Archive for April 2012
Legenda Putri Pinang Gading cerita dari Belitung
Membalong yang dulu dikenal dengan Belantu adalah nama sebuah kecamatan di Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung (Babel), Indonesia. Konon, di daerah ini pernah hidup sepasang suami-istri yang bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Pada suatu hari, sang suami baru selesai menangkap ikan di tepi laut. Namun, dalam perjalanan pulang ke rumahnya, ia menemukan sebatang bambu yang sangat aneh. Bambu itu dapat bergerak sendiri dan selalu menghalang-halangi jalannya. Bagaimana bambu itu dapat bergerak sendiri? Lalu, apa yang akan dilakukan Pak Inda terhadap bambu itu? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Putri Pinang Gading berikut ini.
Di sebuah Kubok[1] yang bernama Kelekak Nangak yang terdapat di Kecamatan Membalong, hiduplah sepasang suami-istri yang miskin dan tidak mempunyai anak. Sang Suami bernama Pak Inda, sedangkan sang Istri bernama Bu Tumina. Mereka tinggal di sebuah rumah kecil yang beratap nangak[2] dan berlantai kayu gelegar berlapik tuntong.[3] Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka menanam padi di ladang dan menangkap ikan dengan cara memasang sero[4] di tepi laut. Ketika air surut, ikan-ikan akan terperangkap dalam sero itu.
Pada suatu hari, musim panen padi bertepatan dengan waktu air laut surut. Pak Inda betare (berpamitan) kepada istrinya untuk melihat sero yang dipasang di tepi laut.
“Dik! Hari ini Abang akan pergi memeriksa sero di tepi laut. Bagaimana kalau Adik sendiri saja yang berangkat ke ladang memanen padi?” tanya sang Suami.
“Baik, Bang! Kebetulan juga hari ini kita tidak mempunyai lauk untuk makan siang,” jawab sang Istri.
Dengan membawa ambong,[5] berangkatlah Pak Inda ke laut. Ketika akan mendekati seronya, tiba-tiba ia tersandung sepotong bambu. Ia pun mengambil bambu itu dan melemparkannya ke laut, agar hanyut terbawa oleh air laut yang sedang surut. Namun, ketika akan menangkap ikan di seronya, ia tersandung lagi dengan sepotong bambu.
“Kenapa banyak sekali bambu yang hanyut di tempat ini?” gumam Pak Inda sambil mengamati bambu itu.
“Aneh! Sepertinya bambu ini yang sudah aku lemparkan tadi,” gumam Pak Inda heran.
Oleh karena sudah tidak sabar ingin melihat seronya, Pak Inda segera membuang kembali bambu itu agak jauh ke tengah laut agar tidak menghalanginya lagi. Setelah itu, ia pun menangkap ikan di dalam seronya. Pak Inda sangat gembira, karena mendapatkan banyak ikan. Sebagian ikan tersebut ia masukkan ke dalam ambongnya, dan sebagian pula diikat dengan tali rotan, karena ambongnya tidak dapat menampung semua ikan tersebut. Setelah itu, ia pun bergegas pulang ke rumahnya.
Namun, pada saat akan meninggalkan pantai, tiba-tiba ia kembali tersandung pada sepotong bambu. Ia pun mengambil bambu itu lalu mengamatinya secara seksama.
“Wah, tidak salah lagi, ini bambu yang aku buang ke laut tadi. Tapi, kenapa bambu ini bisa sampai ke sini, padahal air laut sedang surut?” tanya Pak Inda dalam hati.
“Benar-benar aneh! Bambu ini dapat melawan arus air laut. Ini bukanlah bambu sembarangan,” tambahnya sambil mengamati bambu itu.
Setelah beberapa saat berpikir, Pak Inda mengambil bambu itu dan menggunakannya sebagai pemikul ikan. Sesampainya di rumah, Pak Inda menceritakan peristiwa yang dialami kepada istrinya. Oleh istrinya, bambu itu digunakan sebagai penindih jemuran padi agar tidak diterbangkan angin.
Pada suatu hari, saat sedang duduk bersantai di rumah, Pak Inda dan istrinya dikejutkan oleh suara letusan yang sangat keras. Keduanya pun segera menuju ke sumber suara letusan itu. Rupanya, sumber letusan itu berasal dari sepotong bambu yang digunakan oleh sang Istri menindih jemuran padi yang berada di depan rumah mereka. Alangkah terkejutnya mereka saat melihat seorang bayi perempuan disertai dengan pancaran cahaya yang menyilaukan keluar dari bambu itu.
“Bang, lihat itu! Ada seorang bayi perempuan yang tergeletak di tanah,” seru sang Istri.
“Bayi itu menangis! Cepat tolong dia, Dik!” seru Pak Inda kepada istrinya.
Tanpa berpikir panjang, Bu Tumina segera mengambil dan memandikan bayi itu. Setelah bersih, ia menggendong bayi itu sambil bernyanyi:
Anakku sayang, anak kandungku.
Anak kandung sibiran tulang,
Obah jerih... pelerai demam.
Bu Tumina terus bernyanyi hingga si bayi tidak menangis lagi dan tertidur. Kedua suami-istri itu sangat senang, karena telah mendapatkan seorang anak yang sudah lama mereka dambakan. Mereka pun merawat dan membesarkan bayi itu dengan penuh kasih sayang seperti anak kandung mereka sendiri. Mereka memberinya nama Putri Pinang Gading.
Waktu berjalan begitu cepat, Putri Pinang Gading sudah berumur lima belas tahun tahun. Setiap hari ia pergi berburu binatang di hutan yang ada di sekitar rumahnya. Banyak sudah binatang buruan yang pernah dipanahnya, karena memang sejak kecil ia sangat suka bermain panahan dan sering dilatih oleh ayahnya cara memanah yang baik. Semenjak kehadiran Putri Pinang Gading, rezeki Pak Inda selalu bertambah, sehingga kehidupan mereka pun semakin sejahtera.
Pada suatu hari, terdengar kabar bahwa di Kampung Kelekak Remban terjadi bencana yang ditimbulkan oleh serangan burung yang besar. Oleh masyarakat Kelekak Remban, burung itu disebut Burung Gerude yang tinggal di sebelah timur daerah Ranau. Burung Gerude itu sangat ganas dan buas. Ia mengobrak-abrik permukiman penduduk Kelekak Remban, dan bahkan telah menelan seorang warga. Seluruh penduduk Kelekak Remban jadi panik. Untuk berlindung dari serangan Burung Gerude, para warga membuat remban.[6] Tidak seorang pun warga yang berani keluar rumah.
Peristiwa yang mengerikan itu terdengar oleh Putri Pinang Gading yang kini sudah berusia 21 tahun. Ia bertekad hendak pergi ke Kampung Kelekak Remban untuk menolong warga yang sedang dilanda ketakutan.
“Ayah, Ibu! Izinkanlah Putri pergi untuk mengusir binatang buas itu!” pinta Putri Pinang Gading.
“Apakah kamu sanggup mengalahkan burung besar itu, Nak?” tanya Pak Inda khawatir terhadap putrinya.
“Ayah tidak perlu khawatir. Putri akan membinasakan burung itu dengan panahku yang beracun ini,” jawab Putri Pinang Gading dengan penuh keyakinan.
“Baiklah, kalau begitu! Tapi, kamu harus lebih berhati-hati, Nak! Kami takut kehilanganmu,” ujar Pak Inda.
“Benar, Nak! Kamu adalah putri kami satu-satunya,” sahut Bu Tumina.
“Baik, Ayah, Ibu! Putri akan jaga diri,” kata Putri Pinang Gading seraya berpamitan kepada ayah dan ibunya.
Setelah menyiapkan beberapa anak panah yang sudah dibubuhi racun, Putri Pinang Gading berangkat menuju Kampung Kelekak Remban. Sesampainya di sana, kampung itu tampak sepi. Semua warga sedang bersembunyi di dalam rumah mereka. Putri Pinang Gading juga tidak melihat Burung Gerude itu.
“Ke mana Burung Gerude itu? Aku sudah tidak sabar lagi ingin membinasakannya,” gumam Putri Pinang Gading yang sudah siap dengan anak panah di tangannya.
Baru saja selesai bergumam, tiba-tiba ia mendengar suara burung yang sangat keras. Suara itu tidak lain adalah suara Burung Gerude. Burung itu terbang ke sana ke mari di atas rumah-rumah penduduk sedang mencari mangsa. Sesekali ia mengobrak-abrik rumah penduduk. Namun, burung itu tidak menyadari jika Putri Pinang Gading sedang memperhatikan gelagaknya dari balik sebuah pohon besar.
Putri Pinang Gading yang sudah siap dengan anak panah di tangannya tinggal menunggu saat yang tepat untuk meluncurkan anak panahnya. Pada saat Burung Gerude itu lengah, dengan cepat ia melepaskan anak panahnya. Anak panah itu meluncur ke arah Burung Gerude itu dan tepat mengenai dadanya. Burung Gerude itu pun jatuh ke bumi dan tewas seketika.
Para warga yang menyaksikan peristiwa itu melalui cela-cela rumah, keluar dari rumah mereka dan segera mengerumuni Burung Gerude yang sudah mati itu. Mereka sangat kagum melihat keberanian Putri Pinang Gading. Akhirnya, kampung itu terbebas dari ancaman bahaya serangan Burung Gerude. Untuk merayakan keberhasilan itu, para warga mengadakan pesta besar-besaran dengan mengundang Putri Pinang Gading.
Konon, tempat jatuhnya Burung Geruda itu berubah menjadi tujuh buah anak sungai. Sementera anak panah Putri Pinang Gading yang mengenai dada Burung Gerude itu tumbuh menjadi serumpun bambu. Suatu hari, ada seorang nelayan memotong bambu itu untuk dijadikan joran[7]pancing. Pada saat memotong sebatang pohon bambu itu, tiba-tiba tangan nelayan itu tersayat dan langsung meninggal karena bambu itu masih beracun. Oleh masyarakat setempat, bambu itu disebut dengan bulo berantu (bambu beracun). Kemudian kampung itu mereka beri nama Belantu, dari kata buloantu. Namun, dalam perkembangannya, nama Belantu berubah menjadi Membalong yang kini menjadi nama kecamatan di Pulau Belitung.
Di sebuah Kubok[1] yang bernama Kelekak Nangak yang terdapat di Kecamatan Membalong, hiduplah sepasang suami-istri yang miskin dan tidak mempunyai anak. Sang Suami bernama Pak Inda, sedangkan sang Istri bernama Bu Tumina. Mereka tinggal di sebuah rumah kecil yang beratap nangak[2] dan berlantai kayu gelegar berlapik tuntong.[3] Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka menanam padi di ladang dan menangkap ikan dengan cara memasang sero[4] di tepi laut. Ketika air surut, ikan-ikan akan terperangkap dalam sero itu.
Pada suatu hari, musim panen padi bertepatan dengan waktu air laut surut. Pak Inda betare (berpamitan) kepada istrinya untuk melihat sero yang dipasang di tepi laut.
“Dik! Hari ini Abang akan pergi memeriksa sero di tepi laut. Bagaimana kalau Adik sendiri saja yang berangkat ke ladang memanen padi?” tanya sang Suami.
“Baik, Bang! Kebetulan juga hari ini kita tidak mempunyai lauk untuk makan siang,” jawab sang Istri.
Dengan membawa ambong,[5] berangkatlah Pak Inda ke laut. Ketika akan mendekati seronya, tiba-tiba ia tersandung sepotong bambu. Ia pun mengambil bambu itu dan melemparkannya ke laut, agar hanyut terbawa oleh air laut yang sedang surut. Namun, ketika akan menangkap ikan di seronya, ia tersandung lagi dengan sepotong bambu.
“Kenapa banyak sekali bambu yang hanyut di tempat ini?” gumam Pak Inda sambil mengamati bambu itu.
“Aneh! Sepertinya bambu ini yang sudah aku lemparkan tadi,” gumam Pak Inda heran.
Oleh karena sudah tidak sabar ingin melihat seronya, Pak Inda segera membuang kembali bambu itu agak jauh ke tengah laut agar tidak menghalanginya lagi. Setelah itu, ia pun menangkap ikan di dalam seronya. Pak Inda sangat gembira, karena mendapatkan banyak ikan. Sebagian ikan tersebut ia masukkan ke dalam ambongnya, dan sebagian pula diikat dengan tali rotan, karena ambongnya tidak dapat menampung semua ikan tersebut. Setelah itu, ia pun bergegas pulang ke rumahnya.
Namun, pada saat akan meninggalkan pantai, tiba-tiba ia kembali tersandung pada sepotong bambu. Ia pun mengambil bambu itu lalu mengamatinya secara seksama.
“Wah, tidak salah lagi, ini bambu yang aku buang ke laut tadi. Tapi, kenapa bambu ini bisa sampai ke sini, padahal air laut sedang surut?” tanya Pak Inda dalam hati.
“Benar-benar aneh! Bambu ini dapat melawan arus air laut. Ini bukanlah bambu sembarangan,” tambahnya sambil mengamati bambu itu.
Setelah beberapa saat berpikir, Pak Inda mengambil bambu itu dan menggunakannya sebagai pemikul ikan. Sesampainya di rumah, Pak Inda menceritakan peristiwa yang dialami kepada istrinya. Oleh istrinya, bambu itu digunakan sebagai penindih jemuran padi agar tidak diterbangkan angin.
Pada suatu hari, saat sedang duduk bersantai di rumah, Pak Inda dan istrinya dikejutkan oleh suara letusan yang sangat keras. Keduanya pun segera menuju ke sumber suara letusan itu. Rupanya, sumber letusan itu berasal dari sepotong bambu yang digunakan oleh sang Istri menindih jemuran padi yang berada di depan rumah mereka. Alangkah terkejutnya mereka saat melihat seorang bayi perempuan disertai dengan pancaran cahaya yang menyilaukan keluar dari bambu itu.
“Bang, lihat itu! Ada seorang bayi perempuan yang tergeletak di tanah,” seru sang Istri.
“Bayi itu menangis! Cepat tolong dia, Dik!” seru Pak Inda kepada istrinya.
Tanpa berpikir panjang, Bu Tumina segera mengambil dan memandikan bayi itu. Setelah bersih, ia menggendong bayi itu sambil bernyanyi:
Anakku sayang, anak kandungku.
Anak kandung sibiran tulang,
Obah jerih... pelerai demam.
Bu Tumina terus bernyanyi hingga si bayi tidak menangis lagi dan tertidur. Kedua suami-istri itu sangat senang, karena telah mendapatkan seorang anak yang sudah lama mereka dambakan. Mereka pun merawat dan membesarkan bayi itu dengan penuh kasih sayang seperti anak kandung mereka sendiri. Mereka memberinya nama Putri Pinang Gading.
Waktu berjalan begitu cepat, Putri Pinang Gading sudah berumur lima belas tahun tahun. Setiap hari ia pergi berburu binatang di hutan yang ada di sekitar rumahnya. Banyak sudah binatang buruan yang pernah dipanahnya, karena memang sejak kecil ia sangat suka bermain panahan dan sering dilatih oleh ayahnya cara memanah yang baik. Semenjak kehadiran Putri Pinang Gading, rezeki Pak Inda selalu bertambah, sehingga kehidupan mereka pun semakin sejahtera.
Pada suatu hari, terdengar kabar bahwa di Kampung Kelekak Remban terjadi bencana yang ditimbulkan oleh serangan burung yang besar. Oleh masyarakat Kelekak Remban, burung itu disebut Burung Gerude yang tinggal di sebelah timur daerah Ranau. Burung Gerude itu sangat ganas dan buas. Ia mengobrak-abrik permukiman penduduk Kelekak Remban, dan bahkan telah menelan seorang warga. Seluruh penduduk Kelekak Remban jadi panik. Untuk berlindung dari serangan Burung Gerude, para warga membuat remban.[6] Tidak seorang pun warga yang berani keluar rumah.
Peristiwa yang mengerikan itu terdengar oleh Putri Pinang Gading yang kini sudah berusia 21 tahun. Ia bertekad hendak pergi ke Kampung Kelekak Remban untuk menolong warga yang sedang dilanda ketakutan.
“Ayah, Ibu! Izinkanlah Putri pergi untuk mengusir binatang buas itu!” pinta Putri Pinang Gading.
“Apakah kamu sanggup mengalahkan burung besar itu, Nak?” tanya Pak Inda khawatir terhadap putrinya.
“Ayah tidak perlu khawatir. Putri akan membinasakan burung itu dengan panahku yang beracun ini,” jawab Putri Pinang Gading dengan penuh keyakinan.
“Baiklah, kalau begitu! Tapi, kamu harus lebih berhati-hati, Nak! Kami takut kehilanganmu,” ujar Pak Inda.
“Benar, Nak! Kamu adalah putri kami satu-satunya,” sahut Bu Tumina.
“Baik, Ayah, Ibu! Putri akan jaga diri,” kata Putri Pinang Gading seraya berpamitan kepada ayah dan ibunya.
Setelah menyiapkan beberapa anak panah yang sudah dibubuhi racun, Putri Pinang Gading berangkat menuju Kampung Kelekak Remban. Sesampainya di sana, kampung itu tampak sepi. Semua warga sedang bersembunyi di dalam rumah mereka. Putri Pinang Gading juga tidak melihat Burung Gerude itu.
“Ke mana Burung Gerude itu? Aku sudah tidak sabar lagi ingin membinasakannya,” gumam Putri Pinang Gading yang sudah siap dengan anak panah di tangannya.
Baru saja selesai bergumam, tiba-tiba ia mendengar suara burung yang sangat keras. Suara itu tidak lain adalah suara Burung Gerude. Burung itu terbang ke sana ke mari di atas rumah-rumah penduduk sedang mencari mangsa. Sesekali ia mengobrak-abrik rumah penduduk. Namun, burung itu tidak menyadari jika Putri Pinang Gading sedang memperhatikan gelagaknya dari balik sebuah pohon besar.
Putri Pinang Gading yang sudah siap dengan anak panah di tangannya tinggal menunggu saat yang tepat untuk meluncurkan anak panahnya. Pada saat Burung Gerude itu lengah, dengan cepat ia melepaskan anak panahnya. Anak panah itu meluncur ke arah Burung Gerude itu dan tepat mengenai dadanya. Burung Gerude itu pun jatuh ke bumi dan tewas seketika.
Para warga yang menyaksikan peristiwa itu melalui cela-cela rumah, keluar dari rumah mereka dan segera mengerumuni Burung Gerude yang sudah mati itu. Mereka sangat kagum melihat keberanian Putri Pinang Gading. Akhirnya, kampung itu terbebas dari ancaman bahaya serangan Burung Gerude. Untuk merayakan keberhasilan itu, para warga mengadakan pesta besar-besaran dengan mengundang Putri Pinang Gading.
Konon, tempat jatuhnya Burung Geruda itu berubah menjadi tujuh buah anak sungai. Sementera anak panah Putri Pinang Gading yang mengenai dada Burung Gerude itu tumbuh menjadi serumpun bambu. Suatu hari, ada seorang nelayan memotong bambu itu untuk dijadikan joran[7]pancing. Pada saat memotong sebatang pohon bambu itu, tiba-tiba tangan nelayan itu tersayat dan langsung meninggal karena bambu itu masih beracun. Oleh masyarakat setempat, bambu itu disebut dengan bulo berantu (bambu beracun). Kemudian kampung itu mereka beri nama Belantu, dari kata buloantu. Namun, dalam perkembangannya, nama Belantu berubah menjadi Membalong yang kini menjadi nama kecamatan di Pulau Belitung.
Legenda Bujang katak cerita dari Babel
Di sebuah dusun di daerah Bangka, Provinsi Bangka-Belitung (Babel), hidup seorang perempuan tua yang sangat miskin. Ia tinggal seorang diri di sebuah gubuk reot yang terletak di kaki bukit. Ia tidak memiliki sanak saudara. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ia menggarap sebidang tanah (ladang) warisan orang tuanya.
Pada suatu ketika, musim tanam tiba. Seluruh warga dusun sibuk bekerja di ladang masing-masing, tidak terkecuali perempuan tua itu. Namun karena tubuhnya sudah lemah, ia sebentar-sebentar beristirahat untuk melepas lelah. Ketika sedang duduk beristirahat, tiba-tiba ia berangan-angan ingin mempunyai anak.
“Seadainya aku mempunyai anak tentu aku tidak secapek ini bekerja. Bagaimana jadinya nanti kalau aku sudah tidak mampu lagi bekerja. Siapa yang akan menggarap ladang ini?” pikirnya.
Setelah itu, ia pun kembali melanjutkan pekerjaannya. Menjelang siang hari, ia kembali ke gubuknya untuk beristirahat. Pada malam harinya, cuaca tampak terang, ia duduk-duduk di depan gubuknya. Pandangan matanya menerawang ke langit. Ia kembali berangan-angan ingin mempunyai anak.
Perempuan tua itu segera menengadahkan kedua tangannya ke atas lalu berdoa, “Ya, Tuhanku! Berilah hamba seorang anak, walaupun hanya berbentuk katak.”
Berselang tiga hari kemudian, perempuan tua itu merasakan ada sesuatu yang aneh di dalam perutnya.
“Ya Tuhan! Ada apa di dalam perutku ini. Sepertinya ada benda yang bergerak-gerak,” ucap perempuan itu sambil mengelus-elus perutnya.
Rupanya, ia sedang mengandung. Tuhan telah mengabulkan doanya. Alangkah bahagianya hati perempuan tua itu. Semakin hari perutnya pun tampak semakin membesar. Para penduduk dusun pun bertanya-tanya mengenai kehamilan perempuan tua itu.
“Bagaimana si tua renta itu bisa hamil? Bukankah dia itu tidak mempunyai suami?” kata seorang penduduk.
“Wah, jangan-jangan dia telah berbuat tidak senonoh di dusun ini,” sahut seorang warga lainnya.
Demikian, perempuan itu setiap hari menjadi bahan pembicaraan para penduduk. Pada suatu malam,
perempuan itu berteriak-teriak meminta tolong karena mengalami sakit perut yang luar biasa. Mendengar teriakan itu, para warga pun berdatangan hendak menolongnya. Namun, baru saja sampai di depan gubuk perempuan tua itu, mereka mendengar suara tangis bayi. Alangkah terkejutnya mereka ketika masuk ke dalam gubuk. Ternyata perempuan tua itu telah melahirkan seorang anak yang bentuk dan kulitnya seperti katak.
“Hei, Perempuan Tua! Bagaimana hal ini bisa terjadi?” tanya seorang warga heran.
“Iya. Apakah kamu telah berhubungan badan dengan katak?” tanya warga lainnya dengan nada mengejek.
Perempuan itu pun menceritakan semua kejadian yang telah dialaminya hingga ia bisa melahirkan anak berbentuk seekor katak. Setelah mendengar penuturan si perempuan tua itu, para warga pun kembali ke rumah masing-masing.
Sementara perempuan tua itu tetap menerima kenyataan dengan perasaan suka-cita. Ia sadar bahwa kenyataan yang dialaminya adalah permintaannya sendiri. Ia pun merawat dan membesarkan bayinya dengan penuh kasih sayang.
Waktu terus berjalan. Anak yang mirip katak itu tumbuh menjadi dewasa. Penduduk dusun memanggilnya Bujang Katak. Ia adalah pemuda yang rajin. Sejak kecil ia tidak pernah pergi ke mana-mana, kecuali membantu ibunya bekerja di ladang, sehingga ia tidak mengetahui situasi dan kehidupan di sekelilingnya. Ibunya pun tidak pernah bercerita kepadanya.
Pada suatu hari, Bujang Katak meminta ibunya agar bercerita kepadanya tentang keadaan di negeri itu.
“Anakku, ketahuilah! Negeri ini diperintah oleh seorang raja yang mempunyai tujuh putri yang cantik dan rupawan. Ketujuh putri raja tersebut belum seorang pun yang menikah,” cerita sang Ibu.
Sejak mendengar cerita ibunya itu, Bujang Katak selalu tampak murung membayangkan kecantikan ketujuh putri sang Raja. Dalam hatinya, ia ingin sekali mempersunting salah seorang dari mereka. Namun, ia tidak berani mengungkapkan perasaan tersebut kepada ibunya.
Pada suatu sore, sang Ibu melihatnya sedang duduk termenung seorang diri di depan gubuknya.
“Apa yang sedang kamu pikirkan, Anakku? Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” tanya sang Ibu sembari duduk di samping anaknya.
“Benar, Bu!” jawab Bujang Katak singkat.
“Apakah itu, Anakku? Katakanlah!” desak ibunya.
“Bu, bukankah aku sekarang sudah dewasa? Aku ingin mempunyai seorang pendamping hidup. Sudikah Ibu meminang salah seorang putri raja untukku?” pinta Bujang Katak.
Betapa terkejutnya sang Ibu mendengar permintaan anaknya itu. Baginya, permintaan itu sangatlah berat.
“Sungguh berat permintaanmu itu, Anakku! Kita ini orang miskin. Mustahil dari tujuh putri raja tersebut ada yang mau menikah denganmu, apalagi melihat kondisimu seperti ini,” ujar sang Ibu.
“Tapi, Bu! Sebaiknya Ibu mencobanya dulu. Siapa tahu salah seorang di antara mereka ada yang mau menerima lamaranku,” desak Bujang Katak.
Oleh karena sayang kepada putranya, sang Ibu pun menyanggupi permintaan itu. Keesokan harinya, berangkatlah sang Ibu seorang diri ke istana hendak melamar salah seorang putri raja. Sesampainya di istana, ia pun disambut dengan baik oleh sang Raja.
“Hai, Perempuan Tua! Kamu siapa dan apa maksud kedatanganmu kemari?” tanya sang Raja.
Namun karena tidak berani berkata terus terang, Ibu Bujang Katak menjawabnya dengan pantun.
“Te... sekate menjadi gelang.
Pe... setempe nek madeh pesan urang”
Sang Raja yang mengerti maksud pantun itu kembali bertanya kepada perempuan itu.
“Apakah engkau ingin meminang salah seorang putriku?”
“Be... be... benar, Baginda! Hamba mohon ampun atas kelancangan hamba. Kedatangan hamba kemari ingin menyampaikan pinangan putra hamba yang bernama Bujang Katak kepada salah seorang putri Baginda,” jawab perempuan itu gugup.
“Ooo, begitu! Baiklah, aku akan menanyakan dulu hal ini kepada ketujuh putriku,” kata sang Raja.
Sang Raja pun segera memanggil ketujuh putrinya untuk menghadap. Setelah mengetahui maksud kedatangan perempuan itu, para putri Raja bukannya memberikan jawaban dengan kata-kata sopan, melainkan memperlakukan perempuan itu dengan tindakan kasar. Satu per satu mereka maju meludahi kepala perempuan tua itu. Hanya Putri Bungsu yang tidak melakukan hal itu. Hatinya tidak tega melihat kakak-kakaknya berlaku kasar kepada perempuan tua itu. Namun, ia juga tidak berani mengatakan bahwa ia sebenarnya bersedia menerima pinangan tersebut, karena takut kepada sang Raja.
Ibu Bujang Katak pun pulang dengan perasaan sedih. Sesampainya di gubuk, ia segera menceritakan semua kejadian yang dialaminya di istana kepada Bujang Katak. Mendengar cerita ibunya tersebut, Bujang Katak merasa yakin bahwa Putri Bungsu sebenarnya bersedia menerima pinangannya.
“Besok Ibu harus kembali ke istana untuk menemaniku menghadap sang Raja. Aku yakin Putri Bungsu akan menerima pinanganku, karena dialah satu-satunya yang tidak meludahi kepala Ibu,” kata Bujang Katak dengan nada sedikit memaksa.
Keesokan harinya, Bujang Katak bersama ibunya berangkat ke istana. Alangkah terkejutnya sang Raja saat melihat Bujang Katak yang datang bersama ibunya.
“Hei, perempuan tua! Apakah ini anakmu yang bernama Bujang Katak itu?” tanya sang Raja.
“Benar, Baginda,” jawab ibu Bujang Katak.
“Ha... ha..., pantas saja ia dinamakan Bujang Katak! Bentuknya mirip seperti katak,” ucap sang Raja mengejek.
Setelah itu, sang Raja pun segera memanggil ketujuh putrinya dan menanyakan apakah mereka bersedia menikah dengan si manusia katak. Namun, dengan sombongnya, para putri Raja satu per satu meludahi kepala Bujang Katak, kecuali si Putri Bungsu.
Melihat sikap putri bungsunya itu, sang Raja pun bertanya kepadanya.
“Hei, Putriku! Kenapa kamu diam saja? Apakah kamu bersedia menikah dengan manusia katak itu?”
“Ampun, Ayahanda! Jika Ayahanda merestui, Ananda bersedia menjadi istri Bujang Katak,” jawab Putri Bungsu.
Alangkah terkejutnya sang Raja mendengar jawaban putrinya itu. Ia pun segera meminta nasehat kepada menteri penasehat Raja. Rupanya, menteri penasehat Raja setuju jika Putri Bungsu menikah dengan Bujang Katak.
“Baiklah, manusia katak! Kamu boleh menikah dengan putriku, asalkan sanggup memenuhi satu syarat,” kata sang Raja.
“Apakah syarat itu, Baginda?” tanya Bujang Katak penasaran.
“Kamu harus membuat jembatan emas yang panjangnya mulai dari gubukmu sampai pintu gerbang istana ini. Apakah kamu sanggup menerima syaratku ini?” tanya sang Raja.
`Hamba sanggup, Baginda!” jawab Bujang Katak.
“Tapi, ingat! Jembatan emas itu harus terwujud dalam waktu satu minggu. Jika tidak, maka hukuman mati yang akan kamu dapatkan,” ancam sang Raja.
Bujang Katak pun tidak gentar terhadap ancaman sang Raja. Dengan perasaan gembira, ia bersama ibunya segera kembali ke gubuknya. Sesampainya di gubuk, sang Ibu kebingungan memikirkan cara untuk memenuhi permintaan sang Raja tersebut. Ia tidak ingin kehilangan anak yang sangat disayanginya itu.
“Anakku! Bagaimana kita dapat mewujudkan permintaan Raja, sementara kita ini orang miskin?” tanya sang Ibu bingung.
“Tenang, Bu! Aku akan pergi bertapa di suatu tempat yang sepi. Jika Yang Mahakuasa menghendaki, apapun bisa terjadi,” jawab Bujang Katak dengan penuh keyakinan.
Pada saat hari mulai gelap, Bujang Katak ditemani ibunya pergi ke suatu tempat yang sepi di tengah hutan untuk bertapa. Sudah enam hari enam malam ia dan ibunya bertapa, namun belum juga menemukan tanda-tanda akan datangnya keajaiban. Pada malam ketujuh, keajaiban itu pun tiba. Seluruh tubuh Bujang Katak memancarkan sinar berwarna kekuning-kuningan. Kulit katak yang menyelimuti seluruh tubuhnya sedikit demi sedikit mengelupas. Secara ajaib, Bujang Katak pun berubah menjadi pemuda yang tampan dan gagah. Kemudian ia membakar kulit katak pembalut tubuhnya itu. Maka seketika itu pula, kulit katak tersebut menjelma menjadi tumpukan emas batangan. Dengan perasaan gembira, Bujang Katak bersama ibunya segera menyusun emas batangan tersebut dari gubuknya hingga pintu gerbang istana. Dalam waktu semalam, terwujudlah sebuah jembatan emas seperti yang diminta oleh sang Raja.
Keesokan harinya, istana menjadi gempar. Sang Raja beserta seluruh keluarga istana yang mengetahui keberadaan jembatan emas itu segera berlari menuju ke arah pintu gerbang istana. Sang Raja sangat kagum melihat keindahan jembatan emas itu. Batangan-batangan emas yang diterpa sinar matahari pagi tersebut memancarkan sinar kekuning-kuningan. Beberapa saat kemudian, dari kejauhan tampak seorang perempuan tua berjalan beriringan dengan seorang pemuda tampan dan gagah sedang menuju ke arah tempat mereka berdiri.
“Hei, Pengawal! Siapa kedua orang itu?” tanya sang Raja kepada pengawalnya.
“Ampun, Baginda! Bukankah perempuan tua itu ibunya Bujang Katak? Tapi, Baginda, hamba tidak mengenal siapa pemuda yang sedang berjalan bersamanya itu,” jawab seorang pengawal.
Ketika perempuan tua dan pemuda itu sampai di depannya, sang Raja pun segera bertanya, “Hei, perempuan tua! Siapa pemuda itu?”
“Dia Bujang Katak, putra hamba,” jawab perempuan tua itu lalu menceritakan semua peristiwa yang dialami Bujang Katak hingga ia bisa berubah menjadi pemuda yang tampan.
Bujang Katak pun segera berlutut memberi hormat kepada sang Raja.
“Ampun, Baginda! Hamba ini Bujang Katak,” kata Bujang Katak.
Betapa terkejutnya sang Raja beserta seluruh keluarga istana. Mereka benar-benar tidak pernah mengira sebelumnya jika Bujang Katak adalah seorang pemuda yang gagah dan tampan.
“Baiklah, Bujang Katak! Karena kamu telah memenuhi persyaratanku, maka sesuai dengan janjiku, aku akan menikahkanmu dengan putri bungsuku,” kata sang Raja.
Beberapa hari kemudian, pesta pernikahan Bujang Katak dengan Putri Bungsu dilangsungkan selama tujuh hari tujuh malam. Para undangan yang datang dari penjuru negeri turut gembira dan bahagia menyaksikan pesta pernikahan tersebut. Namun, lain halnya dengan keenam kakak Putri Bungsu, mereka sangat sedih dan menyesal karena telah menolak pinangan Bujang Katak.
Usai pesta perkawinan tersebut, keenam kakak Putri Bungsu memerintahkan kepada seorang pengawal istana untuk pergi menangkap katak di sawah. Mereka mengira bahwa Bujang Katak berasal dari katak biasa yang hidup di sawah. Tidak berapa lama, pengawal itu pun kembali dari sawah sambil membawa enam ekor katak. Setiap putri mendapat seekor katak, lalu membawanya masuk ke dalam kamar masing-masing dan memasukkannya ke dalam lemari dengan harapan katak-katak tersebut akan menjelma menjadi seorang pemuda tampan seperti Bujang Katak.
Tujuh hari kemudian, keenam putri tersebut membuka lemari masing-masing. Namun malang nasib mereka, katak-katak tersebut bukannya menjelma menjadi pemuda tampan, melainkan mati dan sudah berulat karena tidak diberi makan. Bau busuk pun menyebar ke mana-mana. Keenam putri tersebut keluar dari kamarnya sambil muntah-muntah.
Akhirnya seisi istana menjadi gempar. Seluruh penghuni istana turut muntah-muntah karena mencium bau busuk itu. Sang Raja pun menjadi murka melihat perbuatan keenam putrinya tersebut dan memberi hukuman kepada mereka, yaitu memerintahkan mereka untuk membersihkan kamar masing-masing dari bau busuk itu. Bujang Katak dan Putri Bungsu pun hanya tersenyum melihat kelakuan keenam kakaknya tersebut.
Beberapa tahun kemudian. Sang Raja sudah tidak mampu lagi menjalankan tugas-tugas kerajaan karena usianya yang sudah semakian tua. Akhirnya, ia pun mengundurkan diri dan menobatkan Bujang Katak sebagai raja. Bujang Katak bersama istrinya memimpin negeri itu dengan arif dan bijaksana.
Pada suatu ketika, musim tanam tiba. Seluruh warga dusun sibuk bekerja di ladang masing-masing, tidak terkecuali perempuan tua itu. Namun karena tubuhnya sudah lemah, ia sebentar-sebentar beristirahat untuk melepas lelah. Ketika sedang duduk beristirahat, tiba-tiba ia berangan-angan ingin mempunyai anak.
“Seadainya aku mempunyai anak tentu aku tidak secapek ini bekerja. Bagaimana jadinya nanti kalau aku sudah tidak mampu lagi bekerja. Siapa yang akan menggarap ladang ini?” pikirnya.
Setelah itu, ia pun kembali melanjutkan pekerjaannya. Menjelang siang hari, ia kembali ke gubuknya untuk beristirahat. Pada malam harinya, cuaca tampak terang, ia duduk-duduk di depan gubuknya. Pandangan matanya menerawang ke langit. Ia kembali berangan-angan ingin mempunyai anak.
Perempuan tua itu segera menengadahkan kedua tangannya ke atas lalu berdoa, “Ya, Tuhanku! Berilah hamba seorang anak, walaupun hanya berbentuk katak.”
Berselang tiga hari kemudian, perempuan tua itu merasakan ada sesuatu yang aneh di dalam perutnya.
“Ya Tuhan! Ada apa di dalam perutku ini. Sepertinya ada benda yang bergerak-gerak,” ucap perempuan itu sambil mengelus-elus perutnya.
Rupanya, ia sedang mengandung. Tuhan telah mengabulkan doanya. Alangkah bahagianya hati perempuan tua itu. Semakin hari perutnya pun tampak semakin membesar. Para penduduk dusun pun bertanya-tanya mengenai kehamilan perempuan tua itu.
“Bagaimana si tua renta itu bisa hamil? Bukankah dia itu tidak mempunyai suami?” kata seorang penduduk.
“Wah, jangan-jangan dia telah berbuat tidak senonoh di dusun ini,” sahut seorang warga lainnya.
Demikian, perempuan itu setiap hari menjadi bahan pembicaraan para penduduk. Pada suatu malam,
perempuan itu berteriak-teriak meminta tolong karena mengalami sakit perut yang luar biasa. Mendengar teriakan itu, para warga pun berdatangan hendak menolongnya. Namun, baru saja sampai di depan gubuk perempuan tua itu, mereka mendengar suara tangis bayi. Alangkah terkejutnya mereka ketika masuk ke dalam gubuk. Ternyata perempuan tua itu telah melahirkan seorang anak yang bentuk dan kulitnya seperti katak.
“Hei, Perempuan Tua! Bagaimana hal ini bisa terjadi?” tanya seorang warga heran.
“Iya. Apakah kamu telah berhubungan badan dengan katak?” tanya warga lainnya dengan nada mengejek.
Perempuan itu pun menceritakan semua kejadian yang telah dialaminya hingga ia bisa melahirkan anak berbentuk seekor katak. Setelah mendengar penuturan si perempuan tua itu, para warga pun kembali ke rumah masing-masing.
Sementara perempuan tua itu tetap menerima kenyataan dengan perasaan suka-cita. Ia sadar bahwa kenyataan yang dialaminya adalah permintaannya sendiri. Ia pun merawat dan membesarkan bayinya dengan penuh kasih sayang.
Waktu terus berjalan. Anak yang mirip katak itu tumbuh menjadi dewasa. Penduduk dusun memanggilnya Bujang Katak. Ia adalah pemuda yang rajin. Sejak kecil ia tidak pernah pergi ke mana-mana, kecuali membantu ibunya bekerja di ladang, sehingga ia tidak mengetahui situasi dan kehidupan di sekelilingnya. Ibunya pun tidak pernah bercerita kepadanya.
Pada suatu hari, Bujang Katak meminta ibunya agar bercerita kepadanya tentang keadaan di negeri itu.
“Anakku, ketahuilah! Negeri ini diperintah oleh seorang raja yang mempunyai tujuh putri yang cantik dan rupawan. Ketujuh putri raja tersebut belum seorang pun yang menikah,” cerita sang Ibu.
Sejak mendengar cerita ibunya itu, Bujang Katak selalu tampak murung membayangkan kecantikan ketujuh putri sang Raja. Dalam hatinya, ia ingin sekali mempersunting salah seorang dari mereka. Namun, ia tidak berani mengungkapkan perasaan tersebut kepada ibunya.
Pada suatu sore, sang Ibu melihatnya sedang duduk termenung seorang diri di depan gubuknya.
“Apa yang sedang kamu pikirkan, Anakku? Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” tanya sang Ibu sembari duduk di samping anaknya.
“Benar, Bu!” jawab Bujang Katak singkat.
“Apakah itu, Anakku? Katakanlah!” desak ibunya.
“Bu, bukankah aku sekarang sudah dewasa? Aku ingin mempunyai seorang pendamping hidup. Sudikah Ibu meminang salah seorang putri raja untukku?” pinta Bujang Katak.
Betapa terkejutnya sang Ibu mendengar permintaan anaknya itu. Baginya, permintaan itu sangatlah berat.
“Sungguh berat permintaanmu itu, Anakku! Kita ini orang miskin. Mustahil dari tujuh putri raja tersebut ada yang mau menikah denganmu, apalagi melihat kondisimu seperti ini,” ujar sang Ibu.
“Tapi, Bu! Sebaiknya Ibu mencobanya dulu. Siapa tahu salah seorang di antara mereka ada yang mau menerima lamaranku,” desak Bujang Katak.
Oleh karena sayang kepada putranya, sang Ibu pun menyanggupi permintaan itu. Keesokan harinya, berangkatlah sang Ibu seorang diri ke istana hendak melamar salah seorang putri raja. Sesampainya di istana, ia pun disambut dengan baik oleh sang Raja.
“Hai, Perempuan Tua! Kamu siapa dan apa maksud kedatanganmu kemari?” tanya sang Raja.
Namun karena tidak berani berkata terus terang, Ibu Bujang Katak menjawabnya dengan pantun.
“Te... sekate menjadi gelang.
Pe... setempe nek madeh pesan urang”
Sang Raja yang mengerti maksud pantun itu kembali bertanya kepada perempuan itu.
“Apakah engkau ingin meminang salah seorang putriku?”
“Be... be... benar, Baginda! Hamba mohon ampun atas kelancangan hamba. Kedatangan hamba kemari ingin menyampaikan pinangan putra hamba yang bernama Bujang Katak kepada salah seorang putri Baginda,” jawab perempuan itu gugup.
“Ooo, begitu! Baiklah, aku akan menanyakan dulu hal ini kepada ketujuh putriku,” kata sang Raja.
Sang Raja pun segera memanggil ketujuh putrinya untuk menghadap. Setelah mengetahui maksud kedatangan perempuan itu, para putri Raja bukannya memberikan jawaban dengan kata-kata sopan, melainkan memperlakukan perempuan itu dengan tindakan kasar. Satu per satu mereka maju meludahi kepala perempuan tua itu. Hanya Putri Bungsu yang tidak melakukan hal itu. Hatinya tidak tega melihat kakak-kakaknya berlaku kasar kepada perempuan tua itu. Namun, ia juga tidak berani mengatakan bahwa ia sebenarnya bersedia menerima pinangan tersebut, karena takut kepada sang Raja.
Ibu Bujang Katak pun pulang dengan perasaan sedih. Sesampainya di gubuk, ia segera menceritakan semua kejadian yang dialaminya di istana kepada Bujang Katak. Mendengar cerita ibunya tersebut, Bujang Katak merasa yakin bahwa Putri Bungsu sebenarnya bersedia menerima pinangannya.
“Besok Ibu harus kembali ke istana untuk menemaniku menghadap sang Raja. Aku yakin Putri Bungsu akan menerima pinanganku, karena dialah satu-satunya yang tidak meludahi kepala Ibu,” kata Bujang Katak dengan nada sedikit memaksa.
Keesokan harinya, Bujang Katak bersama ibunya berangkat ke istana. Alangkah terkejutnya sang Raja saat melihat Bujang Katak yang datang bersama ibunya.
“Hei, perempuan tua! Apakah ini anakmu yang bernama Bujang Katak itu?” tanya sang Raja.
“Benar, Baginda,” jawab ibu Bujang Katak.
“Ha... ha..., pantas saja ia dinamakan Bujang Katak! Bentuknya mirip seperti katak,” ucap sang Raja mengejek.
Setelah itu, sang Raja pun segera memanggil ketujuh putrinya dan menanyakan apakah mereka bersedia menikah dengan si manusia katak. Namun, dengan sombongnya, para putri Raja satu per satu meludahi kepala Bujang Katak, kecuali si Putri Bungsu.
Melihat sikap putri bungsunya itu, sang Raja pun bertanya kepadanya.
“Hei, Putriku! Kenapa kamu diam saja? Apakah kamu bersedia menikah dengan manusia katak itu?”
“Ampun, Ayahanda! Jika Ayahanda merestui, Ananda bersedia menjadi istri Bujang Katak,” jawab Putri Bungsu.
Alangkah terkejutnya sang Raja mendengar jawaban putrinya itu. Ia pun segera meminta nasehat kepada menteri penasehat Raja. Rupanya, menteri penasehat Raja setuju jika Putri Bungsu menikah dengan Bujang Katak.
“Baiklah, manusia katak! Kamu boleh menikah dengan putriku, asalkan sanggup memenuhi satu syarat,” kata sang Raja.
“Apakah syarat itu, Baginda?” tanya Bujang Katak penasaran.
“Kamu harus membuat jembatan emas yang panjangnya mulai dari gubukmu sampai pintu gerbang istana ini. Apakah kamu sanggup menerima syaratku ini?” tanya sang Raja.
`Hamba sanggup, Baginda!” jawab Bujang Katak.
“Tapi, ingat! Jembatan emas itu harus terwujud dalam waktu satu minggu. Jika tidak, maka hukuman mati yang akan kamu dapatkan,” ancam sang Raja.
Bujang Katak pun tidak gentar terhadap ancaman sang Raja. Dengan perasaan gembira, ia bersama ibunya segera kembali ke gubuknya. Sesampainya di gubuk, sang Ibu kebingungan memikirkan cara untuk memenuhi permintaan sang Raja tersebut. Ia tidak ingin kehilangan anak yang sangat disayanginya itu.
“Anakku! Bagaimana kita dapat mewujudkan permintaan Raja, sementara kita ini orang miskin?” tanya sang Ibu bingung.
“Tenang, Bu! Aku akan pergi bertapa di suatu tempat yang sepi. Jika Yang Mahakuasa menghendaki, apapun bisa terjadi,” jawab Bujang Katak dengan penuh keyakinan.
Pada saat hari mulai gelap, Bujang Katak ditemani ibunya pergi ke suatu tempat yang sepi di tengah hutan untuk bertapa. Sudah enam hari enam malam ia dan ibunya bertapa, namun belum juga menemukan tanda-tanda akan datangnya keajaiban. Pada malam ketujuh, keajaiban itu pun tiba. Seluruh tubuh Bujang Katak memancarkan sinar berwarna kekuning-kuningan. Kulit katak yang menyelimuti seluruh tubuhnya sedikit demi sedikit mengelupas. Secara ajaib, Bujang Katak pun berubah menjadi pemuda yang tampan dan gagah. Kemudian ia membakar kulit katak pembalut tubuhnya itu. Maka seketika itu pula, kulit katak tersebut menjelma menjadi tumpukan emas batangan. Dengan perasaan gembira, Bujang Katak bersama ibunya segera menyusun emas batangan tersebut dari gubuknya hingga pintu gerbang istana. Dalam waktu semalam, terwujudlah sebuah jembatan emas seperti yang diminta oleh sang Raja.
Keesokan harinya, istana menjadi gempar. Sang Raja beserta seluruh keluarga istana yang mengetahui keberadaan jembatan emas itu segera berlari menuju ke arah pintu gerbang istana. Sang Raja sangat kagum melihat keindahan jembatan emas itu. Batangan-batangan emas yang diterpa sinar matahari pagi tersebut memancarkan sinar kekuning-kuningan. Beberapa saat kemudian, dari kejauhan tampak seorang perempuan tua berjalan beriringan dengan seorang pemuda tampan dan gagah sedang menuju ke arah tempat mereka berdiri.
“Hei, Pengawal! Siapa kedua orang itu?” tanya sang Raja kepada pengawalnya.
“Ampun, Baginda! Bukankah perempuan tua itu ibunya Bujang Katak? Tapi, Baginda, hamba tidak mengenal siapa pemuda yang sedang berjalan bersamanya itu,” jawab seorang pengawal.
Ketika perempuan tua dan pemuda itu sampai di depannya, sang Raja pun segera bertanya, “Hei, perempuan tua! Siapa pemuda itu?”
“Dia Bujang Katak, putra hamba,” jawab perempuan tua itu lalu menceritakan semua peristiwa yang dialami Bujang Katak hingga ia bisa berubah menjadi pemuda yang tampan.
Bujang Katak pun segera berlutut memberi hormat kepada sang Raja.
“Ampun, Baginda! Hamba ini Bujang Katak,” kata Bujang Katak.
Betapa terkejutnya sang Raja beserta seluruh keluarga istana. Mereka benar-benar tidak pernah mengira sebelumnya jika Bujang Katak adalah seorang pemuda yang gagah dan tampan.
“Baiklah, Bujang Katak! Karena kamu telah memenuhi persyaratanku, maka sesuai dengan janjiku, aku akan menikahkanmu dengan putri bungsuku,” kata sang Raja.
Beberapa hari kemudian, pesta pernikahan Bujang Katak dengan Putri Bungsu dilangsungkan selama tujuh hari tujuh malam. Para undangan yang datang dari penjuru negeri turut gembira dan bahagia menyaksikan pesta pernikahan tersebut. Namun, lain halnya dengan keenam kakak Putri Bungsu, mereka sangat sedih dan menyesal karena telah menolak pinangan Bujang Katak.
Usai pesta perkawinan tersebut, keenam kakak Putri Bungsu memerintahkan kepada seorang pengawal istana untuk pergi menangkap katak di sawah. Mereka mengira bahwa Bujang Katak berasal dari katak biasa yang hidup di sawah. Tidak berapa lama, pengawal itu pun kembali dari sawah sambil membawa enam ekor katak. Setiap putri mendapat seekor katak, lalu membawanya masuk ke dalam kamar masing-masing dan memasukkannya ke dalam lemari dengan harapan katak-katak tersebut akan menjelma menjadi seorang pemuda tampan seperti Bujang Katak.
Tujuh hari kemudian, keenam putri tersebut membuka lemari masing-masing. Namun malang nasib mereka, katak-katak tersebut bukannya menjelma menjadi pemuda tampan, melainkan mati dan sudah berulat karena tidak diberi makan. Bau busuk pun menyebar ke mana-mana. Keenam putri tersebut keluar dari kamarnya sambil muntah-muntah.
Akhirnya seisi istana menjadi gempar. Seluruh penghuni istana turut muntah-muntah karena mencium bau busuk itu. Sang Raja pun menjadi murka melihat perbuatan keenam putrinya tersebut dan memberi hukuman kepada mereka, yaitu memerintahkan mereka untuk membersihkan kamar masing-masing dari bau busuk itu. Bujang Katak dan Putri Bungsu pun hanya tersenyum melihat kelakuan keenam kakaknya tersebut.
Beberapa tahun kemudian. Sang Raja sudah tidak mampu lagi menjalankan tugas-tugas kerajaan karena usianya yang sudah semakian tua. Akhirnya, ia pun mengundurkan diri dan menobatkan Bujang Katak sebagai raja. Bujang Katak bersama istrinya memimpin negeri itu dengan arif dan bijaksana.
Legenda Cerita Layang dari Bangka Belitung
Di daerah Tanjung Pandan, Provinsi Bangka-Belitung, Indonesia, hiduplah dua orang hulubalang kakak beradik. Sang Kakak bernama Ratu Tunggak Rantau Sawangan Ramas, penguasa Negeri Tanjung Pandan. Sementara sang Adik bernama Cerita Layang yang masih berumur sepuluh tahun, mahir bermain silat dan gemar menolong.
Pada suatu hari, entah alasan apa, Cerita Layang pergi berkelana tanpa memberitahukan kakaknya, Ratu Tunggak. Setelah bertahun-tahun di perantauan, ia pun tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan gagah. Suatu sore, ia sedang duduk bersandar pada pohon nyiur sambil menikmati semilir angin senja Pantai Ujung Tanjung di Pulau Rencong. Di wajahnya terpancar sejuta kerinduan ingin pulang ke kampung halamannya. Di saat sedang tenggelam dalam lamunannya, tiba-tiba pandangannya tertuju pada sebuah kapal yang akan menuju ke arah hulu Ketahun.
“Hai, bukankah itu kapal milik Pangeran Cilibumi Aceh?” gumamnya. “Wah, orang serakah itu pasti mau pergi menagih hutang lagi.”
Setelah yakin bahwa kapal itu milik Pangeran Cili Aceh, Cerita Layang langsung beranjak dari duduknya hendak mencegat laju kapal itu. Ia sangat mengenal watak Pangeran Cili. Konon, Pangeran dari Aceh itu memiliki sifat licik, yaitu suka menghabisi nyawa orang-orang yang tidak sanggup membayar hutang kepadanya dengan cara menaburi racun dalam makanan mereka. Mengetahui gelagat Pangeran itu, Cerita Layang pun segera mengayuh perahunya yang ditambatkan di tepi laut untuk mencegat kapal itu.
“Hai, Pangeran Cili! Sebaiknya engkau urungkan niat jahatmu itu!” seru Cerita Layang. “Engkau adalah Pangeran yang tamak terhadap harta benda. Sebaiknya engkau serahkan saja sebagian hartamu kepadaku!”
Mendengar seruan itu, Pangeran Cili langsung naik pitam. Ia tidak terima disebut sebagai orang tamak. Dengan lantangnya, ia berteriak menantang Cerita Layang untuk bertarung.
“Hai, Cerita Layang! Selama aku masih bisa menghembuskan nafas, semua harta bendaku akan kupertahankan. Tapi, jika kamu berhasil mengalahkanku dan seluruh anak buahku, kamu boleh mengambil sebagian harta bendaku,” tantang Pangeran Cili.
Tanpa berpikir panjang, Cerita Layang langsung menerima tantangan itu. Ia pun segera merapat dan naik ke atas kapal Pangeran Cili. Melihat Cerita Layang berada di atas kapal, Pangeran Cili segera memerintahkan seluruh anak buahnya untuk mengepung sang Pengelana itu.
“Pengawal! Ayo kepung pemuda tolol itu!” seru Pangeran Cili. “Jangan biarkan dia lolos dari tempat ini!”
Mendengar perintah tuannya, puluhan anak buah kapal segera mengepung Cerita Layang. Pertempuran sengit pun tak terelakkan lagi. Mereka menyerang Cerita Layang dengan pukulan dan tendangan secara bergantian. Pemuda gagah dari Tanjung Pandan itu harus berkelit ke sana kemari untuk menghindari serangan musuh yang datang secara bertubi-tubi. Dengan kesaktiannya, ia dapat mengalahkan seluruh anak buah Pangeran Cili. Satu per satu mereka terlempar ke laut dan tewas tenggelam. Kini, hanya Pengeran Cili yang tersisa.
“Hai, Pangeran tamak! Kembalilah ke negerimu!” seru Cerita Layang.
“Aku akui kamu hebat, Cerita Layang! Meskipun kamu telah mengalahkan semua anak buahku yang tidak becus itu, tapi kamu takkan mungkin mengalahkanku. Majulah kalau berani!” tantang Pangeran Cili.
Pertarungan sengit pun terjadi. Pertarungan itu tampak seimbang. Rupanya, Pangeran Cili juga sangat mahir bermain silat. Keduanya silih berganti saling menyerang. Sudah empat belas hari empat belas malam pertempuran itu berlangsung, namun belum satu pun yang terkalahkan. Pada hari kelima belas, Pangeran Cili sudah mulai kelelahan, sedangkan Cerita Layang masih tampak segar bugar. Pada saat yang tepat, Cerita Layang melayangkan sebuah tendangan keras dan tepat mengenai rahang kanan Pangeran Cili. Tak ayal lagi, sang Pangeran pun jatuh tersungkur mencium lantai kapal dan tak mampu lagi melanjutkan pertarungan.
“Engkau memang sakti, Cerita Layang! Aku mengaku kalah,” kata Pangeran Cili.
Setelah itu, Pangeran Cili pun menyerahkan sebagian harta kekayaannya kepada Cerita Layang berupa tujuh buah gedung yang berada di Kolam Hulu dan Kolam Hilir, bermacam-macam mata uang ringgit, seperiuk intan, serta dua puluh satu karung emas kepada Cerita Layang. Namun, Cerita Layang tidak mengambil sepersen pun dari harta benda tersebut, melainkan mengembalikannya kepada Pangeran Cili.
“Hai, Pangeran Cili! Ambillah kembali harta bendamu itu sebagai tebusan atas seluruh hutang orang-orang yang berhutang kepadamu. Tapi, ingat! Kamu tidak boleh lagi kembali menagih hutang, apalagi menghabisi nyawa mereka!” ujar Cerita Layang.
“Baiklah, Cerita Layang! Aku berjanji tidak akan menagih hutang kepada mereka?” ucap Pangeran Cili.
Setelah itu, Cerita Layang kembali melanjutkan perjalanan untuk mengelana dari satu pulau ke pulau yang lain. Ketika ia sampai di sebuah ujung pulau, tampak dua buah rejung (kapal) yang hendak menepi. Rupanya, pemilik kedua rejung tersebut adalah rentenir juga. Mereka adalah Malim Kumat dan Malim Pantap. Alangkah terkejutnya Cerita Layang setelah menyelidiki isi kedua kapal itu. Ia melihat banyak benda-benda berharga milik Kerajaan Tanjung Pandan yang sangat dikenalinya. Ia yakin bahwa kedua rentenir tersebut baru pulang dari menagih hutang di Negeri Tanjung Pandan. Selain itu, Cerita Layang juga melihat dua remaja yang sedang di tawan di atas kapal itu. Namun, ia tidak mengetahui bahwa mereka adalah keponakannya sendiri, yaitu Sindiran Dewa dan Dewa Pasindiran, putra Ratu Tunggak atau kakak kandungnya. Sebab, kedua anak tersebut belum lahir ketika ia meninggalkan Negeri Tanjung Pandan.
“Wahai, Para Rentenir! Sebaiknya, kembalikan semua harta tersebut ke Kerajaan Tanjung Pandan, dan lepaskan kedua anak itu!” seru Cerita Layang.
Kedua rentenir tersebut tidak menghiraukan seruan Cerita Layang. Mereka justru menantang Cerita Layang untuk mengadu kekuatan. Akhirnya, pertarungan sengit pun terjadi antara Cerita Layang dengan kedua rentenir itu beserta anak buahnya. Pertarungan itu berlangsung selama berhari-hari dan pada akhirnya dimenangkan oleh Cerita Layang.
Sementara itu, Sindiran Dewa dan Dewa Pasindiran dapat meloloskan diri dan lari masuk ke dalam hutan pada saat pertempuran itu berlangsung. Di tengah hutan, mereka bersepakat berpisah untuk mengadu nasib sendiri-sendiri. Sindiran Dewa berlari menuju ke arah Muara Bengkulu dan menetap di sana. Menurut cerita, ia diangkat menjadi anak dan diajari ilmu bela diri oleh seorang hulubang yang bernama Hulubalang Anak Dalam Wirodiwongso.
Pada suatu hari, Sindiran Dewa mendengar kabar bahwa negerinya, Tanjung Pandan, hancur diserang oleh Pangeran Cili. Rupanya, pengaren dari Aceh itu belum juga jera setelah dikalahkan oleh Cerita Layang. Ia menawan ayah dan kakak perempuan Sindiran Dewa yang bernama Item Manis. Mendengar kabar tersebut, Sindiran Dewa memohon izin kepada ayah angkat sekaligus gurunya untuk pergi menyelamatkan ayahanda dan kakaknya yang di tawan oleh Pangeran Cili di Negeri Aceh.
Sindiran Dewa berlayar ke Negeri Aceh dengan menggunakan rejung. Setibanya di sana, ia menyelinap masuk ke kediaman Pangeran Cili untuk melepaskan ayahanda dan kakaknya, dan kemudian membawa mereka ke rejung yang ditambatkan di tepi laut. Begitu ia hendak mengayuh rejungnya meninggalkan Negeri Aceh, tiba-tiba Pangeran Cili muncul dari balik semak-semak bersama dua anak buahnya.
“Hai, Anak Muda! Siapa kamu? Berani sekali kamu membawa lari tawananku. Ayo, kembalikan mereka kepadaku!” seru Pangeran Cili.
“Ketahuilah, hai pangeran licik! Aku ini putra Ratu Tunggak dari Kerajaan Tanjung Pandan! Jika kamu ingin mengambil tawananmu ini, langkahi dulu mayatku!” tantang Sindiran Dewa seraya melompat turun dari rejungnya.
“Dasar anak ingusan! Berani sekali kamu mengantarkan nyawamu kemari! Ayo majulah kalau berani!” seru Pangeran Cili.
Pertarungan sengit pun terjadi. Sindiran Dewa dikeroyok oleh Pangeran Cili bersama dua orang anak buanya. Baru saja pertarungan itu dimulai, tiba-tiba Dewa Pesindiran muncul membantu kakaknya. Tak berapa lama kemudian, Cerita Layang yang kebetulan lewat di tempat kejadian itu ikut membantu kedua putra Ratu Tanjung Pandan tersebut. Akhirnya pertarungan semakin seru, satu melawan satu. Sindiran Dewa dan adiknya melawan kedua anak buah Pangera Cili, sedangkan Cerita Layang berhadapan langsung dengan Pangeran Cili.
“Oh kamu lagi, hai Pangeran Cili! Rupanya kamu telah lupa pada janjimu dulu untuk tidak menjadi rentenir lagi!” seru Cerita Layang.
“Ketahuilah, hai Cerita Layang! Gara-gara kamu, aku menjadi bangkrut. Jadi, aku terpaksa kembali menjadi rentenir,” kata Pangeran Cili.
Cerita Layang merasa bahwa Pangeran Cili tidak bisa diberi ampun lagi.
“Dasar orang serakah! Terimalah pukulanku ini!” seru Cerita Layang seraya melepaskan sebuah pukulan keras dan cepat ke dada Pangeran Cili.
Pangeran Cili pun tidak mampu lagi menghindar. Ia terpelanting jauh dan jatuh tersungkur di tanah dan tewas seketika. Melihat pangeran dari Aceh tidak bergerak lagi, Cerita Layang segera membantu Sindiran Dewa dan Dewa Pesindiran. Dalam waktu singkat, mereka pun berhasil mengalahkan kedua anak buah Pangeran Cili tersebut. Setelah itu, suasana menjadi hening. Cerita Layang dan kedua pangeran dari Tanjung Pandan itu saling berpandangan. Meskipun belum saling mengenal, hati mereka terasa sangat dekat.
“Hai, anak muda! Siapa kalian dan berasal dari mana?” tanya Cerita Layang.
“Kami adalah putra Ratu Tunggak dari Kerajaan Tanjung Pandan,” jawab Sindiran Dewa.
Cerita Layang langsung tersentak kaget. Ia hampir tidak percaya dengan apa yang dikatakan Sindiran Dewa.
“Apa katamu? Kalian putra Ratu Tunggak?” Cerita Layang kembali bertanya.
“Benar, Tuan! Apakah Tuan mengenal ayahanda kami?” sahut Dewa Pesindiran.
Tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya, Cerita Layang langsung merangkul Sindiran Dewa dan Dewa Pesindiran. Tak terasa air matanya mengalir karena terharu dapat bertemu dengan keponakannya. Sindiran Dewa dan adiknya pun terheran-heran melihat sikap Cerita Layang.
“Maaf, Tuan! Kenapa Tuan menangis dan memeluk kami seperti ini?” tanya Sindiran Dewa heran.
Mendengar pertanyaan itu, Cerita Layang perlahan-lahan melepaskan pelukannya.
“Ketahuilah, wahai anak-anakku! Aku ini paman kalian. Aku Cerita Layang, adik kandung ayah kalian,” ungkap Cerita Layang.
Mendengar keterangan itu, Sindiran Dewa dan adiknya pun tak kuasa membendung air matanya. Mereka ikut terharu dan gembira karena telah bertemu dengan paman mereka yang telah menghilang selama puluhan tahun.
“Maafkan kami, Paman! Kami tidak mengerti sama sekali bahwa orang yang selama ini menyelamatkan kami dari perbuatan jahat Pangeran Cili adalah Paman,” ucap Sindiran Dewa.
“Tidak apa-apa, anak-anakku! Lupakanlah semua kejadian itu. Mana ayahanda kalian?” tanya Cerita Layang.
“Ayahanda ada di atas rejung bersama Kak Itam Manis, Paman!” jawab Dewa Pesindiran.
Sindiran Dewa dan adiknya pun mengajak sang Paman menemui ayahanda dan kakak mereka. Betapa senangnya hati Ratu Tunggak bertemu kembali dengan adik kandungnya, Cerita Layang. Mereka pun saling berpelukan dalam suasana penuh haru.
Akhirnya, Cerita Layang bersama kakak dan ketiga ponakannya kembali ke Negeri Tanjung Pandan. Sejak itu, Cerita Layang memutuskan tinggal di Negeri Tanjung Pandan untuk membantu kakaknya menata kembali kerajaan yang telah diporak-porandakan oleh Pangeran Cili. Setelah suasana kembali normal, Pangeran Sindiran Dewa dinobatkan menjadi raja dan Cerita Layang diangkat menjadi penasehat kerajaan. Cerita Layang pun hidup berbahagia bersama kakak dan ketiga keponakannya di istana Tanjung Pandan.
Pada suatu hari, entah alasan apa, Cerita Layang pergi berkelana tanpa memberitahukan kakaknya, Ratu Tunggak. Setelah bertahun-tahun di perantauan, ia pun tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan gagah. Suatu sore, ia sedang duduk bersandar pada pohon nyiur sambil menikmati semilir angin senja Pantai Ujung Tanjung di Pulau Rencong. Di wajahnya terpancar sejuta kerinduan ingin pulang ke kampung halamannya. Di saat sedang tenggelam dalam lamunannya, tiba-tiba pandangannya tertuju pada sebuah kapal yang akan menuju ke arah hulu Ketahun.
“Hai, bukankah itu kapal milik Pangeran Cilibumi Aceh?” gumamnya. “Wah, orang serakah itu pasti mau pergi menagih hutang lagi.”
Setelah yakin bahwa kapal itu milik Pangeran Cili Aceh, Cerita Layang langsung beranjak dari duduknya hendak mencegat laju kapal itu. Ia sangat mengenal watak Pangeran Cili. Konon, Pangeran dari Aceh itu memiliki sifat licik, yaitu suka menghabisi nyawa orang-orang yang tidak sanggup membayar hutang kepadanya dengan cara menaburi racun dalam makanan mereka. Mengetahui gelagat Pangeran itu, Cerita Layang pun segera mengayuh perahunya yang ditambatkan di tepi laut untuk mencegat kapal itu.
“Hai, Pangeran Cili! Sebaiknya engkau urungkan niat jahatmu itu!” seru Cerita Layang. “Engkau adalah Pangeran yang tamak terhadap harta benda. Sebaiknya engkau serahkan saja sebagian hartamu kepadaku!”
Mendengar seruan itu, Pangeran Cili langsung naik pitam. Ia tidak terima disebut sebagai orang tamak. Dengan lantangnya, ia berteriak menantang Cerita Layang untuk bertarung.
“Hai, Cerita Layang! Selama aku masih bisa menghembuskan nafas, semua harta bendaku akan kupertahankan. Tapi, jika kamu berhasil mengalahkanku dan seluruh anak buahku, kamu boleh mengambil sebagian harta bendaku,” tantang Pangeran Cili.
Tanpa berpikir panjang, Cerita Layang langsung menerima tantangan itu. Ia pun segera merapat dan naik ke atas kapal Pangeran Cili. Melihat Cerita Layang berada di atas kapal, Pangeran Cili segera memerintahkan seluruh anak buahnya untuk mengepung sang Pengelana itu.
“Pengawal! Ayo kepung pemuda tolol itu!” seru Pangeran Cili. “Jangan biarkan dia lolos dari tempat ini!”
Mendengar perintah tuannya, puluhan anak buah kapal segera mengepung Cerita Layang. Pertempuran sengit pun tak terelakkan lagi. Mereka menyerang Cerita Layang dengan pukulan dan tendangan secara bergantian. Pemuda gagah dari Tanjung Pandan itu harus berkelit ke sana kemari untuk menghindari serangan musuh yang datang secara bertubi-tubi. Dengan kesaktiannya, ia dapat mengalahkan seluruh anak buah Pangeran Cili. Satu per satu mereka terlempar ke laut dan tewas tenggelam. Kini, hanya Pengeran Cili yang tersisa.
“Hai, Pangeran tamak! Kembalilah ke negerimu!” seru Cerita Layang.
“Aku akui kamu hebat, Cerita Layang! Meskipun kamu telah mengalahkan semua anak buahku yang tidak becus itu, tapi kamu takkan mungkin mengalahkanku. Majulah kalau berani!” tantang Pangeran Cili.
Pertarungan sengit pun terjadi. Pertarungan itu tampak seimbang. Rupanya, Pangeran Cili juga sangat mahir bermain silat. Keduanya silih berganti saling menyerang. Sudah empat belas hari empat belas malam pertempuran itu berlangsung, namun belum satu pun yang terkalahkan. Pada hari kelima belas, Pangeran Cili sudah mulai kelelahan, sedangkan Cerita Layang masih tampak segar bugar. Pada saat yang tepat, Cerita Layang melayangkan sebuah tendangan keras dan tepat mengenai rahang kanan Pangeran Cili. Tak ayal lagi, sang Pangeran pun jatuh tersungkur mencium lantai kapal dan tak mampu lagi melanjutkan pertarungan.
“Engkau memang sakti, Cerita Layang! Aku mengaku kalah,” kata Pangeran Cili.
Setelah itu, Pangeran Cili pun menyerahkan sebagian harta kekayaannya kepada Cerita Layang berupa tujuh buah gedung yang berada di Kolam Hulu dan Kolam Hilir, bermacam-macam mata uang ringgit, seperiuk intan, serta dua puluh satu karung emas kepada Cerita Layang. Namun, Cerita Layang tidak mengambil sepersen pun dari harta benda tersebut, melainkan mengembalikannya kepada Pangeran Cili.
“Hai, Pangeran Cili! Ambillah kembali harta bendamu itu sebagai tebusan atas seluruh hutang orang-orang yang berhutang kepadamu. Tapi, ingat! Kamu tidak boleh lagi kembali menagih hutang, apalagi menghabisi nyawa mereka!” ujar Cerita Layang.
“Baiklah, Cerita Layang! Aku berjanji tidak akan menagih hutang kepada mereka?” ucap Pangeran Cili.
Setelah itu, Cerita Layang kembali melanjutkan perjalanan untuk mengelana dari satu pulau ke pulau yang lain. Ketika ia sampai di sebuah ujung pulau, tampak dua buah rejung (kapal) yang hendak menepi. Rupanya, pemilik kedua rejung tersebut adalah rentenir juga. Mereka adalah Malim Kumat dan Malim Pantap. Alangkah terkejutnya Cerita Layang setelah menyelidiki isi kedua kapal itu. Ia melihat banyak benda-benda berharga milik Kerajaan Tanjung Pandan yang sangat dikenalinya. Ia yakin bahwa kedua rentenir tersebut baru pulang dari menagih hutang di Negeri Tanjung Pandan. Selain itu, Cerita Layang juga melihat dua remaja yang sedang di tawan di atas kapal itu. Namun, ia tidak mengetahui bahwa mereka adalah keponakannya sendiri, yaitu Sindiran Dewa dan Dewa Pasindiran, putra Ratu Tunggak atau kakak kandungnya. Sebab, kedua anak tersebut belum lahir ketika ia meninggalkan Negeri Tanjung Pandan.
“Wahai, Para Rentenir! Sebaiknya, kembalikan semua harta tersebut ke Kerajaan Tanjung Pandan, dan lepaskan kedua anak itu!” seru Cerita Layang.
Kedua rentenir tersebut tidak menghiraukan seruan Cerita Layang. Mereka justru menantang Cerita Layang untuk mengadu kekuatan. Akhirnya, pertarungan sengit pun terjadi antara Cerita Layang dengan kedua rentenir itu beserta anak buahnya. Pertarungan itu berlangsung selama berhari-hari dan pada akhirnya dimenangkan oleh Cerita Layang.
Sementara itu, Sindiran Dewa dan Dewa Pasindiran dapat meloloskan diri dan lari masuk ke dalam hutan pada saat pertempuran itu berlangsung. Di tengah hutan, mereka bersepakat berpisah untuk mengadu nasib sendiri-sendiri. Sindiran Dewa berlari menuju ke arah Muara Bengkulu dan menetap di sana. Menurut cerita, ia diangkat menjadi anak dan diajari ilmu bela diri oleh seorang hulubang yang bernama Hulubalang Anak Dalam Wirodiwongso.
Pada suatu hari, Sindiran Dewa mendengar kabar bahwa negerinya, Tanjung Pandan, hancur diserang oleh Pangeran Cili. Rupanya, pengaren dari Aceh itu belum juga jera setelah dikalahkan oleh Cerita Layang. Ia menawan ayah dan kakak perempuan Sindiran Dewa yang bernama Item Manis. Mendengar kabar tersebut, Sindiran Dewa memohon izin kepada ayah angkat sekaligus gurunya untuk pergi menyelamatkan ayahanda dan kakaknya yang di tawan oleh Pangeran Cili di Negeri Aceh.
Sindiran Dewa berlayar ke Negeri Aceh dengan menggunakan rejung. Setibanya di sana, ia menyelinap masuk ke kediaman Pangeran Cili untuk melepaskan ayahanda dan kakaknya, dan kemudian membawa mereka ke rejung yang ditambatkan di tepi laut. Begitu ia hendak mengayuh rejungnya meninggalkan Negeri Aceh, tiba-tiba Pangeran Cili muncul dari balik semak-semak bersama dua anak buahnya.
“Hai, Anak Muda! Siapa kamu? Berani sekali kamu membawa lari tawananku. Ayo, kembalikan mereka kepadaku!” seru Pangeran Cili.
“Ketahuilah, hai pangeran licik! Aku ini putra Ratu Tunggak dari Kerajaan Tanjung Pandan! Jika kamu ingin mengambil tawananmu ini, langkahi dulu mayatku!” tantang Sindiran Dewa seraya melompat turun dari rejungnya.
“Dasar anak ingusan! Berani sekali kamu mengantarkan nyawamu kemari! Ayo majulah kalau berani!” seru Pangeran Cili.
Pertarungan sengit pun terjadi. Sindiran Dewa dikeroyok oleh Pangeran Cili bersama dua orang anak buanya. Baru saja pertarungan itu dimulai, tiba-tiba Dewa Pesindiran muncul membantu kakaknya. Tak berapa lama kemudian, Cerita Layang yang kebetulan lewat di tempat kejadian itu ikut membantu kedua putra Ratu Tanjung Pandan tersebut. Akhirnya pertarungan semakin seru, satu melawan satu. Sindiran Dewa dan adiknya melawan kedua anak buah Pangera Cili, sedangkan Cerita Layang berhadapan langsung dengan Pangeran Cili.
“Oh kamu lagi, hai Pangeran Cili! Rupanya kamu telah lupa pada janjimu dulu untuk tidak menjadi rentenir lagi!” seru Cerita Layang.
“Ketahuilah, hai Cerita Layang! Gara-gara kamu, aku menjadi bangkrut. Jadi, aku terpaksa kembali menjadi rentenir,” kata Pangeran Cili.
Cerita Layang merasa bahwa Pangeran Cili tidak bisa diberi ampun lagi.
“Dasar orang serakah! Terimalah pukulanku ini!” seru Cerita Layang seraya melepaskan sebuah pukulan keras dan cepat ke dada Pangeran Cili.
Pangeran Cili pun tidak mampu lagi menghindar. Ia terpelanting jauh dan jatuh tersungkur di tanah dan tewas seketika. Melihat pangeran dari Aceh tidak bergerak lagi, Cerita Layang segera membantu Sindiran Dewa dan Dewa Pesindiran. Dalam waktu singkat, mereka pun berhasil mengalahkan kedua anak buah Pangeran Cili tersebut. Setelah itu, suasana menjadi hening. Cerita Layang dan kedua pangeran dari Tanjung Pandan itu saling berpandangan. Meskipun belum saling mengenal, hati mereka terasa sangat dekat.
“Hai, anak muda! Siapa kalian dan berasal dari mana?” tanya Cerita Layang.
“Kami adalah putra Ratu Tunggak dari Kerajaan Tanjung Pandan,” jawab Sindiran Dewa.
Cerita Layang langsung tersentak kaget. Ia hampir tidak percaya dengan apa yang dikatakan Sindiran Dewa.
“Apa katamu? Kalian putra Ratu Tunggak?” Cerita Layang kembali bertanya.
“Benar, Tuan! Apakah Tuan mengenal ayahanda kami?” sahut Dewa Pesindiran.
Tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya, Cerita Layang langsung merangkul Sindiran Dewa dan Dewa Pesindiran. Tak terasa air matanya mengalir karena terharu dapat bertemu dengan keponakannya. Sindiran Dewa dan adiknya pun terheran-heran melihat sikap Cerita Layang.
“Maaf, Tuan! Kenapa Tuan menangis dan memeluk kami seperti ini?” tanya Sindiran Dewa heran.
Mendengar pertanyaan itu, Cerita Layang perlahan-lahan melepaskan pelukannya.
“Ketahuilah, wahai anak-anakku! Aku ini paman kalian. Aku Cerita Layang, adik kandung ayah kalian,” ungkap Cerita Layang.
Mendengar keterangan itu, Sindiran Dewa dan adiknya pun tak kuasa membendung air matanya. Mereka ikut terharu dan gembira karena telah bertemu dengan paman mereka yang telah menghilang selama puluhan tahun.
“Maafkan kami, Paman! Kami tidak mengerti sama sekali bahwa orang yang selama ini menyelamatkan kami dari perbuatan jahat Pangeran Cili adalah Paman,” ucap Sindiran Dewa.
“Tidak apa-apa, anak-anakku! Lupakanlah semua kejadian itu. Mana ayahanda kalian?” tanya Cerita Layang.
“Ayahanda ada di atas rejung bersama Kak Itam Manis, Paman!” jawab Dewa Pesindiran.
Sindiran Dewa dan adiknya pun mengajak sang Paman menemui ayahanda dan kakak mereka. Betapa senangnya hati Ratu Tunggak bertemu kembali dengan adik kandungnya, Cerita Layang. Mereka pun saling berpelukan dalam suasana penuh haru.
Akhirnya, Cerita Layang bersama kakak dan ketiga ponakannya kembali ke Negeri Tanjung Pandan. Sejak itu, Cerita Layang memutuskan tinggal di Negeri Tanjung Pandan untuk membantu kakaknya menata kembali kerajaan yang telah diporak-porandakan oleh Pangeran Cili. Setelah suasana kembali normal, Pangeran Sindiran Dewa dinobatkan menjadi raja dan Cerita Layang diangkat menjadi penasehat kerajaan. Cerita Layang pun hidup berbahagia bersama kakak dan ketiga keponakannya di istana Tanjung Pandan.
Kisah Pangeran angin dari Babel
Di daerah Mentok, Bangka Barat, hiduplah seorang laki-laki bernama Abang Daud. Kerjanya setiap hari hanya membuat kekacauan di mana-mana, seperti mencuri dan merampas barang milik orang lain.
Pada suatu hari, Abang Daud menunggu warga yang membawa hasil kebunnya untuk di jual ke pasar. Setelah beberapa saat menunggu, tampaklah dari kejauhan seorang laki-laki setengah baya sedang memikul keranjang berisi sayur-sayuran dan buah-buahan.
“Hmmm... ini dia yang kutunggu-tunggu! Aku akan mengambil barang-barang si tua bangka itu dari belakang. Pasti dia tidak akan tahu!” gumam Abang Daud.
Setelah beberapa jauh orang tua itu melewati tempat persembunyiannya, secara diam-diam Abang Daud membuntutinya sambil berjingkat-jingkat. Ia hendak mengambil buah-buahan yang ada di keranjang belakang orang tua itu. Namun tanpa disadarinya, ternyata orang tua itu adalah seorang pendekar silat yang berilmu tinggi, bernama Long Guan yang terkenal dengan panggilan Apek Long Guan. Banyak orang yang datang berguru kepadanya.
Menyadari ada orang yang mengikutinya, Apek Long Guan langsung membentak:
“Hai, jangan main-main!”
Alangkah terkejutnya Abang Daud mendengar bentakan itu, apalagi ketika orang tua itu menoleh kepadanya. Ternyata orang tua itu adalah Pek Long Guan, guru silat yang cukup disegani di Mentok.
“Oh, maaf Pek Long! Bagaimana Pek Long dapat mengetahui kalau saya ada di belakang Pek Long? Apakah Pek Long mempunyai ilmu batin?” tanya Abang Daud.
“Tidak... Tidak...! Aku tidak mempunyai ilmu apa-apa. Aku hanya menebak-nebak saja, dan kebetulan tebakanku benar,” jawab Pek Long Guan sambil terus berlalu tanpa menghiraukan Abang Daud.
Namun, Abang Daud terus membuntutinya.
“Tidak usah berbohong Pek Long! Pek Long pasti mempunyai ilmu batin. Saya mohon ajarkanlah kepada saya Pek Long!” pinta Abang Daud.
Setelah beberapa kali Abang Daud memohon barulah Pek Long Guan mengaku bahwa dia memang mempunyai ilmu batin. Ia pun bersedia mengajarkan ilmunya, asalkan Abang Daud mau memenuhi satu syarat.
“Baiklah, Abang Daud! Aku bersedia mengajarimu asalkan kamu mau merubah perilakumu yang suka membuat kekacauan di desa ini,” ujar Pek Long Guan.
“Baiklah, Pek Long! Aku berjanji tidak akan membuat kekacauan lagi,” kata Abang Daud berjanji.
“Kalau begitu, datanglah besok ke rumah!” kata Pek Long seraya melanjutkan perjalanan menuju ke pasar.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Abang Daud pergi ke rumah Pek Long Guan. Saat ia memasuki pekarangan rumah Pek Long Guan, tampaklah sejumlah murid-murid Pek Long Guan sedang berlatih ilmu silat dan batin.
“Wah, ternyata Pek Long mempunyai banyak murid. Kenapa tidak dari dulu aku berguru kepada Pek Long?” gumamnya dengan perasaan menyesal.
Melihat kedatangan Abang Daud, Pek Long Guan segera menyuruhnya duduk untuk diberikan pengarahan. Setelah itu, Abang Daud pun ikut berlatih bersama murid-murid Pek Long Guan lainnya. Sejak itu, ia menjadi murid Pek Long Guan. Ia termasuk murid yang cerdas dan dapat memahami dan menguasai jurus-jurus yang diajarkan kepadanya dengan sempurna. Tak heran, jika Pek Long Guan sangat menyayanginya dan rela memberikan semua ilmu yang dimilikinya.
Setelah menguasai semua ilmu yang diberikan oleh Pek Long Guan, Abang Daud berpamitan kepada gurunya hendak merantau ke tanah Tanah Melayu (Palembang, Sumatra Selatan) untuk memperbaiki hidupnya.
“Terima kasih, Guru! Ilmu yang guru berikan akan saya gunakan untuk kebaikan,” ucap Abang Daud.
“Aku pun berharap demikian, Muridku,” kata Pek Long Guan seraya berpesan kepada Abang Daud dengan untaian pantun dan syair seperti berikut ini:
wahai ananda hamba bermanat,
simak olehmu petuah amanah
peganglah dengan hati yang bulat
semoga Tuhan memberimu berkah
maka seperti kata orang tua-tua:
sebelum melangkah pegang petuah
sebelum berjalan amanah dipadan
untuk bekal anak berjalan
manfaatkan ilmu pada yang terpuji
menjaga diri membela negeri
manfaatkan ilmu pada yang patut,
supaya tak sia-sia anak menuntut
ilmu jangan dipermain-mainkan
pantang sekali dilagak-lagakkan
ilmu jangan disia-siakan,
amalkan olehmu pada kebajikan
berbuat baik engkau kekalkan
tolong menolong engkau utamakan
tiru olehmu ilmu padi,
semakin merunduk semakin berisi
Setelah berjanji untuk melaksanakan semua nasehat gurunya, Abang Daud pun berlayar ke Tanah Melayu dengan menumpang kapal milik Haji Ali dari Mentok. Selama di perjalanan, Haji Ali pun senantiasa memberinya nasehat.
“Wahai, Abang Daud! Sesampainya di Tanah Melayu, kamu harus pandai-pandai menjaga mulut, karena adat penduduk di sana berbeda dengan adat kita di kampung,” pesan Haji Ali.
“Apakah itu, Pak Haji?” tanya Abang Daud penasaran.
“Jika kamu mendengar ayam berkokok tiga kali berturut-turut bukan pada waktunya, jangan kamu jawab! Jika kamu menjawabnya, berarti kamu telah melawan adat Tanah Melayu. Sebagai hukumannya, kamu harus bertarung melawan Panglima Tanah Melayu,” ujar Haji Ali.
“Oh, begitu!” kata Abang Daud sambil tersenyum.
Setelah berhari-hari berlayar mengarungi lautan luas, tibalah mereka di Tanah Melayu bersamaan waktu magrib. Saat mereka menginjakkan kaki di pelabuhan, terdengarlah suara ayam jantan berkokok tiga kali berturut-turut. Tanpa disadarinya, Abang Daud menjawab kokokan ayam tersebut.
“Kokkokokkooo...!!!” demikian suara Abang Daud.
Rupanya, jawaban kokokan ayam Abang Daud terdengar oleh mata-mata Raja Palembang yang sedang berjaga-jaga di Pelabuhan. Mata-mata itu pun segera melaporkan hal itu kepada Raja.
“Ampun, Baginda! Hamba mendengar suara ayam jantan yang baru saja berlabuh di pelabuhan,” lapor mata-mata itu.
“Pengawal! Carilah ayam jantan dari negeri seberang itu yang telah berani menantang adat Tanah Melayu!” perintah sang Raja.
Mendengar perintah tersebut, beberapa pengawal istana segera menuju ke pelabuhan untuk mencari ayam jantan itu, dan membawanya ke istana untuk dihadapkan kepada Raja. Tak berapa lama kemudian, para pengawal itu pun kembali bersama Abang Daud.
“Hai, orang asing! Siapa kamu ini, berani-beraninya menentang adat negeri ini?” tanya Raja Palembang dengan nada membentak.
“Ampun, Baginda! Hamba seorang perantau dari Mentok. Orang-orang memanggilku Abang Daud. Mohon ampun jika hamba telah melanggar adat negeri ini!” Abang Daud memohon kepada Raja Palembang sambil memberi hormat.
“Asal kamu tahu saja, Abang Daud! Siapa pun yang melanggar adat negeri ini, maka ia harus menerima hukuman, yaitu bertarung melawan Panglima Tanah Melayu,” ujar Raja Palembang.
“Ampun, Baginda! Hamba bersedia menerima hukuman ini. Tapi, berilah hamba waktu tiga hari untuk memulihkan tenaga terlebih dahulu. Hamba sangat kelelahan setelah berhari-hari berlayar terombang-ambing di tengah laut,” pinta Abang Daud.
Setelah berunding dengan panglimanya, sang Raja pun memenuhi permintaan Abang Daud. Sambil menunggu hari pertarungan itu tiba, Abang Daud tinggal di rumah Haji Ali. Agar Abang Daud tidak melarikan diri kembali ke negerinya di Mentok, Raja Palembang mengutus beberapa orang pengawalnya untuk berjaga-jaga di sekitar rumah Haji Ali.
Pada malam harinya, usai makan malam, juragan kapal itu berbincang-bincang dengan Abang Daud.
“Hai, Abang Daud! Aku sudah berkali-kali menasehatimu, tapi kamu tetap saja melanggar adat negeri ini. Akhirnya, kamu terima sendiri akibatnya,” ujar Haji Ali.
“Tidak usah khawatir, Pak Haji! Semoga saja saya bisa mengatasi masalah ini sendiri. Saya mohon maaf jika telah merepotkan Pak Haji,” kata Abang Daud dengan tenangnya.
Pada hari yang telah ditentukan, Abang Daud datang menghadap sang Raja untuk menepati janjinya. Tak ketinggalan pula Haji Ali bersama warga Mentok lainnya ikut serta ke istana Kerajaan Palembang untuk menyaksikan pertarungan tersebut. Sebagai sesama orang Mentok, mereka senantiasa memberikan semangat dan dukungan kepada Abang Daud agar selamat dari kematian.
Saat rombongan Abang Daud memasuki halaman istana, tampak seluruh keluarga istana dan para pengawal Raja telah memadati sekitar arena pertarungan yang telah disiapkan. Sesekali terdengar suara ejekan dari para penonton yang meremehkan kemampuan Abang Daud.
“Ah, orang itu kemari hanya untuk mengantarkan nyawa. Dia pasti akan mati terkapar di atas arena melawan Panglima Tanah Melayu,” ucap seorang pengawal.
Sementara itu, saat melihat kedatangan Abang Daud, Raja Palembang segera memerintahkan hulubalangnya untuk menyediakan berbagai jenis senjata dan menyuruh Abang Daud memilih senjata yang dikehendakinya. Namun, Abang Daud menolak tawaran itu.
“Ampun, Baginda! Hamba tidak terbiasa menggunakan senjata dalam bertarung, kecuali taji ayam ini,” kata Abang Daud sambil menunjukkan taji ayamnya.
“Baiklah, kalau itu pilahanmu. Pertarungan akan segera dimulai. Apakah kamu sudah siap, wahai Abang Daud?” tanya Raja Palembang meyakinkan Abang Daud.
“Hamba siap, Baginda!” jawab Abang Daud seraya berjalan menuju ke arena yang telah disediakan di halaman istana.
Ketika kedua petarung itu berada di atas arena, Raja Haji bersama rombongannya dari Mentok semakin cemas akan menyaksikan pertarungan itu. Lain halnya dengan seluruh masyarakat Tanah Melayu, mereka bersorak gembira sambil terus merendahkan Abang Daud. Mereka yakin bahwa panglima merekalah yang akan memenangkan pertarungan itu.
“Hai, Abang Daud! Berdoalah sebelum nyawamu melayang!” celetuk salah seorang penonton dari Tanah Melayu.
“Iya, Abang Daud! Berpesanlah kepada orang-orang Mentok sebelum kamu mati sia-sia di tangan Panglima kami!” tambah seorang penonton lainnya dari Tanah Melayu.
Abang Daud hanya tersenyum mendengar ejekan-ejekan yang dilontarkan kepadanya. Beberapa saat kemudian, pertarungan pun dimulai. Panglima Tanah Melayu mengawali pertarungan itu dengan terlebih dahulu menyerang, sedangkan Abang Daud hanya menangkis dan menghindar dari serangan-serangan yang datang secara bertubi-tubi. Berkali-kali Panglima Tanah Melayu melancarkan serangan, berkali-kali pula Abang Daud dapat berkelit dan menghindarinya. Ketika melihat Panglima Tanah Melayu mulai kelelahan, Abang Daud berbalik menyerang. Hanya dengan beberapa jurus saja, Abang Daud berhasil menusukkan taji ayamnya tepat pada lambung kiri Panglima Tanah Melayu. Seketika itu pula, Panglima kebanggaan Tanah Melayu itu jatuh terkapar tak sadarkan diri.
Seluruh masyarakat Tanah Melayu yang menyaksikan pertarungan itu terkejut, terutama Raja Palembang. Sang Raja benar-benar tidak pernah mengira sebelumnya bahwa Abang Daud adalah pendekar yang sangat tangguh dan sakti. Sedangkan masyarakat Mentok yang semula hanya terdiam diselimuti perasaan cemas, tiba-tiba berteriak kegirangan menyaksikan kemenangan pendekar yang berasal dari tanah kelahiran mereka. Sebagai Raja yang arif dan bijaksana, Raja Palembang pun mengangkat Abang Daud menjadi Panglima Tanah Melayu dengan gelar Panglima Angin.
Sejak itu, Panglima Tanah Melayu dari Mentok tersebut tinggal di istana Kerajaan Palembang dengan kehidupan serba mewah. Namanya pun semakin terkenal hingga ke berbagai negeri. Ia sangat disegani oleh masyarakat Tanah Melayu. Rupanya, pangkat, jabatan, dan ketenaran itu membuatnya lupa diri, penyakitnya mulai kambuh lagi. Ia selalu membuat kekecauan di mana-mana. Raja Palembang pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Pada suatu ketika, Abang Daud yang bergelar Panglima Angin itu kembali ke kampung halamannya. Di kampungnya, perilaku Panglima Angin semakin menjadi-jadi, sehingga masyarakat Mentok menjadi resah. Mendengar berita tersebut, Tumenggung Mentok pun segera memerintahkan warga untuk menangkapnya. Namun, tak satu pun warga yang mampu mengalahkan kesaktiannya.
“Apa yang harus kita lakukan Tumenggung?” tanya seorang warga dengan risau dalam sebuah pertemuan desa.
“Hmmm... aku kira satu-satunya orang yang dapat menangkap Abang Daud adalah gurunya sendiri. Apakah kalian mengetahui siapa guru Abang Daud?” Tumenggung Mentok balik bertanya kepada warga.
“Hai, bukankah dia dulu pernah berguru pada Pek Long Guan?” sahut seorang warga.
“Benar, Tumenggung! Dia adalah teman seperguruan saya dulu,” tambah seorang warga lainnya.
Akhirnya, beberapa warga segera memanggil Pek Long Guan. Tak berapa lama, guru Abang Daud itu pun datang ke pertemuan desa tersebut.
“Maaf, para hadirin! Sebenarnya saya ragu untuk bisa menangkap Abang Daud, karena saya telah memberikan seluruh ilmuku kepadanya,” ungkap Pek Long Guan.
Setelah didesak oleh para warga, Pek Long Guan pun bersedia membantu dan segera mencari akal untuk dapat mengalahkan kesaktian muridnya itu. Saat itu pula, ia tiba-tiba teringat dengan satu kelemahan Abang Daud. Dulu, Abang Daud pernah bercerita kepadanya bahwa dia tidak bisa berenang. Oleh karena itu, ia akan membujuknya untuk menemaninya mengambil air di sungai. Pada saat itulah, ia akan mendorong Abang Daud masuk ke dalam sungai.
Keesokan harinya, Pek Long Guan pergi menemui Abang Daud. Namun, sebelum mengajak ke sungai, ia berusaha membujuk dan menasehati kembali murid kesayangannya itu.
wahai ananda dengarlah amanah,
kalau hidup peganglah wakil
kalau mati peganglah manat
pegang petuah dengan amanah
pegang tunjuk dengan ajarnya
wahai anak dengarlah amanah,
ingat-ingat engkau berjalan
jangan dengar bujukan setan
hawa nafsu jangan turutkan
pertolongan Allah engku mohonkan
hati hati engkau berjalan
petuah amanah jangan lupakan
tunjuk ajar jangan abaikan
ilmu di dada peganglah teguh
Mendapat nasehat dari gurunya, Abang Daud bukannya berterima kasih, tetapi justru memaki-maki gurunya.
“Hentikan semua omong kosongmu itu Pak Tua! Aku sudah muak dengan semua nasehatmu!” bentak Abang Daud.
“Baiklah, Muridku! Tidak apa-apa jika kamu memang tidak mau mendengar nasehatku lagi. Tapi, aku ada satu permintaan terakhir darimu. Bersediakah kamu membantuku mengambil air di sungai? Persediaan air untuk memasak dan mandi di rumahku sudah habis,” pinta Pek Long Guan.
Rupanya, Abang Daud mengetahui tipu muslihat Pek Long Guan. Ia pun mencari cara untuk membunuh gurunya itu.
“Aku bersedia membantumu, Pak Tua! Tapi, kamu harus berjalan di depanku,” kata Abang Daud.
Akhirnya, mereka pun berangkat bersama ke sungai. Pek Long Guan berjalan di depan, sendangkan Abang Daud mengikutinya dari belakang. Sesampainya di tepi sungai, Pek Long sedikit lengah. Abang Daud pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia pun menendang bokong orang tua itu hingga terpental dan berguling-guling di tanah. Karena memiliki kesaktian tinggi, Pek Long Guan belum mati. Ia pun berusaha bangkit sambil menahan rasa sakit.
”Dasar murid durhaka! Sampai hatinya kau berbuat begitu kepada gurumu ini,” kata Pek Long Guan dengan perasaan kesal.
Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Apek Long Guan berusaha melakukan perlawanan. Ia mengeluarkan seluruh kemampuan silatnya. Pada saat Abang Daud lengah, ia melayangkan sebuah tendangan keras dan tepat mengenai tengkuk muridnya itu. Abang Daud pun terpental masuk ke dalam sungai dan tenggelam. Akhirnya, murid durhaka itu pun menemui ajalnya.
Pada suatu hari, Abang Daud menunggu warga yang membawa hasil kebunnya untuk di jual ke pasar. Setelah beberapa saat menunggu, tampaklah dari kejauhan seorang laki-laki setengah baya sedang memikul keranjang berisi sayur-sayuran dan buah-buahan.
“Hmmm... ini dia yang kutunggu-tunggu! Aku akan mengambil barang-barang si tua bangka itu dari belakang. Pasti dia tidak akan tahu!” gumam Abang Daud.
Setelah beberapa jauh orang tua itu melewati tempat persembunyiannya, secara diam-diam Abang Daud membuntutinya sambil berjingkat-jingkat. Ia hendak mengambil buah-buahan yang ada di keranjang belakang orang tua itu. Namun tanpa disadarinya, ternyata orang tua itu adalah seorang pendekar silat yang berilmu tinggi, bernama Long Guan yang terkenal dengan panggilan Apek Long Guan. Banyak orang yang datang berguru kepadanya.
Menyadari ada orang yang mengikutinya, Apek Long Guan langsung membentak:
“Hai, jangan main-main!”
Alangkah terkejutnya Abang Daud mendengar bentakan itu, apalagi ketika orang tua itu menoleh kepadanya. Ternyata orang tua itu adalah Pek Long Guan, guru silat yang cukup disegani di Mentok.
“Oh, maaf Pek Long! Bagaimana Pek Long dapat mengetahui kalau saya ada di belakang Pek Long? Apakah Pek Long mempunyai ilmu batin?” tanya Abang Daud.
“Tidak... Tidak...! Aku tidak mempunyai ilmu apa-apa. Aku hanya menebak-nebak saja, dan kebetulan tebakanku benar,” jawab Pek Long Guan sambil terus berlalu tanpa menghiraukan Abang Daud.
Namun, Abang Daud terus membuntutinya.
“Tidak usah berbohong Pek Long! Pek Long pasti mempunyai ilmu batin. Saya mohon ajarkanlah kepada saya Pek Long!” pinta Abang Daud.
Setelah beberapa kali Abang Daud memohon barulah Pek Long Guan mengaku bahwa dia memang mempunyai ilmu batin. Ia pun bersedia mengajarkan ilmunya, asalkan Abang Daud mau memenuhi satu syarat.
“Baiklah, Abang Daud! Aku bersedia mengajarimu asalkan kamu mau merubah perilakumu yang suka membuat kekacauan di desa ini,” ujar Pek Long Guan.
“Baiklah, Pek Long! Aku berjanji tidak akan membuat kekacauan lagi,” kata Abang Daud berjanji.
“Kalau begitu, datanglah besok ke rumah!” kata Pek Long seraya melanjutkan perjalanan menuju ke pasar.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Abang Daud pergi ke rumah Pek Long Guan. Saat ia memasuki pekarangan rumah Pek Long Guan, tampaklah sejumlah murid-murid Pek Long Guan sedang berlatih ilmu silat dan batin.
“Wah, ternyata Pek Long mempunyai banyak murid. Kenapa tidak dari dulu aku berguru kepada Pek Long?” gumamnya dengan perasaan menyesal.
Melihat kedatangan Abang Daud, Pek Long Guan segera menyuruhnya duduk untuk diberikan pengarahan. Setelah itu, Abang Daud pun ikut berlatih bersama murid-murid Pek Long Guan lainnya. Sejak itu, ia menjadi murid Pek Long Guan. Ia termasuk murid yang cerdas dan dapat memahami dan menguasai jurus-jurus yang diajarkan kepadanya dengan sempurna. Tak heran, jika Pek Long Guan sangat menyayanginya dan rela memberikan semua ilmu yang dimilikinya.
Setelah menguasai semua ilmu yang diberikan oleh Pek Long Guan, Abang Daud berpamitan kepada gurunya hendak merantau ke tanah Tanah Melayu (Palembang, Sumatra Selatan) untuk memperbaiki hidupnya.
“Terima kasih, Guru! Ilmu yang guru berikan akan saya gunakan untuk kebaikan,” ucap Abang Daud.
“Aku pun berharap demikian, Muridku,” kata Pek Long Guan seraya berpesan kepada Abang Daud dengan untaian pantun dan syair seperti berikut ini:
wahai ananda hamba bermanat,
simak olehmu petuah amanah
peganglah dengan hati yang bulat
semoga Tuhan memberimu berkah
maka seperti kata orang tua-tua:
sebelum melangkah pegang petuah
sebelum berjalan amanah dipadan
untuk bekal anak berjalan
manfaatkan ilmu pada yang terpuji
menjaga diri membela negeri
manfaatkan ilmu pada yang patut,
supaya tak sia-sia anak menuntut
ilmu jangan dipermain-mainkan
pantang sekali dilagak-lagakkan
ilmu jangan disia-siakan,
amalkan olehmu pada kebajikan
berbuat baik engkau kekalkan
tolong menolong engkau utamakan
tiru olehmu ilmu padi,
semakin merunduk semakin berisi
Setelah berjanji untuk melaksanakan semua nasehat gurunya, Abang Daud pun berlayar ke Tanah Melayu dengan menumpang kapal milik Haji Ali dari Mentok. Selama di perjalanan, Haji Ali pun senantiasa memberinya nasehat.
“Wahai, Abang Daud! Sesampainya di Tanah Melayu, kamu harus pandai-pandai menjaga mulut, karena adat penduduk di sana berbeda dengan adat kita di kampung,” pesan Haji Ali.
“Apakah itu, Pak Haji?” tanya Abang Daud penasaran.
“Jika kamu mendengar ayam berkokok tiga kali berturut-turut bukan pada waktunya, jangan kamu jawab! Jika kamu menjawabnya, berarti kamu telah melawan adat Tanah Melayu. Sebagai hukumannya, kamu harus bertarung melawan Panglima Tanah Melayu,” ujar Haji Ali.
“Oh, begitu!” kata Abang Daud sambil tersenyum.
Setelah berhari-hari berlayar mengarungi lautan luas, tibalah mereka di Tanah Melayu bersamaan waktu magrib. Saat mereka menginjakkan kaki di pelabuhan, terdengarlah suara ayam jantan berkokok tiga kali berturut-turut. Tanpa disadarinya, Abang Daud menjawab kokokan ayam tersebut.
“Kokkokokkooo...!!!” demikian suara Abang Daud.
Rupanya, jawaban kokokan ayam Abang Daud terdengar oleh mata-mata Raja Palembang yang sedang berjaga-jaga di Pelabuhan. Mata-mata itu pun segera melaporkan hal itu kepada Raja.
“Ampun, Baginda! Hamba mendengar suara ayam jantan yang baru saja berlabuh di pelabuhan,” lapor mata-mata itu.
“Pengawal! Carilah ayam jantan dari negeri seberang itu yang telah berani menantang adat Tanah Melayu!” perintah sang Raja.
Mendengar perintah tersebut, beberapa pengawal istana segera menuju ke pelabuhan untuk mencari ayam jantan itu, dan membawanya ke istana untuk dihadapkan kepada Raja. Tak berapa lama kemudian, para pengawal itu pun kembali bersama Abang Daud.
“Hai, orang asing! Siapa kamu ini, berani-beraninya menentang adat negeri ini?” tanya Raja Palembang dengan nada membentak.
“Ampun, Baginda! Hamba seorang perantau dari Mentok. Orang-orang memanggilku Abang Daud. Mohon ampun jika hamba telah melanggar adat negeri ini!” Abang Daud memohon kepada Raja Palembang sambil memberi hormat.
“Asal kamu tahu saja, Abang Daud! Siapa pun yang melanggar adat negeri ini, maka ia harus menerima hukuman, yaitu bertarung melawan Panglima Tanah Melayu,” ujar Raja Palembang.
“Ampun, Baginda! Hamba bersedia menerima hukuman ini. Tapi, berilah hamba waktu tiga hari untuk memulihkan tenaga terlebih dahulu. Hamba sangat kelelahan setelah berhari-hari berlayar terombang-ambing di tengah laut,” pinta Abang Daud.
Setelah berunding dengan panglimanya, sang Raja pun memenuhi permintaan Abang Daud. Sambil menunggu hari pertarungan itu tiba, Abang Daud tinggal di rumah Haji Ali. Agar Abang Daud tidak melarikan diri kembali ke negerinya di Mentok, Raja Palembang mengutus beberapa orang pengawalnya untuk berjaga-jaga di sekitar rumah Haji Ali.
Pada malam harinya, usai makan malam, juragan kapal itu berbincang-bincang dengan Abang Daud.
“Hai, Abang Daud! Aku sudah berkali-kali menasehatimu, tapi kamu tetap saja melanggar adat negeri ini. Akhirnya, kamu terima sendiri akibatnya,” ujar Haji Ali.
“Tidak usah khawatir, Pak Haji! Semoga saja saya bisa mengatasi masalah ini sendiri. Saya mohon maaf jika telah merepotkan Pak Haji,” kata Abang Daud dengan tenangnya.
Pada hari yang telah ditentukan, Abang Daud datang menghadap sang Raja untuk menepati janjinya. Tak ketinggalan pula Haji Ali bersama warga Mentok lainnya ikut serta ke istana Kerajaan Palembang untuk menyaksikan pertarungan tersebut. Sebagai sesama orang Mentok, mereka senantiasa memberikan semangat dan dukungan kepada Abang Daud agar selamat dari kematian.
Saat rombongan Abang Daud memasuki halaman istana, tampak seluruh keluarga istana dan para pengawal Raja telah memadati sekitar arena pertarungan yang telah disiapkan. Sesekali terdengar suara ejekan dari para penonton yang meremehkan kemampuan Abang Daud.
“Ah, orang itu kemari hanya untuk mengantarkan nyawa. Dia pasti akan mati terkapar di atas arena melawan Panglima Tanah Melayu,” ucap seorang pengawal.
Sementara itu, saat melihat kedatangan Abang Daud, Raja Palembang segera memerintahkan hulubalangnya untuk menyediakan berbagai jenis senjata dan menyuruh Abang Daud memilih senjata yang dikehendakinya. Namun, Abang Daud menolak tawaran itu.
“Ampun, Baginda! Hamba tidak terbiasa menggunakan senjata dalam bertarung, kecuali taji ayam ini,” kata Abang Daud sambil menunjukkan taji ayamnya.
“Baiklah, kalau itu pilahanmu. Pertarungan akan segera dimulai. Apakah kamu sudah siap, wahai Abang Daud?” tanya Raja Palembang meyakinkan Abang Daud.
“Hamba siap, Baginda!” jawab Abang Daud seraya berjalan menuju ke arena yang telah disediakan di halaman istana.
Ketika kedua petarung itu berada di atas arena, Raja Haji bersama rombongannya dari Mentok semakin cemas akan menyaksikan pertarungan itu. Lain halnya dengan seluruh masyarakat Tanah Melayu, mereka bersorak gembira sambil terus merendahkan Abang Daud. Mereka yakin bahwa panglima merekalah yang akan memenangkan pertarungan itu.
“Hai, Abang Daud! Berdoalah sebelum nyawamu melayang!” celetuk salah seorang penonton dari Tanah Melayu.
“Iya, Abang Daud! Berpesanlah kepada orang-orang Mentok sebelum kamu mati sia-sia di tangan Panglima kami!” tambah seorang penonton lainnya dari Tanah Melayu.
Abang Daud hanya tersenyum mendengar ejekan-ejekan yang dilontarkan kepadanya. Beberapa saat kemudian, pertarungan pun dimulai. Panglima Tanah Melayu mengawali pertarungan itu dengan terlebih dahulu menyerang, sedangkan Abang Daud hanya menangkis dan menghindar dari serangan-serangan yang datang secara bertubi-tubi. Berkali-kali Panglima Tanah Melayu melancarkan serangan, berkali-kali pula Abang Daud dapat berkelit dan menghindarinya. Ketika melihat Panglima Tanah Melayu mulai kelelahan, Abang Daud berbalik menyerang. Hanya dengan beberapa jurus saja, Abang Daud berhasil menusukkan taji ayamnya tepat pada lambung kiri Panglima Tanah Melayu. Seketika itu pula, Panglima kebanggaan Tanah Melayu itu jatuh terkapar tak sadarkan diri.
Seluruh masyarakat Tanah Melayu yang menyaksikan pertarungan itu terkejut, terutama Raja Palembang. Sang Raja benar-benar tidak pernah mengira sebelumnya bahwa Abang Daud adalah pendekar yang sangat tangguh dan sakti. Sedangkan masyarakat Mentok yang semula hanya terdiam diselimuti perasaan cemas, tiba-tiba berteriak kegirangan menyaksikan kemenangan pendekar yang berasal dari tanah kelahiran mereka. Sebagai Raja yang arif dan bijaksana, Raja Palembang pun mengangkat Abang Daud menjadi Panglima Tanah Melayu dengan gelar Panglima Angin.
Sejak itu, Panglima Tanah Melayu dari Mentok tersebut tinggal di istana Kerajaan Palembang dengan kehidupan serba mewah. Namanya pun semakin terkenal hingga ke berbagai negeri. Ia sangat disegani oleh masyarakat Tanah Melayu. Rupanya, pangkat, jabatan, dan ketenaran itu membuatnya lupa diri, penyakitnya mulai kambuh lagi. Ia selalu membuat kekecauan di mana-mana. Raja Palembang pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Pada suatu ketika, Abang Daud yang bergelar Panglima Angin itu kembali ke kampung halamannya. Di kampungnya, perilaku Panglima Angin semakin menjadi-jadi, sehingga masyarakat Mentok menjadi resah. Mendengar berita tersebut, Tumenggung Mentok pun segera memerintahkan warga untuk menangkapnya. Namun, tak satu pun warga yang mampu mengalahkan kesaktiannya.
“Apa yang harus kita lakukan Tumenggung?” tanya seorang warga dengan risau dalam sebuah pertemuan desa.
“Hmmm... aku kira satu-satunya orang yang dapat menangkap Abang Daud adalah gurunya sendiri. Apakah kalian mengetahui siapa guru Abang Daud?” Tumenggung Mentok balik bertanya kepada warga.
“Hai, bukankah dia dulu pernah berguru pada Pek Long Guan?” sahut seorang warga.
“Benar, Tumenggung! Dia adalah teman seperguruan saya dulu,” tambah seorang warga lainnya.
Akhirnya, beberapa warga segera memanggil Pek Long Guan. Tak berapa lama, guru Abang Daud itu pun datang ke pertemuan desa tersebut.
“Maaf, para hadirin! Sebenarnya saya ragu untuk bisa menangkap Abang Daud, karena saya telah memberikan seluruh ilmuku kepadanya,” ungkap Pek Long Guan.
Setelah didesak oleh para warga, Pek Long Guan pun bersedia membantu dan segera mencari akal untuk dapat mengalahkan kesaktian muridnya itu. Saat itu pula, ia tiba-tiba teringat dengan satu kelemahan Abang Daud. Dulu, Abang Daud pernah bercerita kepadanya bahwa dia tidak bisa berenang. Oleh karena itu, ia akan membujuknya untuk menemaninya mengambil air di sungai. Pada saat itulah, ia akan mendorong Abang Daud masuk ke dalam sungai.
Keesokan harinya, Pek Long Guan pergi menemui Abang Daud. Namun, sebelum mengajak ke sungai, ia berusaha membujuk dan menasehati kembali murid kesayangannya itu.
wahai ananda dengarlah amanah,
kalau hidup peganglah wakil
kalau mati peganglah manat
pegang petuah dengan amanah
pegang tunjuk dengan ajarnya
wahai anak dengarlah amanah,
ingat-ingat engkau berjalan
jangan dengar bujukan setan
hawa nafsu jangan turutkan
pertolongan Allah engku mohonkan
hati hati engkau berjalan
petuah amanah jangan lupakan
tunjuk ajar jangan abaikan
ilmu di dada peganglah teguh
Mendapat nasehat dari gurunya, Abang Daud bukannya berterima kasih, tetapi justru memaki-maki gurunya.
“Hentikan semua omong kosongmu itu Pak Tua! Aku sudah muak dengan semua nasehatmu!” bentak Abang Daud.
“Baiklah, Muridku! Tidak apa-apa jika kamu memang tidak mau mendengar nasehatku lagi. Tapi, aku ada satu permintaan terakhir darimu. Bersediakah kamu membantuku mengambil air di sungai? Persediaan air untuk memasak dan mandi di rumahku sudah habis,” pinta Pek Long Guan.
Rupanya, Abang Daud mengetahui tipu muslihat Pek Long Guan. Ia pun mencari cara untuk membunuh gurunya itu.
“Aku bersedia membantumu, Pak Tua! Tapi, kamu harus berjalan di depanku,” kata Abang Daud.
Akhirnya, mereka pun berangkat bersama ke sungai. Pek Long Guan berjalan di depan, sendangkan Abang Daud mengikutinya dari belakang. Sesampainya di tepi sungai, Pek Long sedikit lengah. Abang Daud pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia pun menendang bokong orang tua itu hingga terpental dan berguling-guling di tanah. Karena memiliki kesaktian tinggi, Pek Long Guan belum mati. Ia pun berusaha bangkit sambil menahan rasa sakit.
”Dasar murid durhaka! Sampai hatinya kau berbuat begitu kepada gurumu ini,” kata Pek Long Guan dengan perasaan kesal.
Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Apek Long Guan berusaha melakukan perlawanan. Ia mengeluarkan seluruh kemampuan silatnya. Pada saat Abang Daud lengah, ia melayangkan sebuah tendangan keras dan tepat mengenai tengkuk muridnya itu. Abang Daud pun terpental masuk ke dalam sungai dan tenggelam. Akhirnya, murid durhaka itu pun menemui ajalnya.
Legenda si Penyumpit cerita dari Babel
Kepulauan Bangka-Belitung adalah sebuah provinsi di Indonesia. Provinsi ini meliputi dua pulau utama, Bangka dan Belitung, dan beberapa yang lebih kecil yang terletak di sebelah timur daratan Sumatera dan timur laut provinsi Sumatra Selatan. Selat Bangka memisahkan Sumatra dan Bangka, dan Selat Gaspar memisahkan Bangka dan Belitung. Laut China Selatan dan Laut Natuna adalah di utara, Laut Jawa di selatan, dan dengan pulau Kalimantan di sebelah timur terpisah oleh Selat Karimata.
Pada zaman dahulu kala, di sebuah daerah di Pulau Bangka, hiduplah seorang pemuda yang sangat mahir menyumpit binatang buruan. Sumpitannya selalu mengenai sasaran. Oleh karenanya, masyarakat memanggilnya si Penyumpit. Selain mahir menyumpit, ia juga pandai mengobati berbagai macam penyakit. Bakat menyumpit dan mengobati tersebut ia peroleh dari ayahnya.
Pada suatu hari, Pak Raje, Kepala Desa di kampung itu, meminta si Penyumpit untuk mengusir kawanan babi hutan yang telah merusak tanaman padinya yang sedang berbuah, dengan dalih bahwa orang tua si Penyumpit sewaktu masih hidup pernah berhutang kepadanya. Demi membayar hutang orang tuanya, si Penyumpit rela bekerja pada Pak Raje.
Keesokan harinya, berangkatlah si Penyumpit ke ladang Pak Raje untuk melaksanakan tugas. Sesampainya di ladang, ia membakar kemenyan untuk memohon kepada dewa-dewa dan mentemau (dewa babi), agar kawanan babi tersebut tidak merusak tanaman padi Pak Raje. Si Penyumpit kemudian melakukan ronda dengan memantau seluruh sudut ladang hingga larut malam. Sudah tiga malam si Penyumpit meronda, namun belum terlihat tanda-tanda yang mencurigakan. Meskipun situasi aman, si Penyumpit terus berjaga-jaga.
Ketika memasuki malam ketujuh, dari kejauhan tampak oleh si Penyumpit tujuh kawanan babi hutan sedang beriring-iringan hendak memasuki ladang. Satu per satu babi hutan itu melompati pagar batu yang telah dibuat Pak Raje. Mengetahui hal itu, si Penyumpit segera bersembunyi di balik sebuah pohon besar dengan sumpit di tangan yang siap untuk digunakan. Ketika kawanan babi tersebut mulai mengobrak-abrik tanaman padi yang tak jauh dari pohon tempat ia bersembunyi, dengan hati-hati pemuda itu mengangkat sumpitnya, lalu disumpitkannya ke arah babi yang paling dekat dengannya. Sumpitannya tepat mengenahi sisi sebelah kiri perut babi itu. Sesaat kemudian, kawanan babi itu tiba-tiba menghilang bersama dengan anak sumpitnya. Melihat peristiwa aneh itu, si Penyumpit menjadi penasaran.
Keesokan harinya, si Penyumpit menyusuri ceceran darah hingga ke tengah hutan. Sesampainya di tengah hutan, ia menemukan sebuah gua yang di sekelilingnya ditumbuhi semak-belukar. Dengan hati-hati, pemuda itu memasuki gua tersebut. Sesampainya di dalam, ia sangat terkejut, karena melihat seorang putri yang tergeletak di atas pembaringan yang dikelilingi oleh wanita-wanita cantik. Salah seorang dari wanita tersebut adalah ibu sang Putri.
“Hai, anak muda! Engkau siapa?” tanya ibu sang putri.
“Saya si Penyumpit,” jawab si pemuda dengan ramah.
“Ada perlu apa Engkau ke sini?” tanya ibu sang putri dengan nada menyelidik.
“Saya sedang mencari anak sumpit saya yang hilang bersama dengan seekor babi hutan,” jawabnya.
“Benda yang engkau cari itu ada pada putriku,” kata ibu sang putri.
“Bagaimana bisa anak sumpit saya ada pada putri Bibi?” tanya si Penyumpit heran.
“Ketahuilah, anak muda! Babi yang engkau sumpit itu adalah penjelmaan putriku,’ jelas ibu sang putri.
Si Penyumpit sangat kaget mendengar penjelasan ibu sang putri.
“Jadi…, kalian adalah babi jadi-jadian?” tanya si Penyumpit dengan heran.
“Benar, anak muda,” jawab ibu sang putri.
“Kalau begitu, saya minta maaf, karena tidak mengetahui hal itu,” kata si Penyumpit dengan rasa menyesal.
“Sudahlah, anak muda. Lupakan saja semua kejadian itu. Yang penting sekarang adalah bagaimana melepaskan benda ini dari perut putriku,” kata ibu sang putri.
“Baiklah. Saya akan melepaskan anak sumpit itu dan mengobati luka putri bibi. Tolong saya dicarikan beberapa helai daun keremunting[1] dan tumbuklah hingga halus,” pinta si Penyumpit.
Untuk memenuhi permintaan itu, ibu sang putri segera memerintahkan beberapa dayangnya untuk mencari daun keremunting yang banyak terdapat di sekitar mereka. Tak berapa lama, dayang-dayang tersebut sudah kembali dengan membawa daun yang dimaksud. Setelah yang diperlukan disiapkan, si Penyumpit mendekati gadis cantik yang sedang terbaring lemas itu, lalu membuka selimut yang menutupi tubuhnya. Tampaklah sebuah benda runcing yang menancap di perut sang putri, yang tidak lain adalah mata sumpit miliknya. Sambil mulutnya komat-kamit membaca mantra, si Penyumpit mencabut mata sumpit itu dengan pelan-pelan. Setelah mata sumpit terlepas, bekas luka tersebut kemudian ditutupinya dengan daun keremunting yang sudah dihaluskan untuk menahan cucuran darah yang keluar.
Beberapa saat kemudian, luka sang putri sembuh dan tidak meninggalkan bekas luka sedikit pun.
“Sekarang putri Bibi sudah sembuh. Izinkanlah saya mohon diri,” pamit pemuda itu dengan sopan.
“Baiklah, anak muda! Ini ada oleh-oleh sebagai ucapan terima kasih kami, karena engkau telah menyembuhkan putriku. Bungkusan ini berisi kunyit, buah nyatoh,[2] daun simpur,[3] dan buah jering.[4] Tapi, bungkusan ini jangan dibuka sebelum engkau sampai di rumah,” pesan ibu sang putri.
“Baik, Bi!” jawab pemuda itu, lalu pergi meninggalkan gua.
Setibanya di rumah, si Penyumpit segera membuka bungkusan tersebut. Alangkah terkejutnya ia, karena isi bungkusan itu tidak seperti yang disebutkan ibu sang putri. Bungkusan itu ternyata berisi perhiasan berupa emas, berlian, dan intan permata.
“Waw…, berharga sekali benda ini!” tanya si Penyumpit dengan rasa kagum.
“Dengan benda ini, aku akan menjadi kaya-raya,” gumamnya dengan perasaan gembira.
Keesokan harinya, si Penyumpit pergi menjual seluruh benda berharga itu kepada seorang saudagar kaya di kampung itu. Hasil penjualannya ia gunakan untuk membeli ladang yang luas, rumah mewah, dan melunasi seluruh hutang ayahnya kepada Pak Raje.
Sejak itu, tersiarlah kabar bahwa si Penyumpit telah menjadi kaya-raya. Berita itu juga didengar oleh Pak Raje. Ia pun berniat untuk mengikuti jejak si Penyumpit. Suatu hari, Pak Raje meminjam sumpit pemuda itu dan kemudian pergi berburu babi hutan di ladang miliknya. Dalam perburuannya, ia berhasil menyumpit seekor babi. Setelah itu ia mengikuti jejak dan menemukan babi hutan itu, yang ternyata penjelmaan sang putri. Pak Raje berusaha menyembuhkan luka yang diderita oleh sang Putri, namun tidak berhasil karena ia tidak memiliki keahlian mengobati penyakit. Akhirnya, ia diserang berpuluh-puluh babi hutan. Dengan tubuh yang penuh luka-luka, ia berjalan sempoyongan pulang ke rumahnya. Sesampainya di rumah, Pak Raje langsung tergeletak tidak sadarkan diri, karena tidak tahan lagi menahan rasa sakit.
Putri sulung Pak Raje segera menyampaikan nasib malang yang menimpa ayahnya itu kepada si Penyumpit. Mendengar kabar itu, si Penyumpit segera ke rumah Pak Raje untuk menolongnya. Si Penyumpit kemudian mengobati Pak Raje dengan 7 helai daun. Setelah itu ia membakar kemenyan, lalu menyebut satu per satu anggota tubuh Pak Raje, seperti tangan, kaki, kepala, dan lain-lain. Terakhir, ia menyebut nama Pak Raje. Ketika asap kemenyan itu mengepul, di Penyumpit kemudian membaca mantera. Tak lama kemudian, tampak jari tangan Pak Raje bergerak-gerak. Dengan pelan-pelan ia mengusap-usap matanya hingga tiga kali. Akhirnya, Pak Raje sadarkan diri dan sembuh dari penyakitnya.
Setelah itu Pak Raje insaf (sadar) dan mengakui semua kesalahannya kepada si Penyumpit.
“Terima kasih, Penyumpit! Kamu telah menyembuhkan penyakitku. Aku minta maaf karena telah memaksamu menjaga ladangku. Untuk menebus kesalahanku ini, aku akan menikahkanmu dengan putri bungsuku. Setelah itu, aku akan mengangkatmu menjadi Kepala Desa untuk menggantikanku. Bersediakah kamu menerima tawaranku ini, wahai Penyumpit?” tanya Pak Raje.
“Terima kasih, Pak Raje! Dengan senang hati, saya bersedia,” jawab si Penyumpit.
“Baiklah kalau begitu. Berita gembira ini akan segera aku sampaikan kepada seluruh warga kampung ini,” kata Pak Raje.
Satu minggu kemudian, pernikahan si Penyumpit dengan putri bungsu Pak Raje dilangsungkan dengan meriah. Berbagai macam seni pertunjukan ditampilkan dalam acara tersebut. Pak Raje bersama keluarganya beserta seluruh warga desa turut bergembira atas pernikahan itu. Di akhir acara, Pak Raje menyerahkan jabatannya sebagai Kepala Desa kepada menantunya yang baik hati itu. Sepasang insan yang baru menjadi suami-istri itu hidup berbahagia. Warganya pun hidup tentram dan damai di bawah perintah Kepala Desa yang baru, si Penyumpit.
Pada zaman dahulu kala, di sebuah daerah di Pulau Bangka, hiduplah seorang pemuda yang sangat mahir menyumpit binatang buruan. Sumpitannya selalu mengenai sasaran. Oleh karenanya, masyarakat memanggilnya si Penyumpit. Selain mahir menyumpit, ia juga pandai mengobati berbagai macam penyakit. Bakat menyumpit dan mengobati tersebut ia peroleh dari ayahnya.
Pada suatu hari, Pak Raje, Kepala Desa di kampung itu, meminta si Penyumpit untuk mengusir kawanan babi hutan yang telah merusak tanaman padinya yang sedang berbuah, dengan dalih bahwa orang tua si Penyumpit sewaktu masih hidup pernah berhutang kepadanya. Demi membayar hutang orang tuanya, si Penyumpit rela bekerja pada Pak Raje.
Keesokan harinya, berangkatlah si Penyumpit ke ladang Pak Raje untuk melaksanakan tugas. Sesampainya di ladang, ia membakar kemenyan untuk memohon kepada dewa-dewa dan mentemau (dewa babi), agar kawanan babi tersebut tidak merusak tanaman padi Pak Raje. Si Penyumpit kemudian melakukan ronda dengan memantau seluruh sudut ladang hingga larut malam. Sudah tiga malam si Penyumpit meronda, namun belum terlihat tanda-tanda yang mencurigakan. Meskipun situasi aman, si Penyumpit terus berjaga-jaga.
Ketika memasuki malam ketujuh, dari kejauhan tampak oleh si Penyumpit tujuh kawanan babi hutan sedang beriring-iringan hendak memasuki ladang. Satu per satu babi hutan itu melompati pagar batu yang telah dibuat Pak Raje. Mengetahui hal itu, si Penyumpit segera bersembunyi di balik sebuah pohon besar dengan sumpit di tangan yang siap untuk digunakan. Ketika kawanan babi tersebut mulai mengobrak-abrik tanaman padi yang tak jauh dari pohon tempat ia bersembunyi, dengan hati-hati pemuda itu mengangkat sumpitnya, lalu disumpitkannya ke arah babi yang paling dekat dengannya. Sumpitannya tepat mengenahi sisi sebelah kiri perut babi itu. Sesaat kemudian, kawanan babi itu tiba-tiba menghilang bersama dengan anak sumpitnya. Melihat peristiwa aneh itu, si Penyumpit menjadi penasaran.
Keesokan harinya, si Penyumpit menyusuri ceceran darah hingga ke tengah hutan. Sesampainya di tengah hutan, ia menemukan sebuah gua yang di sekelilingnya ditumbuhi semak-belukar. Dengan hati-hati, pemuda itu memasuki gua tersebut. Sesampainya di dalam, ia sangat terkejut, karena melihat seorang putri yang tergeletak di atas pembaringan yang dikelilingi oleh wanita-wanita cantik. Salah seorang dari wanita tersebut adalah ibu sang Putri.
“Hai, anak muda! Engkau siapa?” tanya ibu sang putri.
“Saya si Penyumpit,” jawab si pemuda dengan ramah.
“Ada perlu apa Engkau ke sini?” tanya ibu sang putri dengan nada menyelidik.
“Saya sedang mencari anak sumpit saya yang hilang bersama dengan seekor babi hutan,” jawabnya.
“Benda yang engkau cari itu ada pada putriku,” kata ibu sang putri.
“Bagaimana bisa anak sumpit saya ada pada putri Bibi?” tanya si Penyumpit heran.
“Ketahuilah, anak muda! Babi yang engkau sumpit itu adalah penjelmaan putriku,’ jelas ibu sang putri.
Si Penyumpit sangat kaget mendengar penjelasan ibu sang putri.
“Jadi…, kalian adalah babi jadi-jadian?” tanya si Penyumpit dengan heran.
“Benar, anak muda,” jawab ibu sang putri.
“Kalau begitu, saya minta maaf, karena tidak mengetahui hal itu,” kata si Penyumpit dengan rasa menyesal.
“Sudahlah, anak muda. Lupakan saja semua kejadian itu. Yang penting sekarang adalah bagaimana melepaskan benda ini dari perut putriku,” kata ibu sang putri.
“Baiklah. Saya akan melepaskan anak sumpit itu dan mengobati luka putri bibi. Tolong saya dicarikan beberapa helai daun keremunting[1] dan tumbuklah hingga halus,” pinta si Penyumpit.
Untuk memenuhi permintaan itu, ibu sang putri segera memerintahkan beberapa dayangnya untuk mencari daun keremunting yang banyak terdapat di sekitar mereka. Tak berapa lama, dayang-dayang tersebut sudah kembali dengan membawa daun yang dimaksud. Setelah yang diperlukan disiapkan, si Penyumpit mendekati gadis cantik yang sedang terbaring lemas itu, lalu membuka selimut yang menutupi tubuhnya. Tampaklah sebuah benda runcing yang menancap di perut sang putri, yang tidak lain adalah mata sumpit miliknya. Sambil mulutnya komat-kamit membaca mantra, si Penyumpit mencabut mata sumpit itu dengan pelan-pelan. Setelah mata sumpit terlepas, bekas luka tersebut kemudian ditutupinya dengan daun keremunting yang sudah dihaluskan untuk menahan cucuran darah yang keluar.
Beberapa saat kemudian, luka sang putri sembuh dan tidak meninggalkan bekas luka sedikit pun.
“Sekarang putri Bibi sudah sembuh. Izinkanlah saya mohon diri,” pamit pemuda itu dengan sopan.
“Baiklah, anak muda! Ini ada oleh-oleh sebagai ucapan terima kasih kami, karena engkau telah menyembuhkan putriku. Bungkusan ini berisi kunyit, buah nyatoh,[2] daun simpur,[3] dan buah jering.[4] Tapi, bungkusan ini jangan dibuka sebelum engkau sampai di rumah,” pesan ibu sang putri.
“Baik, Bi!” jawab pemuda itu, lalu pergi meninggalkan gua.
Setibanya di rumah, si Penyumpit segera membuka bungkusan tersebut. Alangkah terkejutnya ia, karena isi bungkusan itu tidak seperti yang disebutkan ibu sang putri. Bungkusan itu ternyata berisi perhiasan berupa emas, berlian, dan intan permata.
“Waw…, berharga sekali benda ini!” tanya si Penyumpit dengan rasa kagum.
“Dengan benda ini, aku akan menjadi kaya-raya,” gumamnya dengan perasaan gembira.
Keesokan harinya, si Penyumpit pergi menjual seluruh benda berharga itu kepada seorang saudagar kaya di kampung itu. Hasil penjualannya ia gunakan untuk membeli ladang yang luas, rumah mewah, dan melunasi seluruh hutang ayahnya kepada Pak Raje.
Sejak itu, tersiarlah kabar bahwa si Penyumpit telah menjadi kaya-raya. Berita itu juga didengar oleh Pak Raje. Ia pun berniat untuk mengikuti jejak si Penyumpit. Suatu hari, Pak Raje meminjam sumpit pemuda itu dan kemudian pergi berburu babi hutan di ladang miliknya. Dalam perburuannya, ia berhasil menyumpit seekor babi. Setelah itu ia mengikuti jejak dan menemukan babi hutan itu, yang ternyata penjelmaan sang putri. Pak Raje berusaha menyembuhkan luka yang diderita oleh sang Putri, namun tidak berhasil karena ia tidak memiliki keahlian mengobati penyakit. Akhirnya, ia diserang berpuluh-puluh babi hutan. Dengan tubuh yang penuh luka-luka, ia berjalan sempoyongan pulang ke rumahnya. Sesampainya di rumah, Pak Raje langsung tergeletak tidak sadarkan diri, karena tidak tahan lagi menahan rasa sakit.
Putri sulung Pak Raje segera menyampaikan nasib malang yang menimpa ayahnya itu kepada si Penyumpit. Mendengar kabar itu, si Penyumpit segera ke rumah Pak Raje untuk menolongnya. Si Penyumpit kemudian mengobati Pak Raje dengan 7 helai daun. Setelah itu ia membakar kemenyan, lalu menyebut satu per satu anggota tubuh Pak Raje, seperti tangan, kaki, kepala, dan lain-lain. Terakhir, ia menyebut nama Pak Raje. Ketika asap kemenyan itu mengepul, di Penyumpit kemudian membaca mantera. Tak lama kemudian, tampak jari tangan Pak Raje bergerak-gerak. Dengan pelan-pelan ia mengusap-usap matanya hingga tiga kali. Akhirnya, Pak Raje sadarkan diri dan sembuh dari penyakitnya.
Setelah itu Pak Raje insaf (sadar) dan mengakui semua kesalahannya kepada si Penyumpit.
“Terima kasih, Penyumpit! Kamu telah menyembuhkan penyakitku. Aku minta maaf karena telah memaksamu menjaga ladangku. Untuk menebus kesalahanku ini, aku akan menikahkanmu dengan putri bungsuku. Setelah itu, aku akan mengangkatmu menjadi Kepala Desa untuk menggantikanku. Bersediakah kamu menerima tawaranku ini, wahai Penyumpit?” tanya Pak Raje.
“Terima kasih, Pak Raje! Dengan senang hati, saya bersedia,” jawab si Penyumpit.
“Baiklah kalau begitu. Berita gembira ini akan segera aku sampaikan kepada seluruh warga kampung ini,” kata Pak Raje.
Satu minggu kemudian, pernikahan si Penyumpit dengan putri bungsu Pak Raje dilangsungkan dengan meriah. Berbagai macam seni pertunjukan ditampilkan dalam acara tersebut. Pak Raje bersama keluarganya beserta seluruh warga desa turut bergembira atas pernikahan itu. Di akhir acara, Pak Raje menyerahkan jabatannya sebagai Kepala Desa kepada menantunya yang baik hati itu. Sepasang insan yang baru menjadi suami-istri itu hidup berbahagia. Warganya pun hidup tentram dan damai di bawah perintah Kepala Desa yang baru, si Penyumpit.
Legenda Asal mula Nama-pulau di Kep Mentawai
Kepulauan Mentawai adalah nama salah satu kabupaten di Provinsi Sumatra Barat. Kabupaten Kepulauan Mentawai terdiri dari 4 kelompok pulau utama yang berpenghuni, yaitu Pulau Siberut, Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara, dan Pulau Pagai Selatan yang mayoritas dihuni oleh suku Mentawai. Di sekitar keempat pulau utama tersebut terdapat beberapa pulau kecil yang telah diberi nama. Pemberian nama untuk pulau-pulau kecil tersebut terkait dengan pengembaraan masyarakat suku Mentawai dari daerah Simatalu, Kecamatan Siberut Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatra Barat untuk mencari daerah baru.
Dahulu, suku Mentawai masih tinggal dalam satu kampung bernama Simatalu yang kini termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Siberut Utara. Mereka senantiasa hidup rukun dan saling menghormati satu sama lain. Suatu ketika, kerukunan masyarakat di kampung itu terpecah akibat ulah seorang warganya yang membuat kekacauan.
Hari itu, tampak seorang lelaki setengah baya berjalan seorang diri menuju ke hutan untuk mencari kayu bakar. Saat sedang asyik mengumpulkan ranting-ranting kayu yang sudah kering, tiba-tiba ia melihat sebatang pohon sipeu (nama buah yang terdapat di Siberut Utara). Rupanya, pohon sipeu itu sedang berbuah lebat dan mulai masak. Maka, ia pun membuat garis lingkaran di tanah mengelilingi batang pohon itu.
“Semoga buah pohon sipeu ini jatuh di dalam lingkaran yang ku buat ini sehingga akan menjadi milikku,” gumam lelaki setengah baya itu dengan penuh harapan.
Usai berkata demikian, lelaki setengah baya itu pun pulang sambil memikul kayu bakar yang telah dikumpulkannya. Selang beberapa saat kemudian, datang pula seorang lelaki lain di tempat itu. Saat melihat garis lingkaran di bawah pohon sipeu itu, ia pun tertarik untuk membuat garis lingkaran yang lebih luas.
“Ah, aku juga mau membuat garis lingkaran di sini. Semoga buah sipeu ini jatuh di dalam lingkaranku,” harapnya seraya meninggalkan tempat itu.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali si lelaki yang pertama kembali mendatangi tempat itu. Mulanya, ia merasa senang karena melihat ada sebuah sipeu yang sudah masak jatuh di garis lingkarannya. Namun, ketika hendak mengambil buah itu, tiba-tiba pandangannya tertuju pada sebuah sipeu lain yang lebih besar dan tergeletak di dalam garis lingkaran yang dibuat oleh orang lain. Pada saat itulah muncul sifat serakahnya.
“Ah, masak aku yang lebih awal membuat garis lingkaran hanya mendapatkan buah sipeu kecil?” gumamnya. “Selagi orang itu belum datang, sebaiknya aku tukar saja buah sipeu itu.”
Lelaki yang serakah itu cepat-cepat mengambil buah sipeu yang besar kemudian menaruh sipeu kecil miliknya ke dalam garis lingkaran orang lain. Setelah itu, ia bergegas kembali ke rumahnya dengan perasaan senang. Sepeninggal lelaki paruh baya itu, lelaki yang kedua pun tiba di tempat itu. Betapa senang hatinya saat melihat sebuah sipeu kecil tergeletak di dalam garis lingkarannya. Namun, ketika hendak mengambil buat itu, ia merasa ada sesuatu yang janggal pada tempat buah itu terjatuh. Jejak buah yang tercetak di tanah itu tidak sama dengan buah sipeu miliknya.
“Hai, kenapa jejak buah sipeu ini jauh lebih besar daripada buahnya?” gumam lelaki itu, “Pasti ada sesuatu yang tidak beres.”
Merasa curiga, lelaki kedua itu pun segera memeriksa garis lingkaran milik orang lain. Dugaannya benar. Setelah mencocokkan jejak yang ada di garis lingkaran itu dengan buah sipeu yang dipegangnya ternyata ukurannya sama persis. Dengan perasaan kecewa, ia pun membawa pulang buah sipeu itu. Setiba di rumah, ia kemudian berpikir bahwa seseorang pasti telah berlaku tidak adil pada dirinya. Ia merasa telah ditipu dan tenggelam dalam perasaan resah. Tak mau berlama-lama terhanyut dalam perasaan tertipu dan resah, maka ia pun berniat untuk menyelidiki siapa yang telah melakukan kecurangan itu.
“Ah, aku harus mencari tahu siapa orang yang telah menipuku itu,” tekadnya.
Keesokan harinya, lelaki yang kedua itu datang lebih pagi ke hutan. Ia kemudian memanjat pohon sipeu itu lalu mengambil dua buahnya dengan ukuran yang berbeda. Buah sipeu yang lebih besar diletakkan di garis lingkaran miliknya, sedangkan buah sipeu yang kecil diletakkan di garis lingkaran orang lain. Setelah itu, ia bersembunyi di balik semak-semak.
Tak berapa lama kemudian, lelaki yang pertama pun datang. Dengan cepat-cepat ia kembali menukar buah sipeu kecil yang jatuh di lingkrannya dengan buah sipeu besar milik orang lain. Lelaki kedua yang menyaksikan kejadian itu pun jadi tahu bahwa orang yang telah menipunya selama ini adalah tetangganya sendiri, orang sekampung di Simatalu. Karena tidak ingin terjadi pusabuat (perpecahan) di antara mereka, ia memilih mencari daerah baru untuk tempat tinggal.
Suatu hari, lelaki yang kedua beserta seluruh sanak keluarganya meninggalkan kampung Simatalu. Mereka berlayar tanpa arah dan tujuan yang jelas. Setelah beberapa hari mengarungi samudera, sampailah mereka di suatu daerah yang bermuara dua. Rombongan ini singgah sejenak di daerah itu dan memeriksa keadaan sekitar. Setelah memeriksa kondisi cuaca dan iklim, ternyata daerah tersebut dianggap tidak bagus untuk dijadikan tempat tinggal. Akhirnya rombongan ini memutuskan untuk meninggalkan daerah itu. Namun, sebelum pergi, mereka menamakan daerah tersebut dengan nama Dua Monga (dua muara).
Rombongan ini akhirnya melanjutkan pelayaran hingga sampai di suatu daerah yang lain. Ketika kapal mereka tiba daerah itu, anjing yang mereka bawa mendahului turun. Maka, daerah itu pun mereka namai Majojok. Setelah mereka memeriksa keadaan alamnya, ternyata daerah itu tidak cocok juga untuk dijadikan tempat tinggal. Akhirnya, mereka pun memutuskan untuk mencari daerah lain.
Setelah beberapa hari berlayar, rombongan pengembara itu sampai pada suatu daerah. Ketika hendak turun dari kapal, gelang salah seorang anggota rombongan terjatuh. Maka daerah itu mereka namakan Bele Raksok, yang artinya gelang jatuh. Usai memeriksa keadaan di sekitarnya, daerah itu juga dinilai masih belum cocok untuk dijadikan tempat tinggal.
Rombongan pun kembali berlayar hingga sampai di sebuah daerah di Siberut Selatan. Pemandangan di sekitar daerah tersebut sungguh mempesona. Pantainya berpasir putih sehingga tampak bagus dan indah. Mereka pun menamai daerah itu Bulau Buggei, yang artinya pasir putih. Namun, setelah diteliti, ternyata daerah itu masih dianggap kurang cocok sehingga mereka pun melanjutkan pelayaran.
Setelah beberapa hari berlayar, rombongan itu kembali berlabuh di sebuah daerah di Siberut Selatan. Oleh karena daerah itu memiliki banyak Muntei, maka mereka menamainya Muntei. Setelah diteliti, daerah itu juga tidak juga cocok dijadikan tempat untuk menetap. Akhirnya, mereka kembali meneruskan pelayaran. Di tengah perjalanan, rombongan itu mulai dilanda rasa putus asa.
“Sudah banyak daerah kita kunjungi, tapi belum juga ada yang cocok untuk dijadikan tempat menetap. Ingin kembali ke Simatalu juga sudah tidak mungkin,” ungkap salah seorang rombongan itu.
“Kalau begitu, sebaiknya kita meneruskan pelayaran,” ujar seorang anggota rombongan yang lain.
Akhirnya, rombongan itu kembali melanjutkan perjalanan hingga sampai di sebuah pulau yang banyak terdapat pohon Paddegat. Mereka pun menamai pulau itu Pulau Mapaddegat. Pulau ini kini termasuk ke dalam wilayah Sipora. Karena tempat itu tidak cocok untuk dijadikan tempat menetap, rombongan ini akhirnya meneruskan pelayaran.
Pelayaran kembali dilanjutkan hingga rombongan tiba di Tuapejat yang masih termasuk ke dalam wilayah Sipora. Setelah diteliti, daerah itu memiliki cuaca dan iklim yang bagus sehingga mereka pun memutuskan untuk menetap di sana. Mereka mulai membangun rumah dan membuka lahan perkebunan untuk ditanami. Daerah itu terus berkembang sehingga lama-kelamaan menjadi kampung yang ramai. Hingga kini, Tuapejat menjadi sebuah nama desa di wilayah Kecamatan Sipora Utara sekaligus sebagai ibukota Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Dahulu, suku Mentawai masih tinggal dalam satu kampung bernama Simatalu yang kini termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Siberut Utara. Mereka senantiasa hidup rukun dan saling menghormati satu sama lain. Suatu ketika, kerukunan masyarakat di kampung itu terpecah akibat ulah seorang warganya yang membuat kekacauan.
Hari itu, tampak seorang lelaki setengah baya berjalan seorang diri menuju ke hutan untuk mencari kayu bakar. Saat sedang asyik mengumpulkan ranting-ranting kayu yang sudah kering, tiba-tiba ia melihat sebatang pohon sipeu (nama buah yang terdapat di Siberut Utara). Rupanya, pohon sipeu itu sedang berbuah lebat dan mulai masak. Maka, ia pun membuat garis lingkaran di tanah mengelilingi batang pohon itu.
“Semoga buah pohon sipeu ini jatuh di dalam lingkaran yang ku buat ini sehingga akan menjadi milikku,” gumam lelaki setengah baya itu dengan penuh harapan.
Usai berkata demikian, lelaki setengah baya itu pun pulang sambil memikul kayu bakar yang telah dikumpulkannya. Selang beberapa saat kemudian, datang pula seorang lelaki lain di tempat itu. Saat melihat garis lingkaran di bawah pohon sipeu itu, ia pun tertarik untuk membuat garis lingkaran yang lebih luas.
“Ah, aku juga mau membuat garis lingkaran di sini. Semoga buah sipeu ini jatuh di dalam lingkaranku,” harapnya seraya meninggalkan tempat itu.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali si lelaki yang pertama kembali mendatangi tempat itu. Mulanya, ia merasa senang karena melihat ada sebuah sipeu yang sudah masak jatuh di garis lingkarannya. Namun, ketika hendak mengambil buah itu, tiba-tiba pandangannya tertuju pada sebuah sipeu lain yang lebih besar dan tergeletak di dalam garis lingkaran yang dibuat oleh orang lain. Pada saat itulah muncul sifat serakahnya.
“Ah, masak aku yang lebih awal membuat garis lingkaran hanya mendapatkan buah sipeu kecil?” gumamnya. “Selagi orang itu belum datang, sebaiknya aku tukar saja buah sipeu itu.”
Lelaki yang serakah itu cepat-cepat mengambil buah sipeu yang besar kemudian menaruh sipeu kecil miliknya ke dalam garis lingkaran orang lain. Setelah itu, ia bergegas kembali ke rumahnya dengan perasaan senang. Sepeninggal lelaki paruh baya itu, lelaki yang kedua pun tiba di tempat itu. Betapa senang hatinya saat melihat sebuah sipeu kecil tergeletak di dalam garis lingkarannya. Namun, ketika hendak mengambil buat itu, ia merasa ada sesuatu yang janggal pada tempat buah itu terjatuh. Jejak buah yang tercetak di tanah itu tidak sama dengan buah sipeu miliknya.
“Hai, kenapa jejak buah sipeu ini jauh lebih besar daripada buahnya?” gumam lelaki itu, “Pasti ada sesuatu yang tidak beres.”
Merasa curiga, lelaki kedua itu pun segera memeriksa garis lingkaran milik orang lain. Dugaannya benar. Setelah mencocokkan jejak yang ada di garis lingkaran itu dengan buah sipeu yang dipegangnya ternyata ukurannya sama persis. Dengan perasaan kecewa, ia pun membawa pulang buah sipeu itu. Setiba di rumah, ia kemudian berpikir bahwa seseorang pasti telah berlaku tidak adil pada dirinya. Ia merasa telah ditipu dan tenggelam dalam perasaan resah. Tak mau berlama-lama terhanyut dalam perasaan tertipu dan resah, maka ia pun berniat untuk menyelidiki siapa yang telah melakukan kecurangan itu.
“Ah, aku harus mencari tahu siapa orang yang telah menipuku itu,” tekadnya.
Keesokan harinya, lelaki yang kedua itu datang lebih pagi ke hutan. Ia kemudian memanjat pohon sipeu itu lalu mengambil dua buahnya dengan ukuran yang berbeda. Buah sipeu yang lebih besar diletakkan di garis lingkaran miliknya, sedangkan buah sipeu yang kecil diletakkan di garis lingkaran orang lain. Setelah itu, ia bersembunyi di balik semak-semak.
Tak berapa lama kemudian, lelaki yang pertama pun datang. Dengan cepat-cepat ia kembali menukar buah sipeu kecil yang jatuh di lingkrannya dengan buah sipeu besar milik orang lain. Lelaki kedua yang menyaksikan kejadian itu pun jadi tahu bahwa orang yang telah menipunya selama ini adalah tetangganya sendiri, orang sekampung di Simatalu. Karena tidak ingin terjadi pusabuat (perpecahan) di antara mereka, ia memilih mencari daerah baru untuk tempat tinggal.
Suatu hari, lelaki yang kedua beserta seluruh sanak keluarganya meninggalkan kampung Simatalu. Mereka berlayar tanpa arah dan tujuan yang jelas. Setelah beberapa hari mengarungi samudera, sampailah mereka di suatu daerah yang bermuara dua. Rombongan ini singgah sejenak di daerah itu dan memeriksa keadaan sekitar. Setelah memeriksa kondisi cuaca dan iklim, ternyata daerah tersebut dianggap tidak bagus untuk dijadikan tempat tinggal. Akhirnya rombongan ini memutuskan untuk meninggalkan daerah itu. Namun, sebelum pergi, mereka menamakan daerah tersebut dengan nama Dua Monga (dua muara).
Rombongan ini akhirnya melanjutkan pelayaran hingga sampai di suatu daerah yang lain. Ketika kapal mereka tiba daerah itu, anjing yang mereka bawa mendahului turun. Maka, daerah itu pun mereka namai Majojok. Setelah mereka memeriksa keadaan alamnya, ternyata daerah itu tidak cocok juga untuk dijadikan tempat tinggal. Akhirnya, mereka pun memutuskan untuk mencari daerah lain.
Setelah beberapa hari berlayar, rombongan pengembara itu sampai pada suatu daerah. Ketika hendak turun dari kapal, gelang salah seorang anggota rombongan terjatuh. Maka daerah itu mereka namakan Bele Raksok, yang artinya gelang jatuh. Usai memeriksa keadaan di sekitarnya, daerah itu juga dinilai masih belum cocok untuk dijadikan tempat tinggal.
Rombongan pun kembali berlayar hingga sampai di sebuah daerah di Siberut Selatan. Pemandangan di sekitar daerah tersebut sungguh mempesona. Pantainya berpasir putih sehingga tampak bagus dan indah. Mereka pun menamai daerah itu Bulau Buggei, yang artinya pasir putih. Namun, setelah diteliti, ternyata daerah itu masih dianggap kurang cocok sehingga mereka pun melanjutkan pelayaran.
Setelah beberapa hari berlayar, rombongan itu kembali berlabuh di sebuah daerah di Siberut Selatan. Oleh karena daerah itu memiliki banyak Muntei, maka mereka menamainya Muntei. Setelah diteliti, daerah itu juga tidak juga cocok dijadikan tempat untuk menetap. Akhirnya, mereka kembali meneruskan pelayaran. Di tengah perjalanan, rombongan itu mulai dilanda rasa putus asa.
“Sudah banyak daerah kita kunjungi, tapi belum juga ada yang cocok untuk dijadikan tempat menetap. Ingin kembali ke Simatalu juga sudah tidak mungkin,” ungkap salah seorang rombongan itu.
“Kalau begitu, sebaiknya kita meneruskan pelayaran,” ujar seorang anggota rombongan yang lain.
Akhirnya, rombongan itu kembali melanjutkan perjalanan hingga sampai di sebuah pulau yang banyak terdapat pohon Paddegat. Mereka pun menamai pulau itu Pulau Mapaddegat. Pulau ini kini termasuk ke dalam wilayah Sipora. Karena tempat itu tidak cocok untuk dijadikan tempat menetap, rombongan ini akhirnya meneruskan pelayaran.
Pelayaran kembali dilanjutkan hingga rombongan tiba di Tuapejat yang masih termasuk ke dalam wilayah Sipora. Setelah diteliti, daerah itu memiliki cuaca dan iklim yang bagus sehingga mereka pun memutuskan untuk menetap di sana. Mereka mulai membangun rumah dan membuka lahan perkebunan untuk ditanami. Daerah itu terus berkembang sehingga lama-kelamaan menjadi kampung yang ramai. Hingga kini, Tuapejat menjadi sebuah nama desa di wilayah Kecamatan Sipora Utara sekaligus sebagai ibukota Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Legenda Beru Dayang Asal mula padi
Legenda, di Tanah Karo, Sumatera Utara, Indonesia, berdiri sebuah negeri yang dipimpin oleh seorang raja yang arif dan bijaksana. Saat itu, penduduk negeri itu belum mengenal tanaman padi. Makanan pokok mereka adalah buah kayu yang banyak terdapat di sekitar mereka. Meski hanya menggantungkan hidup pada buah kayu tersebut mereka dapat hidup makmur dan sejahtera.
Suatu ketika, kemarau panjang melanda negeri tersebut sehingga pepohonan yang baru saja mulai berbuah menjadi layu. Malapetaka itu pun menyebabkan seluruh penduduk negeri menderita kelaparan. Tubuh mereka tampak lemah dan kurus karena kekurangan makanan. Di antara penduduk tersebut tampak seorang anak laki-laki yang sudah yatim bernama si Beru Dayang sedang menangis di pangkuan ibunya. Tubuh bocah itu kurus kering dan wajahnya sangat pucat. Bocah itu kemudian merengek-rengek minta makan kepada ibunya.
“Ibu, aku lapar... Aku mau makan Bu,” rengek anak itu.
Tangisan si Beru Dayang benar-benar menyayat hati ibunya. Namun, sang ibu tak dapat menolongnya. Ia hanya bisa meneteskan air mata sambil merangkul anak semata wayangnya. Semakin lama tubuh si Beru Dayang semakin lemas hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di dalam pangkuan sang ibu. Melihat anaknya tidak bernyawa lagi, sang ibu seketika menangis histeris.
“Anakku, jangan tinggalkan Ibu nak!” tangis sang ibu sambil merangkul erat anaknya.
Para warga yang mengetahui hal itu segera mengubur si Beru Dayang di makam perkampungan. Sejak kepergian anaknya, kesedihan sang ibu semakin bertambah karena hidupnya semakin sepi. Orang-orang yang ia cintai dan sayangi semuanya telah pergi meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya.
“Tidak ada lagi gunanya aku hidup di dunia ini. Semua yang aku miliki telah sirna,” kata ibu itu dengan putus asa.
Ibu si Beru Dayang pun memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Dengan tubuh yang lemah, ia berjalan menuju ke sungai yang berada di ujung kampung. Setiba di tepi sungai, ia berdoa kepada Dewata agar segera merenggut nyawanya.
“Ya, Dewata Yang Maha Agung! Hilangkanlah kesedihan dan nestapa hamba untuk selamanya!” pinta ibu itu.
Usai berucap demikian, ibu si Beru Dayang langsung terjun ke dalam sungai yang dalam. Sungguh ajaib, begitu tubuhnya menyentuh air, tiba-tiba ia menjelma menjadi seekor ikan. Tak seorang pun warga yang menyaksikan peristiwa ajaib itu karena mereka semua hanya memperdulikan diri sendiri yaitu bergelut melawan rasa lapar.
Sudah beberapa bulan telah berlalu, namun musim kemarau belum juga berakhir. Semua tumbuh-tumbuhan telah mengering bagaikan habis terbakar. Korban pun semakin banyak yang berjatuhan. Hampir setiap hari terdengar isak tangis kematian yang memilukan di negeri itu.
Sementara itu, warga yang masih kuat bertahan berupaya mencari makanan untuk sekadar pangganjal perut. Di tengah padang yang kering kerontang tampak dua orang anak kecil sedang mengais-ngais tanah untuk mencari umbi-umbian. Setelah beberapa saat mengais tanah, salah seorang dari mereka menemukan buah berbentuk bulat sebesar buah labu.
“Hai, lihat! Buah apa yang aku temukan ini?” tanya salah seorang dari anak itu.
Anak yang satunya segera mendekati temannya. Ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala setelah mengamati buat itu pertanda tidak tahu karena ia sendiri belum pernah melihat buah seperti itu.
Akhirnya, kedua anak tersebut membawa pulang buah itu untuk ditunjukkan kepada orang tua mereka. Ternyata orang tua mereka juga tidak tahu mengenai buah itu karena baru kali itu melihatnya. Penemuan buah yang asing oleh kedua anak tersebut membuat gempar seluruh penduduk negeri. Sang Raja yang mendapat laporan dari salah seorang warga pun berkenan datang untuk melihatnya. Saat raja dan para penduduk berkumpul melihat buah itu, tiba-tiba terdengar suara dari angkasa.
“Wahai penduduk negeri! Buah yang ada di hadapan kalian adalah penjelmaan seorang anak laki-laki kecil yang bernama Si Beru Dayang. Potong-potonglah buah itu hingga halus dan kemudian tanamlah hingga tumbuh menjadi subur. Jika buah penjelmaan Si Beru Dayang itu kalian pelihara dengan baik, kelak akan berbuah dan menjadi makanan kalian. Anak itu sangat merindukan ibunya. Pertemukanlah ia dengan ibunya yang telah menjelma menjadi ikan di sungai! Niscaya kalian tidak akan kelaparan lagi,” ujar suara ajaib itu.
Tanpa berpikir panjang, sang raja segera memerintahkan rakyatnya untuk melaksanakan semua pesan yang disampaikan oleh suara itu. Para warga pun segera memotong-motong buah itu hingga halus, kemudian mereka tanam dan rawat dengan baik. Bersamaan dengan itu, kemarau pun berakhir. Hujan deras pun mulai turun sehingga potongan-potongan buah itu tumbuh dengan subur menjadi tanaman yang menyerupai rumput.
Dua bulan kemudian, tamanan itu berbunga dan berbuah. Buahnya berbulir atau bergerombol dalam setiap tangkai. Setelah genap tiga bulan, buah tanaman itu pun menguning dan siap untuk dipanen. Sang raja bersama seluruh rakyatnya pun segera memanen buah itu dengan suka ria. Setelah dipanen, buah itu kemudian mereka jemur dan tumbuk untuk memisahkan kulit dengan isinya. Isinya itulah kemudian mereka masak dan cicipi bersama-sama.
“Hmmm... rasanya enak dan gurih,” kata sang raja setelah mencicipi masakan itu.
Sejak itulah, penduduk Tanah Karo membibit dan memelihara tanaman yang kemudian mereka sebut Beru Dayang. Makanan pokok mereka yang semula dari buah kayu pun beralih ke Beru Dayang. Untuk mempertemukan Si Beru Dayang dengan ibunya, masyarakat Tanah Karo menyantap makanan itu bersama dengan ikan yang dipercaya sebagai penjelmaan dari ibu Beru Dayang.
Ternyata, buah tanaman yang sering mereka sebut Beru Dayang itu adalah padi. Meski demikian, masyarakat Tanah Karo tetap menyebut buah padi itu dengan istilah Beru Dayang. Bahkan, mereka memiliki beberapa nama untuk menyebut Beru Dayang tersebut seperti si Beru Dayang Merengget-engget yaitu ketika tanaman padi masih berumur enam hari, dan si Beru Dayang Meleduk yakni ketika tanaman padi sudah berumur satu bulan.
Suatu ketika, kemarau panjang melanda negeri tersebut sehingga pepohonan yang baru saja mulai berbuah menjadi layu. Malapetaka itu pun menyebabkan seluruh penduduk negeri menderita kelaparan. Tubuh mereka tampak lemah dan kurus karena kekurangan makanan. Di antara penduduk tersebut tampak seorang anak laki-laki yang sudah yatim bernama si Beru Dayang sedang menangis di pangkuan ibunya. Tubuh bocah itu kurus kering dan wajahnya sangat pucat. Bocah itu kemudian merengek-rengek minta makan kepada ibunya.
“Ibu, aku lapar... Aku mau makan Bu,” rengek anak itu.
Tangisan si Beru Dayang benar-benar menyayat hati ibunya. Namun, sang ibu tak dapat menolongnya. Ia hanya bisa meneteskan air mata sambil merangkul anak semata wayangnya. Semakin lama tubuh si Beru Dayang semakin lemas hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di dalam pangkuan sang ibu. Melihat anaknya tidak bernyawa lagi, sang ibu seketika menangis histeris.
“Anakku, jangan tinggalkan Ibu nak!” tangis sang ibu sambil merangkul erat anaknya.
Para warga yang mengetahui hal itu segera mengubur si Beru Dayang di makam perkampungan. Sejak kepergian anaknya, kesedihan sang ibu semakin bertambah karena hidupnya semakin sepi. Orang-orang yang ia cintai dan sayangi semuanya telah pergi meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya.
“Tidak ada lagi gunanya aku hidup di dunia ini. Semua yang aku miliki telah sirna,” kata ibu itu dengan putus asa.
Ibu si Beru Dayang pun memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Dengan tubuh yang lemah, ia berjalan menuju ke sungai yang berada di ujung kampung. Setiba di tepi sungai, ia berdoa kepada Dewata agar segera merenggut nyawanya.
“Ya, Dewata Yang Maha Agung! Hilangkanlah kesedihan dan nestapa hamba untuk selamanya!” pinta ibu itu.
Usai berucap demikian, ibu si Beru Dayang langsung terjun ke dalam sungai yang dalam. Sungguh ajaib, begitu tubuhnya menyentuh air, tiba-tiba ia menjelma menjadi seekor ikan. Tak seorang pun warga yang menyaksikan peristiwa ajaib itu karena mereka semua hanya memperdulikan diri sendiri yaitu bergelut melawan rasa lapar.
Sudah beberapa bulan telah berlalu, namun musim kemarau belum juga berakhir. Semua tumbuh-tumbuhan telah mengering bagaikan habis terbakar. Korban pun semakin banyak yang berjatuhan. Hampir setiap hari terdengar isak tangis kematian yang memilukan di negeri itu.
Sementara itu, warga yang masih kuat bertahan berupaya mencari makanan untuk sekadar pangganjal perut. Di tengah padang yang kering kerontang tampak dua orang anak kecil sedang mengais-ngais tanah untuk mencari umbi-umbian. Setelah beberapa saat mengais tanah, salah seorang dari mereka menemukan buah berbentuk bulat sebesar buah labu.
“Hai, lihat! Buah apa yang aku temukan ini?” tanya salah seorang dari anak itu.
Anak yang satunya segera mendekati temannya. Ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala setelah mengamati buat itu pertanda tidak tahu karena ia sendiri belum pernah melihat buah seperti itu.
Akhirnya, kedua anak tersebut membawa pulang buah itu untuk ditunjukkan kepada orang tua mereka. Ternyata orang tua mereka juga tidak tahu mengenai buah itu karena baru kali itu melihatnya. Penemuan buah yang asing oleh kedua anak tersebut membuat gempar seluruh penduduk negeri. Sang Raja yang mendapat laporan dari salah seorang warga pun berkenan datang untuk melihatnya. Saat raja dan para penduduk berkumpul melihat buah itu, tiba-tiba terdengar suara dari angkasa.
“Wahai penduduk negeri! Buah yang ada di hadapan kalian adalah penjelmaan seorang anak laki-laki kecil yang bernama Si Beru Dayang. Potong-potonglah buah itu hingga halus dan kemudian tanamlah hingga tumbuh menjadi subur. Jika buah penjelmaan Si Beru Dayang itu kalian pelihara dengan baik, kelak akan berbuah dan menjadi makanan kalian. Anak itu sangat merindukan ibunya. Pertemukanlah ia dengan ibunya yang telah menjelma menjadi ikan di sungai! Niscaya kalian tidak akan kelaparan lagi,” ujar suara ajaib itu.
Tanpa berpikir panjang, sang raja segera memerintahkan rakyatnya untuk melaksanakan semua pesan yang disampaikan oleh suara itu. Para warga pun segera memotong-motong buah itu hingga halus, kemudian mereka tanam dan rawat dengan baik. Bersamaan dengan itu, kemarau pun berakhir. Hujan deras pun mulai turun sehingga potongan-potongan buah itu tumbuh dengan subur menjadi tanaman yang menyerupai rumput.
Dua bulan kemudian, tamanan itu berbunga dan berbuah. Buahnya berbulir atau bergerombol dalam setiap tangkai. Setelah genap tiga bulan, buah tanaman itu pun menguning dan siap untuk dipanen. Sang raja bersama seluruh rakyatnya pun segera memanen buah itu dengan suka ria. Setelah dipanen, buah itu kemudian mereka jemur dan tumbuk untuk memisahkan kulit dengan isinya. Isinya itulah kemudian mereka masak dan cicipi bersama-sama.
“Hmmm... rasanya enak dan gurih,” kata sang raja setelah mencicipi masakan itu.
Sejak itulah, penduduk Tanah Karo membibit dan memelihara tanaman yang kemudian mereka sebut Beru Dayang. Makanan pokok mereka yang semula dari buah kayu pun beralih ke Beru Dayang. Untuk mempertemukan Si Beru Dayang dengan ibunya, masyarakat Tanah Karo menyantap makanan itu bersama dengan ikan yang dipercaya sebagai penjelmaan dari ibu Beru Dayang.
Ternyata, buah tanaman yang sering mereka sebut Beru Dayang itu adalah padi. Meski demikian, masyarakat Tanah Karo tetap menyebut buah padi itu dengan istilah Beru Dayang. Bahkan, mereka memiliki beberapa nama untuk menyebut Beru Dayang tersebut seperti si Beru Dayang Merengget-engget yaitu ketika tanaman padi masih berumur enam hari, dan si Beru Dayang Meleduk yakni ketika tanaman padi sudah berumur satu bulan.
Kuda berkaki 8
Kuda yang bahasa latinnya (Equus caballus atau Equus ferus caballus)
adalah salah satu dari sepuluh spesies modern mamalia dari genus Equus.
Hewan ini telah lama merupakan salah satu hewan ternak yang penting
secara ekonomis, dan telah memegang peranan penting dalam pengangkutan
orang dan barang selama ribuan tahun.
Kuda dapat ditunggangi oleh manusia dengan menggunakan sadel dan dapat pula digunakan untuk menarik sesuatu, seperti kendaraan beroda, Pada beberapa daerah, kuda juga digunakan sebagai sumber makanan. Walaupun peternakan kuda diperkirakan telah dimulai sejak tahun 4500 SM, bukti-bukti penggunaan kuda untuk keperluan manusia baru ditemukan terjadi sejak 2000 SM.
kuda juga sejak zaman dahulu sudah digunakan juga sebagai tunggangan prajurit untuk bertempur atau untuk menarik kereta perang dan kuda dapat juga digunakan untuk membajak sawah dll. Kuda yang normal umumnya berkaki 4 namun pada gambar diatas ada kuda yang berkaki 8
Kuda dapat ditunggangi oleh manusia dengan menggunakan sadel dan dapat pula digunakan untuk menarik sesuatu, seperti kendaraan beroda, Pada beberapa daerah, kuda juga digunakan sebagai sumber makanan. Walaupun peternakan kuda diperkirakan telah dimulai sejak tahun 4500 SM, bukti-bukti penggunaan kuda untuk keperluan manusia baru ditemukan terjadi sejak 2000 SM.
kuda juga sejak zaman dahulu sudah digunakan juga sebagai tunggangan prajurit untuk bertempur atau untuk menarik kereta perang dan kuda dapat juga digunakan untuk membajak sawah dll. Kuda yang normal umumnya berkaki 4 namun pada gambar diatas ada kuda yang berkaki 8