kaya yang pemalas dan boros. Sejak kecil hingga memiliki istri, si Buyung tidak mau bekerja dan suka berfoya-foya. Akibatnya, ia dan istrinya pun jatuh miskin. Karena itulah, sang istri menyuruhnya untuk berguru kepada orang pandai. Setelah berguru, ia pun mengganti namanya menjadi Telu Pak. Mengapa si Buyung mengganti namanya menjadi Telu Pak? Lalu, berhasilkah ia menjadi orang kaya lagi? Simak kisahnya dalam cerita Kisah Telu Pak berikut ini!
Dahulu, di daerah Lampung, ada seorang anak laki-laki yang masih berumur belasan tahun. Anak itu bernama si Buyung. Ia adalah anak orang terkaya di kampungnya. Ia pun amat dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Apapun kemauannya selalu dituruti. Semua kebutuhannya selalu tercukupi. Hal itulah yang membuat si Buyung menjadi anak pemalas.
Sepuluh tahun kemudian, si Buyung pun tumbuh menjadi dewasa dan menikah dengan seorang wanita cantik. Tak berapa lama setelah menikah, kedua orang tuanya meninggal dunia. Sebagai anak tunggal, ia pun mewarisi seluruh harta kekayaan kedua orang tuanya. Namun sayang, ia tidak pandai menjaga harta warisan tersebut. Hidupnya hanya diisi dengan berfoya-foya. Lama-kelamaan hartanya pun habis digunakan untuk bersenang-senang. Meskipun ia menyesal, si Buyung tetap saja tidak mau bekerja karena tabiatnya yang pemalas.
Suatu hari, tampak si Buyung sedang duduk termenung seorang diri. Istrinya pun datang menghampirinya.
“Sudahlah, Abang tidak perlu putus asa seperti itu,” ujar sang istri, “Sebaiknya Abang pergi merantau dan berguru kepada orang-orang pandai. Siapa tahu mereka dapat membantu kita bisa keluar dari penderitaan ini.”
Mendengar nasehat istrinya, pikiran si Buyung terbuka. Apa yang dikatakan istrinya itu memang benar.
“Kamu benar, istriku. Kita harus bangkit dari penderitaan ini,” kata si Buyung, “Abang akan pergi merantau.”
Keesokan harinya, si Buyung akhirnya pergi merantau dan berguru kepada seorang guru. Di hadapan gurunya, ia pun menyampaikan masalah yang sedang dihadapinya.
“Tuan, Guru. Ajarilah aku cara mengatasi masalah ini,” pintanya.
“Angon sukhhok bidi cutiku. Artinya, kalau mengerjakan sesuatu yang baik, meskipun hati enggan, kamu harus memaksakan diri melakukannya,” petuah sang guru, “Pelajaran ini harus kamu terapkan selama tiga bulan dan niscaya hidupmu akan berubah.”
Mendengar nasehat itu, si Buyung pun kembali ke kampungnya dan mengamalkan ajaran itu. Namun, setelah tiga bulan kemudian, hidupnya tetap saja tidak berubah. Ia merasa kecewa atas nasehat gurunya itu. Namun, sang istri terus memberinya dorongan agar terus berguru.
“Jangan putus asa, Bang. Abang harus berguru lagi,” ujar istrinya.
Si Buyung pun menuruti nasehat istrinya. Ia kemudian berguru kepada guru yang lain. Pada gurunya itu, ia mengaku bahwa bahwa dirinya pernah mendapat pelajaran dari gurunya yang pertama.
“Saya sudah pernah berguru, tapi belum mendapatkan hasil,” ungkapnya.
“Baiklah, kalau begitu. Saya akan memberi pelajaran yang lain,” kata guru keduanya itu, “Angon tilansu sepak cutik. Artinya, jangan terlalu berangan-angan pada sesuatu yang tidak masuk akal.”
Guru kedua itu juga menyuruhnya untuk mengamalkan pelajaran itu selama tiga bulan. Namun, hidup si Buyung tetap saja tidak berubah. Sang istri pun tak henti-hentinya memberikan semangat kepadanya.
“Jangan putus asa, Bang. Carilah guru lagi ke negeri lain,” kata istrinya.
Si Buyung pun kembali berguru kepada guru yang ketiga. Oleh gurunya itu, ia dianjurkan untuk tidak menuruti perkataan perempuan.
“Cawani babai mak dapok titukhutkan, bila ditukhut kon cadang pendirianmu. Artinya, perkataan perempuan sebaiknya jangan dituruti, bila semua dituruti akan rusak pendirianmu,” titah gurunya yang ketiga.
“Baik, Tuan Guru,” jawab si Buyung seraya perpamitan kembali ke kampungnya.
Setelah tiga bulan lamanya mengamalkan ajaran itu, si Buyung tidak mendapatkan apa-apa. Hidupnya masih saja miskin. Dengan semangat ini berubah, ia pun mencari berguru yang keempat. Oleh guru yang keempatnya itu, ia diajarkan agar jangan pernah menolak untuk menolong orang lain setiap ada orang yang meminta pertolongan.
“Kiwat kilu tulung tengah bingi semawas mak dapok ditulak. Artinya, jika ada orang yang meminta pertolongan pada tengah malam atau dini hari sekalipun, jangan ditolak,” kata sang guru, “Jika kamu mengamalkan ajaran ini dengan sungguh-sungguh, niscaya hidupmu akan bahagia. Tapi ingat, setelah berguru kepadaku, kuharap kamu tidak berguru lagi kepada orang lain. ”
“Baik, Tuan Guru,” jawab si Buyung seraya berpamitan.
Setiba di kampung halamannya, si Buyung pun menyadari bahwa dirinya memang tidak perlu lagi berguru. Ia yakin bahwa dengan mengamalkan ajaran tersebut, hidupnya akan berubah. Sejak itulah, ia mengganti namanya menjadi Telu Pak (telu: tiga, pak: empat), yang berarti orang yang sudah berguru sebanyak empat kali.
Suatu malam yang larut, saat Telu Pak sedang khusyuk berdoa, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Mendengar suara ketukan itu, Telu Pak segera membuka pintu rumahnya. Alangkah terkejutnya ia setelah melihat dua orang pegawai istana datang membawa sesosok mayat.
“Ada apa ini?” tanya Telu Pak.
“Maaf, Tuan. Kami menemukan mayat ini tergeletak di ujung kampung. Tolong, kuburkan mayat ini,” kata salah seorang pegawai itu, “Kami harus segera kembali ke istana karena ada urusan penting.”
Pekerjaan itu tidaklah mudah bagi Telu Pak. Di samping suasana sangat gelap, ia pun harus menguburkan mayat itu seorang diri. Namun karena teringat pada pesan gurunya, ia segera mengambil cangkul. Ketika ia menggali kubur, cangkulnya mengenai sebuah batu. Di luar dugaannya, tiba-tiba batu itu memancarkan sinar. Dengan bantuan sinar itu, ia pun dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat.
Setelah itu, Telu Pak membawa pulang batu bersinar itu lalu disimpannya di bawah jendelanya. Batu itu terus memancarkan sinar sehingga mengundang perhatian dua orang tetangganya yang lewat di depan rumahnya.
“Hai, lihat!” seru salah seorang dari mereka, “Bukankah itu batu intan?”
“Iya, kamu benar. Batu intan pasti sangat mahal harganya,” kata seorang yang lainnya.
Kedua orang tersebut berniat ingin mengambil batu itu. Namun, ternyata istri Telu Pak kebetulan terbangun mendengar percakapan mereka. Ia pun segera mengambil batu intan dan membawanya masuk ke dalam rumah. Kedua orang itu pun pergi dengan perasaan kecewa.
Keesokan harinya, istri Telu Pak bertanya kepada suaminya mengenai batu intan itu.
“Dari mana Abang mendapatkan batu itu?” tanyanya.
Telu Pak pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya semalam. Namun, ia sama sekali tidak tahu jika batu itu adalah batu intan.
“Ketahuilah, Bang! Batu yang Abang temukan semalam itu adalah batu intan. Harganya mahal sekali,” ungkap istrinya.
Betapa terkejutnya Telu Pak mendengar pernyataan istrinya. Karena penasaran, ia pun segera memecah batu intan dan pecahannya mereka tunjukkan kepada seorang saudagar perhiasan. Ternyata benar, saudagar itu membenarkan bahwa itu adalah batu intan. Saudagar itu bahkan mau menukarkan tokonya dengan batu intan itu. Kedua belah pihak akhirnya bersepakat meminta saksi dari pihak kerajaan. Namun, rupanya Raja tertarik pada batu intan itu. Ia pun berniat untuk berbuat curang kepada Telu Pak.
“Hai, Telu Pak. Aku juga mempunyai batu intan kecil. Sementara batu intan milikmu itu adalah induknya,” ungkap sang Raja, “Kupikir induk intan itu sedang mencari anaknya.”
Telu Pak tidak percaya pada pernyataan Raja. Ia tahu bahwa sang Raja menginginkan batu intan miliknya. Ia pun membuat sebuah kesepakatan dengan raja itu.
“Baiklah, Baginda. Mari tunjukkan intan kita masing-masing. Jika intan milik hamba bergerak mendekati intan milik Baginda, maka ambillah intan hamba,” tantang Telu Pak, “Tapi, jika intan milik Baginda tidak bergerak, maka Baginda harus menandatangani kesepekatan hamba dengan saudagar itu.”
“Baik, Telu Pak. Aku terima tantanganmu,” kata sang Raja.
Telu Pak pun meletakkan intan miliknya di tanah, sedangkan sang Raja menaruh intannya di telapak tangannya. Ternyata, tak satu pun dari kedua intan tersebut yang bergerak. Dengan demikian, sang Raja kalah dan terpaksa menandantangani kesepekatan antara Telu Pak dan saudagar perhiasan itu.
Teluk Pak dan istrinya kemudian pindah ke toko itu. Dengan modal batu intan yang dimiliki, mereka akhirnya menjadi saudagar perhiasan yang kaya dan dermawan. Karena kedermawanannya, ia amat dihormati dan dicintai oleh masyarakat. Setelah sang Raja wafat, Telu Pak diangkat menjadi raja. Ia memerintah dengan arif dan bijaksana. Rakyatnya pun senantiasa hidup rukun, damai, dan sejahtera.
Provinsi Lampung dengan ibukota Bandar Lampung, yang merupakan gabungan dari kota kembar Tanjungkarang dan Telukbetung memiliki wilayah yang relatif luas, dan menyimpan potensi kelautan. Pelabuhan utamanya bernama Pelabuhan Panjang dan Pelabuhan Bakauheni serta pelabuhan nelayan seperti Pasar Ikan (Telukbetung), Tarahan, dan Kalianda di Teluk Lampung.
Telu Pak adalah panggilan kepada seorang laki-laki bernama si Buyung. Ia adalah anak orang kaya yang pemalas dan boros. Sejak kecil hingga memiliki istri, si Buyung tidak mau bekerja dan suka berfoya-foya. Akibatnya, ia dan istrinya pun jatuh miskin. Karena itulah, sang istri menyuruhnya untuk berguru kepada orang pandai. Setelah berguru, ia pun mengganti namanya menjadi Telu Pak. Mengapa si Buyung mengganti namanya menjadi Telu Pak? Lalu, berhasilkah ia menjadi orang kaya lagi? Simak kisahnya dalam cerita Kisah Telu Pak berikut ini!
Dahulu, di daerah Lampung, ada seorang anak laki-laki yang masih berumur belasan tahun. Anak itu bernama si Buyung. Ia adalah anak orang terkaya di kampungnya. Ia pun amat dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Apapun kemauannya selalu dituruti. Semua kebutuhannya selalu tercukupi. Hal itulah yang membuat si Buyung menjadi anak pemalas.
Sepuluh tahun kemudian, si Buyung pun tumbuh menjadi dewasa dan menikah dengan seorang wanita cantik. Tak berapa lama setelah menikah, kedua orang tuanya meninggal dunia. Sebagai anak tunggal, ia pun mewarisi seluruh harta kekayaan kedua orang tuanya. Namun sayang, ia tidak pandai menjaga harta warisan tersebut. Hidupnya hanya diisi dengan berfoya-foya. Lama-kelamaan hartanya pun habis digunakan untuk bersenang-senang. Meskipun ia menyesal, si Buyung tetap saja tidak mau bekerja karena tabiatnya yang pemalas.
Suatu hari, tampak si Buyung sedang duduk termenung seorang diri. Istrinya pun datang menghampirinya.
“Sudahlah, Abang tidak perlu putus asa seperti itu,” ujar sang istri, “Sebaiknya Abang pergi merantau dan berguru kepada orang-orang pandai. Siapa tahu mereka dapat membantu kita bisa keluar dari penderitaan ini.”
Mendengar nasehat istrinya, pikiran si Buyung terbuka. Apa yang dikatakan istrinya itu memang benar.
“Kamu benar, istriku. Kita harus bangkit dari penderitaan ini,” kata si Buyung, “Abang akan pergi merantau.”
Keesokan harinya, si Buyung akhirnya pergi merantau dan berguru kepada seorang guru. Di hadapan gurunya, ia pun menyampaikan masalah yang sedang dihadapinya.
“Tuan, Guru. Ajarilah aku cara mengatasi masalah ini,” pintanya.
“Angon sukhhok bidi cutiku. Artinya, kalau mengerjakan sesuatu yang baik, meskipun hati enggan, kamu harus memaksakan diri melakukannya,” petuah sang guru, “Pelajaran ini harus kamu terapkan selama tiga bulan dan niscaya hidupmu akan berubah.”
Mendengar nasehat itu, si Buyung pun kembali ke kampungnya dan mengamalkan ajaran itu. Namun, setelah tiga bulan kemudian, hidupnya tetap saja tidak berubah. Ia merasa kecewa atas nasehat gurunya itu. Namun, sang istri terus memberinya dorongan agar terus berguru.
“Jangan putus asa, Bang. Abang harus berguru lagi,” ujar istrinya.
Si Buyung pun menuruti nasehat istrinya. Ia kemudian berguru kepada guru yang lain. Pada gurunya itu, ia mengaku bahwa bahwa dirinya pernah mendapat pelajaran dari gurunya yang pertama.
“Saya sudah pernah berguru, tapi belum mendapatkan hasil,” ungkapnya.
“Baiklah, kalau begitu. Saya akan memberi pelajaran yang lain,” kata guru keduanya itu, “Angon tilansu sepak cutik. Artinya, jangan terlalu berangan-angan pada sesuatu yang tidak masuk akal.”
Guru kedua itu juga menyuruhnya untuk mengamalkan pelajaran itu selama tiga bulan. Namun, hidup si Buyung tetap saja tidak berubah. Sang istri pun tak henti-hentinya memberikan semangat kepadanya.
“Jangan putus asa, Bang. Carilah guru lagi ke negeri lain,” kata istrinya.
Si Buyung pun kembali berguru kepada guru yang ketiga. Oleh gurunya itu, ia dianjurkan untuk tidak menuruti perkataan perempuan.
“Cawani babai mak dapok titukhutkan, bila ditukhut kon cadang pendirianmu. Artinya, perkataan perempuan sebaiknya jangan dituruti, bila semua dituruti akan rusak pendirianmu,” titah gurunya yang ketiga.
“Baik, Tuan Guru,” jawab si Buyung seraya perpamitan kembali ke kampungnya.
Setelah tiga bulan lamanya mengamalkan ajaran itu, si Buyung tidak mendapatkan apa-apa. Hidupnya masih saja miskin. Dengan semangat ini berubah, ia pun mencari berguru yang keempat. Oleh guru yang keempatnya itu, ia diajarkan agar jangan pernah menolak untuk menolong orang lain setiap ada orang yang meminta pertolongan.
“Kiwat kilu tulung tengah bingi semawas mak dapok ditulak. Artinya, jika ada orang yang meminta pertolongan pada tengah malam atau dini hari sekalipun, jangan ditolak,” kata sang guru, “Jika kamu mengamalkan ajaran ini dengan sungguh-sungguh, niscaya hidupmu akan bahagia. Tapi ingat, setelah berguru kepadaku, kuharap kamu tidak berguru lagi kepada orang lain. ”
“Baik, Tuan Guru,” jawab si Buyung seraya berpamitan.
Setiba di kampung halamannya, si Buyung pun menyadari bahwa dirinya memang tidak perlu lagi berguru. Ia yakin bahwa dengan mengamalkan ajaran tersebut, hidupnya akan berubah. Sejak itulah, ia mengganti namanya menjadi Telu Pak (telu: tiga, pak: empat), yang berarti orang yang sudah berguru sebanyak empat kali.
Suatu malam yang larut, saat Telu Pak sedang khusyuk berdoa, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Mendengar suara ketukan itu, Telu Pak segera membuka pintu rumahnya. Alangkah terkejutnya ia setelah melihat dua orang pegawai istana datang membawa sesosok mayat.
“Ada apa ini?” tanya Telu Pak.
“Maaf, Tuan. Kami menemukan mayat ini tergeletak di ujung kampung. Tolong, kuburkan mayat ini,” kata salah seorang pegawai itu, “Kami harus segera kembali ke istana karena ada urusan penting.”
Pekerjaan itu tidaklah mudah bagi Telu Pak. Di samping suasana sangat gelap, ia pun harus menguburkan mayat itu seorang diri. Namun karena teringat pada pesan gurunya, ia segera mengambil cangkul. Ketika ia menggali kubur, cangkulnya mengenai sebuah batu. Di luar dugaannya, tiba-tiba batu itu memancarkan sinar. Dengan bantuan sinar itu, ia pun dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat.
Setelah itu, Telu Pak membawa pulang batu bersinar itu lalu disimpannya di bawah jendelanya. Batu itu terus memancarkan sinar sehingga mengundang perhatian dua orang tetangganya yang lewat di depan rumahnya.
“Hai, lihat!” seru salah seorang dari mereka, “Bukankah itu batu intan?”
“Iya, kamu benar. Batu intan pasti sangat mahal harganya,” kata seorang yang lainnya.
Kedua orang tersebut berniat ingin mengambil batu itu. Namun, ternyata istri Telu Pak kebetulan terbangun mendengar percakapan mereka. Ia pun segera mengambil batu intan dan membawanya masuk ke dalam rumah. Kedua orang itu pun pergi dengan perasaan kecewa.
Keesokan harinya, istri Telu Pak bertanya kepada suaminya mengenai batu intan itu.
“Dari mana Abang mendapatkan batu itu?” tanyanya.
Telu Pak pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya semalam. Namun, ia sama sekali tidak tahu jika batu itu adalah batu intan.
“Ketahuilah, Bang! Batu yang Abang temukan semalam itu adalah batu intan. Harganya mahal sekali,” ungkap istrinya.
Betapa terkejutnya Telu Pak mendengar pernyataan istrinya. Karena penasaran, ia pun segera memecah batu intan dan pecahannya mereka tunjukkan kepada seorang saudagar perhiasan. Ternyata benar, saudagar itu membenarkan bahwa itu adalah batu intan. Saudagar itu bahkan mau menukarkan tokonya dengan batu intan itu. Kedua belah pihak akhirnya bersepakat meminta saksi dari pihak kerajaan. Namun, rupanya Raja tertarik pada batu intan itu. Ia pun berniat untuk berbuat curang kepada Telu Pak.
“Hai, Telu Pak. Aku juga mempunyai batu intan kecil. Sementara batu intan milikmu itu adalah induknya,” ungkap sang Raja, “Kupikir induk intan itu sedang mencari anaknya.”
Telu Pak tidak percaya pada pernyataan Raja. Ia tahu bahwa sang Raja menginginkan batu intan miliknya. Ia pun membuat sebuah kesepakatan dengan raja itu.
“Baiklah, Baginda. Mari tunjukkan intan kita masing-masing. Jika intan milik hamba bergerak mendekati intan milik Baginda, maka ambillah intan hamba,” tantang Telu Pak, “Tapi, jika intan milik Baginda tidak bergerak, maka Baginda harus menandatangani kesepekatan hamba dengan saudagar itu.”
“Baik, Telu Pak. Aku terima tantanganmu,” kata sang Raja.
Telu Pak pun meletakkan intan miliknya di tanah, sedangkan sang Raja menaruh intannya di telapak tangannya. Ternyata, tak satu pun dari kedua intan tersebut yang bergerak. Dengan demikian, sang Raja kalah dan terpaksa menandantangani kesepekatan antara Telu Pak dan saudagar perhiasan itu.
Teluk Pak dan istrinya kemudian pindah ke toko itu. Dengan modal batu intan yang dimiliki, mereka akhirnya menjadi saudagar perhiasan yang kaya dan dermawan. Karena kedermawanannya, ia amat dihormati dan dicintai oleh masyarakat. Setelah sang Raja wafat, Telu Pak diangkat menjadi raja. Ia memerintah dengan arif dan bijaksana. Rakyatnya pun senantiasa hidup rukun, damai, dan sejahtera.