Archive for September 2012
Festival Teluk palu - sulteng
Festival Teluk Palu 2012 akan digelar pada 27-29 September 2012 di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Setidaknya, 12 kegiatan akan memeriahkan pesta tersebut.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palu Sudaryano Lamangkona, Selasa (25/9), menyebutkan 12 kegiatan itu adalah pawai budaya nusantara, pameran UMKM, ekonomi perdagangan dan industri kreatif, serta pemilihan putra-putri Teluk Palu.
Selain itu ada juga lomba rebana di atas dokar hias, kompetisi perahu tradisional, festival musik, penampilan seni kontemporer, serta pameran foto wisata. Selanjutnya bedah pariwisata, voli pantai, festival film Palu, dan sepeda santai mengitari Teluk Palu.
Sudaryano mengatakan, Festival Teluk Palu akan memadukan kegiatan seni, budaya, dan olahraga yang sering dilakukan di sekitar teluk. Ia mengatakan festival tersebut dipusatkan di anjungan Teluk Palu di Jalan Raja Moili.
Selain di tempat itu, kata dia, beberapa kegiatan akan dilaksanakan di beberapa lokasi, seperti di pusat perbelanjaan Kota Palu, Pantai Talise, serta Sungai Palu.
Sudaryano mengatakan Festival Teluk Palu akan diikuti oleh sepuluh kabupaten yang ada di Provinsi Sulawesi Tengah. Selain itu, terdapat peserta dari Provinsi Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Selatan.
Festival Teluk Palu juga akan memeriahkan HUT ke-34 Kota Palu yang jatuh pada 27 September 2012. Sudaryano berharap Festival Teluk Palu bisa menjadi ajang wisata regional khususnya di Sulawesi dan Kalimantan.
Target menuju ajang wisata regional itu, menurut Sudaryano, sangat masuk akal, mengingat Teluk Palu berada di tengah Pulau Sulawesi.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palu Sudaryano Lamangkona, Selasa (25/9), menyebutkan 12 kegiatan itu adalah pawai budaya nusantara, pameran UMKM, ekonomi perdagangan dan industri kreatif, serta pemilihan putra-putri Teluk Palu.
Selain itu ada juga lomba rebana di atas dokar hias, kompetisi perahu tradisional, festival musik, penampilan seni kontemporer, serta pameran foto wisata. Selanjutnya bedah pariwisata, voli pantai, festival film Palu, dan sepeda santai mengitari Teluk Palu.
Sudaryano mengatakan, Festival Teluk Palu akan memadukan kegiatan seni, budaya, dan olahraga yang sering dilakukan di sekitar teluk. Ia mengatakan festival tersebut dipusatkan di anjungan Teluk Palu di Jalan Raja Moili.
Selain di tempat itu, kata dia, beberapa kegiatan akan dilaksanakan di beberapa lokasi, seperti di pusat perbelanjaan Kota Palu, Pantai Talise, serta Sungai Palu.
Sudaryano mengatakan Festival Teluk Palu akan diikuti oleh sepuluh kabupaten yang ada di Provinsi Sulawesi Tengah. Selain itu, terdapat peserta dari Provinsi Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Selatan.
Festival Teluk Palu juga akan memeriahkan HUT ke-34 Kota Palu yang jatuh pada 27 September 2012. Sudaryano berharap Festival Teluk Palu bisa menjadi ajang wisata regional khususnya di Sulawesi dan Kalimantan.
Target menuju ajang wisata regional itu, menurut Sudaryano, sangat masuk akal, mengingat Teluk Palu berada di tengah Pulau Sulawesi.
Bapak Akochi - Tjie Tjin Hok
Rest In Peace
TELAH BERPULANG KERUMAH BAPA
Pada hari Minggu, 23 September 2012, Pk 12.30 WIB
Dan aku mendengar dari sorga berkata : Tuliskan :
"Berbahagialah orang-orang mad yang mati dalam Tuhan, sejak sekarang ini" "sungguh" kata Roh, "supaya mereka boleh beristirahat dari jerih lelah mereka,
karena segala perbuatan mereka menyertai mereka."
Wahyu74:73
BAYAN AKOCHI
(Tjie Tjin Hok)
Dalam usia 83 Tahun
Disemayamkan di Rumah Duka Dharmais, Lantai dasar Blok D, E, F, Jakarta Barat Dikebumikan di Pemakaman Gunung Gadung - Bogor, hari Selasa, 25 September 2012 Misa Pelepasan Pk. 08.00. Pemberangkatan dari Rumah Duka Pk09.00
Keluarga yang Berduka Cita :
Istri : Ella Maria (Tjie Tju Jan)
Saudara - Saudara
LambertusTjiputra (+)
Bea Ciputra,
DR. Ir. Ciputra,
Istri : Dorca Sarinah (+)
Suami : Sonny Halim
Istri : Dian Sumeler
Anak :
1. StaniaTjie (Tjie Sui Loan)
2. Gina Tjie (Tjie Sui Gin), Suami : Herly Soemantri, SH
3.ViviTjie (Tjie Sui Sim)
4.TjieYong Han (+)
5. San Yohanes (TjieYong San), Istri : Estherine
6. Abdi Tjie (TjieYong Wei), Istri : Tio Pue Leng (Aleng)
Cucu - Cucu :
Agrinia Soemantri, SE, MM.
RadinkaTheisalia
Agnes Kumala Soemantri
Joshua Tjie
David Tjie
BESERTA SEGENAP KELUARGA
Diantaranya Keluarga dari Sulawesi tengah
- Tjie Giok Hian
- Tjie Giok Min dan Suami
- Tjie Giok Fin
- Aling Chowindra
- Sandra Lie Eng Ho (Ci Sen)
Berpulang ke rumah Bapak di Surga
Pada Hari Minggu tanggal 23 september 2012 jam 13.00 WIB telah meninggal dunia OM kami yang tercinta : OM Bayan Akochi dalam usia 83 tahun, saat ini jenasah di semayamkan di rumah duka Dharmais (Slipi) blok D. Bayan Akochi (Tjie Tjin Hok), kakak dari Ciputra, pendiri Ciputra Group.
Bayan meninggalkan satu istri dan enam anak-anak dan cucu serta tiga saudaranya. Bayan Akochi akan dimakamkan di Bogor, pada hari Selasa (25 sept 2012). kami atas nama keluarga besar mengucapkan Turut berduka cita yang sedalam-dalamnya, semoga arwah nya di terima di sisi Tuhan serta keluarga yang di tinggalkan di beri ketabahan.
Bayan Akochi adalah Komisaris PT Ciputra Development Tbk sejak tahun 1993. Dia memulai bisnis sendiri pada tahun 1949 di Parigi, Sulawesi Tengah. Dia juga menjabat sebagai Direktur di PT Cakrawala Respati dan PT Lahan Adyabumi, anak perusahaan yang mengembangkan proyek CitraGarden City di Jakarta.
Turut berduka cita
Welly tea
Regina patricia
Tjie Giok Fin
The Tjin Thek
Robby Tea
dan semua keluarga di palu sulawesi tengah
Bayan meninggalkan satu istri dan enam anak-anak dan cucu serta tiga saudaranya. Bayan Akochi akan dimakamkan di Bogor, pada hari Selasa (25 sept 2012). kami atas nama keluarga besar mengucapkan Turut berduka cita yang sedalam-dalamnya, semoga arwah nya di terima di sisi Tuhan serta keluarga yang di tinggalkan di beri ketabahan.
Bayan Akochi adalah Komisaris PT Ciputra Development Tbk sejak tahun 1993. Dia memulai bisnis sendiri pada tahun 1949 di Parigi, Sulawesi Tengah. Dia juga menjabat sebagai Direktur di PT Cakrawala Respati dan PT Lahan Adyabumi, anak perusahaan yang mengembangkan proyek CitraGarden City di Jakarta.
Turut berduka cita
Welly tea
Regina patricia
Tjie Giok Fin
The Tjin Thek
Robby Tea
dan semua keluarga di palu sulawesi tengah
Cerita tentang Anak yatim La Upe
Propinsi sulawesi selatan dengan ibukotanya Makassar (Ujung Pandang) bukannya hanya terkenal karena Panorama alamnya yang indah seperti Pantai Losari ataupun adat istiadatnya yang unik seperti daerah wisata Tanah Toraja, namun Sulsel juga memiliki banyak cerita2 rakyat yang melegenda diantaranya : Anak Yatim La Upe.
Alkisah, di sebuah kampung di daerah Sulawesi Selatan, Indonesia, ada seorang anak yatim bernama La Upe. Ia tinggal bersama ayahnya di sebuah rumah kecil di pinggir kampung. Ibunya meninggal dunia sejak ia masih kecil. Ketika ia berumur sepuluh tahun ayahnya menikah lagi seorang janda dari kampung lain yang bernama I Ruga. Sang Ayah berharap agar La Upe mempunyai ibu yang dapat merawat dan menyayanginya. Namun, harapannya berbeda dari kenyataan. Setiap hari I Ruga menyiksa dan memukul La Upe ketika ia pergi ke sawah.
Sejak bersama ibu tirinya, hidup La Upe sangat menderita. Ia tidak pernah lepas dari siksaan dan perintah yang berat dari ibu tirinya. Setiap hari, ia disuruh pergi ke sungai untuk memancing ikan. Jika pulang tanpa membawa hasil, ia disiksa dan dipukul dengan tongkat. Begitulah yang dialami La Upe setiap hari tanpa sepengetahuan ayahnya.
Pada suatu hari, La Upe disuruh oleh ibu tirinya ke sungai untuk memancing ikan. Setelah mempersiapkan pancing dan umpan yang banyak, berangkatlah ia ke sungai dengan harapan bisa mendapatkan hasil yang banyak agar terhindar dari siksaan ibu tirinya. Sesampainya di tepi sungai, ia memasang kailnya, lalu duduk di tepi sungai sambil bersiul-siul. Sudah hampir setengah hari ia memancing, namun tak seekor ikan pun yang menyentuh umpannya. Hatinya pun mulai cemas.
“Aduh, aku pasti mendapat pukulan lagi kalau tidak mendapat ikan hari ini,” keluh La Upe.
Berkali-kali La Upe memindahkan pancingnya ke tempat yang lebih dalam agar umpannya di makan ikan, namun tak seekor ikan pun yang menyentuhnya. Karena hari sudah siang dan perutnya pun sudah terasa sangat lapar, akhirnya ia memutuskan untuk berhenti memancing. Ia sudah pasrah untuk mendapatkan hukuman dari ibu tirinya. Ketika akan mengangkat kailnya, tiba-tiba seekor ikan besar menyambar umpannya. Dengan hati-hati, ia menarik kailnya perlahan-lahan ke tepi sungai. Setelah kailnya terangkat, tampaklah seekor ikan besar yang terkait di ujung kailnya. Hati La Upe yang semula cemas tiba-tiba menjadi senang, karena ia akan terbebas dari hukuman. Betapa terkejutnya ia ketika akan memasukkan ikan itu ke dalam wadahnya, ikan itu tiba-tiba berbicara layaknya manusia.
“Ampun, Tuan! Tolong jangan bunuh saya! Saya ini adalah raja ikan. Jika Tuan sudi melepaskan saya, apa pun permintaan Tuan akan saya kabulkan. Dengan menyebut ‘ilmunya raja ikan’, maka permintaan Tuan akan terkabulkan,” kata ikan itu. Karena merasa iba, La Upe melepaskan kembali ikan itu ke sungai. Akhirnya, ia pun pulang tanpa membawa hasil. Sesampainya di rumah, ia melihat ibu tirinya sedang menunggunya.
“Hei, La Upe! Mana ikannya?” tanya ibu tirinya. “Maaf, Bu! Tadi saya mendapatkan seekor ikan besar, tapi saya melepasnya kembali ke sungai,” jawab La Upe.
Mendengar jawaban itu, I Ruga menjadi murka. Ia segera mengambil tongkatnya yang sering digunakan untuk memukul La Upe. Ketika ibu tirinya hendak memukulnya, La Upe tiba-tiba teringat pada pesan ikan besar yang ditolongnya tadi. Ia pun segera membaca mantra sakti yang diberikan kepadanya. “Tolong lekatkan ibuku di pintu, berkat ilmunya raja ikan!”
Pada saat itu pula, I Ruga pun melekat pada pintu. Ia meronta-ronta untuk melepaskan diri, namun usahanya sia-sia. Tubuhnya lengket bagaikan terkena perekat. Beberapa kali ia berteriak meminta tolong agar La Upe melepaskan tubuhnya dari pintu itu, namun La Upe menolaknya. La Upe justru pergi meninggalkannya dan membiarkannya terus melekat pada pintu itu.
Tak berapa kemudian, ayah La Upe pulang dari sawah. Betapa terkejutnya ia ketika akan membuka pintu rumahnya. Pintu itu sangat berat seakan-akan ada orang yang mendorongnya dari dalam.
“Bu, apakah kamu yang mendorong pintu ini?” tanya ayah La Upe. “Tidak! Aku tidak mendorongnya. Tubuhku terlekat di balik pintu ini dan tidak bisa bergerak,” jawab I Ruga.
Ayah La Upe pun mendorong pintu itu dengan sekuat tenaga. Saat pintu itu terbuka, tampaklah istrinya sedang melekat pada pintu sambil memegang sebuah tongkat. “Siapa yang melakukan ini, Bu?” tanya ayah La Upe.
I Ruga pun menceritakan semua peristiwa yang menyebabkannya terlekat di pintu itu. Mendengar cerita istrinya itu, ayah La Upe hanya tersenyum dan berkata: “Itulah akibatnya kalau selalu menyiksa dan memukul anak yang tidak bersalah.” Setelah berkata begitu, sang Ayah segera mencari La Upe. Tak berapa lama, ia pun menemukannya sedang bermain bersama teman-temannya. Ia kemudian meminta kepada La Upe agar kembali ke rumah dan memaafkan ibu tirinya. La Upe pun menuruti permintaan ayahnya. Ia memang sangat patuh dan hormat kepada ayahnya. Sesampainya di rumah, ia pun segera melepaskan ibu itrinya dengan membaca mantra saktinya. “Tolong lepaskan ibu tiriku, berkat ilmunya raja ikan!”
Seketika itu pula, I Ruga pun terlepas dari pintu dan segera meminta maaf kepada suaminya dan La Upe. Sejak saat itu, I Ruga tidak pernah lagi menyiksa dan memukul La Upe karena takut mendapatkan kutukan. Akhirnya, mereka pun hidup rukun dan bahagia.
Beberapa tahun kemudian, La Upe pun tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah dan tampan. Sejak itu, ia sering berjalan-jalan ke kota kerajaan untuk melihat suasana keramaian kota. Suatu hari, ketika ia sedang lewat di depan istana kerajaan, tiba-tiba langkahnya terhenti. Ia melihat putri raja yang cantik nan rupawan sedang bersantai di jendela.
“Aduhai, cantik sekali putri raja itu!” ucap La Upe dengan kagum. “Andai saja aku bisa menikah dengannya, betapa bahagia rasanya hati ini,” ucapnya lagi sambil terus menatap wajah cantik sang Putri.
Merasa ada yang memerhatikannya, Putri Raja pun menoleh ke arah La Upe. Sang Putri pun tersentak ketika melihat ketampanan pemuda itu. Jantungnya tiba-tiba berdetak kencang. Rupanya, ia jatuh hati kepada La Upe. Pada suatu hari, secara diam-diam mereka mengadakan pertemuan di suatu tempat tanpa sepengetahuan sang Raja dan permaisuri. Dalam pertemuan itu, mereka saling mengungkap perasaan masing-masing. Akhirnya, mereka pun bersepakat untuk menikah.
Suatu hari, La Upe bersama kedua orang tuanya datang melamar sang Putri. Namun, lamaran mereka ditolak oleh raja dan permaisuri, karena menganggap La Upe tidak sederajat dengan sang Putri. Sang Putri adalah seorang keturunan raja, sedangkan La Upe hanya masyarakat biasa dan miskin. Mendengar penolakan itu, La Upe pun kembali ke rumahnya dengan perasaan sedih.
Setibanya di rumah, La Upe pun mencari cara agar dapat menikahi sang Putri. Setelah berpikir keras, ia pun menemukan sebuah cara. Ia akan menarik simpatik sang Raja dan permaisurinya dengan melekatkan sang Putri pada pintu. Dengan begitu, tentu tidak ada orang yang bisa menolong sang Putri kecuali dia. Namun, sebelum melaksanakan niat itu, terlebih dahulu ia meminta restu kepada sang Putri dan memberitahunya bahwa apa yang akan dilakukan itu hanyalah sebuah siasat agar bisa menikahinya. Sang Putri mengerti dan bersedia untuk melaksanakan siasat tersebut, karena ia mencintai La Upe.
Pada suatu malam, La Upe menyusup masuk ke dalam kamar sang Putri. Dengan mantra saktinya, ia melekatkan sang Putri pada pintu kamar. Setelah itu, ia meninggalkan sang Putri dalam keadaan terlekat di pintu. Beberapa saat kemudian, seluruh penghuni istana menjadi gempar, termasuk raja dan permaisuri. Mereka mendapati sang Putri sedang melekat di pintu kamarnya. Sang Raja pun segera mengerahkan seluruh tabib istana untuk menolong sang Putri, namun hingga pagi menjelang tak seorang pun yang berhasil. Akhirnya, sang Raja memutuskan untuk mengadakan sayembara. Ia pun mengumpulkan seluruh rakyat di halaman istana.
“Wahai, seluruh rakyatku! Barangsiapa yang sanggup melepaskan putriku dari pintu, akan kunikahkan dengan putriku. Aku tidak peduli apakah ia orang biasa ataupun orang miskin. Selain itu, dia juga akan kuangkat menjadi raja untuk menggantikan aku kelak.”
Setelah itu, sayembara pun dimulai. Satu persatu peserta sayembara mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk melepaskan sang Putri dari pintu, namun tak seorang pun yang berhasil. Kini tinggal satu peserta yang belum maju, dia adalah La Upe. Dengan tenangnya, ia berjalan masuk ke dalam istana dan menghampiri sang Putri yang sedang melekat di pintu, lalu membaca mantra saktinya.
“Tolong lepaskan sang Putri dari pintu, berkat ilmunya raja ikan!” Sungguh ajaib. Sang Putri pun terlepas dari lekatan pintu sambil tersenyum bahagia. Seluruh hadirin terperangah menyaksikan peristiwa itu. Sang Raja dan permisuri sangat kagum melihat kehebatan La Upe.
“Baiklah, La Upe! Sesuai dengan janjiku, aku akan menikahmu dengan putriku dalam waktu dekat. Aku dan seluruh keluarga istana minta maaf karena sebelumnya telah menolak lamaranmu,” kata sang Raja.
Sepekan kemudian, pesta pernikahan La Upe dan sang Putri pun dilangsungkan sangat meriah. Berbagai macam pertunjukan seni musik dan tari dipertontonkan. Seluruh rakyat negeri pun turut meramaikan pesta tersebut. Mereka sangat berbahagia melihat pasangan pengantin yang sedang duduk bersanding di pelaminan. Kedua mempelai benar-benar pasangan yang serasi. La Upe seorang pemuda yang gagah dan tampan, sedang sang Putri seorang gadis yang cantik nan rupawan.
La Upe dan sang Putri pun hidup berbahagia. La Upe mengajak kedua orang tuanya untuk tinggal di istana. Tidak berapa lama kemudian, La Upe pun diangkat menjadi raja untuk menggantikan sang Raja. Maka semakin lengkaplah kebahagiaan La Upe dan istrinya.
Alkisah, di sebuah kampung di daerah Sulawesi Selatan, Indonesia, ada seorang anak yatim bernama La Upe. Ia tinggal bersama ayahnya di sebuah rumah kecil di pinggir kampung. Ibunya meninggal dunia sejak ia masih kecil. Ketika ia berumur sepuluh tahun ayahnya menikah lagi seorang janda dari kampung lain yang bernama I Ruga. Sang Ayah berharap agar La Upe mempunyai ibu yang dapat merawat dan menyayanginya. Namun, harapannya berbeda dari kenyataan. Setiap hari I Ruga menyiksa dan memukul La Upe ketika ia pergi ke sawah.
Sejak bersama ibu tirinya, hidup La Upe sangat menderita. Ia tidak pernah lepas dari siksaan dan perintah yang berat dari ibu tirinya. Setiap hari, ia disuruh pergi ke sungai untuk memancing ikan. Jika pulang tanpa membawa hasil, ia disiksa dan dipukul dengan tongkat. Begitulah yang dialami La Upe setiap hari tanpa sepengetahuan ayahnya.
Pada suatu hari, La Upe disuruh oleh ibu tirinya ke sungai untuk memancing ikan. Setelah mempersiapkan pancing dan umpan yang banyak, berangkatlah ia ke sungai dengan harapan bisa mendapatkan hasil yang banyak agar terhindar dari siksaan ibu tirinya. Sesampainya di tepi sungai, ia memasang kailnya, lalu duduk di tepi sungai sambil bersiul-siul. Sudah hampir setengah hari ia memancing, namun tak seekor ikan pun yang menyentuh umpannya. Hatinya pun mulai cemas.
“Aduh, aku pasti mendapat pukulan lagi kalau tidak mendapat ikan hari ini,” keluh La Upe.
Berkali-kali La Upe memindahkan pancingnya ke tempat yang lebih dalam agar umpannya di makan ikan, namun tak seekor ikan pun yang menyentuhnya. Karena hari sudah siang dan perutnya pun sudah terasa sangat lapar, akhirnya ia memutuskan untuk berhenti memancing. Ia sudah pasrah untuk mendapatkan hukuman dari ibu tirinya. Ketika akan mengangkat kailnya, tiba-tiba seekor ikan besar menyambar umpannya. Dengan hati-hati, ia menarik kailnya perlahan-lahan ke tepi sungai. Setelah kailnya terangkat, tampaklah seekor ikan besar yang terkait di ujung kailnya. Hati La Upe yang semula cemas tiba-tiba menjadi senang, karena ia akan terbebas dari hukuman. Betapa terkejutnya ia ketika akan memasukkan ikan itu ke dalam wadahnya, ikan itu tiba-tiba berbicara layaknya manusia.
“Ampun, Tuan! Tolong jangan bunuh saya! Saya ini adalah raja ikan. Jika Tuan sudi melepaskan saya, apa pun permintaan Tuan akan saya kabulkan. Dengan menyebut ‘ilmunya raja ikan’, maka permintaan Tuan akan terkabulkan,” kata ikan itu. Karena merasa iba, La Upe melepaskan kembali ikan itu ke sungai. Akhirnya, ia pun pulang tanpa membawa hasil. Sesampainya di rumah, ia melihat ibu tirinya sedang menunggunya.
“Hei, La Upe! Mana ikannya?” tanya ibu tirinya. “Maaf, Bu! Tadi saya mendapatkan seekor ikan besar, tapi saya melepasnya kembali ke sungai,” jawab La Upe.
Mendengar jawaban itu, I Ruga menjadi murka. Ia segera mengambil tongkatnya yang sering digunakan untuk memukul La Upe. Ketika ibu tirinya hendak memukulnya, La Upe tiba-tiba teringat pada pesan ikan besar yang ditolongnya tadi. Ia pun segera membaca mantra sakti yang diberikan kepadanya. “Tolong lekatkan ibuku di pintu, berkat ilmunya raja ikan!”
Pada saat itu pula, I Ruga pun melekat pada pintu. Ia meronta-ronta untuk melepaskan diri, namun usahanya sia-sia. Tubuhnya lengket bagaikan terkena perekat. Beberapa kali ia berteriak meminta tolong agar La Upe melepaskan tubuhnya dari pintu itu, namun La Upe menolaknya. La Upe justru pergi meninggalkannya dan membiarkannya terus melekat pada pintu itu.
Tak berapa kemudian, ayah La Upe pulang dari sawah. Betapa terkejutnya ia ketika akan membuka pintu rumahnya. Pintu itu sangat berat seakan-akan ada orang yang mendorongnya dari dalam.
“Bu, apakah kamu yang mendorong pintu ini?” tanya ayah La Upe. “Tidak! Aku tidak mendorongnya. Tubuhku terlekat di balik pintu ini dan tidak bisa bergerak,” jawab I Ruga.
Ayah La Upe pun mendorong pintu itu dengan sekuat tenaga. Saat pintu itu terbuka, tampaklah istrinya sedang melekat pada pintu sambil memegang sebuah tongkat. “Siapa yang melakukan ini, Bu?” tanya ayah La Upe.
I Ruga pun menceritakan semua peristiwa yang menyebabkannya terlekat di pintu itu. Mendengar cerita istrinya itu, ayah La Upe hanya tersenyum dan berkata: “Itulah akibatnya kalau selalu menyiksa dan memukul anak yang tidak bersalah.” Setelah berkata begitu, sang Ayah segera mencari La Upe. Tak berapa lama, ia pun menemukannya sedang bermain bersama teman-temannya. Ia kemudian meminta kepada La Upe agar kembali ke rumah dan memaafkan ibu tirinya. La Upe pun menuruti permintaan ayahnya. Ia memang sangat patuh dan hormat kepada ayahnya. Sesampainya di rumah, ia pun segera melepaskan ibu itrinya dengan membaca mantra saktinya. “Tolong lepaskan ibu tiriku, berkat ilmunya raja ikan!”
Seketika itu pula, I Ruga pun terlepas dari pintu dan segera meminta maaf kepada suaminya dan La Upe. Sejak saat itu, I Ruga tidak pernah lagi menyiksa dan memukul La Upe karena takut mendapatkan kutukan. Akhirnya, mereka pun hidup rukun dan bahagia.
Beberapa tahun kemudian, La Upe pun tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah dan tampan. Sejak itu, ia sering berjalan-jalan ke kota kerajaan untuk melihat suasana keramaian kota. Suatu hari, ketika ia sedang lewat di depan istana kerajaan, tiba-tiba langkahnya terhenti. Ia melihat putri raja yang cantik nan rupawan sedang bersantai di jendela.
“Aduhai, cantik sekali putri raja itu!” ucap La Upe dengan kagum. “Andai saja aku bisa menikah dengannya, betapa bahagia rasanya hati ini,” ucapnya lagi sambil terus menatap wajah cantik sang Putri.
Merasa ada yang memerhatikannya, Putri Raja pun menoleh ke arah La Upe. Sang Putri pun tersentak ketika melihat ketampanan pemuda itu. Jantungnya tiba-tiba berdetak kencang. Rupanya, ia jatuh hati kepada La Upe. Pada suatu hari, secara diam-diam mereka mengadakan pertemuan di suatu tempat tanpa sepengetahuan sang Raja dan permaisuri. Dalam pertemuan itu, mereka saling mengungkap perasaan masing-masing. Akhirnya, mereka pun bersepakat untuk menikah.
Suatu hari, La Upe bersama kedua orang tuanya datang melamar sang Putri. Namun, lamaran mereka ditolak oleh raja dan permaisuri, karena menganggap La Upe tidak sederajat dengan sang Putri. Sang Putri adalah seorang keturunan raja, sedangkan La Upe hanya masyarakat biasa dan miskin. Mendengar penolakan itu, La Upe pun kembali ke rumahnya dengan perasaan sedih.
Setibanya di rumah, La Upe pun mencari cara agar dapat menikahi sang Putri. Setelah berpikir keras, ia pun menemukan sebuah cara. Ia akan menarik simpatik sang Raja dan permaisurinya dengan melekatkan sang Putri pada pintu. Dengan begitu, tentu tidak ada orang yang bisa menolong sang Putri kecuali dia. Namun, sebelum melaksanakan niat itu, terlebih dahulu ia meminta restu kepada sang Putri dan memberitahunya bahwa apa yang akan dilakukan itu hanyalah sebuah siasat agar bisa menikahinya. Sang Putri mengerti dan bersedia untuk melaksanakan siasat tersebut, karena ia mencintai La Upe.
Pada suatu malam, La Upe menyusup masuk ke dalam kamar sang Putri. Dengan mantra saktinya, ia melekatkan sang Putri pada pintu kamar. Setelah itu, ia meninggalkan sang Putri dalam keadaan terlekat di pintu. Beberapa saat kemudian, seluruh penghuni istana menjadi gempar, termasuk raja dan permaisuri. Mereka mendapati sang Putri sedang melekat di pintu kamarnya. Sang Raja pun segera mengerahkan seluruh tabib istana untuk menolong sang Putri, namun hingga pagi menjelang tak seorang pun yang berhasil. Akhirnya, sang Raja memutuskan untuk mengadakan sayembara. Ia pun mengumpulkan seluruh rakyat di halaman istana.
“Wahai, seluruh rakyatku! Barangsiapa yang sanggup melepaskan putriku dari pintu, akan kunikahkan dengan putriku. Aku tidak peduli apakah ia orang biasa ataupun orang miskin. Selain itu, dia juga akan kuangkat menjadi raja untuk menggantikan aku kelak.”
Setelah itu, sayembara pun dimulai. Satu persatu peserta sayembara mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk melepaskan sang Putri dari pintu, namun tak seorang pun yang berhasil. Kini tinggal satu peserta yang belum maju, dia adalah La Upe. Dengan tenangnya, ia berjalan masuk ke dalam istana dan menghampiri sang Putri yang sedang melekat di pintu, lalu membaca mantra saktinya.
“Tolong lepaskan sang Putri dari pintu, berkat ilmunya raja ikan!” Sungguh ajaib. Sang Putri pun terlepas dari lekatan pintu sambil tersenyum bahagia. Seluruh hadirin terperangah menyaksikan peristiwa itu. Sang Raja dan permisuri sangat kagum melihat kehebatan La Upe.
“Baiklah, La Upe! Sesuai dengan janjiku, aku akan menikahmu dengan putriku dalam waktu dekat. Aku dan seluruh keluarga istana minta maaf karena sebelumnya telah menolak lamaranmu,” kata sang Raja.
Sepekan kemudian, pesta pernikahan La Upe dan sang Putri pun dilangsungkan sangat meriah. Berbagai macam pertunjukan seni musik dan tari dipertontonkan. Seluruh rakyat negeri pun turut meramaikan pesta tersebut. Mereka sangat berbahagia melihat pasangan pengantin yang sedang duduk bersanding di pelaminan. Kedua mempelai benar-benar pasangan yang serasi. La Upe seorang pemuda yang gagah dan tampan, sedang sang Putri seorang gadis yang cantik nan rupawan.
La Upe dan sang Putri pun hidup berbahagia. La Upe mengajak kedua orang tuanya untuk tinggal di istana. Tidak berapa lama kemudian, La Upe pun diangkat menjadi raja untuk menggantikan sang Raja. Maka semakin lengkaplah kebahagiaan La Upe dan istrinya.
Cerita tentang Nenek pakande
Propinsi sulawesi selatan dengan ibukotanya Makassar (Ujung Pandang) bukannya hanya terkenal karena Panorama alamnya yang indah seperti Pantai Losari ataupun adat istiadatnya yang unik seperti daerah wisata Tanah Toraja, namun Sulsel juga memiliki banyak cerita2 rakyat yang melegenda diantaranya : Nenek Pakande.
Alkisah, di daerah Sulawesi Selatan ada sebuah negeri yang bernama Soppeng. Penduduk negeri itu senantiasa hidup tenteram, damai, dan sejahtera. Mata pencaharian utama mereka adalah bertani. Setiap hari mereka bekerja di sawah dengan hati tenang dan damai.
Pada suatu ketika, suasana tenang dan damai tersebut tiba-tiba terusik oleh kedatangan sesosok siluman bernama Nenek Pakande. Ia datang ke negeri itu mencari mangsa untuk dijadikan santapannya. Nenek siluman itu sangat suka menyantap daging anak-anak. Oleh sebab itu, anak-anak selalu menjadi incarannya. Biasanya, Nenek Pakande mulai berkeliaran mencari mangsa ketika hari mulai gelap.
Pada suatu sore, di saat hari mulai gelap, Nenek Pakande melihat seorang anak kecil sedang asyik bermain di halaman rumahnya. Anak itu termasuk anak bandel. Sudah berkali-kali dinasehati oleh orang tuanya agar segera masuk ke dalam, namun ia tetap saja asyik bermain seorang diri. Ketika suasana di sekitarnya lengah, kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Nenek Pakande. Ia segera menangkap anak itu lalu membawanya pergi.
Beberapa saat kemudian, sang ibu kebingungan mencari anaknya. Ia sudah mencari di sekitar rumah namun tidak juga menemukannya.
“Tolooong... tolooong.... anakku hilang!” teriak ibu itu panik.
Mendengar suara teriakan itu, para tetangga serentak berhamburan keluar rumah dan mengerumuni ibu itu.
“Apa yang terjadi dengan anak Ibu?” tanya salah seorang warga.
“Anakku..., anakku..., anakku hilang,” jawab ibu itu dengan sedih.
“Hilang ke mana anak Ibu?” tanya lagi warga itu.
“Entahlah, Pak!” jawab ibu itu dengan bingung, “Dia tiba-tiba saja hilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Tadi, aku meninggalkannya sebentar ke dalam rumah saat dia sedang asyik bermain sendiri di halaman rumah. Ketika aku kembali untuk mengajaknya masuk ke dalam rumah, dia sudah tidak ada,” jelasnya.
Setelah mendengar penjelasan tersebut, para warga beramai-ramai mencari anak itu. Mereka sudah mencari hingga ke mana-mana, namun belum juga menemukannya. Karena malam sudah larut, akhirnya para warga menghentikan pencarian. Pada keesokan harinya, saat matahari mulai tampak di ufuk timur, mereka kembali melanjutkan pencarian, namun hasilnya tetap nihil.
Pada malam berikutnya, peristiwa serupa kembali terjadi. Kali ini, seorang bayi yang menjadi korban. Bayi itu hilang di saat kedua orang tuanya sedang tertidur lelap. Kedua peristiwa tersebut benar-benar membuat resah seluruh warga. Para orang tua tidak dapat tidur pada malam hari karena harus menjaga anak-anak mereka.
Melihat keadaan tersebut, para dukun di Negeri Soppeng segera mencari tahu siapa penculik yang misterius itu. Dengan ilmu yang dimiliki, akhirnya mereka berhasil mengetahuinya. Berita tersebut kemudian mereka sampaikan kepada seluruh warga bahwa pelaku penculikan itu adalah Nenek Pakande. Betapa terkejutnya seluruh warga mendengar kabar tersebut karena mereka sangat mengenal watak atau perilaku Nenek Pakande.
“Hai, bukankah Nenek Pakande itu seorang siluman yang sakti mandraguna?” tanya seorang warga.
“Ya, benar. Dia sangat sakti dan tak seorang pun manusia biasa yang mampu mengalahkannya. Dia hanya takut kepada sesosok raksasa yang bernama Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Namun, raksasa itu sudah tidak pernah lagi terdengar kabar keberadaannya,” jelas salah seorang dukun.
“Lantas, apa yang dapat kita lakukan?” tanya pula seorang warga lainnya dengan bingung.
Tak seorang pun warga yang menjawab. Mereka kebingungan menghadapi masalah itu. Di tengah-tengah kebingungan tersebut, seorang pemuda yang duduk paling belakang tiba-tiba angkat bicara. Pemuda itu bernama La Beddu. Ia pemuda yang cerdik.
“Maaf, para hadirin! Perkenankanlah saya untuk menyampaikan sesuatu. Saya mempunyai sebuah cara untuk membinasakan Nenek Pakande,” kata pemuda itu.
Sejenak, suasana pertemuan itu menjadi hening. Semua pandangan tertuju kepada pemuda itu. Sebagian dari warga memandangnya dengan penuh harapan. Namun, tak sedikit dari mereka yang memandangnya dengan pandangan yang merendahkan.
“Hai, La Beddu. Bagaimana caramu bisa mengalahkan Nenek Pakande? Bukankah dia sangat sakti, sementara kamu sendiri hanya pemuda biasa yang tidak mempunyai kesaktian sama sekali?” tanya salah seorang warga.
La Beddu hanya tersenyum, lalu menjawab pertanyaan itu dengan tenang.
“Tidak selamanya kesaktian itu harus dilawan dengan kesaktian pula,” kata La Beddu.
Semua warga tercengang. Setelah itu, La Beddu menjelaskan bahwa satu-satu cara untuk mengalahkan Nenek Pakande adalah kecerdikan.
“Begini, saudara-saudara,” lanjutnya, “Kita semua sudah tahu bahwa Nenek Pakande hanya takut kepada raksasa Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Oleh karena itu, saya akan mengelabui Nenek Pakande dengan berpura-pura menjadi seperti raksasa itu,” jelas La Beddu.
Mendengar penjelasan itu, para warga semakin bingung. Apalagi ketika La Beddu meminta kepada warga untuk menyiapkan masing-masing satu buah salaga (garu), satu ember busa sabun, satu ekor kura-kura dan belut, satu lembar kulit rebung yang sudah kering, dan sebuah batu besar.
“Untuk apa salaga itu La Beddu? Bukankah sekarang belum musim tanam?” tanya seorang warga dengan bingung.
“Sudahlah, Pak. Bapak tidak usah terlalu banyak tanya. Kita lihat saja nanti hasilnya. Yang penting sekarang adalah mencari semua benda dan binatang yang saya sebutkan tadi lalu mengumpulkannya di rumah saya. Nantilah saya jelaskan semuanya,” ujar La Beddu.
Tanpa banyak tanya lagi, para warga segera melaksanakan permintaan La Beddu. Ada yang pergi mencari belut di sawah, ada pula yang mencari kura-kura di sungai. Sebagian yang lain sibuk membuat salaga dan menyiapkan busa sabun satu ember, sebuah batu besar, serta kulit rebung. Setelah memperoleh segala yang diperlukan, para warga segera membawanya ke rumah La Beddu.
“Hai, La Beddu! Jelaskanlah kepada kami mengenai maksud dan tujuan dari semua benda dan binatang ini!” desak pemuka masyarakat.
La Beddu pun kemudian menjelaskan bahwa salaga yang bentuknya menyerupai sisir, busa sabun yang menyerupai air ludah, dan kura-kura yang menyerupai kutu manusia itu akan digunakan untuk mengelabui Nenek Pakande. Dengan menunjukkan benda-benda tersebut, Nenek Pakande akan mengira itu semua adalah milik Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Sementara itu, kulit rebung yang bentuknya mirip terompet itu akan digunakan untuk menggelegarkan suaranya sehingga menyerupai suara raksasa itu. Adapun belut dan batu besar tersebut masing-masing akan diletakkan di depan pintu dan di depan tangga.
Setelah itu, La Beddu bersama para warga segera menyusun siasat. Dua orang warga ditunjuk yang masing-masing akan bertugas meletakkan belut di depan pintu dan batu besar di depan tangga.
Ketika hari mulai gelap, La Beddu segera naik ke atas loteng Sao Raja[1] untuk bersembunyi sambil membawa salaga, busa sabun, kura-kura, dan kulit rebung. Sementara itu, kedua warga yang telah diberi tugas bersembunyi di bawah kolong Sao Raja. Setelah semuanya siap, para warga mulai menjebak Nenek Pakande dengan cara mengunci pintu rumah mereka rapat-rapat tanpa penerangan sedikit pun. Kecuali Sao Raja, pintunya dibuka lebar dan di dalamnya dinyalakan sebuah pelita. Selain itu, seorang bayi juga diletakkan di dalam kamar sebagai umpan untuk menjebak Nenek Pakande agar masuk ke dalam Sao Raja tersebut.
Tak berapa lama kemudian, Nenek Pakande pun mendatangi Sao Raja tersebut. Tanpa menaruh rasa curiga sedikit pun, ia melangkah perlahan-lahan menaiki anak tangga Sao Raja satu per satu. Saat berada di depan pintu, indra penciumannya langsung merasakan bau bayi yang sangat menyengat. Nenek siluman itu pun langsung masuk ke dalam Sao Raja. Pada saat itulah, kedua warga yang bersembunyi di bawah kolong Sao Raja segera melaksanakan tugas mereka lalu kembali ke tempat persembunyianya tanpa sepengetahuan Nenek Pakande.
Ketika Nenek Pakande hendak mendekati bayi yang ada di dalam kamar, tiba-tiba langkahnya terhenti oleh suara keras yang menegurnya.
“Hai, Nenek Pakande! Mau apa kamu datang kemari, ha?”
Suara itu tidak lain adalah suara La Beddu yang menggunakan kulit rebung di atas loteng. Namun, Nenek Pakande tidak mengetahui hal itu.
“Suara siapa itu?” tanya Nenek Pakande dengan terkejut.
“Aku adalah raksasa Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Ha... ha... ha... !” jawab suara itu seraya tertawa terbahak-bahak.
Mendengar jawaban itu, Nenek Pakande mulai ketakutan. Namun, ia belum yakin jika itu adalah suara raksasa tersebut.
“Apa buktinya jika engkau adalah Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale?”
La Beddu yang berada di atas loteng segera menumpahkan busa sabun dari embernya tepat di depan Nenek Pakande. Alangkah terkejutnya perempuan siluman itu karena mengira busa sabun tersebut adalah air ludah raksasa itu.
“Bagaimana, Nenek Pakande? Apakah kamu masih meragukan diriku?” tanya suara itu.
“Bukti apa lagi bukti yang bisa kamu tunjukkan padaku?” Nenek Pakande balik bertanya.
Mendengar pertanyaan itu, La Beddu segera menjatuhkan salaga dan kura-kuranya secara beruntun. Melihat kedua benda tersebut, Nenek Pakande langsung lari tunggang langgang karena ketakutan. Ia mengira kedua benda tersebut adalah sisir dan kutu milik raksasa itu. Begitu ia melewati pintu Sao Raja, kakinya menginjak belut yang diletakkan di tempat itu hingga terpeleset dan akhirnya terjatuh berguling-guling di tangga. Saat sampai di tanah, kepalanya terbentur pada batu besar yang sudah disiapkan di depan tangga.
Meskipun terluka parah, Nenek Pakande masih mampu berdiri dan melarikan diri entah ke mana. Namun, sebelum meninggalkan negeri itu, ia sempat berpesan kepada seluruh warga bahwa kelak ia akan kembali untuk memangsa anak-anak mereka. Oleh sebab itulah, hingga kini, masyarakat Soppeng sering menggunakan cerita ini untuk menakut-nakuti anak-anak mereka agar tidak berkeliaran di luar di rumah ketika hari sudah gelap.
Alkisah, di daerah Sulawesi Selatan ada sebuah negeri yang bernama Soppeng. Penduduk negeri itu senantiasa hidup tenteram, damai, dan sejahtera. Mata pencaharian utama mereka adalah bertani. Setiap hari mereka bekerja di sawah dengan hati tenang dan damai.
Pada suatu ketika, suasana tenang dan damai tersebut tiba-tiba terusik oleh kedatangan sesosok siluman bernama Nenek Pakande. Ia datang ke negeri itu mencari mangsa untuk dijadikan santapannya. Nenek siluman itu sangat suka menyantap daging anak-anak. Oleh sebab itu, anak-anak selalu menjadi incarannya. Biasanya, Nenek Pakande mulai berkeliaran mencari mangsa ketika hari mulai gelap.
Pada suatu sore, di saat hari mulai gelap, Nenek Pakande melihat seorang anak kecil sedang asyik bermain di halaman rumahnya. Anak itu termasuk anak bandel. Sudah berkali-kali dinasehati oleh orang tuanya agar segera masuk ke dalam, namun ia tetap saja asyik bermain seorang diri. Ketika suasana di sekitarnya lengah, kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Nenek Pakande. Ia segera menangkap anak itu lalu membawanya pergi.
Beberapa saat kemudian, sang ibu kebingungan mencari anaknya. Ia sudah mencari di sekitar rumah namun tidak juga menemukannya.
“Tolooong... tolooong.... anakku hilang!” teriak ibu itu panik.
Mendengar suara teriakan itu, para tetangga serentak berhamburan keluar rumah dan mengerumuni ibu itu.
“Apa yang terjadi dengan anak Ibu?” tanya salah seorang warga.
“Anakku..., anakku..., anakku hilang,” jawab ibu itu dengan sedih.
“Hilang ke mana anak Ibu?” tanya lagi warga itu.
“Entahlah, Pak!” jawab ibu itu dengan bingung, “Dia tiba-tiba saja hilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Tadi, aku meninggalkannya sebentar ke dalam rumah saat dia sedang asyik bermain sendiri di halaman rumah. Ketika aku kembali untuk mengajaknya masuk ke dalam rumah, dia sudah tidak ada,” jelasnya.
Setelah mendengar penjelasan tersebut, para warga beramai-ramai mencari anak itu. Mereka sudah mencari hingga ke mana-mana, namun belum juga menemukannya. Karena malam sudah larut, akhirnya para warga menghentikan pencarian. Pada keesokan harinya, saat matahari mulai tampak di ufuk timur, mereka kembali melanjutkan pencarian, namun hasilnya tetap nihil.
Pada malam berikutnya, peristiwa serupa kembali terjadi. Kali ini, seorang bayi yang menjadi korban. Bayi itu hilang di saat kedua orang tuanya sedang tertidur lelap. Kedua peristiwa tersebut benar-benar membuat resah seluruh warga. Para orang tua tidak dapat tidur pada malam hari karena harus menjaga anak-anak mereka.
Melihat keadaan tersebut, para dukun di Negeri Soppeng segera mencari tahu siapa penculik yang misterius itu. Dengan ilmu yang dimiliki, akhirnya mereka berhasil mengetahuinya. Berita tersebut kemudian mereka sampaikan kepada seluruh warga bahwa pelaku penculikan itu adalah Nenek Pakande. Betapa terkejutnya seluruh warga mendengar kabar tersebut karena mereka sangat mengenal watak atau perilaku Nenek Pakande.
“Hai, bukankah Nenek Pakande itu seorang siluman yang sakti mandraguna?” tanya seorang warga.
“Ya, benar. Dia sangat sakti dan tak seorang pun manusia biasa yang mampu mengalahkannya. Dia hanya takut kepada sesosok raksasa yang bernama Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Namun, raksasa itu sudah tidak pernah lagi terdengar kabar keberadaannya,” jelas salah seorang dukun.
“Lantas, apa yang dapat kita lakukan?” tanya pula seorang warga lainnya dengan bingung.
Tak seorang pun warga yang menjawab. Mereka kebingungan menghadapi masalah itu. Di tengah-tengah kebingungan tersebut, seorang pemuda yang duduk paling belakang tiba-tiba angkat bicara. Pemuda itu bernama La Beddu. Ia pemuda yang cerdik.
“Maaf, para hadirin! Perkenankanlah saya untuk menyampaikan sesuatu. Saya mempunyai sebuah cara untuk membinasakan Nenek Pakande,” kata pemuda itu.
Sejenak, suasana pertemuan itu menjadi hening. Semua pandangan tertuju kepada pemuda itu. Sebagian dari warga memandangnya dengan penuh harapan. Namun, tak sedikit dari mereka yang memandangnya dengan pandangan yang merendahkan.
“Hai, La Beddu. Bagaimana caramu bisa mengalahkan Nenek Pakande? Bukankah dia sangat sakti, sementara kamu sendiri hanya pemuda biasa yang tidak mempunyai kesaktian sama sekali?” tanya salah seorang warga.
La Beddu hanya tersenyum, lalu menjawab pertanyaan itu dengan tenang.
“Tidak selamanya kesaktian itu harus dilawan dengan kesaktian pula,” kata La Beddu.
Semua warga tercengang. Setelah itu, La Beddu menjelaskan bahwa satu-satu cara untuk mengalahkan Nenek Pakande adalah kecerdikan.
“Begini, saudara-saudara,” lanjutnya, “Kita semua sudah tahu bahwa Nenek Pakande hanya takut kepada raksasa Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Oleh karena itu, saya akan mengelabui Nenek Pakande dengan berpura-pura menjadi seperti raksasa itu,” jelas La Beddu.
Mendengar penjelasan itu, para warga semakin bingung. Apalagi ketika La Beddu meminta kepada warga untuk menyiapkan masing-masing satu buah salaga (garu), satu ember busa sabun, satu ekor kura-kura dan belut, satu lembar kulit rebung yang sudah kering, dan sebuah batu besar.
“Untuk apa salaga itu La Beddu? Bukankah sekarang belum musim tanam?” tanya seorang warga dengan bingung.
“Sudahlah, Pak. Bapak tidak usah terlalu banyak tanya. Kita lihat saja nanti hasilnya. Yang penting sekarang adalah mencari semua benda dan binatang yang saya sebutkan tadi lalu mengumpulkannya di rumah saya. Nantilah saya jelaskan semuanya,” ujar La Beddu.
Tanpa banyak tanya lagi, para warga segera melaksanakan permintaan La Beddu. Ada yang pergi mencari belut di sawah, ada pula yang mencari kura-kura di sungai. Sebagian yang lain sibuk membuat salaga dan menyiapkan busa sabun satu ember, sebuah batu besar, serta kulit rebung. Setelah memperoleh segala yang diperlukan, para warga segera membawanya ke rumah La Beddu.
“Hai, La Beddu! Jelaskanlah kepada kami mengenai maksud dan tujuan dari semua benda dan binatang ini!” desak pemuka masyarakat.
La Beddu pun kemudian menjelaskan bahwa salaga yang bentuknya menyerupai sisir, busa sabun yang menyerupai air ludah, dan kura-kura yang menyerupai kutu manusia itu akan digunakan untuk mengelabui Nenek Pakande. Dengan menunjukkan benda-benda tersebut, Nenek Pakande akan mengira itu semua adalah milik Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Sementara itu, kulit rebung yang bentuknya mirip terompet itu akan digunakan untuk menggelegarkan suaranya sehingga menyerupai suara raksasa itu. Adapun belut dan batu besar tersebut masing-masing akan diletakkan di depan pintu dan di depan tangga.
Setelah itu, La Beddu bersama para warga segera menyusun siasat. Dua orang warga ditunjuk yang masing-masing akan bertugas meletakkan belut di depan pintu dan batu besar di depan tangga.
Ketika hari mulai gelap, La Beddu segera naik ke atas loteng Sao Raja[1] untuk bersembunyi sambil membawa salaga, busa sabun, kura-kura, dan kulit rebung. Sementara itu, kedua warga yang telah diberi tugas bersembunyi di bawah kolong Sao Raja. Setelah semuanya siap, para warga mulai menjebak Nenek Pakande dengan cara mengunci pintu rumah mereka rapat-rapat tanpa penerangan sedikit pun. Kecuali Sao Raja, pintunya dibuka lebar dan di dalamnya dinyalakan sebuah pelita. Selain itu, seorang bayi juga diletakkan di dalam kamar sebagai umpan untuk menjebak Nenek Pakande agar masuk ke dalam Sao Raja tersebut.
Tak berapa lama kemudian, Nenek Pakande pun mendatangi Sao Raja tersebut. Tanpa menaruh rasa curiga sedikit pun, ia melangkah perlahan-lahan menaiki anak tangga Sao Raja satu per satu. Saat berada di depan pintu, indra penciumannya langsung merasakan bau bayi yang sangat menyengat. Nenek siluman itu pun langsung masuk ke dalam Sao Raja. Pada saat itulah, kedua warga yang bersembunyi di bawah kolong Sao Raja segera melaksanakan tugas mereka lalu kembali ke tempat persembunyianya tanpa sepengetahuan Nenek Pakande.
Ketika Nenek Pakande hendak mendekati bayi yang ada di dalam kamar, tiba-tiba langkahnya terhenti oleh suara keras yang menegurnya.
“Hai, Nenek Pakande! Mau apa kamu datang kemari, ha?”
Suara itu tidak lain adalah suara La Beddu yang menggunakan kulit rebung di atas loteng. Namun, Nenek Pakande tidak mengetahui hal itu.
“Suara siapa itu?” tanya Nenek Pakande dengan terkejut.
“Aku adalah raksasa Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Ha... ha... ha... !” jawab suara itu seraya tertawa terbahak-bahak.
Mendengar jawaban itu, Nenek Pakande mulai ketakutan. Namun, ia belum yakin jika itu adalah suara raksasa tersebut.
“Apa buktinya jika engkau adalah Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale?”
La Beddu yang berada di atas loteng segera menumpahkan busa sabun dari embernya tepat di depan Nenek Pakande. Alangkah terkejutnya perempuan siluman itu karena mengira busa sabun tersebut adalah air ludah raksasa itu.
“Bagaimana, Nenek Pakande? Apakah kamu masih meragukan diriku?” tanya suara itu.
“Bukti apa lagi bukti yang bisa kamu tunjukkan padaku?” Nenek Pakande balik bertanya.
Mendengar pertanyaan itu, La Beddu segera menjatuhkan salaga dan kura-kuranya secara beruntun. Melihat kedua benda tersebut, Nenek Pakande langsung lari tunggang langgang karena ketakutan. Ia mengira kedua benda tersebut adalah sisir dan kutu milik raksasa itu. Begitu ia melewati pintu Sao Raja, kakinya menginjak belut yang diletakkan di tempat itu hingga terpeleset dan akhirnya terjatuh berguling-guling di tangga. Saat sampai di tanah, kepalanya terbentur pada batu besar yang sudah disiapkan di depan tangga.
Meskipun terluka parah, Nenek Pakande masih mampu berdiri dan melarikan diri entah ke mana. Namun, sebelum meninggalkan negeri itu, ia sempat berpesan kepada seluruh warga bahwa kelak ia akan kembali untuk memangsa anak-anak mereka. Oleh sebab itulah, hingga kini, masyarakat Soppeng sering menggunakan cerita ini untuk menakut-nakuti anak-anak mereka agar tidak berkeliaran di luar di rumah ketika hari sudah gelap.