Archive for April 2013
Cerita tentang Nyai Balau
Nyai Balau adalah seorang perempuan cantik dari daerah Tewah, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Ia hidup bahagia bersama suami dan seorang putranya. Suatu hari, putra semata wayang mereka hilang ketika sedang bermain di sekitar rumah. Hilang ke manakah anak itu? Lalu, berhasilkah mereka menemukannya? Simak kisahnya dalam cerita Nyai Balau Kehilangan Anak berikut ini!
Dulu, di daerah Tewah, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, ada seorang perempuan bernama Nyai Balau. Selain anggun dan rupawan, Nyai Balau memiliki perangai yang baik, sopan dalam berucap dan santun dalam berperilaku. Ia juga penurut dan patuh kepada kedua orangtuanya. Kecantikannya telah mengundang decak kagum para pemuda di kampungnya. Namun, tak seorang pun yang berani melamarnya karena Nyai Balau berasal dari keluarga terpandang sehingga orangtuanya menginginkan Nyai Balau menikah dengan laki-laki dari keluarga terpandang pula.
Mendengar kabar kecantikan Nyai Balau, seorang pemuda yang berasal dari keluarga terpandang bernama Kenyapi datang melamarnya. Selain tampan, pemuda itu pun bijaksana. Maka, keluarga Nyai Balau pun langsung menerima lamaran itu. Pernikahan antara Nyai Balau dan Kenyapi dilangsungkan dengan meriah. Setelah menikah, Nyai Balau bermaksud untuk hidup mandiri bersama suaminya. Maka, ia ditemani sang Suami menyampaikan niat tersebut kepada kedua orang tuanya.
“Ayah, Ibu. Perkenankanlah Ananda dan Bang Kenyapi hidup mandiri,” pinta Nyai Balau.
“Baiklah. Jika memang itu yang kalian inginkan, Ayah akan membuatkan rumah untuk tempat tinggal kalian,” ujar Ayah Nyai Balau.
Setelah rumah itu selesai dibangun, Nyai Balau dan suaminya pun segera menempatinya. Keduanya hidup dengan penuh kebahagiaan., saling menyayangi satu sama lain. Kebahagiaan mereka semakin bertambah saat Kenyapi diangkat menjadi tumenggung dengan gelar Tumenggung Kenyapi. Namun sayang, sudah bertahun-tahun mereka menikah, tapi belum juga dikaruniai anak. Mereka tidak pernah berputus asa untuk selalu berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar dikaruniai anak. Ketika usia pernikahan mereka memasuki tahun ketujuh, Nyai Balau pun melahirkan seorang anak laki-laki yang tampan.
“Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa atas semua kebahagiaan ini,” ucap Nyai Balau dengan penuh rasa syukur.
Kenyapi pun tak kuasa menahan rasa haru atas kebahagiaan yang dirasakannya.
“Sungguh kebahagiaan yang luar biasa, Dinda,” ucapnya, “Sebagai rasa syukur, nikmat Tuhan ini harus kita rawat dan jaga dengan sebaik-baiknya.”
“Benar, Kanda. Dinda ingin anak kita tumbuh menjadi anak yang berbakti dan berguna bagi sesama,” kata Nyai Balau.
Tumenggung Kenyapi menginginkan anaknya berkembang dengan sewajarnya, ia ingin anaknya pandai bergaul dengan sesama maupun dengan lingkungan sekitar. Untuk itu, mereka pun memberi kebebasan kepada anak itu untuk bermain di luar rumah maupun dengan anak-anak lain di lingkungannya.
Suatu sore, anak itu belum juga pulang dari bermain. Nyai Balau pun mulai gelisah.
“Kanda, kenapa anak kita belum juga pulang?” tanya Nyai Balau kepada suaminya, “Padahal, biasanya dia sudah kembali ketika hari sudah sore.”
“Ah, barangkali dia masih asyik bermain bersama teman-temannya,” jawab Tumenggung Kenyapi.
“Tidak biasanya dia pulang terlambat seperti ini,” sanggah Nyai Balau.
Hingga hari sudah gelap, anak itu belum juga pulang. Nyai Balau pun semakin cemas.
“Kanda, ayo kita cari dia,” ajak Nyai Balau.
Akhirnya, Nyai Balau bersama suaminya segera mencari anak sematawayang mereka ke seluruh kampung. Namun, hingga larut malam, anak itu tidak juga mereka temukan. Nyai Balau pun menangis tersedu-sedu memikirkan nasib putranya.
“Kanda, hilang ke mana anak kita? Kita sudah mencarinya ke mana-mana, tapi tidak menemukannya juga,” keluh Nyai Balau.
“Entahlah, Dinda. Kanda pun tidak tahu keberadaannya,” jawab suaminya “Malam sudah larut, sebaiknya Dinda beristirahat dulu. Pencarian kita lanjutkan besok saja.”
Keesokan hari, Nyai Balau bersama sang Suami dengan dibantu oleh seluruh warga melanjutkan pencarian, namun anak itu belum juga berhasil ditemukan. Betapa sedihnya hati Nyai Balau karena anaknya benar-benar telah hilang. Namun, ia tidak mau berputus asa. Ia bertekad untuk terus mencari tahu keberadaan putranya.
Suatu hari, Nyai Balau diam-diam meninggalkan rumah menuju ke sebuah hutan yang belum pernah dijamah manusia. Di hutan itu, ia balampah atau bertapa untuk meminta petunjuk kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Setelah tujuh hari tujuh malam bertapa, akhirnya petunjuk itu pun datang melalui seorang nenek. Nenek itu kemudian berkata kepada Nyai Balau.
“Wahai, Cucuku! Janganlah kamu mencari putramu lagi, ia telah tiada,” ungkap nenek itu.
“Apa maksud, Nenek?” tanya Nyai Balau dengan perasaan cemas.
“Ketahuilah, Cucuku! Putramu telah dikayau oleh Antang dari Juking Sopang,” jelas nenek itu.
Mendengar kabar itu, Nyai Balau pun tak kuasa menahan air mata. Hatinya sangat sedih atas nasib yang menimpa putranya. Ia pun berniat untuk menuntut balas atas kematian putranya. Namun, apa daya, dia tidak mempunyai kesaktian untuk menghadapi Antang.
“Jangan khawatir, Cucuku! Aku akan membantu untuk membalaskan dendammu. Aku akan memberimu kesaktian,” ujar nenek itu yang mengetahui niat Nyai Balau.
Nenek itu pun memberikan sebuah selendang sakti kepada Nyai Balau.
“Ambillah selendang sakti ini. Sewaktu-waktu kamu bisa menggunakannya saat menghadapi musuh,” ujar nenek itu seraya menyerahkan selendang itu kepada Nyai Balau.
“Terima kasih, Nek,” ucap Nyai Balau.
Setelah mendapatkan selendang itu, Nyai Balau pun bergegas kembali ke rumahnya. Setiba di rumah, suami dan seluruh keluarganya pun menyambutnya dengan perasaan suka cita.
“Oh, Dindaku! Engkau telah membuat kami semua cemas. Setengah bulan lebih kami terus mencari, tapi tidak menemukan Dinda. Ke mana saja Dinda selama ini?” tanya Tumenggung Kenyapi.
“Maafkan Dinda, Kanda! Dinda memang pergi dari rumah tanpa memberitahukan siapa pun,” jawab Nyai Balau.
Nyai Balau pun kemudian menceritakan perjalanannya ke hutan itu hingga bertemu dengan si nenek sakti. Ia juga menceritakan perihal putranya yang telah meninggal dunia yang dikayau oleh si Antang. Karena itulah, ia pun mengajak suami dan seluruh keluarga serta sejumlah prajuritnya menuju Juking Sopang untuk menuntut balas atas kematian putranya.
Setiba di Juking Sopang, Nyai Balau pun meminta kepada Antang agar mengakui kesalahannya dan meminta maaf.
“Hai, Antang! Benarkah kamu yang telah mengayau putraku? Jika memang benar, mengakulah dan meminta maaflah kepada kami!” seru Nyai Balau.
“Hai, wanita cantik! Kamu jangan sembarang menuduh seperti itu! Apa buktinya atas tuduhanmu itu?” sangkal Antang.
“Kamu tidak usah menyangkal! Kamulah pelakunya!” ujar Nyai Balau.
Antang yang angkuh itu tetap tidak mau mengakui kesalahannya. Bahkan, ia malah menyerang Nyai Balau. Di luar dugaann, ternyata wanita yang ia hadapi bukanlah orang sembarangan. Serangannya dapat dihindari dengan mudah oleh Nyai Balau. Antang yang mulai kesal akhirnya menyerang Nyai Balau dengan membabi buta. Namun, begitu ia lengah, Nyai Balau yang sakti itu langsung melemparkan selendangnya ke arah dada Antang. Tak ayal, pemuda yang sombong itu pun jatuh tersungkur ke tanah.
Setelah berhasil menjatuhkan Antang, Nyai Balau kemudian mengajak keluarga pemuda itu untuk berdamai. Keluarga Antang pun menerima ajakan tersebut. Menurut adat suku Dayak, Antang harus membayar ganti rugi atas kesalahannya. Namun, kesombongan Antang tidak habis. Ia menolak untuk membayar denda tersebut. Dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki, ia berusaha bangkit dan kembali menyerang Nyai Balau. Akhirnya, pertarungan sengit pun kembali terjadi. Nyai Balau yang sudah muak melihat kesombongan pemuda itu langsung menyerang dengan selendang saktinya. Tak ayal, Antang pun tewas di tangan Nyai Balau.
Nyai Balau bersama suami dan rombongannya pun pulang dengan perasaan lega. Sejak itulah, Nyai Balau semakin terkenal sebagai orang yang sakti. Tewah pun menjadi negeri yang aman dan damai. Tak seorang pun yang berani mengusik kedamaian itu karena takut pada kesaktian Nyai Balau. Atas permintaan seluruh rakyat Tewah, Nyai Balau pun dinobatkan menjadi pemimpin. Perempuan sakti itu memerintah dengan penuh bijaksana sehingga Tewah bertambah makmur.
Di Negeri Joking Sepong, keluarga Antang ternyata menyimpan dendam kepada Nyai Balau. Setelah diam-diam menyusun kekuatan, mereka pun bergerak menuju Tewah untuk melakukan penyerangan. Agar kedatangannya tidak diketahui oleh pasukan Nyai Balau, mereka sengaja melewati jalan darat dengan menerobos hutan dan perbukitan yang belum pernah dilewati manusia.
Setiba di Bukit Ngalangkang yang terletak di belakang perbukitan Tewah, pasukan keluarga Antang berhenti untuk mengatur siasat. Ketika hari mulai gelap, mereka turun dari bukit untuk menyerang Tewah. Anehnya, setiap kali hendak memasuki daerah Tewah, mereka selalu tersesat. Hal itu terjadi hingga berhari-hari lamanya.
“Hai, kenapa kita hanya hanya berputar-putar di sekitar perbukitan ini?” tanya salah seorang anggota keluarga Antang.
Seorang anggota keluarga lainnya menyahut, “Ini pasti dikarenakan oleh kesaktian Nyai Balau itu. Aku yakin, dia telah membentengi Tewah dengan kekuatan gaibnya.”
Akhirnya, pasukan keluarga Antang tersebut memutuskan untuk pulang ke Joking Sopang dengan perasaan kecewa. Sementara itu, Nyai Balau dengan kesaktiannya sudah mengetahui peristiwa yang terjadi di sekitar Bukit Ngalangkang. Namun, ia baru memberitahukan hal itu kepada seluruh warganya setelah pasukan musuh itu telah pergi. Setelah peristiwa itu, tidak pernah lagi ada musuh yang berani mengusik Tewah. Demikian pula warga Tewah, tak seorang pun yang berani berbuat kejahatan karena takut pada Nyai Balau. Hingga akhirnya hayatnya, Nyai Balau memimpin Tewah dengan arif dan bijaksana. Atas jasa-jasanya, ia pun selalu dikenang oleh warganya.
Dulu, di daerah Tewah, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, ada seorang perempuan bernama Nyai Balau. Selain anggun dan rupawan, Nyai Balau memiliki perangai yang baik, sopan dalam berucap dan santun dalam berperilaku. Ia juga penurut dan patuh kepada kedua orangtuanya. Kecantikannya telah mengundang decak kagum para pemuda di kampungnya. Namun, tak seorang pun yang berani melamarnya karena Nyai Balau berasal dari keluarga terpandang sehingga orangtuanya menginginkan Nyai Balau menikah dengan laki-laki dari keluarga terpandang pula.
Mendengar kabar kecantikan Nyai Balau, seorang pemuda yang berasal dari keluarga terpandang bernama Kenyapi datang melamarnya. Selain tampan, pemuda itu pun bijaksana. Maka, keluarga Nyai Balau pun langsung menerima lamaran itu. Pernikahan antara Nyai Balau dan Kenyapi dilangsungkan dengan meriah. Setelah menikah, Nyai Balau bermaksud untuk hidup mandiri bersama suaminya. Maka, ia ditemani sang Suami menyampaikan niat tersebut kepada kedua orang tuanya.
“Ayah, Ibu. Perkenankanlah Ananda dan Bang Kenyapi hidup mandiri,” pinta Nyai Balau.
“Baiklah. Jika memang itu yang kalian inginkan, Ayah akan membuatkan rumah untuk tempat tinggal kalian,” ujar Ayah Nyai Balau.
Setelah rumah itu selesai dibangun, Nyai Balau dan suaminya pun segera menempatinya. Keduanya hidup dengan penuh kebahagiaan., saling menyayangi satu sama lain. Kebahagiaan mereka semakin bertambah saat Kenyapi diangkat menjadi tumenggung dengan gelar Tumenggung Kenyapi. Namun sayang, sudah bertahun-tahun mereka menikah, tapi belum juga dikaruniai anak. Mereka tidak pernah berputus asa untuk selalu berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar dikaruniai anak. Ketika usia pernikahan mereka memasuki tahun ketujuh, Nyai Balau pun melahirkan seorang anak laki-laki yang tampan.
“Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa atas semua kebahagiaan ini,” ucap Nyai Balau dengan penuh rasa syukur.
Kenyapi pun tak kuasa menahan rasa haru atas kebahagiaan yang dirasakannya.
“Sungguh kebahagiaan yang luar biasa, Dinda,” ucapnya, “Sebagai rasa syukur, nikmat Tuhan ini harus kita rawat dan jaga dengan sebaik-baiknya.”
“Benar, Kanda. Dinda ingin anak kita tumbuh menjadi anak yang berbakti dan berguna bagi sesama,” kata Nyai Balau.
Tumenggung Kenyapi menginginkan anaknya berkembang dengan sewajarnya, ia ingin anaknya pandai bergaul dengan sesama maupun dengan lingkungan sekitar. Untuk itu, mereka pun memberi kebebasan kepada anak itu untuk bermain di luar rumah maupun dengan anak-anak lain di lingkungannya.
Suatu sore, anak itu belum juga pulang dari bermain. Nyai Balau pun mulai gelisah.
“Kanda, kenapa anak kita belum juga pulang?” tanya Nyai Balau kepada suaminya, “Padahal, biasanya dia sudah kembali ketika hari sudah sore.”
“Ah, barangkali dia masih asyik bermain bersama teman-temannya,” jawab Tumenggung Kenyapi.
“Tidak biasanya dia pulang terlambat seperti ini,” sanggah Nyai Balau.
Hingga hari sudah gelap, anak itu belum juga pulang. Nyai Balau pun semakin cemas.
“Kanda, ayo kita cari dia,” ajak Nyai Balau.
Akhirnya, Nyai Balau bersama suaminya segera mencari anak sematawayang mereka ke seluruh kampung. Namun, hingga larut malam, anak itu tidak juga mereka temukan. Nyai Balau pun menangis tersedu-sedu memikirkan nasib putranya.
“Kanda, hilang ke mana anak kita? Kita sudah mencarinya ke mana-mana, tapi tidak menemukannya juga,” keluh Nyai Balau.
“Entahlah, Dinda. Kanda pun tidak tahu keberadaannya,” jawab suaminya “Malam sudah larut, sebaiknya Dinda beristirahat dulu. Pencarian kita lanjutkan besok saja.”
Keesokan hari, Nyai Balau bersama sang Suami dengan dibantu oleh seluruh warga melanjutkan pencarian, namun anak itu belum juga berhasil ditemukan. Betapa sedihnya hati Nyai Balau karena anaknya benar-benar telah hilang. Namun, ia tidak mau berputus asa. Ia bertekad untuk terus mencari tahu keberadaan putranya.
Suatu hari, Nyai Balau diam-diam meninggalkan rumah menuju ke sebuah hutan yang belum pernah dijamah manusia. Di hutan itu, ia balampah atau bertapa untuk meminta petunjuk kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Setelah tujuh hari tujuh malam bertapa, akhirnya petunjuk itu pun datang melalui seorang nenek. Nenek itu kemudian berkata kepada Nyai Balau.
“Wahai, Cucuku! Janganlah kamu mencari putramu lagi, ia telah tiada,” ungkap nenek itu.
“Apa maksud, Nenek?” tanya Nyai Balau dengan perasaan cemas.
“Ketahuilah, Cucuku! Putramu telah dikayau oleh Antang dari Juking Sopang,” jelas nenek itu.
Mendengar kabar itu, Nyai Balau pun tak kuasa menahan air mata. Hatinya sangat sedih atas nasib yang menimpa putranya. Ia pun berniat untuk menuntut balas atas kematian putranya. Namun, apa daya, dia tidak mempunyai kesaktian untuk menghadapi Antang.
“Jangan khawatir, Cucuku! Aku akan membantu untuk membalaskan dendammu. Aku akan memberimu kesaktian,” ujar nenek itu yang mengetahui niat Nyai Balau.
Nenek itu pun memberikan sebuah selendang sakti kepada Nyai Balau.
“Ambillah selendang sakti ini. Sewaktu-waktu kamu bisa menggunakannya saat menghadapi musuh,” ujar nenek itu seraya menyerahkan selendang itu kepada Nyai Balau.
“Terima kasih, Nek,” ucap Nyai Balau.
Setelah mendapatkan selendang itu, Nyai Balau pun bergegas kembali ke rumahnya. Setiba di rumah, suami dan seluruh keluarganya pun menyambutnya dengan perasaan suka cita.
“Oh, Dindaku! Engkau telah membuat kami semua cemas. Setengah bulan lebih kami terus mencari, tapi tidak menemukan Dinda. Ke mana saja Dinda selama ini?” tanya Tumenggung Kenyapi.
“Maafkan Dinda, Kanda! Dinda memang pergi dari rumah tanpa memberitahukan siapa pun,” jawab Nyai Balau.
Nyai Balau pun kemudian menceritakan perjalanannya ke hutan itu hingga bertemu dengan si nenek sakti. Ia juga menceritakan perihal putranya yang telah meninggal dunia yang dikayau oleh si Antang. Karena itulah, ia pun mengajak suami dan seluruh keluarga serta sejumlah prajuritnya menuju Juking Sopang untuk menuntut balas atas kematian putranya.
Setiba di Juking Sopang, Nyai Balau pun meminta kepada Antang agar mengakui kesalahannya dan meminta maaf.
“Hai, Antang! Benarkah kamu yang telah mengayau putraku? Jika memang benar, mengakulah dan meminta maaflah kepada kami!” seru Nyai Balau.
“Hai, wanita cantik! Kamu jangan sembarang menuduh seperti itu! Apa buktinya atas tuduhanmu itu?” sangkal Antang.
“Kamu tidak usah menyangkal! Kamulah pelakunya!” ujar Nyai Balau.
Antang yang angkuh itu tetap tidak mau mengakui kesalahannya. Bahkan, ia malah menyerang Nyai Balau. Di luar dugaann, ternyata wanita yang ia hadapi bukanlah orang sembarangan. Serangannya dapat dihindari dengan mudah oleh Nyai Balau. Antang yang mulai kesal akhirnya menyerang Nyai Balau dengan membabi buta. Namun, begitu ia lengah, Nyai Balau yang sakti itu langsung melemparkan selendangnya ke arah dada Antang. Tak ayal, pemuda yang sombong itu pun jatuh tersungkur ke tanah.
Setelah berhasil menjatuhkan Antang, Nyai Balau kemudian mengajak keluarga pemuda itu untuk berdamai. Keluarga Antang pun menerima ajakan tersebut. Menurut adat suku Dayak, Antang harus membayar ganti rugi atas kesalahannya. Namun, kesombongan Antang tidak habis. Ia menolak untuk membayar denda tersebut. Dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki, ia berusaha bangkit dan kembali menyerang Nyai Balau. Akhirnya, pertarungan sengit pun kembali terjadi. Nyai Balau yang sudah muak melihat kesombongan pemuda itu langsung menyerang dengan selendang saktinya. Tak ayal, Antang pun tewas di tangan Nyai Balau.
Nyai Balau bersama suami dan rombongannya pun pulang dengan perasaan lega. Sejak itulah, Nyai Balau semakin terkenal sebagai orang yang sakti. Tewah pun menjadi negeri yang aman dan damai. Tak seorang pun yang berani mengusik kedamaian itu karena takut pada kesaktian Nyai Balau. Atas permintaan seluruh rakyat Tewah, Nyai Balau pun dinobatkan menjadi pemimpin. Perempuan sakti itu memerintah dengan penuh bijaksana sehingga Tewah bertambah makmur.
Di Negeri Joking Sepong, keluarga Antang ternyata menyimpan dendam kepada Nyai Balau. Setelah diam-diam menyusun kekuatan, mereka pun bergerak menuju Tewah untuk melakukan penyerangan. Agar kedatangannya tidak diketahui oleh pasukan Nyai Balau, mereka sengaja melewati jalan darat dengan menerobos hutan dan perbukitan yang belum pernah dilewati manusia.
Setiba di Bukit Ngalangkang yang terletak di belakang perbukitan Tewah, pasukan keluarga Antang berhenti untuk mengatur siasat. Ketika hari mulai gelap, mereka turun dari bukit untuk menyerang Tewah. Anehnya, setiap kali hendak memasuki daerah Tewah, mereka selalu tersesat. Hal itu terjadi hingga berhari-hari lamanya.
“Hai, kenapa kita hanya hanya berputar-putar di sekitar perbukitan ini?” tanya salah seorang anggota keluarga Antang.
Seorang anggota keluarga lainnya menyahut, “Ini pasti dikarenakan oleh kesaktian Nyai Balau itu. Aku yakin, dia telah membentengi Tewah dengan kekuatan gaibnya.”
Akhirnya, pasukan keluarga Antang tersebut memutuskan untuk pulang ke Joking Sopang dengan perasaan kecewa. Sementara itu, Nyai Balau dengan kesaktiannya sudah mengetahui peristiwa yang terjadi di sekitar Bukit Ngalangkang. Namun, ia baru memberitahukan hal itu kepada seluruh warganya setelah pasukan musuh itu telah pergi. Setelah peristiwa itu, tidak pernah lagi ada musuh yang berani mengusik Tewah. Demikian pula warga Tewah, tak seorang pun yang berani berbuat kejahatan karena takut pada Nyai Balau. Hingga akhirnya hayatnya, Nyai Balau memimpin Tewah dengan arif dan bijaksana. Atas jasa-jasanya, ia pun selalu dikenang oleh warganya.
Cerita tentang Palui
Palui adalah seorang remaja laki-laki yang tinggal di sebuah desa di daerah Kalimantan Tengah, Indonesia. Pada suatu hari, ia pergi menangkap kawanan burung yang banyak terdapat di atas pohon beringin di tepi sungai. Tanpa disadarinya, kawanan burung tersebut membawanya terbang tinggi ke udara. Bagaimana kawanan tersebut membawa terbang si Palui? Berhasilkah Palui menyelamatkan diri? Jawabannya dapat Anda temukan dalam cerita Palui berikut ini.
Di sebuah kampung di daerah Kalimantan Tengah, hiduplah sepasang suami-istri bersama empat orang anaknya yang masih berumur belasan tahun. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, sang Suami mencari ikan di sungai. Dalam mencari ikan, Sang Ayah biasanya dibantu oleh anak sulungnya yang bernama Palui.
Pada suatu hari, sang Ayah sakit, sehingga untuk mencari ikan Palui harus berangkat sendiri ke sungai. Sesampainya di sungai, Palui segera memasang jaringnya. Setelah itu, ia duduk di tepi sungai sambil menunggu ikan-ikan terperangkap jaringnya. Setelah beberapa lama menunggu, ia turun ke sungai untuk memeriksa jaringnya. Usai diperiksa, ternyata jaringnya masih tetap kosong. Palui memasang kembali jaringnya dan kemudian duduk di tepi sungai sambil bersiul-siul. Kali ini, ia membiarkan jaringnya terpasang agak lama dengan harapan bisa memperoleh ikan yang banyak. Namun, Palui benar-benar sial hari itu, di jaringnya tak seekor ikan pun yang terperangkap.
“Aneh, kenapa tak seekor ikan pun yang terperangkap? Jangan-jangan jaring ini robek,” pikirnya.
Setelah diteliti secara seksama, tak satu pun lubang yang ia temukan. Oleh karena kesal dan kecewa, akhirnya Palui memutuskan untuk berhenti memancing dan ingin beristirahat sejenak di bawah sebuah pohon beringin yang berada di tepi sungai. Tengah asyik menikmati sejuknya hawa dingin di bawah pohon itu, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah benda kecil berwarna merah menimpa dirinya. Ketika menengadahkan wajahnya ke atas pohon, ia melihat buah beringin yang sangat lebat. Ada yang berwarna kuning dan ada pula yang merah. Saat akan mengalihkan pandangannya, tiba-tiba ranting-ranting pohon itu bergerak-gerak.
“Hai, ada apa di balik ranting itu?” gumamnya.
Setelah diamati dengan seksama, ia melihat beraneka ragam burung seperti baliang, tingang, punai dan murai sedang makan buah beringin. Melihat kawanan burung itu, rasa sedih dan kecewanya sedikit terobati dan berniat untuk menangkapnya. Pohon beringin itu cukup tinggi. Namun hal itu tidak membuat Palui mengurungkan niatnya untuk menangkap burung-burung tersebut. Ketika akan naik ke atas pohon, tiba-tiba ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya.
“Ah, tidak mungkin aku bisa menangkap kawanan burung itu dengan tangan kosong. Tapi, dengan apa aku bisa menangkap mereka?” tanya Palui dalam hati bingung.
Setelah berpikir sejenak, Palui langsung teringat pada jaring ikannya.
“Ahah, kalau begitu, jaring ini akan kugunakan sebagai perangkap untuk menangkap kawanan burung itu,” gumamnya.
Dengan penuh semangat, Palui pun segera memanjat pohon itu sambil membawa jaring ikannya. Melihat kedatangan Palui, kawanan burung yang sedang berpesta makan itu merasa terusik dan langsung beterbangan meninggalkan pohon. Sementara Palui terus saja naik tinggi ke atas pohon dan segera memasang jaringnya mengintari ranting-ranting yang berbuah lebat. Ia mengingkatkan tali jaringnya pada batang bohon beringin dengan kuat. Setelah yakin benar bahwa jaring yang telah dipasangnya sudah kuat, ia pun segera turun dari pohon dan segera menuju ke jukungnya yang sedang ditambatkan di tepi sungai. Palui bermaksud pulang ke rumahnya dan membiarkan jaringnya di atas pohon itu. Ia mengayuh jukungnya sambil bersiul-siul membayangkan burung-burung itu terperangkap di dalam jaringnya.
Setelah dua hari, ia pergi memeriksa jaring perangkapnya. Dengan penuh harapan, ia mengayuh perahunya dengan cepat ke arah tepi sungai tempat pohon beringin itu berada. Sesampainya di bawah pohon beringin, ia pun menambatkan jukungnya pada sebuah batang kayu dan segera melompat ke darat. Dari bawah pohon beringin itu, ia melihat jaring perangkapnya sedang bergerak-gerak. Setelah diamati, ternyata banyak sekali burung yang terperangkap di dalam jaringnya. Tanpa menunggu lama, ia pun langsung naik ke atas pohon. Sesampainya di atas, ia berdecak kagum melihat beraneka burung yang bulunya berwarna-warni, berukuran besar mapun kecil menggelepar-gelepar di dalam jaringnya.
“Waaah, indah sekali warna bulu burung-burung ini,” ucapnya.
Usai mengungkapkan rasa kagumnya, tiba-tiba Palui dihinggapi rasa bingung.
“Mau diapakan burung sebanyak ini?” gumam Palui.
Pada mulanya, Palui berniat untuk membunuh kawanan burung itu. Tapi karena sayang pada burung-burung tersebut, akhirnya ia mengurungkan niatnya. Setelah itu, ia kembali berpikir bahwa seandainya burung-burung itu dibawa pulang, ia akan kesulitan membawanya. Akhirnya, ia memutuskan untuk memeliharanya. Ia kemudian memotong-motong tali panjang yang dibawanya dari rumah, lalu mengikat kaki burung-burung tersebut satu per satu dan mengikatkannya pada pinggangnya. Setelah sekeliling pinggangnya penuh, ia mengikatkannya pada anggota badannya yang lain.
Sementara mengikat burung yang lain, beberapa burung yang sudah terikat mulai mengepak-ngepakkan sayapnya hendak terbang. Ketika sedang mengikat burung yang terakhir, tiba-tiba Palui merasa tubuhnya menjadi ringan. Makin lama makin ringan. Tubuhnya kian mengambang dan terus meninggi. Ia baru sadar bahwa dirinya diterbangkan burung ketika tubuhnya sedang melayang-layang di udara. Kawanan burung tersebut terbang menuju ke arah kampung tempat tinggal Palui.
Betapa senang dan gembiranya hati Palui. Ia tertawa bangga diterbangkan oleh kawanan burung tersebut.
“Kalian baik sekali, burung! Aku tidak perlu lagi mengeluarkan tenaga untuk mengayuh jukungku pulang ke rumah,” kata Palui kepada burung-burung itu.
Semakin lama, Palu bersama kawanan burung itu terbang semakin tinggi. Palui sangat gembira bisa melihat pemandangan baru. Ia bisa melihat danau dan sungai yang terbentang dan berliku-liku.
Tidak jauh dari depannya, Palui melihat kampung tempat tinggalnya.
“Hai, itu kampungku!” seru Palui.
Saat berada di atas perkampungan, Palui kembali berteriak, “Itu rumahku!”
Dalam hati, Palui berkata bahwa pasti ayah, ibu, dan adik-adiknya akan senang melihat dirinya terbang bersama burung-burung itu. Ketika kawanan burung itu terbang mendekat ke atas rumahnya, Palui melihat adik-adiknya sedang bermain-main di halaman rumah.
“Adik! Aku Terbang!” teriak Palui menarik perhatian adik-adiknya.
Melihat kakaknya terbang bersama kawanan burung itu, salah seorang adiknya berteriak, “Kak Palui! Aku ikut terbang!”
“Tidak usah adikku! Kakak sudah mau turun!” teriak Palui.
Palui kemudian menyuruh kawanan burung itu agar menurunkannya di halaman rumah. Namun kawanan burung itu tetap membawanya terbang berputar-putar di atas rumah-rumah penduduk. Palui pun mulai panik dan takut kalau-kalau kawanan burung itu membawanya terbang ke mana-mana.
“Tolong... Tolong...! Tolong aku, Ibu!” teriak Palui ketakutan.
Ibunya yang mendengar terikannya itu segera keluar dari rumah. Alangkah terkejutnya saat ia melihat Palui diterbangkan burung dan berteriak meminta tolong.
“Ibu... Tolong aku!” Palui kembali berteriak.
“Palui! Lepaskan ikatan burung itu satu-satu!” teriak Ibunya.
Palui pun menuruti saran ibunya. Ia segera melepaskan ikatan burung itu dari pinggangnya satu per satu. Setelah melepaskan ikatan beberapa ekor burung, ia pun mulai terbang merendah. Melihat hal itu, hati Pulai mulai lega. Kemudian ia melepaskan lagi ikatan beberapa ekor burung yang terikat pada anggota badannya. Akhirnya, Palui beserta beberapa burung yang masih tersisa jatuh di halaman rumahnya. Meskipun dirinya selamat, tapi jantung Palui masih berdetak kencang karena panik. Adik-adiknya pun segera menghampirinya.
“Hore... Hore... Kak Palui selamat!” teriak adik-adiknya dengan riang gembira.
Tak berapa lama, ibunya pun datang dan mendekatinya.
“Palui... Palui...! Kamu ini aneh-aneh saja kelakuanmu. Untuk apa burung-burung itu kamu ikatkan di tubuhmu. Untungnya kamu tidak dibawa pergi jauh oleh burung-burung itu. Makanya, kalau mau bertindak dipikir dulu akibatnya!” ujar ibunya.
Palui hanya diam sambil menunduk, karena merasa ia memang bersalah dan telah bertindak ceroboh.
“Maafkan Palui, Bu! Palui sangat menyesal dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi,’ kata Palui.
Setelah itu, Palui minta minum karena merasa haus sekali setelah dilanda kepanikan. Usai minum, Palui meminta izin kepada ibunya untuk memanggang beberapa ekor burung hasil tangkapannya yang masih tersisa. Kemudian, ia segera menyembelih dan membersihkan burung-burung itu, sedangkan ketiga adiknya sibuk menyiapkan perapian. Setelah bersih dan perapian siap, Palui dibantu adiknya segera memanggang burung-burung itu. Beberapa saat kemudian, terciumlah aroma sedap yang membangkitkan selera makan.
Burung panggang pun siap untuk disantap. Palui bersama adik-adiknya segera menggelar lampit. Keluarga Palui duduk melingkar. Mereka sudah tidak sabar lagi ingin menikmati lezatnya burung panggang. Sang Ibu pun segera menghidangkan burung pangang itu bersama sambal terong asam dan nasi hangat. Mereka makan dengan lahap sekali. Meski demikian, tidak serta merta lauk lezat itu langsung habis. Burung panggang itu masih banyak yang tersisa, sehingga selama tiga hari Palui bersama keluarganya masih makan lauk yang sama, yakni burung panggang.
Di sebuah kampung di daerah Kalimantan Tengah, hiduplah sepasang suami-istri bersama empat orang anaknya yang masih berumur belasan tahun. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, sang Suami mencari ikan di sungai. Dalam mencari ikan, Sang Ayah biasanya dibantu oleh anak sulungnya yang bernama Palui.
Pada suatu hari, sang Ayah sakit, sehingga untuk mencari ikan Palui harus berangkat sendiri ke sungai. Sesampainya di sungai, Palui segera memasang jaringnya. Setelah itu, ia duduk di tepi sungai sambil menunggu ikan-ikan terperangkap jaringnya. Setelah beberapa lama menunggu, ia turun ke sungai untuk memeriksa jaringnya. Usai diperiksa, ternyata jaringnya masih tetap kosong. Palui memasang kembali jaringnya dan kemudian duduk di tepi sungai sambil bersiul-siul. Kali ini, ia membiarkan jaringnya terpasang agak lama dengan harapan bisa memperoleh ikan yang banyak. Namun, Palui benar-benar sial hari itu, di jaringnya tak seekor ikan pun yang terperangkap.
“Aneh, kenapa tak seekor ikan pun yang terperangkap? Jangan-jangan jaring ini robek,” pikirnya.
Setelah diteliti secara seksama, tak satu pun lubang yang ia temukan. Oleh karena kesal dan kecewa, akhirnya Palui memutuskan untuk berhenti memancing dan ingin beristirahat sejenak di bawah sebuah pohon beringin yang berada di tepi sungai. Tengah asyik menikmati sejuknya hawa dingin di bawah pohon itu, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah benda kecil berwarna merah menimpa dirinya. Ketika menengadahkan wajahnya ke atas pohon, ia melihat buah beringin yang sangat lebat. Ada yang berwarna kuning dan ada pula yang merah. Saat akan mengalihkan pandangannya, tiba-tiba ranting-ranting pohon itu bergerak-gerak.
“Hai, ada apa di balik ranting itu?” gumamnya.
Setelah diamati dengan seksama, ia melihat beraneka ragam burung seperti baliang, tingang, punai dan murai sedang makan buah beringin. Melihat kawanan burung itu, rasa sedih dan kecewanya sedikit terobati dan berniat untuk menangkapnya. Pohon beringin itu cukup tinggi. Namun hal itu tidak membuat Palui mengurungkan niatnya untuk menangkap burung-burung tersebut. Ketika akan naik ke atas pohon, tiba-tiba ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya.
“Ah, tidak mungkin aku bisa menangkap kawanan burung itu dengan tangan kosong. Tapi, dengan apa aku bisa menangkap mereka?” tanya Palui dalam hati bingung.
Setelah berpikir sejenak, Palui langsung teringat pada jaring ikannya.
“Ahah, kalau begitu, jaring ini akan kugunakan sebagai perangkap untuk menangkap kawanan burung itu,” gumamnya.
Dengan penuh semangat, Palui pun segera memanjat pohon itu sambil membawa jaring ikannya. Melihat kedatangan Palui, kawanan burung yang sedang berpesta makan itu merasa terusik dan langsung beterbangan meninggalkan pohon. Sementara Palui terus saja naik tinggi ke atas pohon dan segera memasang jaringnya mengintari ranting-ranting yang berbuah lebat. Ia mengingkatkan tali jaringnya pada batang bohon beringin dengan kuat. Setelah yakin benar bahwa jaring yang telah dipasangnya sudah kuat, ia pun segera turun dari pohon dan segera menuju ke jukungnya yang sedang ditambatkan di tepi sungai. Palui bermaksud pulang ke rumahnya dan membiarkan jaringnya di atas pohon itu. Ia mengayuh jukungnya sambil bersiul-siul membayangkan burung-burung itu terperangkap di dalam jaringnya.
Setelah dua hari, ia pergi memeriksa jaring perangkapnya. Dengan penuh harapan, ia mengayuh perahunya dengan cepat ke arah tepi sungai tempat pohon beringin itu berada. Sesampainya di bawah pohon beringin, ia pun menambatkan jukungnya pada sebuah batang kayu dan segera melompat ke darat. Dari bawah pohon beringin itu, ia melihat jaring perangkapnya sedang bergerak-gerak. Setelah diamati, ternyata banyak sekali burung yang terperangkap di dalam jaringnya. Tanpa menunggu lama, ia pun langsung naik ke atas pohon. Sesampainya di atas, ia berdecak kagum melihat beraneka burung yang bulunya berwarna-warni, berukuran besar mapun kecil menggelepar-gelepar di dalam jaringnya.
“Waaah, indah sekali warna bulu burung-burung ini,” ucapnya.
Usai mengungkapkan rasa kagumnya, tiba-tiba Palui dihinggapi rasa bingung.
“Mau diapakan burung sebanyak ini?” gumam Palui.
Pada mulanya, Palui berniat untuk membunuh kawanan burung itu. Tapi karena sayang pada burung-burung tersebut, akhirnya ia mengurungkan niatnya. Setelah itu, ia kembali berpikir bahwa seandainya burung-burung itu dibawa pulang, ia akan kesulitan membawanya. Akhirnya, ia memutuskan untuk memeliharanya. Ia kemudian memotong-motong tali panjang yang dibawanya dari rumah, lalu mengikat kaki burung-burung tersebut satu per satu dan mengikatkannya pada pinggangnya. Setelah sekeliling pinggangnya penuh, ia mengikatkannya pada anggota badannya yang lain.
Sementara mengikat burung yang lain, beberapa burung yang sudah terikat mulai mengepak-ngepakkan sayapnya hendak terbang. Ketika sedang mengikat burung yang terakhir, tiba-tiba Palui merasa tubuhnya menjadi ringan. Makin lama makin ringan. Tubuhnya kian mengambang dan terus meninggi. Ia baru sadar bahwa dirinya diterbangkan burung ketika tubuhnya sedang melayang-layang di udara. Kawanan burung tersebut terbang menuju ke arah kampung tempat tinggal Palui.
Betapa senang dan gembiranya hati Palui. Ia tertawa bangga diterbangkan oleh kawanan burung tersebut.
“Kalian baik sekali, burung! Aku tidak perlu lagi mengeluarkan tenaga untuk mengayuh jukungku pulang ke rumah,” kata Palui kepada burung-burung itu.
Semakin lama, Palu bersama kawanan burung itu terbang semakin tinggi. Palui sangat gembira bisa melihat pemandangan baru. Ia bisa melihat danau dan sungai yang terbentang dan berliku-liku.
Tidak jauh dari depannya, Palui melihat kampung tempat tinggalnya.
“Hai, itu kampungku!” seru Palui.
Saat berada di atas perkampungan, Palui kembali berteriak, “Itu rumahku!”
Dalam hati, Palui berkata bahwa pasti ayah, ibu, dan adik-adiknya akan senang melihat dirinya terbang bersama burung-burung itu. Ketika kawanan burung itu terbang mendekat ke atas rumahnya, Palui melihat adik-adiknya sedang bermain-main di halaman rumah.
“Adik! Aku Terbang!” teriak Palui menarik perhatian adik-adiknya.
Melihat kakaknya terbang bersama kawanan burung itu, salah seorang adiknya berteriak, “Kak Palui! Aku ikut terbang!”
“Tidak usah adikku! Kakak sudah mau turun!” teriak Palui.
Palui kemudian menyuruh kawanan burung itu agar menurunkannya di halaman rumah. Namun kawanan burung itu tetap membawanya terbang berputar-putar di atas rumah-rumah penduduk. Palui pun mulai panik dan takut kalau-kalau kawanan burung itu membawanya terbang ke mana-mana.
“Tolong... Tolong...! Tolong aku, Ibu!” teriak Palui ketakutan.
Ibunya yang mendengar terikannya itu segera keluar dari rumah. Alangkah terkejutnya saat ia melihat Palui diterbangkan burung dan berteriak meminta tolong.
“Ibu... Tolong aku!” Palui kembali berteriak.
“Palui! Lepaskan ikatan burung itu satu-satu!” teriak Ibunya.
Palui pun menuruti saran ibunya. Ia segera melepaskan ikatan burung itu dari pinggangnya satu per satu. Setelah melepaskan ikatan beberapa ekor burung, ia pun mulai terbang merendah. Melihat hal itu, hati Pulai mulai lega. Kemudian ia melepaskan lagi ikatan beberapa ekor burung yang terikat pada anggota badannya. Akhirnya, Palui beserta beberapa burung yang masih tersisa jatuh di halaman rumahnya. Meskipun dirinya selamat, tapi jantung Palui masih berdetak kencang karena panik. Adik-adiknya pun segera menghampirinya.
“Hore... Hore... Kak Palui selamat!” teriak adik-adiknya dengan riang gembira.
Tak berapa lama, ibunya pun datang dan mendekatinya.
“Palui... Palui...! Kamu ini aneh-aneh saja kelakuanmu. Untuk apa burung-burung itu kamu ikatkan di tubuhmu. Untungnya kamu tidak dibawa pergi jauh oleh burung-burung itu. Makanya, kalau mau bertindak dipikir dulu akibatnya!” ujar ibunya.
Palui hanya diam sambil menunduk, karena merasa ia memang bersalah dan telah bertindak ceroboh.
“Maafkan Palui, Bu! Palui sangat menyesal dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi,’ kata Palui.
Setelah itu, Palui minta minum karena merasa haus sekali setelah dilanda kepanikan. Usai minum, Palui meminta izin kepada ibunya untuk memanggang beberapa ekor burung hasil tangkapannya yang masih tersisa. Kemudian, ia segera menyembelih dan membersihkan burung-burung itu, sedangkan ketiga adiknya sibuk menyiapkan perapian. Setelah bersih dan perapian siap, Palui dibantu adiknya segera memanggang burung-burung itu. Beberapa saat kemudian, terciumlah aroma sedap yang membangkitkan selera makan.
Burung panggang pun siap untuk disantap. Palui bersama adik-adiknya segera menggelar lampit. Keluarga Palui duduk melingkar. Mereka sudah tidak sabar lagi ingin menikmati lezatnya burung panggang. Sang Ibu pun segera menghidangkan burung pangang itu bersama sambal terong asam dan nasi hangat. Mereka makan dengan lahap sekali. Meski demikian, tidak serta merta lauk lezat itu langsung habis. Burung panggang itu masih banyak yang tersisa, sehingga selama tiga hari Palui bersama keluarganya masih makan lauk yang sama, yakni burung panggang.
Cerita tentang Lohong dan Tingang
Dohong adalah seorang pemuda kampung yang sehari-harinya menangkap burung di hutan di daerah Kalimantan Tengah, Indonesia. Suatu hari, sepulang dari menangkap burung, Dohong dikejutkan oleh kehadiran seorang gadis cantik jelita di pondoknya. Siapakah gadis cantik itu? Lalu apa yang akan dilakukan Dohong terhadap gadis cantik itu? Ikuti kisah selengkapnya dalam cerita Dohong dan Tingang berikut ini!
Pada zaman dahulu kala, di daerah Kalimantan Tengah ada sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Kalang. Raja yang memerintah kerajaan tersebut mempunyai seorang putri yang cantik jelita bernama Putri Intan. Selain cantik, Putri Intan adalah seorang gadis yang berperangai baik, santun dalam berbicara, sopan dalam bergaul, dan hormat kepada yang tua. Tak heran, jika seluruh rakyat negeri itu sayang dan hormat kepadanya, kecuali seorang dayang istana. Setiap kali Putri Intan mendapat pujian dari rakyatnya, dayang yang satu ini selalu menunjukkan sikap tidak senang dan iri hati kepada sang Putri.
“Awas kau Putri! Suatu saat nanti aku akan menyingkirkanmu dari istana ini!” ucap dayang itu geram.
“Tapi, bagaimana caranya?” gumamnya bingung.
Setelah sekian lama berpikir, dayang itu pun menemukan sebuah cara untuk menyingkirkan Putri Intan dari istana.
“Hmmm... aku tahu caranya. Aku akan menyebarkan fitnah dengan menceritakan kepada semua orang bahwa Putri Intan selalu memperlakukanku secara semena-semana. Aku juga akan melaporkan kepada Raja bahwa ia selalu memeras rakyat,” pikirnya.
Keesokan harinya, dayang itu melaksanakan tipu muslihatnya. Dalam waktu tidak terlalu lama, fitnah tersebut telah menyebar hingga ke seluruh penjuru negeri. Seluruh rakyat pun terhasut oleh cerita yang dibuat-buat oleh dayang tersebut, sehingga mereka berubah sikap terhadap Putri Intan. Setelah berhasil menghasut seluruh rakyat negeri, dayang itu pun mencoba untuk menghasut sang Raja.
“Ampun, Baginda Raja! Perilaku putri Baginda benar-benar sudah keterlaluan. Ia telah membuat aib bagi keluarga istana. Sebagai seorang putri Raja, tidak sepantasnya ia berperilaku demikian. Untuk menjaga martabat kerajaan ini, sebaiknya Putri Intan dikeluarkan dari istana,” hasut dayang itu.
Tipu muslihat dan hasutan dayang itu berhasil memengaruhi Raja, sehingga ia pun menjadi benci kepada putrinya sendiri. Putri Intan pun mulai bingung melihat sikap orang-orang di sekitarnya, termasuk ayahandanya, yang tiba-tiba membencinya. Suatu hari, Putri Intan bertanya kepada ibundanya.
“Bunda! Apa salah Ananda hingga orang-orang membenci Ananda?”
“Putriku, barangkali ada ucapan atau perilaku Nanda yang kurang baik terhadap orang lain yang tidak Nanda sadari. Mulai sekarang, Nanda harus lebih berhati-hati dalam berucap dan bertindak,” ujar permaisuri.
Putri Intan semakin bingung, karena ia merasa bahwa selama ini tidak pernah menghina apalagi menganiaya orang lain. Oleh karena penasaran ingin mengetahui penyebabnya, ia pun bertanya kepada dayang-dayang dan inang pengasuhnya. Namun, tak satu pun di antara mereka yang mengetahuinya.
Sementara itu, si dayang yang iri hati tersebut terus menghasut sang Raja, sehingga kebencian sang Raja semakin menjadi-jadi. Berkali-kali sang Putri menghadap untuk menanyakan kesalahannya, namun sang Raja tidak menghiraukannya. Ia lebih percaya pada ucapan dayangnya tersebut. Akhirnya, suatu ketika sang Raja pun mengusir putrinya dari istana.
“Dasar, anak tidak tahu diri! Kamu tidak pantas menjadi putri kerajaan ini. Pergi dari istana ini!” usir sang Raja.
Dengan perasaan sedih dan deraian air mata, Putri Intan pergi meninggalkan istana. Ia berjalan terhuyung-huyung sambil berdoa kepada Tuhan.
“Ya Tuhan Yang Maha Adil tunjukkanlah keadilan-Mu kepada hamba! Siapakah yang menyebarkan fitnah ini?” ucap Putri Intan.
Sejak itu, Putri Intan menjadi rakyat biasa. Ia tinggal di pinggir hutan seorang diri karena semua warga telah membencinya. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ia mencari buah-buahan dan berburu binatang di hutan sekitarnya. Ia menjalani hidupnya dengan pasrah dan tidak dendam kepada orang yang telah memfitnahnya. Namun, ia yakin bahwa cepat atau lambat keadilan pasti akan datang.
Suatu hari, Putri Intan sedang berburu binatang di hutan itu. Sudah setengah hari ia berburu namun belum juga mendapatkan binatang buruan. Ia pun memutuskan untuk berburu hingga ke tengah-tengah hutan. Setelah beberapa jauh berjalan, sampailah ia di tengah hutan yang sangat lebat. Di sekelilingnya terdapat banyak pohon besar yang daunnya sangat rindang. Suasana tempat itu agak gelap karena sinar matahari terlindung oleh lebatnya dedaunan. Saat mengamati keadaan di sekitarnya, tiba-tiba Putri Intan dikejutkan oleh suara tawa yang sangat menyeramkan.
“Hi... hi... hi... hi....!!!”
Mendengar suara itu, jantung Putri Intan tiba-tiba berdebar kencang. Ia pun mundur beberapa langkah sambil mengelus-elus dadanya karena ketakutan. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba seorang nenek berdiri tidak jauh di depannya sedang memegang sebuah tongkat. Wajah nenek itu sangat mengerikan dan rambutnya panjang acak-acakan. Rupanya nenek itu baru saja menyelesaikan pertapaannya.
“Hai, gadis cantik! Kamu siapa dan kenapa berada di tengah hutan ini?” tanya nenek sihir itu.
“Aku Putri Intan. Aku diusir oleh ayahandaku dari istana,” jawab Putri Intan.
“Wah... kebetulan sekali aku bertemu dengan gadis yang terbuang. Aku ingin mencoba ilmu yang baru kuperoleh dari pertapaanku. Aku akan menyihirmu menjadi seeokor binatang,” kata nenek itu.
“Ampun, Nek! Jangan sihir aku!” pinta Putri Intan mengiba.
Berkali-kali Putri Intan mengiba, namun nenek sihir itu tidak menghiraukannya. Nenek itu kemudian membaca mantra sambil mengacung-acungkan tongkatnya. Tak pelak lagi, Putri Intan pun terkena sihir nenek itu dan serta merta berubah menjadi seekor burung tingang.
“Sihir di tubuhmu akan hilang jika kamu bertemu dengan pemuda yang akan membawamu kembali ke istana,” kata nenek itu.
Usai menyihir Putri Intan, nenek itu tiba-tiba menghilang entah ke mana, dan burung tingang jelmaan Putri Intan terbang ke sana kemari sambil berkicau merdu. Sejak itu, burung tingang hidup di tengah hutan tersebut. Ia terbang dari satu pohon ke pohon lainnya mencari makanan.
Pada suatu hari, burung tingang itu hinggap di sebuah pohon yang berbuah lebat. Betapa terkejutnya ia ketika akan meninggalkan pohon itu, kakinya terikat oleh perangkap sehingga tidak dapat bergerak. Berkali-kali ia meronta-ronta sambil mengepak-ngepakkan sayapnya hendak melepaskan diri, namun usahanya tetap gagal. Akhirnya, ia pun pasrah sambil berharap ada orang yang akan menolongnya.
Tak berapa lama kemudian, burung tingang mendengar langkah seseorang yang mendekat. Ia pun cepat-cepat berkicau merdu sambil meronta-ronta untuk menarik perhatian orang yang lewat itu. Beberapa saat kemudian, muncullah seorang pemuda tampan bernama Dohong. Ia bermaksud memeriksa perangkap yang dipasangnya kemarin. Rupanya, perangkap yang menjerat kaki burung tingang itu adalah miliknya.
Pemuda itu sangat gembira saat melihat seekor burung tingang meronta-ronta terkena perangkapnya. Tanpa berpikir panjang, ia pun segera naik ke atas pohon untuk mengambil burung tangkapannya. Setelah memasang kembali perangkapnya, pemuda itu mengamati burung itu secara seksama.
“Wah, cantik sekali burung ini! Bulunya indah dan halus, matanya bening berbinar, kicauannya pun sangat merdu. Selama hidupku, baru kali ini aku memperoleh burung secantik ini,” ucap Dohong dengan kagum.
Dengan perasaan senang, Dohong segera membawa pulang burung itu untuk dipelihara. Setibanya di pondok, ia pun memasukkannya ke dalam sebuah sangkar yang terbuat dari rotan. Setiap hari ia merawat burung tingang itu dengan sangat teliti.
Keesokan harinya, Dohong kembali ke tengah hutan untuk memeriksa perangkapnya. Namun, sial nasib Dohong hari itu, karena tak seekor pun burung yang diperolehnya. Ketika hari menjelang siang, ia pun memutuskan untuk kembali ke pondoknya, karena tidak kuat lagi menahan rasa lapar.
Betapa terkejutnya ketika Dohong sampai di pondoknya. Ia melihat makanan lezat telah tersaji dan siap untuk disantap. Makanan tersebut benar-benar membangkitkan seleranya, apalagi perutnya dalam keadaan lapar, sehingga Dohong tidak memikirkan lagi siapa orang yang telah menyiapkan makanan tersebut. Ia pun segera menyantap makanan tersebut dengan lahapnya.
Keesokan harinya, sepulang dari hutan, Dohong kembali mendapati makanan lezat telah tersaji di pondoknya. Kejadian aneh tersebut terulang hingga tiga hari berturut-turut. Dohong pun mulai penasaran ingin mengetahui siapa sebenarnya yang melakukan semua itu.
Pada hari berikutnya, pemuda tampan itu berpura-pura hendak memeriksa perangkapnya. Sebelum hari menjelang siang, ia masuk ke pondoknya dengan langkah hati-hati. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat asap tebal keluar dari sangkar burungnya. Dalam sekejap, tiba-tiba seorang gadis cantik keluar dari asap itu. Ia sangat terpana melihat kencantikan gadis itu, dan kemudian menghampirinya.
“Hai, gadis cantik! Kamu siapa dan dari mana asalmu?” tanya Dohong.
“Ampun, Tuan! Aku adalah Putri Intan dari Kerajaan Kalang. Keberadaanku di sini karena nasib buruk telah menimpaku. Ayahandaku mengusirku dari istana. Setelah itu, seorang nenek menyihirku menjadi burung tingang saat aku berada di tengah hutan,” jelas Putri Intan.
“Maaf, Tuan Putri! Mengapa Tuan Putri diusir dari istana?” tanya Dohong ingin tahu.
Putri Intan pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya sampai ia berada di pondok pemuda itu. Setelah itu, ia meminta kepada Dohong agar mengantarnya kembali ke istana. Jika Dohong memenuhi permintaannya, maka sihir nenek itu akan hilang dengan sendirinya.
“Baiklah, Tuan Putri! Saya bersedia mengantar Tuan Putri ke istana,” kata Dohong.
Keesokan harinya, keduanya pun berangkat ke istana. Selama dalam perjalanan, Putri Intan pun tidak pernah lagi berubah wujud menjadi burung tingang. Pengaruh sihir nenek itu benar-benar telah hilang.
Sesampainya di istana, Dohong pun menceritakan semua yang dialami Putri Intan kepada Raja Kalang dan permaisuri. Akhirnya, Raja Kalang pun mengerti bahwa putrinya difitnah oleh seorang dayang istana. Seketika itu pula, ia mengumpulkan seluruh dayang-dayangnya. Setelah menanyai mereka satu persatu, akhirnya ia menemukan dayang yang telah memfitnah putrinya. Raja Kalang sangat menyesal karena lebih percaya pada kata-kata dayang itu daripada kata-kata putrinya.
“Maafkan Ayah, Putriku! Ayah telah membuatmu menderita, karena mengusirmu dari istana,” ucap Raja Kalang.
Setelah itu, Raja Kalang pun menghukum dayang itu dengan memasukkannya ke dalam penjara. Kemudian ia menikahkan Dohong dengan putrinya dan menobatkannya menjadi pewaris tahta Kerajaan Kalang. Dohong dan Putri Intan pun hidup berbahagia.
Pada zaman dahulu kala, di daerah Kalimantan Tengah ada sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Kalang. Raja yang memerintah kerajaan tersebut mempunyai seorang putri yang cantik jelita bernama Putri Intan. Selain cantik, Putri Intan adalah seorang gadis yang berperangai baik, santun dalam berbicara, sopan dalam bergaul, dan hormat kepada yang tua. Tak heran, jika seluruh rakyat negeri itu sayang dan hormat kepadanya, kecuali seorang dayang istana. Setiap kali Putri Intan mendapat pujian dari rakyatnya, dayang yang satu ini selalu menunjukkan sikap tidak senang dan iri hati kepada sang Putri.
“Awas kau Putri! Suatu saat nanti aku akan menyingkirkanmu dari istana ini!” ucap dayang itu geram.
“Tapi, bagaimana caranya?” gumamnya bingung.
Setelah sekian lama berpikir, dayang itu pun menemukan sebuah cara untuk menyingkirkan Putri Intan dari istana.
“Hmmm... aku tahu caranya. Aku akan menyebarkan fitnah dengan menceritakan kepada semua orang bahwa Putri Intan selalu memperlakukanku secara semena-semana. Aku juga akan melaporkan kepada Raja bahwa ia selalu memeras rakyat,” pikirnya.
Keesokan harinya, dayang itu melaksanakan tipu muslihatnya. Dalam waktu tidak terlalu lama, fitnah tersebut telah menyebar hingga ke seluruh penjuru negeri. Seluruh rakyat pun terhasut oleh cerita yang dibuat-buat oleh dayang tersebut, sehingga mereka berubah sikap terhadap Putri Intan. Setelah berhasil menghasut seluruh rakyat negeri, dayang itu pun mencoba untuk menghasut sang Raja.
“Ampun, Baginda Raja! Perilaku putri Baginda benar-benar sudah keterlaluan. Ia telah membuat aib bagi keluarga istana. Sebagai seorang putri Raja, tidak sepantasnya ia berperilaku demikian. Untuk menjaga martabat kerajaan ini, sebaiknya Putri Intan dikeluarkan dari istana,” hasut dayang itu.
Tipu muslihat dan hasutan dayang itu berhasil memengaruhi Raja, sehingga ia pun menjadi benci kepada putrinya sendiri. Putri Intan pun mulai bingung melihat sikap orang-orang di sekitarnya, termasuk ayahandanya, yang tiba-tiba membencinya. Suatu hari, Putri Intan bertanya kepada ibundanya.
“Bunda! Apa salah Ananda hingga orang-orang membenci Ananda?”
“Putriku, barangkali ada ucapan atau perilaku Nanda yang kurang baik terhadap orang lain yang tidak Nanda sadari. Mulai sekarang, Nanda harus lebih berhati-hati dalam berucap dan bertindak,” ujar permaisuri.
Putri Intan semakin bingung, karena ia merasa bahwa selama ini tidak pernah menghina apalagi menganiaya orang lain. Oleh karena penasaran ingin mengetahui penyebabnya, ia pun bertanya kepada dayang-dayang dan inang pengasuhnya. Namun, tak satu pun di antara mereka yang mengetahuinya.
Sementara itu, si dayang yang iri hati tersebut terus menghasut sang Raja, sehingga kebencian sang Raja semakin menjadi-jadi. Berkali-kali sang Putri menghadap untuk menanyakan kesalahannya, namun sang Raja tidak menghiraukannya. Ia lebih percaya pada ucapan dayangnya tersebut. Akhirnya, suatu ketika sang Raja pun mengusir putrinya dari istana.
“Dasar, anak tidak tahu diri! Kamu tidak pantas menjadi putri kerajaan ini. Pergi dari istana ini!” usir sang Raja.
Dengan perasaan sedih dan deraian air mata, Putri Intan pergi meninggalkan istana. Ia berjalan terhuyung-huyung sambil berdoa kepada Tuhan.
“Ya Tuhan Yang Maha Adil tunjukkanlah keadilan-Mu kepada hamba! Siapakah yang menyebarkan fitnah ini?” ucap Putri Intan.
Sejak itu, Putri Intan menjadi rakyat biasa. Ia tinggal di pinggir hutan seorang diri karena semua warga telah membencinya. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ia mencari buah-buahan dan berburu binatang di hutan sekitarnya. Ia menjalani hidupnya dengan pasrah dan tidak dendam kepada orang yang telah memfitnahnya. Namun, ia yakin bahwa cepat atau lambat keadilan pasti akan datang.
Suatu hari, Putri Intan sedang berburu binatang di hutan itu. Sudah setengah hari ia berburu namun belum juga mendapatkan binatang buruan. Ia pun memutuskan untuk berburu hingga ke tengah-tengah hutan. Setelah beberapa jauh berjalan, sampailah ia di tengah hutan yang sangat lebat. Di sekelilingnya terdapat banyak pohon besar yang daunnya sangat rindang. Suasana tempat itu agak gelap karena sinar matahari terlindung oleh lebatnya dedaunan. Saat mengamati keadaan di sekitarnya, tiba-tiba Putri Intan dikejutkan oleh suara tawa yang sangat menyeramkan.
“Hi... hi... hi... hi....!!!”
Mendengar suara itu, jantung Putri Intan tiba-tiba berdebar kencang. Ia pun mundur beberapa langkah sambil mengelus-elus dadanya karena ketakutan. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba seorang nenek berdiri tidak jauh di depannya sedang memegang sebuah tongkat. Wajah nenek itu sangat mengerikan dan rambutnya panjang acak-acakan. Rupanya nenek itu baru saja menyelesaikan pertapaannya.
“Hai, gadis cantik! Kamu siapa dan kenapa berada di tengah hutan ini?” tanya nenek sihir itu.
“Aku Putri Intan. Aku diusir oleh ayahandaku dari istana,” jawab Putri Intan.
“Wah... kebetulan sekali aku bertemu dengan gadis yang terbuang. Aku ingin mencoba ilmu yang baru kuperoleh dari pertapaanku. Aku akan menyihirmu menjadi seeokor binatang,” kata nenek itu.
“Ampun, Nek! Jangan sihir aku!” pinta Putri Intan mengiba.
Berkali-kali Putri Intan mengiba, namun nenek sihir itu tidak menghiraukannya. Nenek itu kemudian membaca mantra sambil mengacung-acungkan tongkatnya. Tak pelak lagi, Putri Intan pun terkena sihir nenek itu dan serta merta berubah menjadi seekor burung tingang.
“Sihir di tubuhmu akan hilang jika kamu bertemu dengan pemuda yang akan membawamu kembali ke istana,” kata nenek itu.
Usai menyihir Putri Intan, nenek itu tiba-tiba menghilang entah ke mana, dan burung tingang jelmaan Putri Intan terbang ke sana kemari sambil berkicau merdu. Sejak itu, burung tingang hidup di tengah hutan tersebut. Ia terbang dari satu pohon ke pohon lainnya mencari makanan.
Pada suatu hari, burung tingang itu hinggap di sebuah pohon yang berbuah lebat. Betapa terkejutnya ia ketika akan meninggalkan pohon itu, kakinya terikat oleh perangkap sehingga tidak dapat bergerak. Berkali-kali ia meronta-ronta sambil mengepak-ngepakkan sayapnya hendak melepaskan diri, namun usahanya tetap gagal. Akhirnya, ia pun pasrah sambil berharap ada orang yang akan menolongnya.
Tak berapa lama kemudian, burung tingang mendengar langkah seseorang yang mendekat. Ia pun cepat-cepat berkicau merdu sambil meronta-ronta untuk menarik perhatian orang yang lewat itu. Beberapa saat kemudian, muncullah seorang pemuda tampan bernama Dohong. Ia bermaksud memeriksa perangkap yang dipasangnya kemarin. Rupanya, perangkap yang menjerat kaki burung tingang itu adalah miliknya.
Pemuda itu sangat gembira saat melihat seekor burung tingang meronta-ronta terkena perangkapnya. Tanpa berpikir panjang, ia pun segera naik ke atas pohon untuk mengambil burung tangkapannya. Setelah memasang kembali perangkapnya, pemuda itu mengamati burung itu secara seksama.
“Wah, cantik sekali burung ini! Bulunya indah dan halus, matanya bening berbinar, kicauannya pun sangat merdu. Selama hidupku, baru kali ini aku memperoleh burung secantik ini,” ucap Dohong dengan kagum.
Dengan perasaan senang, Dohong segera membawa pulang burung itu untuk dipelihara. Setibanya di pondok, ia pun memasukkannya ke dalam sebuah sangkar yang terbuat dari rotan. Setiap hari ia merawat burung tingang itu dengan sangat teliti.
Keesokan harinya, Dohong kembali ke tengah hutan untuk memeriksa perangkapnya. Namun, sial nasib Dohong hari itu, karena tak seekor pun burung yang diperolehnya. Ketika hari menjelang siang, ia pun memutuskan untuk kembali ke pondoknya, karena tidak kuat lagi menahan rasa lapar.
Betapa terkejutnya ketika Dohong sampai di pondoknya. Ia melihat makanan lezat telah tersaji dan siap untuk disantap. Makanan tersebut benar-benar membangkitkan seleranya, apalagi perutnya dalam keadaan lapar, sehingga Dohong tidak memikirkan lagi siapa orang yang telah menyiapkan makanan tersebut. Ia pun segera menyantap makanan tersebut dengan lahapnya.
Keesokan harinya, sepulang dari hutan, Dohong kembali mendapati makanan lezat telah tersaji di pondoknya. Kejadian aneh tersebut terulang hingga tiga hari berturut-turut. Dohong pun mulai penasaran ingin mengetahui siapa sebenarnya yang melakukan semua itu.
Pada hari berikutnya, pemuda tampan itu berpura-pura hendak memeriksa perangkapnya. Sebelum hari menjelang siang, ia masuk ke pondoknya dengan langkah hati-hati. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat asap tebal keluar dari sangkar burungnya. Dalam sekejap, tiba-tiba seorang gadis cantik keluar dari asap itu. Ia sangat terpana melihat kencantikan gadis itu, dan kemudian menghampirinya.
“Hai, gadis cantik! Kamu siapa dan dari mana asalmu?” tanya Dohong.
“Ampun, Tuan! Aku adalah Putri Intan dari Kerajaan Kalang. Keberadaanku di sini karena nasib buruk telah menimpaku. Ayahandaku mengusirku dari istana. Setelah itu, seorang nenek menyihirku menjadi burung tingang saat aku berada di tengah hutan,” jelas Putri Intan.
“Maaf, Tuan Putri! Mengapa Tuan Putri diusir dari istana?” tanya Dohong ingin tahu.
Putri Intan pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya sampai ia berada di pondok pemuda itu. Setelah itu, ia meminta kepada Dohong agar mengantarnya kembali ke istana. Jika Dohong memenuhi permintaannya, maka sihir nenek itu akan hilang dengan sendirinya.
“Baiklah, Tuan Putri! Saya bersedia mengantar Tuan Putri ke istana,” kata Dohong.
Keesokan harinya, keduanya pun berangkat ke istana. Selama dalam perjalanan, Putri Intan pun tidak pernah lagi berubah wujud menjadi burung tingang. Pengaruh sihir nenek itu benar-benar telah hilang.
Sesampainya di istana, Dohong pun menceritakan semua yang dialami Putri Intan kepada Raja Kalang dan permaisuri. Akhirnya, Raja Kalang pun mengerti bahwa putrinya difitnah oleh seorang dayang istana. Seketika itu pula, ia mengumpulkan seluruh dayang-dayangnya. Setelah menanyai mereka satu persatu, akhirnya ia menemukan dayang yang telah memfitnah putrinya. Raja Kalang sangat menyesal karena lebih percaya pada kata-kata dayang itu daripada kata-kata putrinya.
“Maafkan Ayah, Putriku! Ayah telah membuatmu menderita, karena mengusirmu dari istana,” ucap Raja Kalang.
Setelah itu, Raja Kalang pun menghukum dayang itu dengan memasukkannya ke dalam penjara. Kemudian ia menikahkan Dohong dengan putrinya dan menobatkannya menjadi pewaris tahta Kerajaan Kalang. Dohong dan Putri Intan pun hidup berbahagia.
Cerita tentang asal usul Ikan Patin
Kalimantan Tengah adalah salah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Kalimantan. Ibukotanya adalah Kota Palangka Raya. Kalimantan Tengah memiliki luas 157.983 km² dan berpenduduk sekitar 2.202.599 jiwa, yang terdiri atas 1.147.878 laki-laki dan 1.054.721 perempuan (hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010)
Ikan patin (Pangasius) adalah salah satu jenis ikan konsumsi yang hidup di air tawar. Ikan jenis ini banyak dijumpai di sungai-sungai di daerah Kalimantan Tengah, Indonesia. Bentuk ikan patin cukup unik. Badannya panjang dan berwarna putih dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Selain itu, ikan patin juga mengandung protein hewani yang cukup tinggi dan rasanya pun gurih. Meski demikian, tidak semua masyarakat Kalimantan Tengah mau memakannya. Mengapa demikian? Temukan jawabannya dalam cerita Asal-Usul Ikan Patin berikut ini!
Di sebuah kampung di daerah Kalimantan Tengah, Indonesia, hiduplah sepasang suami-istri yang miskin. Si Suami bernama Labih, sedangkan istrinya bernama Manyang. Walau hidup miskin, mereka senantiasa hidup rukun, damai dan bahagia. Keduanya saling menyayangi. Ke mana saja pergi, mereka selalu berdua dan saling membantu dalam setiap pekerjaan. Ketika Labih ke hutan mencari kayu atau mencari ikan di sungai, istrinya selalu menyertainya. Sudah hampir sepuluh tahun mereka menjalani hidup berdua tanpa kehadiran seorang anak. Mereka setiap hari berdoa kepada Tuhan agar dikaruniai seorang untuk mengisi hari-hari mereka. Namun, sebelum mendapatkan anak, Manyang meninggal dunia karena sakit. Maka tinggallah Labih seorang diri. Hidupnya pun semakin terasa sepi.
Labih adalah seorang suami yang sabar. Ia sadar bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara. Meski demikian, ia tetap tekun dan rajin bekerja. Sejak ditinggal mati istrinya, ia tetap menjalani hidupnya seperti biasanya. Setiap pulang dari hutan mencari kayu bakar, ia selalu meluangkan waktunya mencari ikan di sungai untuk dijadikan lauk. Begitulah kegiatan Labih setiap hari hingga ia menjadi seorang kakek.
Pada suatu hari, Labih pergi memancing ikan di Sungai. Setelah memasang kailnya, ia duduk sambil menunggu ikan memakan umpannya. Hari itu, ia sangat berharap bisa mendapatkan ikan, karena persediaan lauk untuk makan malam sudah habis. Dengan penuh harap, ia bersiul-siul sambil memegang gagang kailnya. Tak berapa lama kemudian, tiba-tiba gagang kailnya bergetar. Ia pun segera menyentakkan dan menarik kailnya ke tepi. Alangkah kecewanya kakek itu saat melihat benda yang menggantung di ujung kailnya.
“Wah! Aku kira ikan besar, ternyata hanya ranting kayu,” gumam Labih seraya melepas ranting kayu itu dari mata kailnya.
Setelah itu, Labih kembali memasang kailnya dengan umpan yang lebih besar dengan harapan bisa mendapatkan ikan yang besar pula. Sudah berjam-jam ia memancing, namun belum seekor ikan pun yang memakan umpannya. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangatnya untuk terus menunggu pancingnya. Ia menyadari bahwa pekerjaan memancing membutuhkan kesabaran.
“Ah, aku tidak boleh putus asa. Aku harus menunggu sampai mendapatkan ikan,” gumam Labih seraya melemparkan kailnya ke tengah sungai.
Ternyata benar, kesabaran Labih membuahkan hasil. Tidak berapa lama setelah ia melemparkan kailnya, tiba-tiba seekor ikan besar melahap umpannya. Ikan itu menarik kailnya ke sana kemari hendak melepaskan diri. Dengan sekuat tenaga, ia pun segera menarik dan mengangkat kailnya ke tepi sungai. Betapa gembiranya hati Labih saat melihat seekor ikan terkail di ujung kailnya. Ia sangat takjub, karena selama bertahun-tahun memancing di sungai itu baru kali ini ia memperoleh ikan sebesar itu. Setelah ia amati secara seksama, ternyata ikan itu adalah ikan patin.
“Waaah, besar sekali ikan patin ini! Dagingnya pasti gurih dan lezat,” ucapnya dengan takjub.
Setelah itu, Labih pun memutuskan untuk berhenti memancing, karena merasa ikan itu sudah cukup untuk dimakan selama beberapa hari. Begitulah setiap kali Labih memancing, ia tidak pernah mengambil ikan di sungai itu lebih dari cukup. Sebab, ia menyadari bahwa besok atau lusa ia akan kembali lagi memancing di sungai itu. Akhirnya, dengan perasaan gembira, Labih membawa pulang ikan patin itu ke rumahnya lalu meletakkannya di dapur. Kemudian ia segera mencari pisau hendak membelah ikan itu. Namun, pisau yang biasa ia gunakan membelah ikan ternyata sudah tumpul. Ia pun segera mengasah pisau itu di atas batu yang berada di samping rumahnya.
Alangkah terkejutnya Labih setelah kembali ke dapurnya. Ia mendapati seorang bayi perempuan mungil dan cantik. Wajah bayi itu tampak kemerah-merahan. Bulu matanya lentik dan rambutnya sangat hitam dan ikal. Melihat bayi itu, Labih menjadi bingung dan gugup ingin menyetuhnya, karena selama hidupnya belum pernah mengurus bayi. Ia berusaha untuk menepis perasaan gugup itu dan meyakinkan dirinya bahwa bayi itu adalah titipan Tuhan yang diamanatkan kepadanya untuk dirawat yang harus ia syukuri. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk merawat bayi itu dan memberinya nama Leniri.
Ketika Labih hendak mengangkat dan menimang-menimangnya untuk dimandikan, Leniri tersenyum. Labih pun membalasnya dengan senyuman kasih sayang. Namun, ketika Labih memandikannya, Leniri tiba-tiba menangis dengan keras.
“Oaaa... oaaa... oaaa...!”
Labih pun segera menghiburnya sambil mengusap-usap keningnya.
“Cup, cup, cup! Leniri anakku, diamlah!”
Leniri pun terdiam dan kembali tersenyum. Usai memandikannya, Labih menghangatkan tubuh Leniri dengan sehelai kain, lalu membuatkannya bubur dan menyuapinya sesuap demi sesuap. Setelah Leniri kenyang, kakek itu membuatkannya ayunan di tengah-tengah rumah. Perlahan-lahan, ia mengayun Leniri sambil bersenandung.
“Leniri sayang, anakku seorang... Cepatlah besar menjadi gadis dambaan...”
Tak berapa lama Leniri pun tertidur pulas dalam ayunan mendengar senandung Labih. Sejak itu, Labih merawat dan membesarkan Leniri dengan penuh kasih sayang dan perhatian yang melimpah. Saat Leniri beranjak remaja, ia mengajarinya berbagai ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Tak lupa pula ia menanamkan budi pekerti kepada putri kesangannya itu. Bahkan, seringkali ia mengajaknya mencari kayu bakar di hutan dan memancing ikan di sungai untuk mengenalkan alam secara lebih dekat kepadanya.
Waktu terus berjalan. Leniri tumbuh menjadi gadis cantik dan berbudi, penurut, dan rajin membantu ayahnya. Ia juga pandai bergaul dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Tak heran, jika semua orang sayang kepadanya. Ia pun menjadi dambaan semua pemuda di kampung itu.
Pada suatu hari, datanglah seorang pemuda tampan yang bernama Simbun hendak melamar Leniri.
“Permisi! Bolehkah saya masuk?” seru Simbun dari depan rumah.
“Silahkan, Anak Muda!” jawab Labih yang sedang duduk bersantai bersama Leniri.
Setelah anak muda itu duduk, Leniri pun segera masuk ke dapur untuk menyiapkan minuman. Sementara itu, Labih segera mempersilahkan pemuda yang belum dikenalnya itu untuk duduk.
“Anak Muda, Engkau ini siapa?” tanya Labih.
“Maaf, apabila kedatangan saya mengganggu ketenangan Tuan. Nama saya Simbun. Saya berasal dari kampung sebelah,” jawab Simbun.
“Ada yang bisa kubantu, Simbun?” Labih kembali bertanya.
“Sebenarnya, maksud kedatang saya kemari ingin melamar putri Tuan yang bernama Leniri itu. Jika diperkenankan, saya berjanji akan membahagiakannnya, Tuan,” ungkap Simbun.
Mengetahui maksud kedatangan Simbun, Labih terdiam sejenak. Ia ragu untuk memberikan jawaban, karena putrinya adalah keturunan ikan patin. Ia tidak ingin asal-usul putrinya yang selama ini dirahasiakannya diketahui oleh orang banyak. Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, akhirnya Labih memberi jawaban.
“Baiklah, Simbun! Aku bersedia menikahkanmu dengan Leniri, tapi kamu harus memenuhi satu syarat,” kata kakek itu.
“Apakah syarat itu, Tuan?” tanya Simbun penasaran.
“Begini, Simbun! Sebenarnya, Leniri itu adalah keturunan ikan patin. Kakek menemukannya saat Kakek sedang memancing di Sungai dua puluh tahun yang lalu. Jika kamu berjanji untuk tidak menyakiti hati Leniri dengan mengungkap asal-usulnya, maka kamu boleh menikahinya,” jawab Labih.
“Baiklah, Kek! Saya berjanji tidak akan menyakiti hati Leniri. Saya akan menyayanginya sepenuh hati,” ucap Simbun.
Akhirnya, Labih pun menerima lamaran Simbun. Tak berapa lama kemudian, Leniri pun keluar dari dapur sambil membawa minum untuk ayah dan tamunya. Usai menyuguhkan minuman, Leniri duduk di samping ayahnya sambil tertunduk malu-malu.
“Leniri, Anakku! Kenalkan anak muda ini, namanya Simbun. Kedatangannya kemari hendak melamarmu,” kata Labih.
”Iya, Ayah! Niri sudah mendengarkan semua pembicaraan ayah dengan Simbun. Niri yakin, semua keputusan Ayah adalah demi kebahagiaan Niri juga,” jawab Leniri.
Labih pun mengerti maksud jawaban dari putrinya bahwa ia pun menerima lamaran itu dan bersedia mengarungi kehidupan rumah tangga bersama Simbun. Akhirnya, Simbun dan Leniri pun menikah. Mereka hidup rukun dan berbahagia. Setahun kemudian, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang tampan dan diberi nama Ari.
Suatu hari, ketika Simbun akan berangkat bekerja, Leniri memintanya untuk menunggui Ari yang sedang tertidur di ayunan. Leniri akan pergi ke sungai untuk mencuci pakaian. Hari itu, cucian Leniri cukup banyak, sehingga memakan waktu lama untuk mencuci dan menjemurnya. Hari menjelang siang, Leniri belum juga pulang dari sungai. Simbun pun mulai kesal menunggu. Akhirnya, ia memutuskan untuk menyusul istrinya. Namun, ketika ia hendak berangkat, tiba-tiba anaknya terbangun dan menangis keras. Ia pun bertambah kesal dan marah. Tanpa disadarinya, tiba-tiba ia berucap:
“Dasar! Ibumu memang keturunan ikan! Jika bertemu dengan air, pasti ia tidak mau berhenti!”
Tanpa sepengetahuannya, Leniri telah kembali dari sungai dan mendengar ucapannya itu. Leniri pun tidak sanggup menahan air matanya, karena sedih. Ia tidak pernah menyangka kalau suaminya akan melanggar janji yang telah diucapkan ketika akan menikahinya.
“Tidak ada lagi gunanya aku tinggal di sini. Suamiku sudah tidak sayang lagi kepadaku,” gumam Leniri.
Usai bergumam, Leniri masuk ke dalam rumah dan mendekati putranya yang sedang menangis. Setelah menyusuinya, ia menghampiri suaminya.
“Bang! Jagalah anak kita baik-baik. Adik harus kembali ke tempat asal Adik di sungai. Abang telah melanggar janji Abang sendiri,” kata Leniri.
Simbun tidak bisa berkata apa-apa. Ia merasa bersalah dan sangat menyesal, karena telah menyakiti hati istrinya. Ketika ia hendak meminta maaf, Leniri sudah keburu pergi. Ia berusaha mengejarnya hingga ke tepi sungai, namun Leniri telah menjadi seekor ikan patin.
“Istriku! Kembalilah...!” teriak Simbun dari tepi sungai.
Namun teriakannya sia-sia. Leniri sudah berenang hingga ke tengah sungai dan menghilang. Sejak itu, Simbun harus merawat dan membesarkan anaknya seorang diri.
Legenda Danau Malawen dari Kalimantan tengah
Kalimantan Tengah adalah salah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Kalimantan. Ibukotanya adalah Kota Palangka Raya. Kalimantan Tengah memiliki luas 157.983 km² dan berpenduduk sekitar 2.202.599 jiwa, yang terdiri atas 1.147.878 laki-laki dan 1.054.721 perempuan (hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010).
Danau Malawen adalah sebuah danau yang terletak di Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah, Indonesia. Menurut cerita yang beredar di kalangan masyarakat setempat, danau yang di tepiannya terdapat beragam jenis anggrek ini dahulu merupakan sebuah aliran sungai yang di dalamnya hidup berbagai jenis ikan. Namun karena terjadi peristiwa yang mengerikan, sungai itu berubah menjadi danau. Peristiwa apakah yang menyebabkan sungai itu berubah menjadi danau? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Mula Danau Malawen berikut ini.
Di tepi sebuah hutan di daerah Kalimantan Tengah, Indonesia, hidup sepasang suami-istri miskin. Meskipun hidup serba pas-pasan, mereka senantiasa saling menyayangi dan mencintai. Sudah sepuluh tahun mereka berumah tangga, namun belum juga dikaruniai seorang anak. Sepasang suami-istri tersebut sangat merindukan kehadiran seorang buah hati belaian jiwa untuk melengkapi keluarga mereka. Untuk itu, hampir setiap malam mereka berdoa memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar impian tersebut dapat menjadi kenyataan.
Pada suatu malam, usai memanjatkan doa, sepasang suami istri pergi beristirahat. Malam itu, sang Istri bermimpi didatangi oleh seorang lelaki tua. “Jika kalian menginginkan seorang keturunan, kalian harus rela pergi ke hutan untuk bertapa,” ujar lelaki tua dalam mimpinya itu.
Baru saja sang Istri akan menanyakan sesuatu, lelaki tua itu keburu hilang dari dalam mimpinya. Keesokan harinya, sang Istri pun menceritakan perihal mimpinya tersebut kepada suaminya.
“Bang! Benarkah yang dikatakan kakek itu?” tanya sang Istri. “Entahlah, Dik! Tapi, barangkali ini merupakan petunjuk untuk kita mendapatkan keturunan,” jawab sang Suami.
‘Lalu, apa yang harus kita lakukan, Bang! Apakah kita harus melaksanakan petunjuk kakek itu?” sang Istri kembali bertanya.
“Iya, Istriku! Kita harus mencoba segala macam usaha. Siapa tahu apa yang dikatakan kakek itu benar,” jawab suaminya.
Keesokan harinya, usai menyiapkan bekal seadanya, sepasang suami-istri itu pun pergi ke sebuah hutan yang letaknya cukup jauh. Setelah setengah hari berjalan, sampailah mereka di sebuah hutan yang sangat lebat dan sunyi. Mereka pun membangun sebuah gubuk kecil untuk tempat bertapa.
Ketika hari mulai gelap, sepasang suami-istri itu pun memulai pertapaan mereka. Keduanya duduk bersila sambil memejamkan mata dan memusatkan konsentrasi kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Sudah berminggu-minggu mereka bertapa, namun belum juga memperoleh tanda-tanda maupun petunjuk. Meskipun harus menahan rasa lapar, haus dan kantuk, mereka tetap melanjutkan pertapaan hingga berbulan-bulan lamanya. Sampai pada hari kesembilan puluh sembilan pun mereka belum mendapatkan petunjuk. Rupanya, Tuhan Yang Mahakuasa sedang menguji kesabaran mereka.
Pada hari keseratus, kedua suami-istri itu benar-benar sudah tidak tahan lagi menahan rasa lapar, haus dan kantuk. Maka pada saat itulah, seorang lelaki tua menghampiri dan berdiri di belakang mereka.
“Hentikanlah pertapaan kalian! Kalian telah lulus ujian. Tunggulah saatnya, kalian akan mendapatkan apa yang kalian inginkan!” ujar kakek itu.
Mendengar seruan itu, sepasang suami-istri itu pun segera menghentikan pertapaan mereka. Alangkah terkejutnya mereka saat membuka mata dan menoleh ke belakang. Mereka sudah tidak melihat lagi kakek yang berseru itu. Akhirnya mereka pun memutuskan pulang ke rumah dengan berharap usaha mereka akan membuahkan hasil sesuai dengan yang diinginkan.
Sesampainya di rumah, suami-istri itu kembali melakukan pekerjaan sehari-hari mereka sambil menanti karunia dari Tuhan. Setelah melalui hari-hari penantian, akhirnya mereka pun mendapatkan sebuah tanda-tanda akan kehadiran si buah hati dalam keluarga mereka. Suatu sore, sang Istri merasa seluruh badannya tidak enak.
“Bang! Kenapa pinggangku terasa pegal-pegal dan perutku mual-mual?” tanya sang Istri mengeluh.
“Wah, itu pertanda baik, Istriku! Itu adalah tanda-tanda Adik hamil,” jawab sang Suami dengan wajah berseri-seri.
“Benarkah itu, Bang?” tanya sang Istri yang tidak mengerti hal itu, karena baru kali ini ia mengalami masa kehamilan.
“Benar, Istriku!” jawab sang Suami.
Sejak saat itu, sang Istri selalu ingin makan buah-buahan yang kecut dan makanan yang pedas-pedas. Melihat keadaan istrinya itu, maka semakin yakinlah sang Suami bahwa istrinya benar-benar sedang hamil.
“Oh, Tuhan terima kasih!” ucap sang Suami. Usai mengucapkan syukur, sang Suami mendekati istrinya dan mengusap-usap perut sang Istri.
“Istriku! Tidak lama lagi kita akan memiliki anak. Jagalah baik-baik bayi yang ada di dalam perutmu ini!” ujar sang Suami.
Waktu terus berjalan. Usia kandungan sang Istri genap sembilan bulan, pada suatu malam sang Istri pun melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Kumbang Banaung. Alangkah senang dan bahagianya sepasang suami-istri itu, karena anak yang selama ini mereka idam-idamkan telah mereka dapatkan. Mereka pun merawat dan membesarkan Kumbang Banaung dengan penuh kasih sayang.
Ketika Kumbang Banaung berusia remaja dan sudah mengenal baik dan buruk, mereka memberinya petuah atau nasehat agar ia menjadi anak yang berbakti kepada orangtua dan selalu berlaku santun serta bertutur sopan ke mana pun pergi.
wahai anak dengarlah petuah,
kini dirimu lah besar panjang
umpama burung lah dapat terbang
umpama kayu sudah berbatang
umpama ulat lah mengenal daun
umpama serai sudah berumpun
banyak amat belum kau dapat
banyak penganyar belum kau dengar
banyak petunjuk belum kau sauk
banyak kaji belum terisi
maka sebelum engkau melangkah
terimalah petuah dengan amanah
supaya tidak tersalah langkah
supaya tidak terlanjur lidah
pakai olehmu adat merantau
di mana bumi dipijak,
di sana langit dijunjung
di mana air disauk
di sana ranting dipatah
di mana badan berlabuh,
di sana adat dipatuh
apalah adat orang menumpang:
berkata jangan sebarang-barang
berbuat jangan main belakang
adat istiadat lembaga dituang
dalam bergaul tenggang menenggang
Selain itu, sang Ayah juga mengajari Kumbang Banaung cara berburu. Setiap hari ia mengajaknya ke hutan untuk berburu binatang dengan menggunakan sumpit.
Seiring berjalannya waktu, Kumbang Banaung pun tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan rupawan. Namun, harapan kedua orangtuanya agar ia menjadi anak yang berbakti tidak terwujud. Perilaku Kumbang Banaung semakin hari semakin buruk. Semua petuah dan nasehat sang Ayah tidak pernah ia hiraukan.
Pada suatu hari, sang Ayah sedang sakit keras. Kumbang Banaung memaksa ayahnya untuk menemaninya pergi berburu ke hutan.
“Maafkan Ayah, Anakku! Ayah tidak bisa menemanimu. Bukankah kamu tahu sendiri kalau Ayah sekarang sedang sakit,” kata sang Ayah dengan suara pelan.
“Benar, Anakku! Kalau pergi berburu, berangkatlah sendiri. Biar Ibu menyiapkan segala keperluanmu,” sahut sang Ibu.
“O iya, Anakku! Ini ada senjata pusaka untukmu. Namanya piring malawan. Piring pusaka ini dapat digunakan untuk keperluan apa saja,” kata sang Ayah sambil memberikan sebuah piring kecil kepada Kumbang Banaung.
Kumbang Banaung pun mengambil piring pusaka itu dan menyelipkan di pinggangnya. Setelah menyiapkan segala keperluannya, berangkatlah ia ke hutan seorang diri. Sesampainya di hutan, ia pun memulai perburuannya. Namun, hingga hari menjelang siang, ia belum juga mendapatkan seekor pun binatang buruan. Ia tidak ingin pulang ke rumah tanpa membawa hasil. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk melanjutkan perburuannya dengan menyusuri hutan tersebut. Tanpa disadarinya, ia telah berjalan jauh masuk ke dalam hutan dan tersesat di dalamnya.
Ketika mencari jalan keluar dari hutan, ternyata Kumbang Banaung sampai di sebuah desa bernama Sanggu. Desa itu tampak sangat ramai dan menarik perhatian Kumbang Banaung. Rupanya, di desa tersebut sedang diadakan upacara adat yang diselenggarakan oleh Kepala Desa untuk mengantarkan masa pingitan anak gadisnya yang bernama Intan menuju masa dewasa. Upacara adat itu diramaikan oleh pagelaran tari. Saat ia sedang asyik menyaksikan para gadis menari, tiba-tiba matanya tertuju kepada wajah seorang gadis yang duduk di atas kursi di atas panggung. Gadis itu tidak lain adalah Intan, putri Kepala Desa Sanggu. Mata Kumbang Banaung tidak berkedip sedikit pun melihat kecantikan wajah si Intan.
“Wow, cantik sekali gadis itu,” kata Kumbang Banaung dalam hati penuh takjub. Tidak terasa, hari sudah hampir sore, Kumbang Banaung pulang. Ia berusaha mengingat-ingat jalan yang telah dilaluinya menuju ke rumahnya. Setelah berjalan menyusuri jalan di hutan itu, sampailah ia di rumah.
“Kamu dari mana, Anakku? Kenapa baru pulang?” tanya Ibunya yang cemas menunggu kedatangannya.
Kumbang Banaung pun bercerita bahwa ia sedang tersesat di tengah hutan. Namun, ia tidak menceritakan kepada orangtuanya perihal kedatangannya ke Desa Sanggu dan bertemu dengan gadis-gadis cantik. Pada malam harinya, Kumbang Banaung tidak bisa memejamkan matanya, karena teringat terus pada wajah Intan.
Keesokan harinya, Kumbang Banaung berpamitan kepada kedua orangtuanya ingin berburu ke hutan. Namun, secara diam-diam, ia kembali lagi ke Desa Sanggu ingin menemui si Intan. Setelah berkenalan dan mengetahui bahwa Intan adalah gadis cantik yang ramah dan sopan, maka ia pun jatuh hati kepadanya. Begitu pula si Intan, ia pun tertarik dan suka kepada Kumbang Banaung. Namun, keduanya masih menyimpan perasaan itu di dalam hati masing-masing.
Sejak saat itu, Kumbang Banaung sering pergi ke Desa Sanggu untuk menemui Intan. Namun tanpa disadari, gerak-geriknya diawasi dan menjadi pembicaraan penduduk setempat. Menurut mereka, perilaku Kumbang Banaung dan Intan telah melanggar adat di desa itu. Sebagai anak Kepala Desa, Intan seharusnya memberi contoh yang baik kepada gadis-gadis sebayanya. Oleh karena tidak ingin putrinya menjadi bahan pembicaraan masyarakat, ayah Intan pun menjodohkan Intan dengan seorang juragan rotan di desa itu.
Pada suatu hari, Kumbang Banaung mengungkapkan perasaannya kepada Intan. “Intan, maukah Engkau menjadi kekasih, Abang?” tanya Kumbang Banaung. Mendengar pertanyaan itu, Intan terdiam. Hatinya sedang diselimuti oleh perasaan bimbang. Di satu sisi, ia suka kepada Kumbang Banaung, tapi di sisi lain ia telah dijodohkan oleh ayahnya dengan juragan rotan. Ia sebenarnya tidak menerima perjodohan itu, karena juragan rotan itu telah memiliki tiga orang anak. Namun, karena watak ayahnya sangat keras, maka ia pun terpaksa menerimanya.
“Ma... maafkan Aku, Bang!” jawab Intan gugup. “Ada apa Intan? Katakanlah!” desak Kumbang Banaung. Setelah beberapa kali didesak oleh Kumbang Banaung, akhirnya Intan pun menceritakan keadaan yang sebenarnya. Intan juga mengakui bahwa ia juga suka kepadanya, namun takut dimarahi oleh ayahnya. Mengetahui keadaan Intan tersebut, Kumbang Banaung pun segera pulang ke rumahnya untuk menyampaikan niatnya kepada kedua orangtuanya agar segera melamar Intan.
“Kita ini orang miskin, Anakku! Tidak pantas melamar anak orang kaya,” ujar sang Ayah. “Benar kata ayahmu, Nak! Lagi pula, tidak mungkin orangtua Intan akan menerima lamaran kita,” sahut ibunya.
“Tidak, Ibu! Aku dan Intan saling mencintai. Dia harus menjadi istriku,” tukas Kumbang Banaung.
“Jangan, Anakku! Urungkanlah niatmu itu! Nanti kamu dapat malapetaka. Mulai sekarang kamu tidak boleh menemui Intan lagi!” perintah ayahnya. Kumbang Banaung tetap tidak menghiraukan nasehat kedua orangtuanya. Ia tetap bersikeras ingin menikahi Intan bagaimana pun caranya. Pada suatu malam, suasana terang bulan, diam-diam ia pergi ke Desa Sanggu untuk menemui Intan. Ia berniat mengajaknya kawin lari.
“Intan, bagaimana kalau kita kawin lari saja,” bujuk Kumbang Banaung. “Iya Bang, aku setuju! Aku tidak mau menikah dengan orang yang sudah mempunyai anak,” kata Intan.
Setelah melihat keadaan di sekelilingnya aman, keduanya berjalan mengendap-endap ingin meninggalkan desa itu. Namun baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba beberapa orang warga yang sedang meronda melihat mereka.
“Hei, lihatlah! Bukankah itu Kumbang dan Intan,” kata salah seorang warga. “Iya, Benar! Sepertinya si Kumbang akan membawa lari si Intan,” imbuh seorang warga lainnya.
Menyadari niatnya diketahui oleh warga, Kumbang dan Intan pun segera berlari ke arah sungai.
“Ayo, kita kejar mereka!” seru seorang warga. Kumbang Banaung dan Intan pun semakin mempercepat langkahnya untuk menyelamatkan diri. Namun, ketika sampai di sungai, mereka tidak dapat menyeberang. “Bang, apa yang harus kita lakukan! Orang-orang desa pasti akan menghukum kita,” kata Intan dengan nafas terengah-engah.
Dalam keadaan panik, Kumbang Banaung tiba-tiba teringat pada piring malawen pemberian ayahnya. Ia pun segera mengambil piring pusaka itu dan melemparkannya ke tepi sungai. Secara ajaib, piring itu tiba-tiba berubah menjadi besar. Mereka pun menaiki piring itu untuk menyebrangi sungai. Mereka tertawa gembira karena merasa selamat dari kejaran warga. Namun, ketika sampai di tengah sungai, cuaca yang semula terang, tiba-tiba menjadi gelap gulita. Beberapa saat berselang, hujan deras pun turun disertai hujan deras dan angin kecang. Suara guntur bergemuruh dan kilat menyambar-nyambar. Gelombang air sungai pun menghatam piring malawen yang mereka tumpangi hingga terbalik. Beberapa saat kemudian, sungai itu pun menjelma menjadi danau. Oleh masyarakat setempat, danau itu diberi nama Danau Malawen. Sementara Kumbang dan Intan menjelma menjadi dua ekor buaya putih. Konon, sepasang buaya putih tersebut menjadi penghuni abadi Danau Malawen.
Danau Malawen adalah sebuah danau yang terletak di Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah, Indonesia. Menurut cerita yang beredar di kalangan masyarakat setempat, danau yang di tepiannya terdapat beragam jenis anggrek ini dahulu merupakan sebuah aliran sungai yang di dalamnya hidup berbagai jenis ikan. Namun karena terjadi peristiwa yang mengerikan, sungai itu berubah menjadi danau. Peristiwa apakah yang menyebabkan sungai itu berubah menjadi danau? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Mula Danau Malawen berikut ini.
Di tepi sebuah hutan di daerah Kalimantan Tengah, Indonesia, hidup sepasang suami-istri miskin. Meskipun hidup serba pas-pasan, mereka senantiasa saling menyayangi dan mencintai. Sudah sepuluh tahun mereka berumah tangga, namun belum juga dikaruniai seorang anak. Sepasang suami-istri tersebut sangat merindukan kehadiran seorang buah hati belaian jiwa untuk melengkapi keluarga mereka. Untuk itu, hampir setiap malam mereka berdoa memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar impian tersebut dapat menjadi kenyataan.
Pada suatu malam, usai memanjatkan doa, sepasang suami istri pergi beristirahat. Malam itu, sang Istri bermimpi didatangi oleh seorang lelaki tua. “Jika kalian menginginkan seorang keturunan, kalian harus rela pergi ke hutan untuk bertapa,” ujar lelaki tua dalam mimpinya itu.
Baru saja sang Istri akan menanyakan sesuatu, lelaki tua itu keburu hilang dari dalam mimpinya. Keesokan harinya, sang Istri pun menceritakan perihal mimpinya tersebut kepada suaminya.
“Bang! Benarkah yang dikatakan kakek itu?” tanya sang Istri. “Entahlah, Dik! Tapi, barangkali ini merupakan petunjuk untuk kita mendapatkan keturunan,” jawab sang Suami.
‘Lalu, apa yang harus kita lakukan, Bang! Apakah kita harus melaksanakan petunjuk kakek itu?” sang Istri kembali bertanya.
“Iya, Istriku! Kita harus mencoba segala macam usaha. Siapa tahu apa yang dikatakan kakek itu benar,” jawab suaminya.
Keesokan harinya, usai menyiapkan bekal seadanya, sepasang suami-istri itu pun pergi ke sebuah hutan yang letaknya cukup jauh. Setelah setengah hari berjalan, sampailah mereka di sebuah hutan yang sangat lebat dan sunyi. Mereka pun membangun sebuah gubuk kecil untuk tempat bertapa.
Ketika hari mulai gelap, sepasang suami-istri itu pun memulai pertapaan mereka. Keduanya duduk bersila sambil memejamkan mata dan memusatkan konsentrasi kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Sudah berminggu-minggu mereka bertapa, namun belum juga memperoleh tanda-tanda maupun petunjuk. Meskipun harus menahan rasa lapar, haus dan kantuk, mereka tetap melanjutkan pertapaan hingga berbulan-bulan lamanya. Sampai pada hari kesembilan puluh sembilan pun mereka belum mendapatkan petunjuk. Rupanya, Tuhan Yang Mahakuasa sedang menguji kesabaran mereka.
Pada hari keseratus, kedua suami-istri itu benar-benar sudah tidak tahan lagi menahan rasa lapar, haus dan kantuk. Maka pada saat itulah, seorang lelaki tua menghampiri dan berdiri di belakang mereka.
“Hentikanlah pertapaan kalian! Kalian telah lulus ujian. Tunggulah saatnya, kalian akan mendapatkan apa yang kalian inginkan!” ujar kakek itu.
Mendengar seruan itu, sepasang suami-istri itu pun segera menghentikan pertapaan mereka. Alangkah terkejutnya mereka saat membuka mata dan menoleh ke belakang. Mereka sudah tidak melihat lagi kakek yang berseru itu. Akhirnya mereka pun memutuskan pulang ke rumah dengan berharap usaha mereka akan membuahkan hasil sesuai dengan yang diinginkan.
Sesampainya di rumah, suami-istri itu kembali melakukan pekerjaan sehari-hari mereka sambil menanti karunia dari Tuhan. Setelah melalui hari-hari penantian, akhirnya mereka pun mendapatkan sebuah tanda-tanda akan kehadiran si buah hati dalam keluarga mereka. Suatu sore, sang Istri merasa seluruh badannya tidak enak.
“Bang! Kenapa pinggangku terasa pegal-pegal dan perutku mual-mual?” tanya sang Istri mengeluh.
“Wah, itu pertanda baik, Istriku! Itu adalah tanda-tanda Adik hamil,” jawab sang Suami dengan wajah berseri-seri.
“Benarkah itu, Bang?” tanya sang Istri yang tidak mengerti hal itu, karena baru kali ini ia mengalami masa kehamilan.
“Benar, Istriku!” jawab sang Suami.
Sejak saat itu, sang Istri selalu ingin makan buah-buahan yang kecut dan makanan yang pedas-pedas. Melihat keadaan istrinya itu, maka semakin yakinlah sang Suami bahwa istrinya benar-benar sedang hamil.
“Oh, Tuhan terima kasih!” ucap sang Suami. Usai mengucapkan syukur, sang Suami mendekati istrinya dan mengusap-usap perut sang Istri.
“Istriku! Tidak lama lagi kita akan memiliki anak. Jagalah baik-baik bayi yang ada di dalam perutmu ini!” ujar sang Suami.
Waktu terus berjalan. Usia kandungan sang Istri genap sembilan bulan, pada suatu malam sang Istri pun melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Kumbang Banaung. Alangkah senang dan bahagianya sepasang suami-istri itu, karena anak yang selama ini mereka idam-idamkan telah mereka dapatkan. Mereka pun merawat dan membesarkan Kumbang Banaung dengan penuh kasih sayang.
Ketika Kumbang Banaung berusia remaja dan sudah mengenal baik dan buruk, mereka memberinya petuah atau nasehat agar ia menjadi anak yang berbakti kepada orangtua dan selalu berlaku santun serta bertutur sopan ke mana pun pergi.
wahai anak dengarlah petuah,
kini dirimu lah besar panjang
umpama burung lah dapat terbang
umpama kayu sudah berbatang
umpama ulat lah mengenal daun
umpama serai sudah berumpun
banyak amat belum kau dapat
banyak penganyar belum kau dengar
banyak petunjuk belum kau sauk
banyak kaji belum terisi
maka sebelum engkau melangkah
terimalah petuah dengan amanah
supaya tidak tersalah langkah
supaya tidak terlanjur lidah
pakai olehmu adat merantau
di mana bumi dipijak,
di sana langit dijunjung
di mana air disauk
di sana ranting dipatah
di mana badan berlabuh,
di sana adat dipatuh
apalah adat orang menumpang:
berkata jangan sebarang-barang
berbuat jangan main belakang
adat istiadat lembaga dituang
dalam bergaul tenggang menenggang
Selain itu, sang Ayah juga mengajari Kumbang Banaung cara berburu. Setiap hari ia mengajaknya ke hutan untuk berburu binatang dengan menggunakan sumpit.
Seiring berjalannya waktu, Kumbang Banaung pun tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan rupawan. Namun, harapan kedua orangtuanya agar ia menjadi anak yang berbakti tidak terwujud. Perilaku Kumbang Banaung semakin hari semakin buruk. Semua petuah dan nasehat sang Ayah tidak pernah ia hiraukan.
Pada suatu hari, sang Ayah sedang sakit keras. Kumbang Banaung memaksa ayahnya untuk menemaninya pergi berburu ke hutan.
“Maafkan Ayah, Anakku! Ayah tidak bisa menemanimu. Bukankah kamu tahu sendiri kalau Ayah sekarang sedang sakit,” kata sang Ayah dengan suara pelan.
“Benar, Anakku! Kalau pergi berburu, berangkatlah sendiri. Biar Ibu menyiapkan segala keperluanmu,” sahut sang Ibu.
“O iya, Anakku! Ini ada senjata pusaka untukmu. Namanya piring malawan. Piring pusaka ini dapat digunakan untuk keperluan apa saja,” kata sang Ayah sambil memberikan sebuah piring kecil kepada Kumbang Banaung.
Kumbang Banaung pun mengambil piring pusaka itu dan menyelipkan di pinggangnya. Setelah menyiapkan segala keperluannya, berangkatlah ia ke hutan seorang diri. Sesampainya di hutan, ia pun memulai perburuannya. Namun, hingga hari menjelang siang, ia belum juga mendapatkan seekor pun binatang buruan. Ia tidak ingin pulang ke rumah tanpa membawa hasil. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk melanjutkan perburuannya dengan menyusuri hutan tersebut. Tanpa disadarinya, ia telah berjalan jauh masuk ke dalam hutan dan tersesat di dalamnya.
Ketika mencari jalan keluar dari hutan, ternyata Kumbang Banaung sampai di sebuah desa bernama Sanggu. Desa itu tampak sangat ramai dan menarik perhatian Kumbang Banaung. Rupanya, di desa tersebut sedang diadakan upacara adat yang diselenggarakan oleh Kepala Desa untuk mengantarkan masa pingitan anak gadisnya yang bernama Intan menuju masa dewasa. Upacara adat itu diramaikan oleh pagelaran tari. Saat ia sedang asyik menyaksikan para gadis menari, tiba-tiba matanya tertuju kepada wajah seorang gadis yang duduk di atas kursi di atas panggung. Gadis itu tidak lain adalah Intan, putri Kepala Desa Sanggu. Mata Kumbang Banaung tidak berkedip sedikit pun melihat kecantikan wajah si Intan.
“Wow, cantik sekali gadis itu,” kata Kumbang Banaung dalam hati penuh takjub. Tidak terasa, hari sudah hampir sore, Kumbang Banaung pulang. Ia berusaha mengingat-ingat jalan yang telah dilaluinya menuju ke rumahnya. Setelah berjalan menyusuri jalan di hutan itu, sampailah ia di rumah.
“Kamu dari mana, Anakku? Kenapa baru pulang?” tanya Ibunya yang cemas menunggu kedatangannya.
Kumbang Banaung pun bercerita bahwa ia sedang tersesat di tengah hutan. Namun, ia tidak menceritakan kepada orangtuanya perihal kedatangannya ke Desa Sanggu dan bertemu dengan gadis-gadis cantik. Pada malam harinya, Kumbang Banaung tidak bisa memejamkan matanya, karena teringat terus pada wajah Intan.
Keesokan harinya, Kumbang Banaung berpamitan kepada kedua orangtuanya ingin berburu ke hutan. Namun, secara diam-diam, ia kembali lagi ke Desa Sanggu ingin menemui si Intan. Setelah berkenalan dan mengetahui bahwa Intan adalah gadis cantik yang ramah dan sopan, maka ia pun jatuh hati kepadanya. Begitu pula si Intan, ia pun tertarik dan suka kepada Kumbang Banaung. Namun, keduanya masih menyimpan perasaan itu di dalam hati masing-masing.
Sejak saat itu, Kumbang Banaung sering pergi ke Desa Sanggu untuk menemui Intan. Namun tanpa disadari, gerak-geriknya diawasi dan menjadi pembicaraan penduduk setempat. Menurut mereka, perilaku Kumbang Banaung dan Intan telah melanggar adat di desa itu. Sebagai anak Kepala Desa, Intan seharusnya memberi contoh yang baik kepada gadis-gadis sebayanya. Oleh karena tidak ingin putrinya menjadi bahan pembicaraan masyarakat, ayah Intan pun menjodohkan Intan dengan seorang juragan rotan di desa itu.
Pada suatu hari, Kumbang Banaung mengungkapkan perasaannya kepada Intan. “Intan, maukah Engkau menjadi kekasih, Abang?” tanya Kumbang Banaung. Mendengar pertanyaan itu, Intan terdiam. Hatinya sedang diselimuti oleh perasaan bimbang. Di satu sisi, ia suka kepada Kumbang Banaung, tapi di sisi lain ia telah dijodohkan oleh ayahnya dengan juragan rotan. Ia sebenarnya tidak menerima perjodohan itu, karena juragan rotan itu telah memiliki tiga orang anak. Namun, karena watak ayahnya sangat keras, maka ia pun terpaksa menerimanya.
“Ma... maafkan Aku, Bang!” jawab Intan gugup. “Ada apa Intan? Katakanlah!” desak Kumbang Banaung. Setelah beberapa kali didesak oleh Kumbang Banaung, akhirnya Intan pun menceritakan keadaan yang sebenarnya. Intan juga mengakui bahwa ia juga suka kepadanya, namun takut dimarahi oleh ayahnya. Mengetahui keadaan Intan tersebut, Kumbang Banaung pun segera pulang ke rumahnya untuk menyampaikan niatnya kepada kedua orangtuanya agar segera melamar Intan.
“Kita ini orang miskin, Anakku! Tidak pantas melamar anak orang kaya,” ujar sang Ayah. “Benar kata ayahmu, Nak! Lagi pula, tidak mungkin orangtua Intan akan menerima lamaran kita,” sahut ibunya.
“Tidak, Ibu! Aku dan Intan saling mencintai. Dia harus menjadi istriku,” tukas Kumbang Banaung.
“Jangan, Anakku! Urungkanlah niatmu itu! Nanti kamu dapat malapetaka. Mulai sekarang kamu tidak boleh menemui Intan lagi!” perintah ayahnya. Kumbang Banaung tetap tidak menghiraukan nasehat kedua orangtuanya. Ia tetap bersikeras ingin menikahi Intan bagaimana pun caranya. Pada suatu malam, suasana terang bulan, diam-diam ia pergi ke Desa Sanggu untuk menemui Intan. Ia berniat mengajaknya kawin lari.
“Intan, bagaimana kalau kita kawin lari saja,” bujuk Kumbang Banaung. “Iya Bang, aku setuju! Aku tidak mau menikah dengan orang yang sudah mempunyai anak,” kata Intan.
Setelah melihat keadaan di sekelilingnya aman, keduanya berjalan mengendap-endap ingin meninggalkan desa itu. Namun baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba beberapa orang warga yang sedang meronda melihat mereka.
“Hei, lihatlah! Bukankah itu Kumbang dan Intan,” kata salah seorang warga. “Iya, Benar! Sepertinya si Kumbang akan membawa lari si Intan,” imbuh seorang warga lainnya.
Menyadari niatnya diketahui oleh warga, Kumbang dan Intan pun segera berlari ke arah sungai.
“Ayo, kita kejar mereka!” seru seorang warga. Kumbang Banaung dan Intan pun semakin mempercepat langkahnya untuk menyelamatkan diri. Namun, ketika sampai di sungai, mereka tidak dapat menyeberang. “Bang, apa yang harus kita lakukan! Orang-orang desa pasti akan menghukum kita,” kata Intan dengan nafas terengah-engah.
Dalam keadaan panik, Kumbang Banaung tiba-tiba teringat pada piring malawen pemberian ayahnya. Ia pun segera mengambil piring pusaka itu dan melemparkannya ke tepi sungai. Secara ajaib, piring itu tiba-tiba berubah menjadi besar. Mereka pun menaiki piring itu untuk menyebrangi sungai. Mereka tertawa gembira karena merasa selamat dari kejaran warga. Namun, ketika sampai di tengah sungai, cuaca yang semula terang, tiba-tiba menjadi gelap gulita. Beberapa saat berselang, hujan deras pun turun disertai hujan deras dan angin kecang. Suara guntur bergemuruh dan kilat menyambar-nyambar. Gelombang air sungai pun menghatam piring malawen yang mereka tumpangi hingga terbalik. Beberapa saat kemudian, sungai itu pun menjelma menjadi danau. Oleh masyarakat setempat, danau itu diberi nama Danau Malawen. Sementara Kumbang dan Intan menjelma menjadi dua ekor buaya putih. Konon, sepasang buaya putih tersebut menjadi penghuni abadi Danau Malawen.