Dahulu, di Kampung Sawjatami yang terletak di tepi Sungai Tami, Jayapura, Papua, hiduplah seorang laki-laki bernama Towjatuwa. Ia tinggal bersama istrinya di sebuah honai (rumah adat orang Papua). Saat itu, sang istri sedang hamil tua, waktu kelahirannya tinggal menunggu beberapa hari lagi.
Pada hari yang telah diperkirakan, sang istri pun telah memperlihatkan tanda-tanda akan melahirkan. Ia tiba-tiba menggigil tanpa sebab yang jelas, sebagai tanda awal kelahiran, dan mulai mengalami pendarahan. Namun, sudah berjam-jam darah terus keluar, sang bayi di dalam rahimnya tak kunjung keluar. Towjatuwa menjadi panik dan bingung mesti berbuat apa. Maka, pergilah ia ke rumah seorang dukun di kampung itu.
“Nek, tolong istri saya,” pinta Towjatuwa, “Ia akan melahirkan.”
“Baiklah, kau pulanglah dulu, aku segera menyusulmu,” kata nenek sang dukun bayi itu.
Towjatuwa pun bergegas kembali ke rumahnya. Sementara itu, sang dukun menyiapkan alat persalinannya, lalu kemudian berangkat ke rumah Towjatuwa. Setiba di sana, ia mendapati istri Towjatuwa menjerit-jerit kesakitan.
“Nek, tolong aku. Perutku sakit sekali,” rintih istri Towjatuwa.
“Tenang, Cucuku,” kata sang dukun.
Nenek dukun itu pun segera memeriksa kondisi istri Towjatuwa. Towjatuwa terlihat semakin resah, ia sangat takut jika terjadi apa-apa pada istrinya.
“Bagaimana keadaannya, Nek? Kenapa istriku belum juga melahirkan?” tanya Towjatuwa.
“Maaf, Towjatuwa. Sepertinya istrimu mendapat masalah. Bayi di dalam kandungan istrimu terlalu besar sehingga susah untuk keluar,” kata dukun itu.
“Lalu, bagaimana cara menolongnya, Nek?” tanya Towjatuwa.
“Aku membutuhkan rumput air dari Sungai Tami,” jawab nenek dukun.
Towjatuwa segera berlari menuju Sungai Tami. Setiba di sana, ia pun langsung mencari rumput air yang dimaksud oleh nenek dukun. Ia sudah mencari ke sana ke mari, namun rumput air itu belum juga ditemukannya. Ketika ia hendak melanjutkan pencarian, tiba-tiba terdengar suara mengerang dari arah belakangnya.
“Hai, suara apa itu!” serunya dengan kaget.
Begitu Towjatuwa menoleh ke belakang, tampaklah seekor buaya besar di belakangnya. Anehnya, punggung buaya itu ditumbuhi bulu-bulu burung kasuari. Buaya itu tampak sangat menyeramkan. Towjatuwa yang ketakutan hendak melarikan diri sebelum dirinya dimangsa oleh buaya itu. Namun, ketika ia mau meninggalkan tempat itu, tiba-tiba langkahnya terhenti oleh sebuah suara teguran.
“Tunggu dulu, Towjatuwa!” seru suara itu.
Towjatuwa pun menghentikan langkahnya dan kemudian menoleh ke arah buaya itu.
“Apakah kamu yang memanggilku?” tanya Towjatuwa heran.
“Benar, Towjatuwa. Akulah yang memanggilmu,” jawab buaya itu, “Namaku Watuwe, penguasa di Sungai Tami ini.”
Alangkah terkejutnya Towjatuwa mendengar jawaban dari buaya itu. Ia seolah-olah tidak percaya bahwa ternyata buaya itu dapat berbicara seperti manusia. Buaya itu tiba-tiba mengerang kesakitan. Ternyata, ekor buaya itu terjepit batu besar. Towjatuwa yang iba melihat penderitaan buaya itu segera menolong dengan memindahkan batu besar yang menjepit ekor Watuwe.
Setelah itu, Towjatuwa berniat pergi untuk melanjutkan pencarian rumput air. Namun, Watuwe kembali menghentikan langkahnya.
“Sebentar, Towjatuwa! Kalau aku boleh tahu, apa yang sedang kamu cari di tempat ini?” tanya Watuwe.
“Aku sedang mencari rumput air untuk membantu kelahiran istriku. Tapi, aku belum menemukannya,” jawab Towjatuwa.
“Jangan khawatir, Towjatuwa,” ujar Watuwe, “Karena engkau telah menolongku, maka aku pun akan menolongmu. Tunggu aku di rumahmu nanti malam.”
“Terima kasih sebelumnya, Watuwe,” ucap Towjatuwa dengan perasaan senang.
Hari sudah sore. Towjatuwa pun bergegas pulang ke rumahnya. Malam harinya, buaya Watuwe datang ke rumah Towjatuwa. Istri Towjatuwa masih tampak kesakitan di atas pembaringan. Perlahan-lahan, buaya yang sakti itu mendekat untuk mengobatinya. Alhasil, dengan kekuatan ajaibnya, istri Towjatuwa pun melahirkan seorang anak laki-laki dengan selamat. Bayi itu diberi nama Narrowra.
“Terima kasih, Watuwe,” ucap Towjatuwa dan istrinya.
“Sama-sama, Towjatuwa. Aku pun berterima kasih karena engkau telah menolongku,” kata Watuwe seraya berpamitan.
Sebelum meninggalkan rumah itu, Watuwe mengatakan sesuatu kepada Towjatuwa tentang anaknya.
“Ketahuilah, Towjatuwa. Kelak anak kalian akan tumbuh menjadi pemburu yang handal,” ungkap Watuwe, “Namun, aku berpesan kepada kalian, tolong jangan pernah membunuh dan memakanku. Jika suatu saat aku mati, ambillah kantung air seniku, lalu bawalah kantung itu ke Gunung Sankria. Di sana, manusia langit telah menanti kalian dan akan memberi petunjuk mengenai apa yang harus kalian lakukan.”
Towjatuwa dan istrinya amat berterima kasih kepada Watuwe karena telah menolong kelahiran anak mereka.
“Istriku, walaupun Watuwe berwujud binatang, ia sangat baik dan penyayang. Entah apa yang dapat kita perbuat untuk membalas budi baiknya kepada kita,” kata Towjatuwa kepada istrinya.
“Satu-satu cara yang bisa kita lakukan untuk membalas kebaikannya adalah mengingat dan melaksanakan semua pesannya,” ujar sang istri.
“Kamu, benar istriku,” kata Towjatuwa.
Sejak itulah, Towjatuwa dan keturunannya selalu melindungi buaya ajaib itu serta buaya-buaya lainnya yang berada di Sungai Tami.