Archive for July 2012
Maskot Olimpiade London 2012
Ini adalah gambar Maskot Olimpiade London 2012-yang akan dilaksanakan dari tanggal 27 Juli-12 Agustus 2012.
Logo Olimpiade London 2012
Logo Olimpiade London 2012 dan Paralimpiade ini diresmikan dalam sebuah upacara bertabur bintang di London. Lambang bergerigi, berdasarkan tanggal 2012, dengan nuansa pink, biru, hijau dan oranye. Kata London dan cincin Olimpiade termasuk dalam dua digit pertama dari logo baru.
Bus Push Up
Baru-baru ini, seniman Ceko, David Cerny merancang dan membuat sebuah bus yang dapat "push up".
Sebuah bus bertingkat dua di jalan London diubah fungsinya menjadi robot yang dapat "push up".
Ia ditempatkan di luar markas kontingen Ceko. David berharap robot ini dapat dijadikan maskot tidak resmi Olimpiade London.
Sebuah bus bertingkat dua di jalan London diubah fungsinya menjadi robot yang dapat "push up".
Ia ditempatkan di luar markas kontingen Ceko. David berharap robot ini dapat dijadikan maskot tidak resmi Olimpiade London.
Cerita tentang Batu berambai dari Bengkulu
Batu Berambai adalah sebuah batu berbulu panjang yang terletak di sekitar Tapak Hitam dan Tapak Batu, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu. Menurut cerita, Batu Berambai tersebut merupakan penjelmaan seorang putri raja yang bernama Putri Renong Bulan. Mengapa Putri Renong Bulan menjelma menjadi Batu Berambai? Ikuti kisahnya dalam cerita Legenda Batu Berambai berikut ini!
Alkisah, di daerah Rejang, Bengkulu ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja bernama Ratu. Ia seorang pemimpin yang adil dan bijaksana. Di bawah kepemimpinannya, kerajaan tersebut berkembang menjadi sebuah kerajaan yang aman dan makmur. Ratu mempunyai seorang putra bernama Raden Serang Irang dan seorang putri bernama Putri Renong Bulan.
Raden Serang Irang adalah seorang pangeran yang tampan dan berbudi pekerti luhur. Selain itu, ia juga mahir bermain silat dan menguasai ilmu peperangan. Tak seorang pun di negeri itu yang mampu mengalahkan kepandaiannya. Sebagai putra tertua, ia senantiasa menjaga dan melindungi adiknya. Siapa pun yang berani mengganggu sang adik, maka dia akan membelanya walaupun nyawa taruhannya.
Sementara itu, Putri Renong Bulan adalah seorang putri yang cantik nan rupawan. Wajahnya cerah dan berseri-seri memancarkan sinar keanggunan. Rambutnya panjang terurai dan berwarna hitam berkilauan. Senyumnya pun sangat manis dan murah seolah-olah memancarkan sinar kebahagiaan. Selain memiliki kecantikan yang luar biasa, Putri Renong Bulan juga memiliki sifat lemah lembut dan amat pandai menenung. Ia hampir setiap hari menghabiskan waktunya menenun kain dengan corak yang indah. Dengan segala yang dimiliki tersebut, maka tidaklah mengerankan jika sang putri menjadi kebanggaan keluarga istana.
Suatu hari, ketika Putri Renong Bulan sedang asyik menenung dan Raden Serang Irang sedang berlatih silat, tiba-tiba dipanggil oleh sang ayah untuk menghadap. Keduanya pun menghentikan kegiatan mereka dan segera memenuhi panggilan sang ayah.
“Ada apa, Ayah? Kenapa Ayah tiba-tiba memanggil kami menghadap?” tanya Raden Serang Irang penasaran.
Ratu hanya tersenyum sambil mengelus-elus jenggotnya yang sudah memutih.
“Begini, Putra-Putriku. Umur ayah sudah semakin tua dan tidak lama lagi Ayah akan meninggalkan kalian,” kata Ratu.
“Kenapa Ayah berkata begitu? Bukankah Ayah masih tampak sehat-sehat saja?” tanya Putri Renong Bulan heran.
“Kamu benar, Putriku. Meskipun Ayah tampak sehat, namun Ayah mempunyai firasat bahwa Ayah tidak akan lama lagi hidup di dunia ini,” ungkap Ratu, ”Oleh karena itu, jagalah diri kalian masing-masing!”
Selanjutnya, Ratu berpesan kepada putra-putrinya dengan ungkapan berikut.
“Jika ingin merasakan asin, makanlah garam!
Jika ingin merasakan pedas, makanlah cabai!”
“Kalau mau terpuji, berkelakuanlah yang baik terhadap sesama!” lanjutnya, “Putraku Serdang, jagalah adikmu baik-baik!”
“Baik, Ayah. Kami akan selalu ingat semua Ayah,” jawab Raden Serdang.
Tak berapa berselang, Ratu meninggal dunia. Seluruh keluarga istana dan rakyat negeri itu berkabung. Semuanya merasa sedih karena kehilangan seorang raja adil dan bijaksana. Namun, kesedihan tersebut tidak berlangsung lama karena tujuh hari setelah Ratu dimakamkan, Raden Serdang Irang dilantik menjadi raja. Ia seorang pemimpin yang adil dan bijaksana mewarisi sifat-sifat kempimpinan ayahnya. Bahkan, sejak menjadi raja, kerajaan tersebut mengalami perkembangan yang cukup pesat. Ia rajin menjalin hubungan kerjasama dengan kerajaan-kerajaan lain. Kerajaan pertama yang diajak kerjasama adalah kerajaan Sungai Lemau yang juga dipimpin oleh seorang raja muda. Kedua raja muda itu saling mengunjungi satu sama lain ke kerajaan masing-masing.
Suatu hari, ketika berkunjung ke kerajaan Raja Serdang, Raja Sungai Lemau bertemu dengan Putri Renong Bulan. Ia terpesona melihat kencatikan dan kemolekan perangai sang Putri. Sejak itulah, Raja Sungai Lemau jatuh hati dan berniat untuk melamar Putri Renong Bulan. Maka disampaikanlah niat itu kepada Raden Serdang.
“Wahai, sahabatku! Bagaimana kalau hubungan persahabatan ini kita lebih dekatkan lagi?” pinta Raja Sungai Lemau.
Raja Serdang pun mengerti maksud pertanyaan sahabatnya itu. Namun, ia tidak bisa langsung menjawabnya.
“Maaf, saudaraku. Saya tidak berhak menjawab pertanyaan itu,” ucap Raja Serdang, “Menurut adat di negeri ini, yang bersangkutanlah yang berhak menjawabnya. Oleh karena itu, saya akan menanyakan hal ini kepada Putri Renong Bulan.”
Saat ditanya, Putri Renong Bulan hanya diam. Hal ini menandakan bahwa sang Putri bersedia menerima lamaran tersebut. Pada hari yang disepakati, mereka pun ditunangkan. Pernikahan mereka akan dilangsungkan pada bulan depan. Sejak bertunangan dengan sang Putri, Raja Sungai Lemau semakin rajin berkunjung ke kerajaan Raja Serdang.
Sementara itu di tempat lain, tersebutlah seorang raja yang bertahta di sebuah kerajaan besar dan megah di Pulau Perca, Aceh. Raja itu sudah lama mendengar mengenai kebesaran dan kemegahan kerajaan Raden Serdang. Tidak hanya itu, kerajaan Raden Serdang juga sudah terkenal memiliki seorang putri yang cantik jelita hingga ke berbagai negeri. Raja Pulau Perca negeri yang mendengar kabar tersebut segera mengirim utusan untuk melamar Putri Renong Bulan bagi putra mahkotanya. Utusan itu berangkat ke Rejang bersama beberapa pengawal melalui laut dan sungai dengan menggunakan kapal besar.
Setiba di istana Raja Serdang, utusan itu segera menyampaikan lamaran putra mahkota kerajaan mereka. Lamaran mereka pun langsung ditolak oleh Raja Serdang karena adiknya telah bertunangan. Rupanya, utusan raja dari Aceh itu tidak rela menerima penolakan tersebut. Mereka tetap memaksa untuk menikahkan sang putri dengan putra mahkota kerajaan mereka. Raja Serdang pun bersi-keras untuk menolak lamaran itu sehingga terjadilah pertempuran sengit antara kedua kerajaan.
Dalam pertempuran tersebut, Raden Serdang memimpin langsung pasukannya dengan gagah berani sehingga pasukan kerajaan dari Aceh tersebut terpukul mundur. Meski demikian, Raden Serdang bersama pasukannya tetap berjaga-jaga. Mereka mendirikan sebuah benteng dari aur (bambu) dan duri yang sangat kokoh mengelilingi kerajaan sehingga sulit ditembus oleh pasukan dari Aceh.
Sementara itu, pasukan kerajaan dari Aceh yang terpukul mundur tidak langsung kembali ke negerinya. Mereka tetap berada di atas kapal yang bersandar di pelabuhan. Setelah mengadakan perundingan, mereka mengirim seorang utusan untuk memata-matai Raja Serdang dan pasukannya yang sedang berjaga-jaga di sekitar benteng.
Suatu pagi, seorang perempuan dari kerajaan Raden Serdang keluar dari benteng hendak mencari ikan di sungai. Utusan yang telah menyamar sebagai penduduk setempat segera mencegat perempuan itu.
“Maaf, Bu. Bolehkah saya mengganggu sebentar?” sapa utusan itu.
“Ya, silakan! Barangkali ada yang bisa saya bantu,” jawab perempuan itu.
“Sebenarnya, apa yang amat disukai oleh penduduk di sini?” tanya utusan itu.
Dengan polosnya, perempuan itu pun menjawab bahwa penduduk Negeri Rejang amat menyukai uang. Setelah itu, perempuan berlalu tanpa merasa curiga sedikit pun. Sementara itu, sang utusan segera kembali ke kapal untuk melapor kepada panglimanya. Mendengar laporan tersebut, sang panglima segera memerintahkan pasukannya memenuhi aur dan duri dengan uang kertas. Rakyat Raja Serdang yang tergiur melihat melihat uang kertas tersebut beramai-ramai menebang aur sehingga terbukalah benteng yang selama ini sulit ditembus.
Melihat hal itu, pasukan dari kerajaan Aceh tidak menyia-nyiakan kesempatan. Mereka segera masuk ke dalam istana dan berhasil mengalahkan Raja Serdang dan pasukannya. Raja Serdang pun tewas dalam penyerangan itu, sedangkan Putri Renong Bulan berhasil ditawan. Ia pun meronta-ronta minta dilepaskan saat hendak dibawa naik ke kapal.
“Kakak Serdang, tolong aku!” teriak Putri Renong Bulan memanggil kakaknya.
“Sudahlah, Putri. Tidak akan ada lagi orang yang bisa menolongmu. Kakak dan tunanganmu sudah tewas,” ujar panglima perang Aceh.
“Pasukan! Ayo kembangkan layar kapal, kita segera tinggalkan negeri ini!” seru sang panglima.
Beberapa saat kemudian, kapal itu bergerak meninggalkan pelabuhan. Sang putri hanya bisa meratapi nasib yang menimpa kakak dan para kerabatnya. Hatinya sangat sedih dan air matanya terus menetes membasahi pipinya yang kemerah-merahan.
Begitu kapal tersebut sampai di muara sungai, sang Putri melihat Tapak Hitam dan Tapak Batu yang mengapit muara. Secara diam-diam, ia mendekati bibir kapal. Rupanya, sang Putri ingin bunuh diri karena putus.
“Daripada memberi malu, lebih baik mati bunuh diri,” ucapnya lirih.
Usai berucap demikian, sang Putri kemudian melompat dari kapal dan terjun ke dalam air. Pada saat ia melompat, rambutnya yang panjang tetap terurai. Ajaibnya, tubuh sang Putri perlahan-lahan berubah menjadi batu dengan rambut terurai. Batu penjelmaan Putri Renong Bulan itu kemudian dinamakan Batu Berambai, yang artinya batu berbulu halus dan panjang.
Alkisah, di daerah Rejang, Bengkulu ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja bernama Ratu. Ia seorang pemimpin yang adil dan bijaksana. Di bawah kepemimpinannya, kerajaan tersebut berkembang menjadi sebuah kerajaan yang aman dan makmur. Ratu mempunyai seorang putra bernama Raden Serang Irang dan seorang putri bernama Putri Renong Bulan.
Raden Serang Irang adalah seorang pangeran yang tampan dan berbudi pekerti luhur. Selain itu, ia juga mahir bermain silat dan menguasai ilmu peperangan. Tak seorang pun di negeri itu yang mampu mengalahkan kepandaiannya. Sebagai putra tertua, ia senantiasa menjaga dan melindungi adiknya. Siapa pun yang berani mengganggu sang adik, maka dia akan membelanya walaupun nyawa taruhannya.
Sementara itu, Putri Renong Bulan adalah seorang putri yang cantik nan rupawan. Wajahnya cerah dan berseri-seri memancarkan sinar keanggunan. Rambutnya panjang terurai dan berwarna hitam berkilauan. Senyumnya pun sangat manis dan murah seolah-olah memancarkan sinar kebahagiaan. Selain memiliki kecantikan yang luar biasa, Putri Renong Bulan juga memiliki sifat lemah lembut dan amat pandai menenung. Ia hampir setiap hari menghabiskan waktunya menenun kain dengan corak yang indah. Dengan segala yang dimiliki tersebut, maka tidaklah mengerankan jika sang putri menjadi kebanggaan keluarga istana.
Suatu hari, ketika Putri Renong Bulan sedang asyik menenung dan Raden Serang Irang sedang berlatih silat, tiba-tiba dipanggil oleh sang ayah untuk menghadap. Keduanya pun menghentikan kegiatan mereka dan segera memenuhi panggilan sang ayah.
“Ada apa, Ayah? Kenapa Ayah tiba-tiba memanggil kami menghadap?” tanya Raden Serang Irang penasaran.
Ratu hanya tersenyum sambil mengelus-elus jenggotnya yang sudah memutih.
“Begini, Putra-Putriku. Umur ayah sudah semakin tua dan tidak lama lagi Ayah akan meninggalkan kalian,” kata Ratu.
“Kenapa Ayah berkata begitu? Bukankah Ayah masih tampak sehat-sehat saja?” tanya Putri Renong Bulan heran.
“Kamu benar, Putriku. Meskipun Ayah tampak sehat, namun Ayah mempunyai firasat bahwa Ayah tidak akan lama lagi hidup di dunia ini,” ungkap Ratu, ”Oleh karena itu, jagalah diri kalian masing-masing!”
Selanjutnya, Ratu berpesan kepada putra-putrinya dengan ungkapan berikut.
“Jika ingin merasakan asin, makanlah garam!
Jika ingin merasakan pedas, makanlah cabai!”
“Kalau mau terpuji, berkelakuanlah yang baik terhadap sesama!” lanjutnya, “Putraku Serdang, jagalah adikmu baik-baik!”
“Baik, Ayah. Kami akan selalu ingat semua Ayah,” jawab Raden Serdang.
Tak berapa berselang, Ratu meninggal dunia. Seluruh keluarga istana dan rakyat negeri itu berkabung. Semuanya merasa sedih karena kehilangan seorang raja adil dan bijaksana. Namun, kesedihan tersebut tidak berlangsung lama karena tujuh hari setelah Ratu dimakamkan, Raden Serdang Irang dilantik menjadi raja. Ia seorang pemimpin yang adil dan bijaksana mewarisi sifat-sifat kempimpinan ayahnya. Bahkan, sejak menjadi raja, kerajaan tersebut mengalami perkembangan yang cukup pesat. Ia rajin menjalin hubungan kerjasama dengan kerajaan-kerajaan lain. Kerajaan pertama yang diajak kerjasama adalah kerajaan Sungai Lemau yang juga dipimpin oleh seorang raja muda. Kedua raja muda itu saling mengunjungi satu sama lain ke kerajaan masing-masing.
Suatu hari, ketika berkunjung ke kerajaan Raja Serdang, Raja Sungai Lemau bertemu dengan Putri Renong Bulan. Ia terpesona melihat kencatikan dan kemolekan perangai sang Putri. Sejak itulah, Raja Sungai Lemau jatuh hati dan berniat untuk melamar Putri Renong Bulan. Maka disampaikanlah niat itu kepada Raden Serdang.
“Wahai, sahabatku! Bagaimana kalau hubungan persahabatan ini kita lebih dekatkan lagi?” pinta Raja Sungai Lemau.
Raja Serdang pun mengerti maksud pertanyaan sahabatnya itu. Namun, ia tidak bisa langsung menjawabnya.
“Maaf, saudaraku. Saya tidak berhak menjawab pertanyaan itu,” ucap Raja Serdang, “Menurut adat di negeri ini, yang bersangkutanlah yang berhak menjawabnya. Oleh karena itu, saya akan menanyakan hal ini kepada Putri Renong Bulan.”
Saat ditanya, Putri Renong Bulan hanya diam. Hal ini menandakan bahwa sang Putri bersedia menerima lamaran tersebut. Pada hari yang disepakati, mereka pun ditunangkan. Pernikahan mereka akan dilangsungkan pada bulan depan. Sejak bertunangan dengan sang Putri, Raja Sungai Lemau semakin rajin berkunjung ke kerajaan Raja Serdang.
Sementara itu di tempat lain, tersebutlah seorang raja yang bertahta di sebuah kerajaan besar dan megah di Pulau Perca, Aceh. Raja itu sudah lama mendengar mengenai kebesaran dan kemegahan kerajaan Raden Serdang. Tidak hanya itu, kerajaan Raden Serdang juga sudah terkenal memiliki seorang putri yang cantik jelita hingga ke berbagai negeri. Raja Pulau Perca negeri yang mendengar kabar tersebut segera mengirim utusan untuk melamar Putri Renong Bulan bagi putra mahkotanya. Utusan itu berangkat ke Rejang bersama beberapa pengawal melalui laut dan sungai dengan menggunakan kapal besar.
Setiba di istana Raja Serdang, utusan itu segera menyampaikan lamaran putra mahkota kerajaan mereka. Lamaran mereka pun langsung ditolak oleh Raja Serdang karena adiknya telah bertunangan. Rupanya, utusan raja dari Aceh itu tidak rela menerima penolakan tersebut. Mereka tetap memaksa untuk menikahkan sang putri dengan putra mahkota kerajaan mereka. Raja Serdang pun bersi-keras untuk menolak lamaran itu sehingga terjadilah pertempuran sengit antara kedua kerajaan.
Dalam pertempuran tersebut, Raden Serdang memimpin langsung pasukannya dengan gagah berani sehingga pasukan kerajaan dari Aceh tersebut terpukul mundur. Meski demikian, Raden Serdang bersama pasukannya tetap berjaga-jaga. Mereka mendirikan sebuah benteng dari aur (bambu) dan duri yang sangat kokoh mengelilingi kerajaan sehingga sulit ditembus oleh pasukan dari Aceh.
Sementara itu, pasukan kerajaan dari Aceh yang terpukul mundur tidak langsung kembali ke negerinya. Mereka tetap berada di atas kapal yang bersandar di pelabuhan. Setelah mengadakan perundingan, mereka mengirim seorang utusan untuk memata-matai Raja Serdang dan pasukannya yang sedang berjaga-jaga di sekitar benteng.
Suatu pagi, seorang perempuan dari kerajaan Raden Serdang keluar dari benteng hendak mencari ikan di sungai. Utusan yang telah menyamar sebagai penduduk setempat segera mencegat perempuan itu.
“Maaf, Bu. Bolehkah saya mengganggu sebentar?” sapa utusan itu.
“Ya, silakan! Barangkali ada yang bisa saya bantu,” jawab perempuan itu.
“Sebenarnya, apa yang amat disukai oleh penduduk di sini?” tanya utusan itu.
Dengan polosnya, perempuan itu pun menjawab bahwa penduduk Negeri Rejang amat menyukai uang. Setelah itu, perempuan berlalu tanpa merasa curiga sedikit pun. Sementara itu, sang utusan segera kembali ke kapal untuk melapor kepada panglimanya. Mendengar laporan tersebut, sang panglima segera memerintahkan pasukannya memenuhi aur dan duri dengan uang kertas. Rakyat Raja Serdang yang tergiur melihat melihat uang kertas tersebut beramai-ramai menebang aur sehingga terbukalah benteng yang selama ini sulit ditembus.
Melihat hal itu, pasukan dari kerajaan Aceh tidak menyia-nyiakan kesempatan. Mereka segera masuk ke dalam istana dan berhasil mengalahkan Raja Serdang dan pasukannya. Raja Serdang pun tewas dalam penyerangan itu, sedangkan Putri Renong Bulan berhasil ditawan. Ia pun meronta-ronta minta dilepaskan saat hendak dibawa naik ke kapal.
“Kakak Serdang, tolong aku!” teriak Putri Renong Bulan memanggil kakaknya.
“Sudahlah, Putri. Tidak akan ada lagi orang yang bisa menolongmu. Kakak dan tunanganmu sudah tewas,” ujar panglima perang Aceh.
“Pasukan! Ayo kembangkan layar kapal, kita segera tinggalkan negeri ini!” seru sang panglima.
Beberapa saat kemudian, kapal itu bergerak meninggalkan pelabuhan. Sang putri hanya bisa meratapi nasib yang menimpa kakak dan para kerabatnya. Hatinya sangat sedih dan air matanya terus menetes membasahi pipinya yang kemerah-merahan.
Begitu kapal tersebut sampai di muara sungai, sang Putri melihat Tapak Hitam dan Tapak Batu yang mengapit muara. Secara diam-diam, ia mendekati bibir kapal. Rupanya, sang Putri ingin bunuh diri karena putus.
“Daripada memberi malu, lebih baik mati bunuh diri,” ucapnya lirih.
Usai berucap demikian, sang Putri kemudian melompat dari kapal dan terjun ke dalam air. Pada saat ia melompat, rambutnya yang panjang tetap terurai. Ajaibnya, tubuh sang Putri perlahan-lahan berubah menjadi batu dengan rambut terurai. Batu penjelmaan Putri Renong Bulan itu kemudian dinamakan Batu Berambai, yang artinya batu berbulu halus dan panjang.
Cerita Keramat Riak dari Bengkulu
Keramat Riak adalah nama sebuah negeri di daerah Bengkulu, Indonesia. Pada mulanya negeri itu dihuni oleh sekolompok masyarakat yang dipimpin oleh seorang raja bernama Riak Bakau. Suatu ketika, negeri itu berubah menjadi hutan lebat dan seluruh penduduknya menjelma menjadi kera. Peristiwa apakah yang menimpa negeri itu? Ikuti kisahnya dalam cerita Keramat Riak berikut!
Suatu siang yang terik, tampak seorang kakek misterius berjalan terseok-seok sambil menggendong sebuah jala di depan paseba (pendapa) istana Keramat Riak. Kakek itu tampak begitu lelah. Rupanya, ia baru saja pulang dari sungai mencari ikan. Ia pun memutuskan untuk duduk beristirahat di depan paseba yang selalu dijaga ketat oleh dua orang prajurit. Jalanya yang memakai pemberat dari rantai emas diletakkan begitu saja di tanah. Rantai jala itu berkilau diterpa sinar matahari sehingga menarik perhatian kedua prajurit itu. Akhirnya, kedua prajurit itu menghampiri dan menyapa si kakek dengan ramah.
“Wah, jala Kakek bagus sekali,” sapa salah seorang prajurit dengan perasaan kagum.
“Iya, Tuan! Jala ini warisan nenek moyang Kakek. Setiap hari Kakek menggunakannya sebagai alat mata pencaharian Kakek,” jawab kakek itu.
“O ya, Tuan! Bolehkah saya menumpang shalat dhuhur di paseba ini,” pinta kakek itu.
“Boleh… boleh… Silakan Kek!” jawab kedua prajurit itu serentak.
Kakek itu pun masuk ke dalam paseba. Jalanya dibiarkan tergeletak di luar paseba. Saat kakek itu sedang shalat, kedua prajurit yang sejak tadi merasa penasaran segera mendekati jala itu. Setelah dicermati secara seksama, ternyata benar bahwa rantai jala itu terbuat dari emas. Namun, betapa terkejutnya mereka saat hendak mengangkat jala itu yang ternyata sangat berat dan seolah-olah menempel di tanah.
“Aneh, kenapa rantai jala ini berat sekali?” gumam salah seorang prajurit yang mencoba mengangkat jala itu. “Ayo kawan, bantu aku mengangkat jala ini!” serunya.
Kedua prajurit tersebut berusaha mengangkat jala milik si kakek secara bersama-sama. Apa yang terjadi? Jangankan terangkat, jala itu tidak bergeser sedikit pun. Melihat keanehan itu, salah seorang dari prajurit tersebut bergegas melaporkan kejadian aneh itu kepada Raja Riak Bakau di istana. Raja Riak Bakau dikenal sebagai raja yang kejam. Ia tidak segan-segan menghukum bagi siapa saja yang menentangnya.
Mendengar laporan dari prajurit itu, Raja Riak Bakau yang diiringi beberapa pengawalnya segera menemui si pemilik jala itu. Setibanya di depan paseba, kakek itu telah selesai shalat dhuhur dan bersiap-siap untuk pulang.
“Tunggu, Kek!” cegah Raja Riak Bakau.
Menyadari bahwa orang yang menegurnya itu adalah sang Raja, kakek itu segera memberi hormat seraya menjawab:
“Ampun, Baginda! Izinkanlah hamba pergi!” pinta kakek itu.
“Jangan pergi dulu, Kek! Aku ada perlu dengan Kakek,” kata Raja Riak Bakau.
“Ampun, Baginda! Ada yang bisa hamba bantu?” tanya kakek itu.
“Hai, Kakek yang budiman. Bolehkah aku memiliki jala rantai emasmu itu?” pinta Raja Riak Bakau.
“Maafkan hamba Baginda! Bukannya hamba bermaksud mengecewakan hati Baginda. Hamba belum bisa memenuhi permintaan Baginda. Jala ini satu-satunya harta warisan hamba,” ungkap kakek itu.
Mendengar jawaban itu, Raja Riak Bakau mulai kesal karena baru kali ada orang di negeri itu yang berani menolak permintaannya.
“Hai, Kakek! Ketahuilah, akulah penguasa di negeri ini. Siapa pun yang memijak tanah negeri ini harus tunduk padaku. Jika tidak, maka tahu sendirilah akibatnya,” ancam Raja Riak Bakau.
Kakek itu tidak takut terhadap ancaman itu. Ia tetap pada pendiriannya untuk tidak menyerahkan jala emasnya kepada Raja Riak Bakau. Sikap kakek itu membuat Raja Riak Bakau bertambah kesal.
“Hai, Kakek! Serahkan jalamu itu sekarang juga atau aku sendiri yang akan mengambilnya!” seru Raja Riak Bakau.
“Silakan, jika Baginda sanggup mengangkatnya,” kata kakek itu.
Raja Riak Bakau yang merasa diremehkan oleh kakek itu segera mengangkat jala rantai emas dengan segenap kekuatannya. Namun, jala itu tidak bergerak sedikit pun. Meskipun ia telah memerintahkan beberapa prajuritnya untuk mengangkatnya, jala itu tetap saja tidak bisa diangkat. Akhirnya, Raja Riak Bakau mengakui kesaktian kakek itu. Namun, Raja Riak Bakau tidak kehabisan akal.
“Baiklah, Kek! Aku mengakui kesaktianmu. Tapi, bagaimana kalau kita mengadu ayam saja. Jika ayamku kalah, kamu boleh memiliki semua harta dan kekuasaanku. Tapi, jika ayammu kalah, jala rantai emas itu menjadi milikku,” tantang Raja Riak Bakau.
Semula kakek itu menolak, namun karena terus didesak oleh Raja Riak Bakau akhirnya ia pun menerima tantangan itu. Akhirnya disepakati bahwa pertandingan sabung ayam akan dilaksanakan di depan istana tiga hari kemudian.
Kabar tentang pertandingan sabung ayam itu tersebar hingga ke seluruh pelosok negeri. Pada hari yang telah ditentukan, pertandingan sabung ayam segera dimulai dan disaksikan oleh seluruh rakyat Negeri Keramat Riak. Kakek misterius itu membawa seekor ayam aduan bertubuh kurus, sedangkan ayam aduan milik Raja Riak Bakau bertubuh besar dan gagah. Melihat ayam aduan kakek itu, Raja Riak Bakau merasa yakin akan memenangkan pertandingan tersebut.
Begitu gong dibunyikan sebagai tanda pertandingan sabung ayam dimulai, Raja Riak Bakau dan kakek itu segera melepaskan ayam aduan mereka di arena pertarungan. Kedua ayam aduan itu pun langsung berhadap-hadapan dan selanjutnya bertarung. Ayam aduan Raja Riak Bakau langsung menyerang secara bertubi-tubi sehingga ayam aduan kakek itu harus melompat ke sana-kemari untuk menghindar dan sesekali jatuh terkena tendangan kaki ayam aduan Raja Riak Bakau. Setelah beberapa lama pertarungan itu berlangsung, ayam aduan Raja Riak Bakau mulai kelelahan. Kini, giliran ayam aduan kakek itu yang menyerang. Hanya sekali tendang, ayam aduan Raja Riak Bakau langsung jatuh dan tidak bisa melanjutkan pertarungan.
Walaupun ayam aduannya kalah, Raja Riak Bakau tidak terima atas kekalahan itu karena tidak ingin kehilangan seluruh harta dan kekuasaannya. Akhirnya, ia menantang kakek itu untuk bertarung. Namun, kakek itu kembali menolak tantangan tersebut.
“Ampun, Baginda! Hamba tidak ingin bertarung karena itu tidak ada manfaatnya. Bagaimana kalau hasil pertandingan tadi kita anggap impas. Hamba tidak akan menuntut apapun dari Baginda, tapi izinkanlah hamba pergi membawa jala rantai emas hamba ini,” pinta kakek itu dengan kata-kata bijaksana.
Raja Riak Bakau pun mengambulkan permintaan kakek itu. Sebelum pergi, kakek itu mampir shalat di paseba dan jalanya diletakkan di depan paseba. Rupanya, Raja Riak Bakau bersama pengawalnya membuntuti kakek itu secara diam-diam karena masih berninat untuk memiliki jala rantai emas itu. Ketika melihat kakek itu sedang khusyuk shalat, Raja Riak Bakau segera menghunus keris yang terselip di pinggangnya lalu menusuk tubuh kakek itu dari belakang. Sungguh ajaib, walaupun dalam keadaan terluka parah, kakek itu masih dapat menyelesaikan shalatnya.
Usai mengucapkan salam, kakek misterius itu segera mengambil lidi lalu ditancapkan di empat sudut paseban dan kemudian pergi meninggalkan negeri itu. Begitu kakek itu berlalu, beberapa prajurit berusaha mencabut lidi itu, namun tak seorang pun yang berhasil. Akhirnya, terpaksa Raja Riak Bakau sendiri yang mencabutnya. Begitu lidi-lidi tersebut tercabut, air menyembur keluar dengan derasnya. Makin lama semburan air semakin deras sehingga dalam waktu sekejap air menggenangi seluruh negeri itu. Seluruh penduduk berusaha menyelamatkan diri. Ada yang berlari ke gunung, sedangkan Raja Riak Bakau beserta pengikutnya berusaha memanjat pohon yang tinggi agar tidak terkena luapan air yang hampir menenggelamkan seluruh negeri itu.
Raja Riak Bakau beserta pengikutnya yang berada di atas pohon masih selamat. Namun, Tuhan terlanjur murka kepada mereka. Tiba-tiba, langit menjadi gelap. Beberapa saat kemudian, hujan deras turun disertai angin kencang. Raja Riak Bakau yang berada di atas pohon beserta pengikutnya terombang-ambing diterpa angin kencang. Pada saat itulah terdengar suara menggema dari balik awan.
“Wahai, Raja Riak Bakau dan seluruh rakyat Keramat Biak! Kalian itu bergelantungan seperti kera saja!” demikian pesan dari suara misterius itu.
Begitu suara itu hilang, tiba-tiba Raja Riak Bakau dan seluruh warganya yang selamat menjelma menjadi kera. Setelah itu, hujan deras kembali reda dan cuaca kembali cerah. Air pun mulai surut sehingga yang terlihat hanya kera-kera yang bergelantungan di atas pohon. Lama-kelamaan negeri itu menjadi hutan rimba dan dihuni oleh kawanan kera. Sementara itu, kakek yang misterius itu menghilang entah ke mana.
Beberapa tahun kemudian, beberapa awak kapal dari Cina mendarat di hutan lebat itu. Konon, mereka itu adalah pedagang yang pernah ditolong oleh si kakek misterius. Mereka datang untuk memenuhi pesan sang kakek agar dibuatkan makam di Keramat Riak. Mereka pun membuat sebuah makam yang cukup megah di daerah itu. Pada nisan makam itu tertulis Syekh Abdullatif, yaitu nama dari kakek misterius itu. Selanjutnya, makam itu dinamakan makam Keramat Riak.
Suatu siang yang terik, tampak seorang kakek misterius berjalan terseok-seok sambil menggendong sebuah jala di depan paseba (pendapa) istana Keramat Riak. Kakek itu tampak begitu lelah. Rupanya, ia baru saja pulang dari sungai mencari ikan. Ia pun memutuskan untuk duduk beristirahat di depan paseba yang selalu dijaga ketat oleh dua orang prajurit. Jalanya yang memakai pemberat dari rantai emas diletakkan begitu saja di tanah. Rantai jala itu berkilau diterpa sinar matahari sehingga menarik perhatian kedua prajurit itu. Akhirnya, kedua prajurit itu menghampiri dan menyapa si kakek dengan ramah.
“Wah, jala Kakek bagus sekali,” sapa salah seorang prajurit dengan perasaan kagum.
“Iya, Tuan! Jala ini warisan nenek moyang Kakek. Setiap hari Kakek menggunakannya sebagai alat mata pencaharian Kakek,” jawab kakek itu.
“O ya, Tuan! Bolehkah saya menumpang shalat dhuhur di paseba ini,” pinta kakek itu.
“Boleh… boleh… Silakan Kek!” jawab kedua prajurit itu serentak.
Kakek itu pun masuk ke dalam paseba. Jalanya dibiarkan tergeletak di luar paseba. Saat kakek itu sedang shalat, kedua prajurit yang sejak tadi merasa penasaran segera mendekati jala itu. Setelah dicermati secara seksama, ternyata benar bahwa rantai jala itu terbuat dari emas. Namun, betapa terkejutnya mereka saat hendak mengangkat jala itu yang ternyata sangat berat dan seolah-olah menempel di tanah.
“Aneh, kenapa rantai jala ini berat sekali?” gumam salah seorang prajurit yang mencoba mengangkat jala itu. “Ayo kawan, bantu aku mengangkat jala ini!” serunya.
Kedua prajurit tersebut berusaha mengangkat jala milik si kakek secara bersama-sama. Apa yang terjadi? Jangankan terangkat, jala itu tidak bergeser sedikit pun. Melihat keanehan itu, salah seorang dari prajurit tersebut bergegas melaporkan kejadian aneh itu kepada Raja Riak Bakau di istana. Raja Riak Bakau dikenal sebagai raja yang kejam. Ia tidak segan-segan menghukum bagi siapa saja yang menentangnya.
Mendengar laporan dari prajurit itu, Raja Riak Bakau yang diiringi beberapa pengawalnya segera menemui si pemilik jala itu. Setibanya di depan paseba, kakek itu telah selesai shalat dhuhur dan bersiap-siap untuk pulang.
“Tunggu, Kek!” cegah Raja Riak Bakau.
Menyadari bahwa orang yang menegurnya itu adalah sang Raja, kakek itu segera memberi hormat seraya menjawab:
“Ampun, Baginda! Izinkanlah hamba pergi!” pinta kakek itu.
“Jangan pergi dulu, Kek! Aku ada perlu dengan Kakek,” kata Raja Riak Bakau.
“Ampun, Baginda! Ada yang bisa hamba bantu?” tanya kakek itu.
“Hai, Kakek yang budiman. Bolehkah aku memiliki jala rantai emasmu itu?” pinta Raja Riak Bakau.
“Maafkan hamba Baginda! Bukannya hamba bermaksud mengecewakan hati Baginda. Hamba belum bisa memenuhi permintaan Baginda. Jala ini satu-satunya harta warisan hamba,” ungkap kakek itu.
Mendengar jawaban itu, Raja Riak Bakau mulai kesal karena baru kali ada orang di negeri itu yang berani menolak permintaannya.
“Hai, Kakek! Ketahuilah, akulah penguasa di negeri ini. Siapa pun yang memijak tanah negeri ini harus tunduk padaku. Jika tidak, maka tahu sendirilah akibatnya,” ancam Raja Riak Bakau.
Kakek itu tidak takut terhadap ancaman itu. Ia tetap pada pendiriannya untuk tidak menyerahkan jala emasnya kepada Raja Riak Bakau. Sikap kakek itu membuat Raja Riak Bakau bertambah kesal.
“Hai, Kakek! Serahkan jalamu itu sekarang juga atau aku sendiri yang akan mengambilnya!” seru Raja Riak Bakau.
“Silakan, jika Baginda sanggup mengangkatnya,” kata kakek itu.
Raja Riak Bakau yang merasa diremehkan oleh kakek itu segera mengangkat jala rantai emas dengan segenap kekuatannya. Namun, jala itu tidak bergerak sedikit pun. Meskipun ia telah memerintahkan beberapa prajuritnya untuk mengangkatnya, jala itu tetap saja tidak bisa diangkat. Akhirnya, Raja Riak Bakau mengakui kesaktian kakek itu. Namun, Raja Riak Bakau tidak kehabisan akal.
“Baiklah, Kek! Aku mengakui kesaktianmu. Tapi, bagaimana kalau kita mengadu ayam saja. Jika ayamku kalah, kamu boleh memiliki semua harta dan kekuasaanku. Tapi, jika ayammu kalah, jala rantai emas itu menjadi milikku,” tantang Raja Riak Bakau.
Semula kakek itu menolak, namun karena terus didesak oleh Raja Riak Bakau akhirnya ia pun menerima tantangan itu. Akhirnya disepakati bahwa pertandingan sabung ayam akan dilaksanakan di depan istana tiga hari kemudian.
Kabar tentang pertandingan sabung ayam itu tersebar hingga ke seluruh pelosok negeri. Pada hari yang telah ditentukan, pertandingan sabung ayam segera dimulai dan disaksikan oleh seluruh rakyat Negeri Keramat Riak. Kakek misterius itu membawa seekor ayam aduan bertubuh kurus, sedangkan ayam aduan milik Raja Riak Bakau bertubuh besar dan gagah. Melihat ayam aduan kakek itu, Raja Riak Bakau merasa yakin akan memenangkan pertandingan tersebut.
Begitu gong dibunyikan sebagai tanda pertandingan sabung ayam dimulai, Raja Riak Bakau dan kakek itu segera melepaskan ayam aduan mereka di arena pertarungan. Kedua ayam aduan itu pun langsung berhadap-hadapan dan selanjutnya bertarung. Ayam aduan Raja Riak Bakau langsung menyerang secara bertubi-tubi sehingga ayam aduan kakek itu harus melompat ke sana-kemari untuk menghindar dan sesekali jatuh terkena tendangan kaki ayam aduan Raja Riak Bakau. Setelah beberapa lama pertarungan itu berlangsung, ayam aduan Raja Riak Bakau mulai kelelahan. Kini, giliran ayam aduan kakek itu yang menyerang. Hanya sekali tendang, ayam aduan Raja Riak Bakau langsung jatuh dan tidak bisa melanjutkan pertarungan.
Walaupun ayam aduannya kalah, Raja Riak Bakau tidak terima atas kekalahan itu karena tidak ingin kehilangan seluruh harta dan kekuasaannya. Akhirnya, ia menantang kakek itu untuk bertarung. Namun, kakek itu kembali menolak tantangan tersebut.
“Ampun, Baginda! Hamba tidak ingin bertarung karena itu tidak ada manfaatnya. Bagaimana kalau hasil pertandingan tadi kita anggap impas. Hamba tidak akan menuntut apapun dari Baginda, tapi izinkanlah hamba pergi membawa jala rantai emas hamba ini,” pinta kakek itu dengan kata-kata bijaksana.
Raja Riak Bakau pun mengambulkan permintaan kakek itu. Sebelum pergi, kakek itu mampir shalat di paseba dan jalanya diletakkan di depan paseba. Rupanya, Raja Riak Bakau bersama pengawalnya membuntuti kakek itu secara diam-diam karena masih berninat untuk memiliki jala rantai emas itu. Ketika melihat kakek itu sedang khusyuk shalat, Raja Riak Bakau segera menghunus keris yang terselip di pinggangnya lalu menusuk tubuh kakek itu dari belakang. Sungguh ajaib, walaupun dalam keadaan terluka parah, kakek itu masih dapat menyelesaikan shalatnya.
Usai mengucapkan salam, kakek misterius itu segera mengambil lidi lalu ditancapkan di empat sudut paseban dan kemudian pergi meninggalkan negeri itu. Begitu kakek itu berlalu, beberapa prajurit berusaha mencabut lidi itu, namun tak seorang pun yang berhasil. Akhirnya, terpaksa Raja Riak Bakau sendiri yang mencabutnya. Begitu lidi-lidi tersebut tercabut, air menyembur keluar dengan derasnya. Makin lama semburan air semakin deras sehingga dalam waktu sekejap air menggenangi seluruh negeri itu. Seluruh penduduk berusaha menyelamatkan diri. Ada yang berlari ke gunung, sedangkan Raja Riak Bakau beserta pengikutnya berusaha memanjat pohon yang tinggi agar tidak terkena luapan air yang hampir menenggelamkan seluruh negeri itu.
Raja Riak Bakau beserta pengikutnya yang berada di atas pohon masih selamat. Namun, Tuhan terlanjur murka kepada mereka. Tiba-tiba, langit menjadi gelap. Beberapa saat kemudian, hujan deras turun disertai angin kencang. Raja Riak Bakau yang berada di atas pohon beserta pengikutnya terombang-ambing diterpa angin kencang. Pada saat itulah terdengar suara menggema dari balik awan.
“Wahai, Raja Riak Bakau dan seluruh rakyat Keramat Biak! Kalian itu bergelantungan seperti kera saja!” demikian pesan dari suara misterius itu.
Begitu suara itu hilang, tiba-tiba Raja Riak Bakau dan seluruh warganya yang selamat menjelma menjadi kera. Setelah itu, hujan deras kembali reda dan cuaca kembali cerah. Air pun mulai surut sehingga yang terlihat hanya kera-kera yang bergelantungan di atas pohon. Lama-kelamaan negeri itu menjadi hutan rimba dan dihuni oleh kawanan kera. Sementara itu, kakek yang misterius itu menghilang entah ke mana.
Beberapa tahun kemudian, beberapa awak kapal dari Cina mendarat di hutan lebat itu. Konon, mereka itu adalah pedagang yang pernah ditolong oleh si kakek misterius. Mereka datang untuk memenuhi pesan sang kakek agar dibuatkan makam di Keramat Riak. Mereka pun membuat sebuah makam yang cukup megah di daerah itu. Pada nisan makam itu tertulis Syekh Abdullatif, yaitu nama dari kakek misterius itu. Selanjutnya, makam itu dinamakan makam Keramat Riak.
Orang Utan yang suka merokok
Orang Utan yang bernama Tori dan telah berumur 15-tahun, yang menjadi daya tarik kebun bintang Taru Jurug di Indonesia orang utan ini kegemaran nya untuk mengisap rokok.
Mie terpanjang di dunia
Koki Liu Hui membentangkan mie terpanjang di dunia yang diadakan di Tianjin, China utara, Liu membuat dua Mie Shanghai terpanjang di dunia untuk memecahkan Guinness World Records dengan mie sepanjang 1918 meter panjang dan meniup balon kue dengan diameter 1,5 meter.
Ice Cream terbesar di dunia
Baru-baru ini di Gloucester, Inggris diadakan pembuatan Ice Cream terbesar di dunia dalam rangka menyambut Olimpiade London 2012